"Kenapa kamu lakuin hal seperti itu lagi? Aku bisa atasi sendiri, yang di perlukan cuma negosiasi soal waktu. Uang itu akan aku bayar padamu segera, dan awas ya. Jangan di tolak!"
Kirana semakin menyadari, Dewa telah tumbuh menjadi pria dewasa dan semakin terlihat sikap gentlemannya. "Iya iya, maaf. Belum juga siang, aku sudah lakuin 2 kesalahan di matamu, dan sekarang kamu jadi ngambek. Tapi aku lakuin itu semua bukan cuma karena aku peduli sama kalian, tapi aku nggak akan lupa sama kebaikan kalian dulu padaku." "Kami lakuin itu karena kamu juga baik pada kami." "Tidak juga, Dewa. Kalian itu apa-apanya tulus dari hati, dan tidak semua orang bisa seperti itu, terlebih sama aku. Tahu sendiri, dari dulu aku orangnya tipe pemberontak." "Tapi kayaknya sekarang lebih kalem? Dulukan agak tomboy," ucap Dewa, menelusuri sekilas penampilan Kirana yang jauh berbeda. "Tapi masih cantik, kan?" Dewa tersenyum malu dan spontan jadi kikuk. Kirana seperti telah membaca pikirannya. "Tapi kamu sekarang juga banyak berubah." "Tidak juga. Kami masih sering di anggap orang miskin yang masih suka bermimpi." Dewa alihkan tatapan ke arah lain dan menerawang. Suasana jadi hening sesaat. Kirana tahu kalau Dewa tidak suka di kasihani, tapi juga tipe pria realistis, jadi segera dia alihkan topik pembicaraan. "Aku juga masih sama kok, karena aku bakal nyusahin kamu lagi." Dewa putar wajah dan menatap dalam Kirana. "Ada apa lagi? Kamu kena imbas musuh politik Papamu lagi?" "Ya gitu deh. Aku belum tahu pasti semua ceritanya karena Papa baru sembuh, dan aku belum berani banyak tanya." "Perkiraanku sih Papamu sudah mau masuk masa pensiun, memangnya sudah nggak dapat ajudan sama pengawal lagi?" "Bukan soal kayak gitu, lagian kalau seperti itu, aku lebih seneng kamu yang jagain. Aku nggak akan lupa kayak waktu kita harus kucing-kucingan sama penguntitku." "Iya, aku masih ingat. Padahal motorku butut, tapi kamu masih aja suka andelin aku buat jadi pelindungmu." "Soalnya kamu juga bisa bela diri, dan kamu lucu. Aku suka." Tawa Kirana tidak serta-merta membuat Dewa juga ikut tertawa seperti dulu. Entah kenapa, kata 'suka' itu kini jadi ucapan menggetarkan hatinya. "Suka ya. Syukur deh," sahut Dewa dingin. "Kok kamu cemberut begitu? Kayaknya aku buat kesalahan lagi, nih." "Nggak. Sudahlah lupakan. Sekarang apa masalahmu? Apa kamu perlu jasaku sebagai pengacara atau soal keamananmu lagi?" Dewa kembali realistis. Wanita seperti Kirana dan Deasy adalah impian yang belum tentu bisa kesampaian. "Bukan. Ini lebih ke masalah pribadi." "Apa itu?" "Aku di jodohkan." Deg! Bukan hal yang Dewa suka untuk di dengar, tapi dia berusaha realistis dan tidak egois. "Berarti kamu mau menikah juga, dong? Terus apa masalahnya? Aku nggak terima jasa urus pernikahan lho." Dewa coba lemparkan candaan untuk tutupi isi hatinya sebenarnya. "Bukan begitu." "Terus apa?" "Aku tolak perjodohan itu, dan kayaknya Papa dapat masalah. Tadinya aku pikir bisa jadikan kamu pacar settingan buat akal-akalan, tapi ternyata kamu sudah nikah." "Jadi maumu gimana?" "Tahu sendiri, aku orangnya takut berhubungan dekat sama cowok selain kamu. Sebagian besar temanku perempuan, jadi kalau bukan kamu, kenalin aku ke temanmu buat ku sewa jadi pacar settingan. Gimana? Ada ide siapa teman yang bisa kamu percaya?" Dewa gelagapan, bisa bayangkan seandainya yang di maksud adalah Angga. Dia tak bisa bayangkan betapa akan lebih hancur dan cemburu dirinya. "Gi gini ... Bagaimana kalau a ..." "Dewa, Nak. Ada tamu," suara Surti yang kini keluar ke halaman belakang sambil membawa handuk basah air hangat. "Bersihkan lagi lukamu." "Memang siapa tamunya?" "Deasy sama mas-mas, ibu nggak tahu itu siapa." Surti membasuh luka lebam pada pipi kiri Dewa sambil terisak. "Sabar ya, Nak. Jangan emosi. Kalau Neng Deasy bukan jodohmu, terima takdir Tuhan dengan legowo." Dewa jadi kikuk. Dua wanita paling berharga dalam hidupnya ini, telah jadi pendamping hadapi kenyataan dengan lebih tegar. "Aku nunggu di sini saja ya. Nggak enak nanti kalau bikin runyam suasana," putus Kirana dan di setujui Dewa dan Surti. Keduanya lantas ke ruang tamu, bergabung dengan Tejo yang menunjukkan wajah muram. "Apa ada hal penting? Bukannya kamu bilang tidak akan temui aku lagi?" tanya Dewa dingin, terlebih di samping Deasy adalah Alex, pria yang menjadi selingkuhan wanita yang masih sah sebagai istrinya ini. "Iya bener. Tadinya begitu, tapi ini terpaksa aku lakuin karena menyangkut soal surat wasiat Kakek." "Maaf, tadi pagi aku tidak ikut acara larung abu jenazah Kakekmu, jadi apa yang harus aku lakukan sesuai wasiatnya?" tanya Dewa lebih lembut setelah mengetahui ini soal pria yang pernah baik pada keluarganya. "Ini soal semua harta bersama dalam pernikahan, termasuk pemberian dari Kakek." "Iya, kenapa?" "Kita sudah buat perjanjian pra nikah soal harta gono-gini yang berisi soal pemberian Kakek tetap atas namaku, dan aku juga ingin agar semua aset selama kita menikah seperti mobil dan rumah cicilan atas namaku segera bisa ku jual, karena itu hakku." "Apa? Tidak bisa seperti itu. Walaupun atas namamu, tapi itu harta gono-gini yang harus di bagi 2. Selama ini cicilannya kan juga bergantian bayarnya." "Tuh kan. Percuma saja bicara denganmu. Pasti adanya ngeyel. Keluar teori hukum yang aku nggak ngerti sama sekali." Deasy berdiri, berbicara sambil menunjuk-nunjuk ke arah wajah Dewa. "Sebentar saja aku bicara. Ingat ya, 2 benda itu masih nyicil. Besok Senin aku minta kamu bersiap-siap pergi dari gedung kantor itu dan cari tempat lain. Aku berencana menjualnya, kecuali." "Kecuali apa?" sambar Dewa tak sabar. "Kecuali kamu ganti uang yang sudah aku keluarkan buat bantu bayar cicilannya. Meskipun baru 6 bulan, tapi sudah mencapai 50 juta. Kalau kamu setuju, besok pagi saat pengacaraku datang ke kantor itu, kamu harus sudah siapkan uangnya!" pertegas Deasy. "Sudah. Aku pamit. Memang bener perkiraanku, kamu kalau nggak di jelasin langsung gini bakal nggak ngerti. Permisi!" "Deasy. Kita harus bicarakan ini." Permintaan Dewa tak terwujud, Alex menahan tubuhnya agar tidak mendekati Deasy. "Turuti saja apa yang dia katakan. Kalau tidak, kamu akan dapat masalah dari aku juga." Dewa hanya bisa diam. Kedua orang tuanya yang jadi pertimbangan. Dewa tak mau timbul masalah lagi, meski dalam batin dan pikirannya berkecamuk. Dewa sudah belajar mencintai Deasy sejak berpikir dia memiliki sifat baik seperti Kakeknya, tapi ternyata harapannya berbalik menjadi kekecewaan. "Sepertinya aku kenal sama cowok yang sama istrimu itu?" Dewa berbalik. Isak tangis Surti dan ucapan Kirana barusan telah mengeluarkannya dari lamunan. "Oh ya? Masa?" ujarnya. "Iya. Dia itu Alex Pramono. Dia kakak dari cowok yang mau di jodohkan sama aku." "Pramono? Pengusaha dan politisi terkenal itu?" Bagaimana Dewa lupa akan nama pria yang pernah dia kalahkan di pengadilan beberapa waktu lalu, dan dia perkirakan juga telah menyebarluaskan berita bohong soal dirinya. "Iya, dia. Papaku sampai sakit juga karena orang itu. Papa tahu aku tidak mau di jodohkan, tapi di lain pihak, Pramono punya banyak koneksi dan Papa takut aku dalam bahaya kalau menolak perjodohan ini." Dewa tertegun. Orang yang berikan masalah di hidup mereka ternyata adalah orang-orang yang saling berhubungan. Sedangkan di seberang jalan rumah Dewa, dua buah mobil sedang berhenti. Rizal Wijaya dan orang kepercayaannya, Sekretaris Li, sedang mendengarkan laporan dari anak buah bagian keamanan yang di beri tugas untuk mengintai sejak dari semalam. Di pangkuan Rizal Wijaya juga terdapat sebuah dokumen berisi rekam jejak hidup Dewa, hasil dari penyelidikan kilat penyelidik swasta langganannya. "Bagaimana menurut Anda, Tuan Besar?" Sekretaris Li membuka pembicaraan setelah penjelasan anak buah bagian keamanan selesai. "Aku semakin yakin kalau dia adalah putraku." "Saya juga setuju dengan Anda, tapi kenapa Anda justru terlihat muram?" Rizal Wijaya menghela napas panjang, sebelum memberikan perintah. "Sekretaris Li." "Iya, Tuan?" "Lakukan terus pengintaian terhadap anak itu dan keluarganya. Buat skenario perlindungan jarak jauh dan juga pemberian finansial tidak terduga untuk menyelesaikan semua masalah yang menjerat putraku." "Siap, Tuan. Lalu bagaimana dengan statusnya? Apakah Anda berniat memberitahukan anak itu siapa sebenarnya dirinya?" Tangan Rizal terkepal. Setelah memikirkan beberapa pertimbangan, akhirnya ia memutuskan."Tidak untuk saat ini." Napas tertahan Sektetaris Li jadi endapan yang menyesak di dadanya. "Kenapa, Tuan? Bukankah ini akan menyulitkan Anda bila ingin lebih dekat dengan putra Anda?" "Awalnya aku juga berpikir seperti itu, tapi aku tidak mau ambil resiko besar lagi buat keselamatan jiwanya. Daniel semakin berharga bagiku sekarang." Sekretaris Li berikan anggukan hormat menyetujui. "Anda benar, Tuan. Setelah ini saya akan teruskan perintah Anda soal keberadaan makam Sari di mana tepatnya pada detektif Poltak." "Iya, dan juga dimana keberadaan surat Ayah yang di berikan padanya. Aku masih punya keyakinan kalau Sari sudah memberikannya pada seseorang tapi kita belum tahu itu siapa." "Benar. Tuan Anthony bukan hanya berikan surat biasa, tapi katanya ada beberapa dokumen yang terbawa Sari pada waktu kejadian itu. Sayang sekali Tuan Anthony sudah terkena stroke dan tidak bisa ceritakan pada kita." "Dewa ... Apa itu termasuk nama yang di inginkan Ayah sebagai pengganti identita
"Kamu ngomong apa? Aku nggak ngerti." Dewa letakkan berkas yang sempat dia baca pada bagian depannya saja, kemudian mendekati Deasy. Dewa raih tangan istrinya ini, tapi di tampik secara kasar oleh Deasy. "Apa sih, nggak usah pegang-pegang! Aku jijik!" bentak Deasy, semakin terlihat sifat aslinya. Sekretaris Li tertunduk trenyuh. Tidak ada dalam sejarah keluarga Wijaya, para prianya mendapat perlakuan seperti yang di lakukan Deasy ini, tapi untuk sementara ini Sekretaris Li hanya bisa terdiam. "Kita bicarakan ini nanti di tempat lain. Jangan di sini ya. Aku masih ada tamu." Dewa masih berusaha bersabar. "Malu." Ia berharap akan pengertian Deasy. "Tidak bisa!" bentak Deasy tak mau tahu, sehingga membuat Anjay merasa ikut turun tangan. "Bu Deasy. Saya antar keluar dulu ya." Anjay juga berusaha sopan, meski dalam hati sudah geregetan. "Pak Dewa nggak lama, kok." "Nggak usah!" balasan ketus Deasy. "Biar kliennya Dewa ini juga tahu, siapa orang yang akan dia ajak kerjasama ini."
"Iya, baiklah. Saya akan terima tawaran itu." Senyuman lebar Sekretaris Li mengembang. Dalam batin, seandainya bisa katakan siapa sebenarnya Dewa ini, maka seharusnya tak perlu proses seperti ini. Keputusan soal keamanan Dewa memang harus di ambil demi penerus keluarga Wijaya selanjutnya. "Kalau begitu, segera tanda tangani dokumen kesepakatan ini, Tuan Muda." "Tu tu tuan muda?" "Oh, maaf. Saking senangnya, sampai panggilan itu keluar begitu saja dari mulut saya. Tapi tak apa, kan? Tuan Besar Wijaya sangat menyukai Anda sejak bertemu pertama kali malam itu. Asal Anda tahu, Tuan besar tidak pernah merasa terkesan begitu besar pada seseorang seperti pada Anda, dan sekarang saya jadi tahu apa alasannya. Anda anak muda yang baik hati dan pantas dapat panggilan itu." "Tak apa, sih .... Tapi ...." Dewa jadi malu sendiri, garuk-garuk kepala meski tak gatal. Seumur-umur baru kali ini di perlakukan berbeda dari klien. "Deal!" ucap Sekretaris Li menyela. "Dokumen ini sudah Anda tand
Seperti biasanya, Dewa tak bisa menolak begitu saja permintaan dari Kirana. Kalau dulu menganggap kehadiran Kirana seperti saudara perempuan yang tidak pernah dia miliki, meski ada perasaan cinta terpendam, namun kini Dewa merasa sosok Kirana jadi seperti sesuatu berharga yang tak ingin hilang lagi dari hidupnya. "Jadi seperti itu. Cowok itu ngebet banget pengen ketemu berdua aja dulu, karena dia tahu aku nggak setuju sama perjodohan ini." Akhir cerita Kirana selama perjalanan. Walaupun harus terpecah dua konsentrasi dengan fokus menyetir motornya, tapi Dewa sudah paham kemana arah cerita Kirana. "Jadi kamu masih kekeh cari pacar settingan?" tanya Dewa, menoleh sedikit ke belakang. "Iya. Temen kamu ada kan? Atau pegawaimu tadi, atau siapa kek, cuman buat sekali dua kali momen aja, asal cowok itu tahu aku sudah punya pacar. Soalnya dia kayak nggak percaya, gitu." "Kita sampai," ucap Dewa sekaligus menghentikan laju motornya di depan sebuah gedung kantor. Dewa turun lantas memba
Setelah pembicaraan tanpa titik temu, karena Dewa masih kukuh tak bisa katakan pembicaraannya dengan Harry Tanu, Dewa memaksakan diri berpamitan, meski mendapatkan cacian dan makian berupa kata-kata merendahkan lagi. "Dewa. Kenapa kamu meski diam aja, sih waktu di kata-katain begitu?!" Justru Kirana yang berikan sikap tidak terima. "Seandainya tidak ada Aldi, aku sudah maki-maki balik tuh bapak sama anak. Mulutnya minta di karetin dua deh kayaknya, ngomongnya pedes banget!" Kirana hentikan langkah cepat Dewa sewaktu menuju ke lift. "Karena mereka memang benar." "Apanya?!" Nada bicara Kirana masih meninggi. "Aku nggak bisa bicara jujur karena janjiku sama Pak Harry Tanu, dan soal pengacara ingusan ... Itu memang aku yang masih terlalu idealis." "Terus maksudmu ajak aku masuk ke sana dan bilang statusku adalah pacarmu itu apa?" "Soal itu ... aku mengatakannya dengan ju ..." "Kirana!" panggilan dari pria muda yang merupakan adik Alex telah menghentikan ucapan Dewa dan membu
Dewa mengikuti saran Angga untuk menggunakan masker yang menutupi wajah dan juga topi berwarna serba hitam, begitu juga pakaian sampai jaket kulitnya. Setelah turun dari motor, keduanya sudah di suguhi keramaian dari upaya 7 orang pria sedang berusaha melumpuhkan seorang pria yang coba melawan. "Lu duluan, Bro." Angga berjalan lebih pelan di belakang pundak Dewa. "Kalau urusan percintaan emang gue jagonya, tapi yang berhubungan sama body gini, lu masternya dah," ucapnya was-was menatap ngeri satu-persatu pria yang sedang mengahajar Malik. "Hentikan!" bentak Dewa keras. "Dia temanku!" Bukannya menunggu reaksi para penyerang Malik yang sedang duduk meringis memegangi perutnya, tapi Dewa justru langsung maju dan menghajar satu-persatu 7 pria itu dengan tendangan dan tinjuan secara cepat. Selama aksi Dewa ini, Angga berlari menarik tangan Malik untuk membantunya menjauh. "Serahin ke Dewa aja," ucapnya saat Malik ingin membantu melawan. Dan benar saja, dalam waktu kurang dari 5 m
Setelah sampai di rumah, tak lantas membuat Dewa segera pejamkan kedua matanya. Dari semua masalah yang memenuhi pikirannya, hanya satu yang paling susah dia kesampingkan. Apalagi kalau bukan soal hati. Dewa duduk bersandar di kasur sambil menimang-nimang ponselnya. "Telpon nggak ya?" gumamnya bingung. Benar kata Angga. Kalau soal wanita Dewa suka mati langkah, terlebih yang di hadapinya selalu saja gadis-.gadis dari keluarga kaya. Dewa beranikan diri memulai pesan untuk Kirana, menanyakan apa gadis cantik bercat rambut cokelat hangat itu sudah tidur ataukah belum. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, jadi Dewa juga tak berharap banyak pada usahanya ini bila mengingat tadi Kirana sudah lakukan protes padanya lalu uring-uringan. Dewa hela napas dalam ketika hampir 10 menit berlalu tapi belum ada balasan dari Kirana. Dewa memutuskan mengetik pesan untuk meminta maaf, tapi tanpa banyak kalimat lain, berharap Kirana masih seperti dulu ketika mereka sedang perang dingin. "Kayakn
"Kamu masih mengharap istrimu, ya?" Dewa keluar dari lamunan sesaatnya, dan tersentak dengan pertanyaan Kirana ini. "Kamu ngomong apa? Ini bukan soal perasaan." Dewa tunjukkan sikap sama dengan Kirana. Dulu, hal semacam ini akan jadi sebuah candaan bahkan sampai bahan olok-olokan untuk satu sama lain, tapi tidak ketika ego keduanya juga telah menjelma jadi manusia dewasa. "Habis kamu kayaknya langsung kepikiran pas aku bahas soal keluarga istrimu." Dewa sedikit menunduk, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Kirana yang merespon mundurkan ke belakang. "Cemburu, ya?" ucap Dewa pelan dan dalam. Sesuatu dimana dulu tak sekalipun berani dia lontarkan bila dalam keadaan yang sama. "Apa, sih?! Sukanya asal, deh!" Dewa tersenyum. Ada rasa puas bila mampu buat Kirana salah tingkah. Ia raih tangan Kirana, menggenggam dalam tatapan sayu dan dalam. "Kirana ... Aku ..." Deheman terdengar lagi, kali ini lebih keras. Aldi berdiri lalu mendekat, segerakan Kirana melepaskan diri dari genggam