Dewa mengikuti saran Angga untuk menggunakan masker yang menutupi wajah dan juga topi berwarna serba hitam, begitu juga pakaian sampai jaket kulitnya. Setelah turun dari motor, keduanya sudah di suguhi keramaian dari upaya 7 orang pria sedang berusaha melumpuhkan seorang pria yang coba melawan. "Lu duluan, Bro." Angga berjalan lebih pelan di belakang pundak Dewa. "Kalau urusan percintaan emang gue jagonya, tapi yang berhubungan sama body gini, lu masternya dah," ucapnya was-was menatap ngeri satu-persatu pria yang sedang mengahajar Malik. "Hentikan!" bentak Dewa keras. "Dia temanku!" Bukannya menunggu reaksi para penyerang Malik yang sedang duduk meringis memegangi perutnya, tapi Dewa justru langsung maju dan menghajar satu-persatu 7 pria itu dengan tendangan dan tinjuan secara cepat. Selama aksi Dewa ini, Angga berlari menarik tangan Malik untuk membantunya menjauh. "Serahin ke Dewa aja," ucapnya saat Malik ingin membantu melawan. Dan benar saja, dalam waktu kurang dari 5 m
Setelah sampai di rumah, tak lantas membuat Dewa segera pejamkan kedua matanya. Dari semua masalah yang memenuhi pikirannya, hanya satu yang paling susah dia kesampingkan. Apalagi kalau bukan soal hati. Dewa duduk bersandar di kasur sambil menimang-nimang ponselnya. "Telpon nggak ya?" gumamnya bingung. Benar kata Angga. Kalau soal wanita Dewa suka mati langkah, terlebih yang di hadapinya selalu saja gadis-.gadis dari keluarga kaya. Dewa beranikan diri memulai pesan untuk Kirana, menanyakan apa gadis cantik bercat rambut cokelat hangat itu sudah tidur ataukah belum. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, jadi Dewa juga tak berharap banyak pada usahanya ini bila mengingat tadi Kirana sudah lakukan protes padanya lalu uring-uringan. Dewa hela napas dalam ketika hampir 10 menit berlalu tapi belum ada balasan dari Kirana. Dewa memutuskan mengetik pesan untuk meminta maaf, tapi tanpa banyak kalimat lain, berharap Kirana masih seperti dulu ketika mereka sedang perang dingin. "Kayakn
"Kamu masih mengharap istrimu, ya?" Dewa keluar dari lamunan sesaatnya, dan tersentak dengan pertanyaan Kirana ini. "Kamu ngomong apa? Ini bukan soal perasaan." Dewa tunjukkan sikap sama dengan Kirana. Dulu, hal semacam ini akan jadi sebuah candaan bahkan sampai bahan olok-olokan untuk satu sama lain, tapi tidak ketika ego keduanya juga telah menjelma jadi manusia dewasa. "Habis kamu kayaknya langsung kepikiran pas aku bahas soal keluarga istrimu." Dewa sedikit menunduk, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Kirana yang merespon mundurkan ke belakang. "Cemburu, ya?" ucap Dewa pelan dan dalam. Sesuatu dimana dulu tak sekalipun berani dia lontarkan bila dalam keadaan yang sama. "Apa, sih?! Sukanya asal, deh!" Dewa tersenyum. Ada rasa puas bila mampu buat Kirana salah tingkah. Ia raih tangan Kirana, menggenggam dalam tatapan sayu dan dalam. "Kirana ... Aku ..." Deheman terdengar lagi, kali ini lebih keras. Aldi berdiri lalu mendekat, segerakan Kirana melepaskan diri dari genggam
"Dewa ... Anakku." Dewa spontan mencium lagi punggung tangan Aryo Bimo. Ucapan terbata dari dua kalimatnya jadi bukti bahwa restu itu telah dia dapatkan. "Terima kasih, Pak. Anda sudah tepati janji Anda." *** Di tempat lain, pada ruang kerja berdesain mewah dan luas. "Tuan. Kenapa Anda belum juga tidur?" pertanyaan Sekretaris Li pada Rizal Wijaya di depan laptop dan masih mengikuti pergerakan angka-angka yang tiap beberapa detik terus bergerak. "Grafiknya masih turun, Li." Jawaban dari Rizal yang tidak nyambung dengan pertanyaannya, membuat Sekretaris Li justru khawatir. "Apa Anda ingin segera bertemu anak itu, Tuan?" "Apa kamu ingin tidur, Li? Seharusnya kamu pulang saja, nggak perlu menginap di sini lagi." Sekretaris Li menghela napas, lalu di hembuskan perlahan. "Jangan menyiksa diri Anda, Tuan. Anda tidak bersalah." "Aku bersalah, Li! Semua itu terjadi karena kebodohanku!" Sekretaris Li menatap trenyuh dari balik punggung Rizal Wijaya yang duduk di atas kursi
Pagi harinya. Air gemericik membasuh wajah sumringah Dewa. Ketika cinta mengisi jiwa, serasa dunia sudah dalam genggaman. Dewa segera pulang ke rumah, tapi berlanjut bersiap ke kantor, sekaligus tatap tantangan apa hari ini. "Pak. Daftar pertanyaan yang Anda usulkan di sidang nanti sudah saya rekap, sekaligus semua dokumen terkait." Anjasmara memberikan berkas yang dia maksudkan pada Dewa. Dewa lirik jam tangannya terlebih dulu. "Masih ada 10 menit, setelah itu kita jalan. Beri aku waktu baca dulu," putusnya dan di tanggapi Anjasmara untuk ke membuatkan minuman. Kantor yang mengenaskan. Sebagian besar perabotannya sudah di angkut oleh pihak Deasy, sehingga hanya tersisa bagian pantry yang berada di di lantai 3 ruko sekaligus di gunakan sebagai tempat beracara. Pegawainyapun hanya 3 orang, terdiri dari Anjasmara sebagai asisten Dewa, seorang office girl dan seorang security. Sebuah ketukan di pintu mengagetkan keduanya. Anjasmara segera membuka, dan semakin di lebarkan ketika
Dewa segera menyalakan mesin mobil setelah mengucap terima kasih pada dua petugas keamanan yang secara sukarela mengantar mereka sampai mobil, baru kemudian berikan jawaban pada Rani. "Resiko pekerjaan." "Anda tidak takut, Pak?" "Kalau kamu sudah mencintai pekerjaan, maka tidak akan mengenal apa itu kata takut, Rani." Rani menatap takjub akan jawaban dan setiap sepak terjang Dewa setelah hanya dalam waktu belum sehari saja sudah di suguhkan bagaimana Dewa menjalani rutinitasnya. "Wedus! Asu!" umpatan isi kebun belakang pak dhe dari Anjasmara tiba-tiba keluar, seraya melanjutkan mengusap wajahnya dengan tissu. "Dibayar berapa sih mereka? Seneng banget jahatin orang? Keliatan banget nggak pernah nonton film siksa neraka!" Anjasmara terus saja ngedumel. Ia seperti tak mau kalah jadi pusat perhatian juga di depan Rani. Berbeda dengan Anjasmara, Dewa memilih diam, sibuk membersihkan diri dengan melepas kancing kemeja, setelah menoleh ke kursi penumpang dan memastikan sekretaris b
Sesampainya di kantor, maksud hati ingin menghubungi Sekretaris Li secara langsung tanpa melewati Anjasmara, tapi Dewa sudah di suguhi berita yang kembali membuatnya terhenyak. "Aku memang sudah menduganya, tapi nggak menyangka akan sejauh ini," ujarnya di hadapan 2 pegawainya, Anjasmara dan Rani, bertiga duduk berhadapan di satu meja makan berukuran sedang dan bulat di pantry lantai 3. "Iya. Anda pernah bilang kalau kemungkinan besar Pramono akan mengajukan banding atas kasus sengketa tanah dengan warga itu." "Tapi aku tidak menyangka kalau dia juga menuntutku." "Memang orang bernama Pramono itu menuntut Bapak apa? Kan Anda itu pembela?" Rani mulai tertarik dengan profesi atasannya, meski baru sehari bekerja. Kharisma yang di tunjukkan oleh Dewa jugalah membuat Rani merasa nyaman walaupun sudah di hadapkan resiko akan beban pekerjaan Dewa sebagai seorang pengacara publik juga. "Pembela kaum lemah, tepatnya," sela Anjasmara dengan dagu sedikit terangkat, bangga akan idealism
Pada sore harinya. "Pak. Sekretaris Li sama sekretarisnya Pramono sudah kasih jawaban." Anjasmara meraih es teh yang di buat Rani, mengalihkan kewajiban itu padanya. "Biar aku yang kasih," ucapnya, lantas mengambil tempat duduk di hadapan Dewa yang sedianya di pakai Rani. "Apa saja?" tanya Dewa, melepaskan jemarinya dari atas tuts keyboard laptop. "Tuan Rizal Wijaya di akhir pekan ini, dan Pramono besok, Pak." "Pramono sama pengacaranya tidak?" "Kurang tahu, Pak. Saya bilangnya sesuai pesan Bapak tadi saja." "Oke. Kita pulang sekarang." "Pulang, Pak? Lalu bagaimana dengan orang-orang yang makin banyak di depan situ?" Dewa berjalan cepat menghampiri jendela kaca lantai 3 ruko tersebut. Benar kata Anjasmara, di bagian depan pintu utama terdapat kerumunan orang yang tidak mereka kenali. "Mereka siapa? Apa tidak ada janji bertemu denganku lewat kamu?" tanya Dewa tapi tatapannya tertuju di halaman parkir ruko. "Kata Yanto mereka wartawan, Pak." "Tapi ada yang tidak pa
Setelah Anjasmara datang kembali ke kantor, ia masuk saja ke dalam ruangan Dewa setelah mendapati atasannya itu sedang merapikan penampilan. "Anda mau kemana, Pak?" tanya Anjasmara, penasaran dengan wajah dingin Dewa. Meskipun baru bekerja dengan Dewa, tapi Anjasmara sudah hafal akan sifat dan karakter kepribadian Dewa. "Janji ketemuan sama Pak Pramono baru nanti malam, kan?" "Sekretarisnya baru saja chat aku. Katanya, apa aku bisa datang sekarang juga." "Sekarang? Apa sepenting itu, Pak?" "Sepertinya gertakanku kemarin ada hasilnya, Jay." Dewa berikan seringai sembari memasukkan kancing kemeja bagian tangannya sebagai sentuhan akhir. "Kalau begitu saya temani, Pak." Anjasmara menyahut tas dokumen milik Dewa. "Takutnya nanti terjadi hal-hal yang di inginkan." "Apa maksudmu?" tanya Dewa dengan alis naik satu. "Kali aja Bapak mau di kasih uang, biar saya bantu bawain." Tawa Dewa menggema di ruangan. "Kamu kira aku akan semudah itu terima uang dari dia? Kalau menurutku s
"Nggak ... Aku tadi mengira Kakak orang yang aku kenal." "Itu berarti kamu melihatku sebelumnya. Emang seberapa persisnya aku sama orang yang kau kira itu?" "Cuma dari belakang miripnya, tapi waktu lihat ke depannya nggak sama ... Nggak mirip ... Maksudku." Mandapati jawaban gelagapan Lalita ini, membuat Dewa tak ingin lagi mengorek lebih jauh. "Oke kalau begitu. Tugasmu sudah selesai. Nggak ada yang perlu di beri catatan." "Kakak belum juga melihat berkeliling tapi sudah bilang semua oke?" "Kenapa kamu memanggilku kakak? Sorry, bagiku agak janggal." "Jadi nggak boleh panggil Kakak?" Kekecewaan terpancar jelas pada wajah Lalita. "Bukan begitu. Hanya saja dari awal kamu sudah memanggilku dengan Kakak. Tidak biasa di telingaku buat orang yang baru kenal." "Oh, maaf kalau lancang. Baiklah, aku panggil Tuan Muda saja." Sebenarnya Dewa merasa lebih tidak nyaman lagi dengan sebutan ini, tetapi karena yang di hadapi adalah seorang wanita yang baru di kenal, jadi dia tanggap
Walaupun konsentrasinya sempat terpecah, tapi pikiran refleks Dewa masih tanggap ketika membalaa usaha pria penyandera itu dengan luruskan satu kakinya sebagai senjata untuk menjatuhkan lawan. Suara debuman keras terdengar. Dewa tak menolak lengah dengan menghimpit tubuh pria yang sudah dijatuhkannya, lalu memlnarik dua tangannya menjadi satu ke belakang dan memegangnya dengan erat. "Jangan membuat keadaan semakin sulit. Tenangkan dirimu, Pak. Kita bicara baik-baik!" kesal Dewa di luapkan dalam nada bicara lantang. Pria itu menangis seperti anak kecil. Dewa kemudian membantunya berdiri dan di tuntun untuk duduk pada salah satu kursi kantor yang masih di tutupi plastik. Para pria petugas keamanan menghampiri segera mengelilingi pria penyandera itu dengan sikap sigap. "Tolong saya, Pak. Kami sekeluarga bingung. Anak kami nggak bersalah. Dia cuma di jebak," ucapnya dalam sesenggukan. "Biarkan kami bawa ke pos buat interogasi, Pak." Salah satu security memaksa dengan menarik ta
"MERUNDUK!" Anjasmara dan Rani spontan menuruti perintah Dewa. Tembakan memang tidak terdengar lagi, tapi perasaan was-was jadi bentuk kewaspadaan dua pria yang segera ambil posisi masing-masing di samping Rani. "Busyet!" umpat Anjasmara lirih. "Tadi apaan, Pak?" tanyanya pada Dewa yang sempat berposisi di paling depan. "Aku sempat lihat tadi ada wanita di dalam, terus ada pria bawa senjata sejenis pistol revolver, entah tipe glock ata apa, aku kaget terus langsung merunduk tadi," jelas Dewa lalu berjalan merembet masih dalam posisi jongkok. "Bapak mau kemana?" Anjasmara bergeser melewati Rani, lalu mengikuti Dewa. Dewa tempelkan jari ke bibirnya. Karena belum tahu apa yang terjadi, Dewa tidak mau menciptakan suara. "Siapa di situ?!" tanya seorang pria dalam bentakan. Ketegangan di mulai, terlebih terdengar suara isak tangis dari dekat pria tersebut dan menyebabkan Rani ikut terbawa suasana. "Pak. Saya takut," ujarnya. Dewa memberi kode tangan pada Anjasmara agar tetap
Dewa termenung dalam dilema. Kalau seandainya keadaan memaksanya untuk membenci Rizal Wijaya, tapi kenapa itu tidak di terima oleh hati nuraninya? "Apa sebenarnya rencanamu?" gumam Dewa dengan kepalan tangan di atas meja. Hiruk-pikuk di sekelilingnya jadi bahan pertimbangan akan keputusan yang harus dia ambil dalam waktu singkat ini. "Harusnya aku bisa menolak. Dokumen kesepakatan itu masih bisa di anggap tidak sah." Dewa berdiri menghampiri jendela dan memastikan ujaran Anjasmara memang benar adanya. Mobil yang di curigai sebagai pengawas itu masih ada di seberang jalan tak jauh dari kantor rukonya ini berada. "Pak. Bagaimana? Apa kita jadi pindah sekarang?" Dewa menoleh sebentar ke Anjasmara, lalu berbicara dengan tatapan ke arah luar. "Apa ada informasi lain lagi yang kamu dapatkan soal Rizal Wijaya?"tanyanya masih penasaran. "Hanya soal sepak terjangnya di bisnis. Banyak yang bersimpati padanya karena di balik kelemahan pada kondisi kakinya setelah kecelakaan itu, tap
Dewa berbalik, sedikit menjauh dari Kirana untuk menghormati Deasy sebagai sesama wanita. "Bicaralah di sini saja. Tidak masalah kalau Kirana tahu." "Tapi ini soal intern perusahaan keluargaku." "Saat ini apa ada hal penting di perusahaan keluargamu selain masalah modal di pasar saham?" "Tak apa, Dewa. Aku ke kamar mandi dulu." Baru saja akan berpamitan, tapi Kirana merasakan genggaman di tangannya. "Kirana keburu mau ke kamar mandi, jadi katakan saja apa yang ingin kamu bicarakan denganku." Dewa bersikap dingin. Bagaimana dia bisa lupa akan kejadian malam dimana kepulangannya dari New York waktu itu. Wanita yang sudah di harapkan akan dia jaga dan jadi pendamping baik suka maupun duka, ternyata nyata-nyata berselingkuh dan sengaja menjatuhkan harga dirinya. Pipi Kirana bersemu merah jambu. Ia yakin Dewa melakukannya bukan semata karena ingin buat benteng akan sakit hatinya pada pengkhianatan Deasy, tapi juga validasi akan statusnya sebagai kekasih Dewa. "Ehmm ... hanya so
"Tidak mungkin!" Posisi di sebelah Billy Tanu, memudahkan Deasy mengambil daftar para pemegang saham itu dari hadapannya. Bersama dengan Alex, keduanya kemudian saling bertatapan tak percaya apa yang sudah di baca. "Siapa? Bisa cepat sebutkan. Siapa nama stockholder terbesar di sini?" Michael paling antusias sebagai wakil dari pemilik saham lain. "Anybody?" tatapannya bergantian pada Deasy dan Billy Tanu, sampai kemudian Michael dengan terpaksa meminta asistennya untuk mengambil kertas daftar tersebut untuk segera dia baca di hadapan yang lain. "Wijaya corp. yang di wakilkan pada legalnya, Dewa Gundala. Siapa itu Dewa Gundala? Mana dia? Kenapa belum datang? Pengacara macam apa itu?" sungut Michael, sedikit tegang setelah nama konglomerat itu tersebut di dalam daftar. Salah satu orang yang di buat terkejut adalah Kirana. Memang pagi tadi secara mendadak Dewa menjemputnya lebih awal dan bersikeras menemaninya dalam rapat penting ini, tapi ia sama sekali tak menyangka akan apa yang
"Dewa. Maafin ucapan Mamaku, ya." Dewa jeda pemakaian helmnya. Berikan senyuman palsu hanya demi Kirana, meski dalam batin ini seketika sesak. Masa pemulihan trauma akibat tiap ucapan dan perlakuan keluarga Deasy belum juga pulih, tapi kembali dia dapatkan hal sama justru dari ibunya Kirana. "Hei, tak apa. Ini hanya soal waktu. Ibumu sedang tidak bisa berdamai dengan kenyataan, dan aku akan mengatasi perasaan dan diriku sendiri." Dewa segera pasang helmnya dan berpamitan. "Sampai jumpa besok. Kaca kantorku baru mau di ganti, jadi aku bisa jemput kamu lebih pagi. Oke."Dewa tarik gas, sengaja tinggalkan Kirana sebelum berniat ajukan protes soal jemputan esok pagi. Salah satu kebiasaan Kirana adalah kemanapun pergi sendirian, tapi kali ini Dewa tak akan membiarkan hal itu sering di lakukan pujaan hatinya itu. Sampai keesokan paginya, Dewa bersiap untuk aktifitas hari ini. Penampilan rambut jadi yang terakhir saat panggilan dari ibunya terdengar untuk segera menuju ke beranda depan.
"Ceritanya jangan pake nangis, nanti omongannya jadi nggak jelas." Dewa jauhkan sapuan bibirnya, mengarahkan kedua tangannya menangkup kedua pipi untuk sesaat berucap. "Terima kasih, Kirana. Kamu simpan perasaan itu sampai datang tepat di waktu aku merasa jatuh." Getaran tangan itu dia gunakan sebagai kekuatan untuk menyatukan bibir mereka lagi hingga beberapa saat. "Kita pulang," ajaknya kemudian, setelah sebuah sorot lampu dari mobil melintas ke arah berlawanan. "Ban mobilku bagaimana?" Kirana masih enggan lepaskan diri dari pelukan Dewa, dan justru bergelayut manja. "Aku panggilkan dari montir servis kendaraan 24 jam, sekaligus minta membawa mobil penarik buat pindahin mobil ke rumahmu. Kamu naik motor sama aku." Setelah Kirana menyetujui, keduanya bersama menaiki motor di belakang mobil pesanan serta montir. Kirana tak pernah lepaskan pelukan dari belakang, sebagai penghangat dari angin malam yang menusuk kalbu. "Aku cinta pertama dan terakhirmu, kan Dewa?" jejak cemburu da