Melalui pertimbangan singkat, Dewa memutuskan pergi ke rumah Rizal Wijaya. Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Belum di anggap keterlaluan bila bertamu di rumah orang. Dewa parkir motornya di depan gerbang kembar dengan tinggi hampir 2 kali lipat posturnya. Dua orang penjaga keluar dari pos untuk mulai menanyai. Tak ada senyuman, hanya raut dingin dengan tatapan skeptis ke arah Dewa. "Sudah ada janji?" tanya salah satunya dengan tatapan menilai sosok Dewa dari penampilannya. "Saya ingin bertemu Pak Rizal Wijaya. Apa syaratnya?" tanggapan Dewa sekaligus melontarkan sebuah pertanyaan. Dengan hanya mengendarai motor dan penampilan biasa saja, membuat penjaga keamanan itu spontan berikan jawaban pengusiran. "Kalau tidak ada janji, sebaiknya pergi saja," ucapnya seraya mendorong Dewa agar kembali ke motornya. "Tapi, Pak. Tolong. Meskipun nanti hasilnya saya di usir, tapi satu permintaan saya. Katakan pada Rizal soal kedatangan saya, Pak," hibah Dewa yang menolak berbalik badan. Dor
Lima orang pria sudah mengelilingi Dewa. Mereka semakin perlihatkan wajah geram, setelah asisten rumah Rizal Wijaya keluar dan meneruskan perintahnya agar Dewa bisa memenangkan duel sebelum bertemu dengannya. "Agak lain emang tuan rumah satu ini. tapi it's oke ... akan aku jawab tantangannya," gumam Dewa berlanjut menunduk untuk pusatkan fokus pikiran. Meskipun jumlah lawannya kali ini tidak terlalu banyak, tapi Dewa sadar mereka adalah pria punya skil semasa ikuti pelatihan sebagai keamanan, apalagi untuk sekelas Rizal Wijaya. Dewa mundur beberapa langkah. Namun, hal yang berbeda adalah, biasanya Dewa akan melakukan sikap kuda-kuda ke belakang atau dwit koobi seogi, tapi kini Reiner memakai kuda-kuda harimau atau beom seogi, dimana lebih bertumpu pada bagian tubuh kanannya, dengan lengan kanan sebagai tameng. Sudah hampir satu tahun sejak kematian pamannya juga, Dewa tidak berlatih secara intensif baik Taekwondo maupun ilmu bela diri ala lokal. Dewa hanya sempatkan berlatih ke
"Aku sudah di bandara. Apa kamu ikut menjemputku?"Pemberitahuan dari seorang pria muda dan tampan pada wanita muda di ujung telpon yang merupakan istrinya."Sepertinya nggak bisa. Masih ada kerjaan yang harus aku selesaikan. Kamu naik taxi online bandara saja, ok."Tentu bukanlah sambutan yang di harapkan Dewa, nama pria muda yang berprofesi sebagai pengacara itu telah kembali ke Jakarta setelah 6 bulan menempuh pelatihan serta magang di New York, dan selama itulah mereka melangsungkan pernikahan."Oh, sorry. Aku sengaja bikin kejutan soal kepulanganku ini, jadi nggak ngabarin kamu atau orang tuaku. Ku kira kamu akan senang sama kedatanganku. Aku bisa nunggu di lounge sampai kamu selesai kerjain ... ""Sorry nggak bisa," potong Deasy seketika. "Papa bisa ngomel-ngomel kalau nggak aku selesaiin malam ini juga," lanjutnya bernada sedih."Oke tak apa. Kalau begitu gimana kalau aku jemput kamu ke kantor? Kamu bawa mobil sendiri atau sopir? Nanti habis dari bandara, aku ...""Aduh, nggak
Dewa duduk di pelataran gedung apartemen yang baru saja dia singgahi itu dengan lesu. Sekarang tujunya adalah antara rumah mertua ataukah rumah kedua orang tuanya.Setelah berpikir beberapa saat, Dewa putuskan pergi ke rumah mertuanya terlebih dulu. Apapun hasil bertemu kedua orang tua Deasy itu, harapan Dewa adalah menuntaskan semua malam ini juga dengan pembicaraan secara baik-baik.Dua koper berukuran besar di letakkan Dewa di teras rumah berlantai 2 dan terletak di salah satu kawasan elit di Jakarta Selatan dengan gamang. Keadaan rumah sepi, selama 6 bulan dia tinggalkan kamar pengantinnya dan terbang menuju ke New York tanpa pernah merasakan jadi penghuni rumah seutuhnya."Bapak sama Ibu sudah nunggu di ruang tengah, Mas."Dewa keluar dari lamunan sesaatnya saat seorang asisten rumah tangga membuka pintu utama dan memberitahukan soal sambutan sang tuan rumah."Oke, Mbak." Dewa tinggalkan dua kopernya di teras, sedangkan tas ranselnya di kursi ruang tamu. Ruang tengah yang di maks
Kirana Larasati.Satu nama yang sontak buat Dewa menganga tak percaya, bahkan masalahnya dengan Deasy jadi berangsur sirna untuk sesaat."Iya, ini aku Kirana. Teman SMA dulu. Aku ini yang dulu suka ngerecokin, nyusahin kamu." Untuk lebih meyakinkan Dewa, Kirana terpaksa ungkapkan istilah yang hanya mereka berdua ketahui. "Kamu adalah suami cadanganku. Ingat, kan?"Tejo ikut terperanjat, sampai kemudian lari memberitahukan Surti agar sekalian menyiapkan minuman untuk wanita yang sudah sejak dulu memang sudah dekat dengan mereka.Kirana adalah putri dari salah seorang jenderal polisi, sekaligus politikus ternama yang memiliki beberapa bisnis besar. Sebagai putri satu-satunya, Kirana selalu mendapatkan privelege terbaik dari Ayahnya, tapi tak membuat Kirana tumbuh jadi gadis sombong, tapi justru baik hati dan penuh empati."Tidak usah, Pak. Saya nggak bisa lama-lama. Tadi cuma pengen mampir buat mastiin saja kalau Dewa masih tinggal di sini.""Masuk Neng. Ibu kangen, lho." Surti tak lepa
Tak lama kemudian, beberapa pria tegap dan berpakaian serba hitam keluar dari mobil berjenis Range Rover, mereka berjalan berlarian mendekati Rizal Wijaya. "Tuan Wijaya. Maafkan saya ... Saya harus di hukum ... Maafkan saya lengah tidak menjaga Anda, Tuan." ucap salah satu pria dengan napas terengah-engah. "Tidak apa-apa. Ini bukan kesalahan kalian. Aku memang ingin pergi sendiri. Aku merasa sudah cukup kuat kalau sekedar jalan-jalan malam." Brukk!!! Dewa yang berada di belakang Rizal Wijaya sontak terkejut, dan secara refleks menjadikan tubuhnya sebagai tameng agar pria yang baru saja dia selamatkan itu tidak sampai terjatuh ke tanah. "Tuan. Anda tidak apa-apa?" pertanyaan panik Dewa, tidak kalah kaget seperti para pengawal Rizal Wijaya. "Tuan!" Panggilan dari pria yang di ketahui adalah sang kepala pengawal Rizal Wijaya. "Bawa Tuan Wijaya ke mobil!" perintahnya pada anak buahnya, seraya mengambil alih peran Dewa sebagai penopang untuk memapah Rizal Wijaya kembali masuk ke
"Kenapa kamu lakuin hal seperti itu lagi? Aku bisa atasi sendiri, yang di perlukan cuma negosiasi soal waktu. Uang itu akan aku bayar padamu segera, dan awas ya. Jangan di tolak!" Kirana semakin menyadari, Dewa telah tumbuh menjadi pria dewasa dan semakin terlihat sikap gentlemannya. "Iya iya, maaf. Belum juga siang, aku sudah lakuin 2 kesalahan di matamu, dan sekarang kamu jadi ngambek. Tapi aku lakuin itu semua bukan cuma karena aku peduli sama kalian, tapi aku nggak akan lupa sama kebaikan kalian dulu padaku." "Kami lakuin itu karena kamu juga baik pada kami." "Tidak juga, Dewa. Kalian itu apa-apanya tulus dari hati, dan tidak semua orang bisa seperti itu, terlebih sama aku. Tahu sendiri, dari dulu aku orangnya tipe pemberontak." "Tapi kayaknya sekarang lebih kalem? Dulukan agak tomboy," ucap Dewa, menelusuri sekilas penampilan Kirana yang jauh berbeda. "Tapi masih cantik, kan?" Dewa tersenyum malu dan spontan jadi kikuk. Kirana seperti telah membaca pikirannya. "Tap
"Tidak untuk saat ini." Napas tertahan Sektetaris Li jadi endapan yang menyesak di dadanya. "Kenapa, Tuan? Bukankah ini akan menyulitkan Anda bila ingin lebih dekat dengan putra Anda?" "Awalnya aku juga berpikir seperti itu, tapi aku tidak mau ambil resiko besar lagi buat keselamatan jiwanya. Daniel semakin berharga bagiku sekarang." Sekretaris Li berikan anggukan hormat menyetujui. "Anda benar, Tuan. Setelah ini saya akan teruskan perintah Anda soal keberadaan makam Sari di mana tepatnya pada detektif Poltak." "Iya, dan juga dimana keberadaan surat Ayah yang di berikan padanya. Aku masih punya keyakinan kalau Sari sudah memberikannya pada seseorang tapi kita belum tahu itu siapa." "Benar. Tuan Anthony bukan hanya berikan surat biasa, tapi katanya ada beberapa dokumen yang terbawa Sari pada waktu kejadian itu. Sayang sekali Tuan Anthony sudah terkena stroke dan tidak bisa ceritakan pada kita." "Dewa ... Apa itu termasuk nama yang di inginkan Ayah sebagai pengganti identita