Dewa segera menyalakan mesin mobil setelah mengucap terima kasih pada dua petugas keamanan yang secara sukarela mengantar mereka sampai mobil, baru kemudian berikan jawaban pada Rani. "Resiko pekerjaan." "Anda tidak takut, Pak?" "Kalau kamu sudah mencintai pekerjaan, maka tidak akan mengenal apa itu kata takut, Rani." Rani menatap takjub akan jawaban dan setiap sepak terjang Dewa setelah hanya dalam waktu belum sehari saja sudah di suguhkan bagaimana Dewa menjalani rutinitasnya. "Wedus! Asu!" umpatan isi kebun belakang pak dhe dari Anjasmara tiba-tiba keluar, seraya melanjutkan mengusap wajahnya dengan tissu. "Dibayar berapa sih mereka? Seneng banget jahatin orang? Keliatan banget nggak pernah nonton film siksa neraka!" Anjasmara terus saja ngedumel. Ia seperti tak mau kalah jadi pusat perhatian juga di depan Rani. Berbeda dengan Anjasmara, Dewa memilih diam, sibuk membersihkan diri dengan melepas kancing kemeja, setelah menoleh ke kursi penumpang dan memastikan sekretaris b
Sesampainya di kantor, maksud hati ingin menghubungi Sekretaris Li secara langsung tanpa melewati Anjasmara, tapi Dewa sudah di suguhi berita yang kembali membuatnya terhenyak. "Aku memang sudah menduganya, tapi nggak menyangka akan sejauh ini," ujarnya di hadapan 2 pegawainya, Anjasmara dan Rani, bertiga duduk berhadapan di satu meja makan berukuran sedang dan bulat di pantry lantai 3. "Iya. Anda pernah bilang kalau kemungkinan besar Pramono akan mengajukan banding atas kasus sengketa tanah dengan warga itu." "Tapi aku tidak menyangka kalau dia juga menuntutku." "Memang orang bernama Pramono itu menuntut Bapak apa? Kan Anda itu pembela?" Rani mulai tertarik dengan profesi atasannya, meski baru sehari bekerja. Kharisma yang di tunjukkan oleh Dewa jugalah membuat Rani merasa nyaman walaupun sudah di hadapkan resiko akan beban pekerjaan Dewa sebagai seorang pengacara publik juga. "Pembela kaum lemah, tepatnya," sela Anjasmara dengan dagu sedikit terangkat, bangga akan idealism
Pada sore harinya. "Pak. Sekretaris Li sama sekretarisnya Pramono sudah kasih jawaban." Anjasmara meraih es teh yang di buat Rani, mengalihkan kewajiban itu padanya. "Biar aku yang kasih," ucapnya, lantas mengambil tempat duduk di hadapan Dewa yang sedianya di pakai Rani. "Apa saja?" tanya Dewa, melepaskan jemarinya dari atas tuts keyboard laptop. "Tuan Rizal Wijaya di akhir pekan ini, dan Pramono besok, Pak." "Pramono sama pengacaranya tidak?" "Kurang tahu, Pak. Saya bilangnya sesuai pesan Bapak tadi saja." "Oke. Kita pulang sekarang." "Pulang, Pak? Lalu bagaimana dengan orang-orang yang makin banyak di depan situ?" Dewa berjalan cepat menghampiri jendela kaca lantai 3 ruko tersebut. Benar kata Anjasmara, di bagian depan pintu utama terdapat kerumunan orang yang tidak mereka kenali. "Mereka siapa? Apa tidak ada janji bertemu denganku lewat kamu?" tanya Dewa tapi tatapannya tertuju di halaman parkir ruko. "Kata Yanto mereka wartawan, Pak." "Tapi ada yang tidak pa
Malam harinya. Setelah melihat keadaan Aryo Bimo di kamar perawatannya, Dewa menunggu kedatangan Kirana di salah satu sisibalk9n di gedung khusus parkiran di lantai 3B. "Hai, are you okay?" remasan pelan di pundak Kirana berikan sebagai sapaan pada laki-laki yang kini jadi kekasihnya ini. "Yeah, I'm okay." Dewa geser posisi duduknya untuk berbagi tempat dengan Kirana. Kini mereka berdua duduk berdampingan pada pada kursi kayu penjaga parkir yang sedang tak berada di posnya memghadap ke jalan raya. "Tadi aku mampir dulu beli roti sama kopi buatmu juga. Mama masih drop, jadi cuma bisa jaga pagi sampai siang. Kalau sudah malam, nggak akan kuat," cerita Kirana seraya menyodorkan apa yang sudah di belinya untuk Dewa juga. "Tadi ada pemberitahuan dari dokter, katanya dapat telpon dari konsultan jantung rumah sakit luar, rekomendasi dari kolega Papa katanya. Paling nggak ada second opinion buat kemungkinan Papa pasang ring. Tinggal tunggu hasil medical ceck up, lalu jadwal operasi di
Melalui pertimbangan singkat, Dewa memutuskan pergi ke rumah Rizal Wijaya. Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Belum di anggap keterlaluan bila bertamu di rumah orang. Dewa parkir motornya di depan gerbang kembar dengan tinggi hampir 2 kali lipat posturnya. Dua orang penjaga keluar dari pos untuk mulai menanyai. Tak ada senyuman, hanya raut dingin dengan tatapan skeptis ke arah Dewa. "Sudah ada janji?" tanya salah satunya dengan tatapan menilai sosok Dewa dari penampilannya. "Saya ingin bertemu Pak Rizal Wijaya. Apa syaratnya?" tanggapan Dewa sekaligus melontarkan sebuah pertanyaan. Dengan hanya mengendarai motor dan penampilan biasa saja, membuat penjaga keamanan itu spontan berikan jawaban pengusiran. "Kalau tidak ada janji, sebaiknya pergi saja," ucapnya seraya mendorong Dewa agar kembali ke motornya. "Tapi, Pak. Tolong. Meskipun nanti hasilnya saya di usir, tapi satu permintaan saya. Katakan pada Rizal soal kedatangan saya, Pak," hibah Dewa yang menolak berbalik badan. Dor
Lima orang pria sudah mengelilingi Dewa. Mereka semakin perlihatkan wajah geram, setelah asisten rumah Rizal Wijaya keluar dan meneruskan perintahnya agar Dewa bisa memenangkan duel sebelum bertemu dengannya. "Agak lain emang tuan rumah satu ini. tapi it's oke ... akan aku jawab tantangannya," gumam Dewa berlanjut menunduk untuk pusatkan fokus pikiran. Meskipun jumlah lawannya kali ini tidak terlalu banyak, tapi Dewa sadar mereka adalah pria punya skil semasa ikuti pelatihan sebagai keamanan, apalagi untuk sekelas Rizal Wijaya. Dewa mundur beberapa langkah. Namun, hal yang berbeda adalah, biasanya Dewa akan melakukan sikap kuda-kuda ke belakang atau dwit koobi seogi, tapi kini Reiner memakai kuda-kuda harimau atau beom seogi, dimana lebih bertumpu pada bagian tubuh kanannya, dengan lengan kanan sebagai tameng. Sudah hampir satu tahun sejak kematian pamannya juga, Dewa tidak berlatih secara intensif baik Taekwondo maupun ilmu bela diri ala lokal. Dewa hanya sempatkan berlatih ke
"Aku sudah di bandara. Apa kamu ikut menjemputku?"Pemberitahuan dari seorang pria muda dan tampan pada wanita muda di ujung telpon yang merupakan istrinya."Sepertinya nggak bisa. Masih ada kerjaan yang harus aku selesaikan. Kamu naik taxi online bandara saja, ok."Tentu bukanlah sambutan yang di harapkan Dewa, nama pria muda yang berprofesi sebagai pengacara itu telah kembali ke Jakarta setelah 6 bulan menempuh pelatihan serta magang di New York, dan selama itulah mereka melangsungkan pernikahan."Oh, sorry. Aku sengaja bikin kejutan soal kepulanganku ini, jadi nggak ngabarin kamu atau orang tuaku. Ku kira kamu akan senang sama kedatanganku. Aku bisa nunggu di lounge sampai kamu selesai kerjain ... ""Sorry nggak bisa," potong Deasy seketika. "Papa bisa ngomel-ngomel kalau nggak aku selesaiin malam ini juga," lanjutnya bernada sedih."Oke tak apa. Kalau begitu gimana kalau aku jemput kamu ke kantor? Kamu bawa mobil sendiri atau sopir? Nanti habis dari bandara, aku ...""Aduh, nggak
Dewa duduk di pelataran gedung apartemen yang baru saja dia singgahi itu dengan lesu. Sekarang tujunya adalah antara rumah mertua ataukah rumah kedua orang tuanya.Setelah berpikir beberapa saat, Dewa putuskan pergi ke rumah mertuanya terlebih dulu. Apapun hasil bertemu kedua orang tua Deasy itu, harapan Dewa adalah menuntaskan semua malam ini juga dengan pembicaraan secara baik-baik.Dua koper berukuran besar di letakkan Dewa di teras rumah berlantai 2 dan terletak di salah satu kawasan elit di Jakarta Selatan dengan gamang. Keadaan rumah sepi, selama 6 bulan dia tinggalkan kamar pengantinnya dan terbang menuju ke New York tanpa pernah merasakan jadi penghuni rumah seutuhnya."Bapak sama Ibu sudah nunggu di ruang tengah, Mas."Dewa keluar dari lamunan sesaatnya saat seorang asisten rumah tangga membuka pintu utama dan memberitahukan soal sambutan sang tuan rumah."Oke, Mbak." Dewa tinggalkan dua kopernya di teras, sedangkan tas ranselnya di kursi ruang tamu. Ruang tengah yang di maks