Sesampainya di kantor, maksud hati ingin menghubungi Sekretaris Li secara langsung tanpa melewati Anjasmara, tapi Dewa sudah di suguhi berita yang kembali membuatnya terhenyak. "Aku memang sudah menduganya, tapi nggak menyangka akan sejauh ini," ujarnya di hadapan 2 pegawainya, Anjasmara dan Rani, bertiga duduk berhadapan di satu meja makan berukuran sedang dan bulat di pantry lantai 3. "Iya. Anda pernah bilang kalau kemungkinan besar Pramono akan mengajukan banding atas kasus sengketa tanah dengan warga itu." "Tapi aku tidak menyangka kalau dia juga menuntutku." "Memang orang bernama Pramono itu menuntut Bapak apa? Kan Anda itu pembela?" Rani mulai tertarik dengan profesi atasannya, meski baru sehari bekerja. Kharisma yang di tunjukkan oleh Dewa jugalah membuat Rani merasa nyaman walaupun sudah di hadapkan resiko akan beban pekerjaan Dewa sebagai seorang pengacara publik juga. "Pembela kaum lemah, tepatnya," sela Anjasmara dengan dagu sedikit terangkat, bangga akan idealism
Pada sore harinya. "Pak. Sekretaris Li sama sekretarisnya Pramono sudah kasih jawaban." Anjasmara meraih es teh yang di buat Rani, mengalihkan kewajiban itu padanya. "Biar aku yang kasih," ucapnya, lantas mengambil tempat duduk di hadapan Dewa yang sedianya di pakai Rani. "Apa saja?" tanya Dewa, melepaskan jemarinya dari atas tuts keyboard laptop. "Tuan Rizal Wijaya di akhir pekan ini, dan Pramono besok, Pak." "Pramono sama pengacaranya tidak?" "Kurang tahu, Pak. Saya bilangnya sesuai pesan Bapak tadi saja." "Oke. Kita pulang sekarang." "Pulang, Pak? Lalu bagaimana dengan orang-orang yang makin banyak di depan situ?" Dewa berjalan cepat menghampiri jendela kaca lantai 3 ruko tersebut. Benar kata Anjasmara, di bagian depan pintu utama terdapat kerumunan orang yang tidak mereka kenali. "Mereka siapa? Apa tidak ada janji bertemu denganku lewat kamu?" tanya Dewa tapi tatapannya tertuju di halaman parkir ruko. "Kata Yanto mereka wartawan, Pak." "Tapi ada yang tidak pa
Malam harinya. Setelah melihat keadaan Aryo Bimo di kamar perawatannya, Dewa menunggu kedatangan Kirana di salah satu sisibalk9n di gedung khusus parkiran di lantai 3B. "Hai, are you okay?" remasan pelan di pundak Kirana berikan sebagai sapaan pada laki-laki yang kini jadi kekasihnya ini. "Yeah, I'm okay." Dewa geser posisi duduknya untuk berbagi tempat dengan Kirana. Kini mereka berdua duduk berdampingan pada pada kursi kayu penjaga parkir yang sedang tak berada di posnya memghadap ke jalan raya. "Tadi aku mampir dulu beli roti sama kopi buatmu juga. Mama masih drop, jadi cuma bisa jaga pagi sampai siang. Kalau sudah malam, nggak akan kuat," cerita Kirana seraya menyodorkan apa yang sudah di belinya untuk Dewa juga. "Tadi ada pemberitahuan dari dokter, katanya dapat telpon dari konsultan jantung rumah sakit luar, rekomendasi dari kolega Papa katanya. Paling nggak ada second opinion buat kemungkinan Papa pasang ring. Tinggal tunggu hasil medical ceck up, lalu jadwal operasi di
Melalui pertimbangan singkat, Dewa memutuskan pergi ke rumah Rizal Wijaya. Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Belum di anggap keterlaluan bila bertamu di rumah orang. Dewa parkir motornya di depan gerbang kembar dengan tinggi hampir 2 kali lipat posturnya. Dua orang penjaga keluar dari pos untuk mulai menanyai. Tak ada senyuman, hanya raut dingin dengan tatapan skeptis ke arah Dewa. "Sudah ada janji?" tanya salah satunya dengan tatapan menilai sosok Dewa dari penampilannya. "Saya ingin bertemu Pak Rizal Wijaya. Apa syaratnya?" tanggapan Dewa sekaligus melontarkan sebuah pertanyaan. Dengan hanya mengendarai motor dan penampilan biasa saja, membuat penjaga keamanan itu spontan berikan jawaban pengusiran. "Kalau tidak ada janji, sebaiknya pergi saja," ucapnya seraya mendorong Dewa agar kembali ke motornya. "Tapi, Pak. Tolong. Meskipun nanti hasilnya saya di usir, tapi satu permintaan saya. Katakan pada Rizal soal kedatangan saya, Pak," hibah Dewa yang menolak berbalik badan. Dor
Lima orang pria sudah mengelilingi Dewa. Mereka semakin perlihatkan wajah geram, setelah asisten rumah Rizal Wijaya keluar dan meneruskan perintahnya agar Dewa bisa memenangkan duel sebelum bertemu dengannya. "Agak lain emang tuan rumah satu ini. tapi it's oke ... akan aku jawab tantangannya," gumam Dewa berlanjut menunduk untuk pusatkan fokus pikiran. Meskipun jumlah lawannya kali ini tidak terlalu banyak, tapi Dewa sadar mereka adalah pria punya skil semasa ikuti pelatihan sebagai keamanan, apalagi untuk sekelas Rizal Wijaya. Dewa mundur beberapa langkah. Namun, hal yang berbeda adalah, biasanya Dewa akan melakukan sikap kuda-kuda ke belakang atau dwit koobi seogi, tapi kini Reiner memakai kuda-kuda harimau atau beom seogi, dimana lebih bertumpu pada bagian tubuh kanannya, dengan lengan kanan sebagai tameng. Sudah hampir satu tahun sejak kematian pamannya juga, Dewa tidak berlatih secara intensif baik Taekwondo maupun ilmu bela diri ala lokal. Dewa hanya sempatkan berlatih ke
"Kenapa Anda lakukan semua ini padaku?" "Kamu belum jawab pertanyaanku." "Ehm ... " Bola mata Dewa menjauh dari tatapan Rizal Wijaya untuk memulai lakukan analisa. "Kalau misalkan menyanyangiku, bagiku itu terlaku cdpat di simpulkan. Saya bukan anak Anda atau sanak saudara, jadi saya tidak mau terlalu naif menjawab pilihan itu. Tapi kalau membenciku .... " ucapan Dewa terjeda oleh sebuah foto di antara kumpulannya di bahian kanan tempatnya berdiri. Foto berisi wajah wanita berwajah cantik perpaduan antara Indonesia dan Eropa. "Kenapa?" Rizal Wijaya mengikuti tatapan Dewa dan segera ingin mencari tahu. "Itu foto istriku. Dia cantik, bukan?" Secara spontan Dewa berikan anggukan, bahkan alam bawah sadarnya mencerna sudah familiar wajah dalam foto tersebut. "Iya. Istri Anda sangat cantik." "Di sebelah sana ada foto istriku bersama putraku. Waktu itu umurnya masih 5 tahun," tunjuk Rizal Wijaya pada foto yang tidak jauh dari foto istrinya. "Hidupku sempurna saat itu, bukan?" La
Setelah di minta pergi oleh Rizal Wijaya, Dewa tidak lantas pulang ke rumah, tapi memilih menyelesaikan niatan yang belum usai yaitu menemui Kirana. Tapi saat memasuki kamar Aryo Bimo, ayahnya Kirana, ternyata hanya ada perawat sewaan karena Kirana mendadak memutuskan pulang setelah merasa tidak enak badan. Dewa berusaha menelponnya berkali-kali, tapi sekalipun tidak mendapatkan balasan. "Sudah gede tapi ternyata masih aja sukanya ngambekan," gumam Dewa tak habis pikir, geleng-geleng kepala karena harus se-effort ini bila Kirana sedang uring-uringan. Tipikal wanita kebanyakan, tapi Dewa merasa harus ikuti drama ini meski baginya berkesan sangat kekanakan. Motornya di lajukan ke arah rumah Kirana yang kini pindah ke daerah lebih jauh dari rumahnya. Firasatnya mengatakan harus segera mendapati sahabat masa remaja sekaligus kekasihnya itu sesegera mungkin. Ini bukan hanya soal rasa rindu, tapi hatinya sedang tak tenang bila belum melihat diri Kirana meskipun dalam situasi sedang ma
"Ceritanya jangan pake nangis, nanti omongannya jadi nggak jelas." Dewa jauhkan sapuan bibirnya, mengarahkan kedua tangannya menangkup kedua pipi untuk sesaat berucap. "Terima kasih, Kirana. Kamu simpan perasaan itu sampai datang tepat di waktu aku merasa jatuh." Getaran tangan itu dia gunakan sebagai kekuatan untuk menyatukan bibir mereka lagi hingga beberapa saat. "Kita pulang," ajaknya kemudian, setelah sebuah sorot lampu dari mobil melintas ke arah berlawanan. "Ban mobilku bagaimana?" Kirana masih enggan lepaskan diri dari pelukan Dewa, dan justru bergelayut manja. "Aku panggilkan dari montir servis kendaraan 24 jam, sekaligus minta membawa mobil penarik buat pindahin mobil ke rumahmu. Kamu naik motor sama aku." Setelah Kirana menyetujui, keduanya bersama menaiki motor di belakang mobil pesanan serta montir. Kirana tak pernah lepaskan pelukan dari belakang, sebagai penghangat dari angin malam yang menusuk kalbu. "Aku cinta pertama dan terakhirmu, kan Dewa?" jejak cemburu da
Setelah Anjasmara datang kembali ke kantor, ia masuk saja ke dalam ruangan Dewa setelah mendapati atasannya itu sedang merapikan penampilan. "Anda mau kemana, Pak?" tanya Anjasmara, penasaran dengan wajah dingin Dewa. Meskipun baru bekerja dengan Dewa, tapi Anjasmara sudah hafal akan sifat dan karakter kepribadian Dewa. "Janji ketemuan sama Pak Pramono baru nanti malam, kan?" "Sekretarisnya baru saja chat aku. Katanya, apa aku bisa datang sekarang juga." "Sekarang? Apa sepenting itu, Pak?" "Sepertinya gertakanku kemarin ada hasilnya, Jay." Dewa berikan seringai sembari memasukkan kancing kemeja bagian tangannya sebagai sentuhan akhir. "Kalau begitu saya temani, Pak." Anjasmara menyahut tas dokumen milik Dewa. "Takutnya nanti terjadi hal-hal yang di inginkan." "Apa maksudmu?" tanya Dewa dengan alis naik satu. "Kali aja Bapak mau di kasih uang, biar saya bantu bawain." Tawa Dewa menggema di ruangan. "Kamu kira aku akan semudah itu terima uang dari dia? Kalau menurutku s
"Nggak ... Aku tadi mengira Kakak orang yang aku kenal." "Itu berarti kamu melihatku sebelumnya. Emang seberapa persisnya aku sama orang yang kau kira itu?" "Cuma dari belakang miripnya, tapi waktu lihat ke depannya nggak sama ... Nggak mirip ... Maksudku." Mandapati jawaban gelagapan Lalita ini, membuat Dewa tak ingin lagi mengorek lebih jauh. "Oke kalau begitu. Tugasmu sudah selesai. Nggak ada yang perlu di beri catatan." "Kakak belum juga melihat berkeliling tapi sudah bilang semua oke?" "Kenapa kamu memanggilku kakak? Sorry, bagiku agak janggal." "Jadi nggak boleh panggil Kakak?" Kekecewaan terpancar jelas pada wajah Lalita. "Bukan begitu. Hanya saja dari awal kamu sudah memanggilku dengan Kakak. Tidak biasa di telingaku buat orang yang baru kenal." "Oh, maaf kalau lancang. Baiklah, aku panggil Tuan Muda saja." Sebenarnya Dewa merasa lebih tidak nyaman lagi dengan sebutan ini, tetapi karena yang di hadapi adalah seorang wanita yang baru di kenal, jadi dia tanggap
Walaupun konsentrasinya sempat terpecah, tapi pikiran refleks Dewa masih tanggap ketika membalaa usaha pria penyandera itu dengan luruskan satu kakinya sebagai senjata untuk menjatuhkan lawan. Suara debuman keras terdengar. Dewa tak menolak lengah dengan menghimpit tubuh pria yang sudah dijatuhkannya, lalu memlnarik dua tangannya menjadi satu ke belakang dan memegangnya dengan erat. "Jangan membuat keadaan semakin sulit. Tenangkan dirimu, Pak. Kita bicara baik-baik!" kesal Dewa di luapkan dalam nada bicara lantang. Pria itu menangis seperti anak kecil. Dewa kemudian membantunya berdiri dan di tuntun untuk duduk pada salah satu kursi kantor yang masih di tutupi plastik. Para pria petugas keamanan menghampiri segera mengelilingi pria penyandera itu dengan sikap sigap. "Tolong saya, Pak. Kami sekeluarga bingung. Anak kami nggak bersalah. Dia cuma di jebak," ucapnya dalam sesenggukan. "Biarkan kami bawa ke pos buat interogasi, Pak." Salah satu security memaksa dengan menarik ta
"MERUNDUK!" Anjasmara dan Rani spontan menuruti perintah Dewa. Tembakan memang tidak terdengar lagi, tapi perasaan was-was jadi bentuk kewaspadaan dua pria yang segera ambil posisi masing-masing di samping Rani. "Busyet!" umpat Anjasmara lirih. "Tadi apaan, Pak?" tanyanya pada Dewa yang sempat berposisi di paling depan. "Aku sempat lihat tadi ada wanita di dalam, terus ada pria bawa senjata sejenis pistol revolver, entah tipe glock ata apa, aku kaget terus langsung merunduk tadi," jelas Dewa lalu berjalan merembet masih dalam posisi jongkok. "Bapak mau kemana?" Anjasmara bergeser melewati Rani, lalu mengikuti Dewa. Dewa tempelkan jari ke bibirnya. Karena belum tahu apa yang terjadi, Dewa tidak mau menciptakan suara. "Siapa di situ?!" tanya seorang pria dalam bentakan. Ketegangan di mulai, terlebih terdengar suara isak tangis dari dekat pria tersebut dan menyebabkan Rani ikut terbawa suasana. "Pak. Saya takut," ujarnya. Dewa memberi kode tangan pada Anjasmara agar tetap
Dewa termenung dalam dilema. Kalau seandainya keadaan memaksanya untuk membenci Rizal Wijaya, tapi kenapa itu tidak di terima oleh hati nuraninya? "Apa sebenarnya rencanamu?" gumam Dewa dengan kepalan tangan di atas meja. Hiruk-pikuk di sekelilingnya jadi bahan pertimbangan akan keputusan yang harus dia ambil dalam waktu singkat ini. "Harusnya aku bisa menolak. Dokumen kesepakatan itu masih bisa di anggap tidak sah." Dewa berdiri menghampiri jendela dan memastikan ujaran Anjasmara memang benar adanya. Mobil yang di curigai sebagai pengawas itu masih ada di seberang jalan tak jauh dari kantor rukonya ini berada. "Pak. Bagaimana? Apa kita jadi pindah sekarang?" Dewa menoleh sebentar ke Anjasmara, lalu berbicara dengan tatapan ke arah luar. "Apa ada informasi lain lagi yang kamu dapatkan soal Rizal Wijaya?"tanyanya masih penasaran. "Hanya soal sepak terjangnya di bisnis. Banyak yang bersimpati padanya karena di balik kelemahan pada kondisi kakinya setelah kecelakaan itu, tap
Dewa berbalik, sedikit menjauh dari Kirana untuk menghormati Deasy sebagai sesama wanita. "Bicaralah di sini saja. Tidak masalah kalau Kirana tahu." "Tapi ini soal intern perusahaan keluargaku." "Saat ini apa ada hal penting di perusahaan keluargamu selain masalah modal di pasar saham?" "Tak apa, Dewa. Aku ke kamar mandi dulu." Baru saja akan berpamitan, tapi Kirana merasakan genggaman di tangannya. "Kirana keburu mau ke kamar mandi, jadi katakan saja apa yang ingin kamu bicarakan denganku." Dewa bersikap dingin. Bagaimana dia bisa lupa akan kejadian malam dimana kepulangannya dari New York waktu itu. Wanita yang sudah di harapkan akan dia jaga dan jadi pendamping baik suka maupun duka, ternyata nyata-nyata berselingkuh dan sengaja menjatuhkan harga dirinya. Pipi Kirana bersemu merah jambu. Ia yakin Dewa melakukannya bukan semata karena ingin buat benteng akan sakit hatinya pada pengkhianatan Deasy, tapi juga validasi akan statusnya sebagai kekasih Dewa. "Ehmm ... hanya so
"Tidak mungkin!" Posisi di sebelah Billy Tanu, memudahkan Deasy mengambil daftar para pemegang saham itu dari hadapannya. Bersama dengan Alex, keduanya kemudian saling bertatapan tak percaya apa yang sudah di baca. "Siapa? Bisa cepat sebutkan. Siapa nama stockholder terbesar di sini?" Michael paling antusias sebagai wakil dari pemilik saham lain. "Anybody?" tatapannya bergantian pada Deasy dan Billy Tanu, sampai kemudian Michael dengan terpaksa meminta asistennya untuk mengambil kertas daftar tersebut untuk segera dia baca di hadapan yang lain. "Wijaya corp. yang di wakilkan pada legalnya, Dewa Gundala. Siapa itu Dewa Gundala? Mana dia? Kenapa belum datang? Pengacara macam apa itu?" sungut Michael, sedikit tegang setelah nama konglomerat itu tersebut di dalam daftar. Salah satu orang yang di buat terkejut adalah Kirana. Memang pagi tadi secara mendadak Dewa menjemputnya lebih awal dan bersikeras menemaninya dalam rapat penting ini, tapi ia sama sekali tak menyangka akan apa yang
"Dewa. Maafin ucapan Mamaku, ya." Dewa jeda pemakaian helmnya. Berikan senyuman palsu hanya demi Kirana, meski dalam batin ini seketika sesak. Masa pemulihan trauma akibat tiap ucapan dan perlakuan keluarga Deasy belum juga pulih, tapi kembali dia dapatkan hal sama justru dari ibunya Kirana. "Hei, tak apa. Ini hanya soal waktu. Ibumu sedang tidak bisa berdamai dengan kenyataan, dan aku akan mengatasi perasaan dan diriku sendiri." Dewa segera pasang helmnya dan berpamitan. "Sampai jumpa besok. Kaca kantorku baru mau di ganti, jadi aku bisa jemput kamu lebih pagi. Oke."Dewa tarik gas, sengaja tinggalkan Kirana sebelum berniat ajukan protes soal jemputan esok pagi. Salah satu kebiasaan Kirana adalah kemanapun pergi sendirian, tapi kali ini Dewa tak akan membiarkan hal itu sering di lakukan pujaan hatinya itu. Sampai keesokan paginya, Dewa bersiap untuk aktifitas hari ini. Penampilan rambut jadi yang terakhir saat panggilan dari ibunya terdengar untuk segera menuju ke beranda depan.
"Ceritanya jangan pake nangis, nanti omongannya jadi nggak jelas." Dewa jauhkan sapuan bibirnya, mengarahkan kedua tangannya menangkup kedua pipi untuk sesaat berucap. "Terima kasih, Kirana. Kamu simpan perasaan itu sampai datang tepat di waktu aku merasa jatuh." Getaran tangan itu dia gunakan sebagai kekuatan untuk menyatukan bibir mereka lagi hingga beberapa saat. "Kita pulang," ajaknya kemudian, setelah sebuah sorot lampu dari mobil melintas ke arah berlawanan. "Ban mobilku bagaimana?" Kirana masih enggan lepaskan diri dari pelukan Dewa, dan justru bergelayut manja. "Aku panggilkan dari montir servis kendaraan 24 jam, sekaligus minta membawa mobil penarik buat pindahin mobil ke rumahmu. Kamu naik motor sama aku." Setelah Kirana menyetujui, keduanya bersama menaiki motor di belakang mobil pesanan serta montir. Kirana tak pernah lepaskan pelukan dari belakang, sebagai penghangat dari angin malam yang menusuk kalbu. "Aku cinta pertama dan terakhirmu, kan Dewa?" jejak cemburu da