Tak lama kemudian, beberapa pria tegap dan berpakaian serba hitam keluar dari mobil berjenis Range Rover, mereka berjalan berlarian mendekati Rizal Wijaya.
"Tuan Wijaya. Maafkan saya ... Saya harus di hukum ... Maafkan saya lengah tidak menjaga Anda, Tuan." ucap salah satu pria dengan napas terengah-engah. "Tidak apa-apa. Ini bukan kesalahan kalian. Aku memang ingin pergi sendiri. Aku merasa sudah cukup kuat kalau sekedar jalan-jalan malam." Brukk!!! Dewa yang berada di belakang Rizal Wijaya sontak terkejut, dan secara refleks menjadikan tubuhnya sebagai tameng agar pria yang baru saja dia selamatkan itu tidak sampai terjatuh ke tanah. "Tuan. Anda tidak apa-apa?" pertanyaan panik Dewa, tidak kalah kaget seperti para pengawal Rizal Wijaya. "Tuan!" Panggilan dari pria yang di ketahui adalah sang kepala pengawal Rizal Wijaya. "Bawa Tuan Wijaya ke mobil!" perintahnya pada anak buahnya, seraya mengambil alih peran Dewa sebagai penopang untuk memapah Rizal Wijaya kembali masuk ke dalam mobil pribadinya dan pergi. Sedetik dua detik Dewa mematung menatap iring-iringan mobil berwarna serba hitam itu sampai hilang dari pandangannya. "Bapak itu kenapa ya? Kenapa tiba-tiba dia jatuh?" gumam Angga. "Padahal tadi dia nggak terluka atau kena tendangan. Kan lu yang handle semua sampai anak geng motor itu kocar-kacir." "Bapak itu sepertinya ... Entahlah ... " Ada sesuatu yang mengganjal batin Dewa, tapi entah itu apa, Dewa sendiri juga tak biaa ungkapkan dengan pasti. "Kamu kenapa berkaca-kaca begitu, Bro? Lu nangisin Bapak itu atau Deasy, istri tercinta lu itu?" Angga terheran dengan raut yang di tunjukkan Dewa saat ini. "Aww!!" jerit tertahan Angga setelah merasakan jitakan di keningnya. "Tentu saja Bapak itu!" sahut Dewa setengah emosi, seperti tak rela bila Rizal Wijaya di bahas bersandingan dengan Deasy, istrinya. "Nggak tahu kenapa, gue mendadak jadi merasa kasihan banget sama dia." "Halah sudahlah. Nggak usah di pikirin. Dia orang kaya, Bro. Banyak yang sudah peduli sama dia. Kali saja nggak biasa nyetir, jadi kakinya kaku-kaku." Angga kemudian mengajak Dewa menemui Malik, teman informan mereka di tempat yang di sepakati. Selama obrolan, Dewa banyak melamun memikirkan hari ini. Kejadian menyakitkan atas pengkhianatan Deasy, kedatangan Kirana secara tiba-tiba, dan pertemuannya dengan Rizal Wijaya. Ingin Dewa kesampingkan dan fokus pada rencana perceraiannya dengan Deasy, tapi masih sulit untuk tidak di pikirkan sampai hampir membuatnya terjaga sepanjang malam. *** Keesokan paginya. "Dewa .... Dewa." Panggilan ini tidak serta-merta membangunkan Dewa, namun semakin buatnya tenggelam dalam mimpi buruk, sehingg keringat dingin membasahi tangan dan juga keningnya. "Dewa ... Dewa. Ini aku ... Kirana." Mata Dewa terpejam semakin rapat, ada kerutan di ujung matanya sampai setitik air mata itu hampir menetes, tapi kemudian Dewa terbangun gelagapan menyebut sebuah nama. "Kirana!" Sang pemilik nama tersenyum, tapi tatapannya sayu. "Dewa. Ternyata kamu masih saja mimpi buruk. Apa isinya tetap sama seperti yang sering kamu ceritakan dulu? Terus kenapa barusan kamu panggil namaku kayak kaget begitu?" "Ki Ki Kirana?" Dewa setengah tak percaya dengan kehadiran gadis yang juga masuk dalam mimpinya. "Ngapain kamu masuk ke kamarku?" Melihat Dewa seperti tersinggung, Kirana segera bangkit dan menjauhi tempat tidur Dewa. "Eh, sorry. Tadi Bapak suruh aku masuk aja, sekalian bangunin kamu kayak biasanya dulu, jadi aku ..." Dewa tak menggubris, tapi berjalan cepat keluar dari kamar menuju ke kamar mandi. Selang beberapa menit, Dewa menuju ke teras belakang, di mana sebuah halaman kecil berisi kebun mini milik Surti dan beberapa sangkar burung peliharaan Tejo berada. "Dewa. Aku minta maaf. Aku lupa kalau kita sudah dewasa. Seharusnya aku nggak boleh seenaknya masuk ke kamarmu kayak sewaktu kita remaja dulu, apalagi ... apalagi sekarang kamu sudah ... menikah." Pernyataan Kirana yang menarik perhatian Dewa. "Darimana kamu tahu aku sudah menikah?" Kirana menunduk sebelum menyahut. Sikap Dewa sebelumnya dan nada pertanyaan tegas yang dia ajukannya, membuat Kirana jadi kikuk. "Sewaktu Mama minta aku segera pulang, aku memang sudah niat pengen ketemu kamu, apalagi setelah nggak sengaja aku baca soal kamu di portal berita Indonesia, aku jadi semakin ingin tahu soal dirimu." "Lalu? Apa yang sudah kamu tahu?" "Belum banyak. Asal kamu tahu, sebenarnya aku juga melihat kamu di bandara, tapi karena aku belum yakin itu kamu atau bukan, jadi aku minta sopirku buntuti kemana kamu pergi, sampai di rumahmu ini semalam. Baru itulah aku yakin, dan ternyata kamu banyak banyak berubah." "Jadi kamu bohong waktu bilang nggak sengaja lewat rumahku?" Kirana berikan jawaban hanya berupa anggukan malu-malu. "Apa kamu sudah tahu soal pernikahanku?" "Karena itulah tadi aku senagaja datang ke sini pagi-pagi. Aku ingin berkenalan sama istrimu, tapi ternyata kamu ... ada masalah sama pernikahanmu." Dewa menatap Kirana tertegun. Meskipun penampilan Kirana ada perubahan, tapi hati Kirana masih sama seperti yang dulu. Saat Kirana mengangkat wajahnya, Dewa segera palingkan muka ke arah lain. "Kamu belum jawab pertanyaanku tadi." "Yang mana?" Nada bicara Dewa mulai menurun. "Apa kamu masih saja suka mimpi buruk kejadian masa kecilmu itu?" "Iya." "Apalagi saat kamu sedang dalam masalah tapi nggak mau libatkan atau menyusahkan kedua orang tuamu?" "Aku baik-baik saja." Dewa spontan berdiri dan ingin alihkan pembicaraan, tapi Kirana menuntut soal yang sama. "Kenapa kamu nggak cari tahu? Kamu yakin kejadian itu nyata, kan? Dewa. Aku mengenalmu lebih dari siapapun." "Aku sudah tanya Bapak, tapi beliau tidak tahu soal masa laluku. Bapak sama Ibu tahunya aku di bawa adiknya Ibu ke sini dan akhirnya mereka merawat aku sampai sekarang." "Tapi kejadian itu seperti trauma buat alam bawah sadarmu." "Mungkin kedua orang tua kandungku adalah orang-orang yang dulu ku lihat sudah mati itu, jadi bagiku sejarah asal-usulku cukup jadi kenangan saja." Baru saja Kirana ingin memberikan pemikirannya, suara teriakan histeris dari Surti mengagetkannya. "Ibu," ucapnya lantas mengikuti Dewa ke ruang tamu. "Ada apa ini? Siapa kalian?" Dewa tertuju pada pria yang menggenggam kerah kaos Tejo. "Lepaskan Bapakku!" pinta Dewa lantang, seraya menjauhkan tangan pria itu dari tejo. "Kami orang suruhan Pak Budi buat nagih utang bapakmu." "Saya janji bayar bulan depan, Pak, soalnya uang jualan belum ngumpul banyak," hibah Tejo. "Halahh!" Saat ketua preman itu berniat maju dan mengintimidasi Tejo, Dewa refleks pasang badan, sehingga satu tamparan keras itu justru mengenainya, sehingga Surti dan Kirana berteriak dan berlari menghampiri, sedangkan para preman tertawa-tawa puas melihat keadaan ini. "Bapak utang buat apa? Kan bisa bilang aku kalau lagi butuh uang." Dewa jadi trenyuh melihat kedua orang tua angkatnya ini menangis saat memeluknya. "Buat pernikahanmu kemarin. Bapak tahu kamu sudah menyukai Deasy. Bapak cuma berharap kamu bahagia." "Memangnya utang Bapak berapa?" "20 juta, jangka waktunya 6 bulan. Baru terkumpul 5 juta." Dewa menghela napas panjang dan dalam, baru kemudian berdiri. "Tolong bilang Pak Budi, beri saya waktu sebulan lagi. Saya yang akan tanggung utang Bapak saya." "Oh, tidak bisa!" Ketua preman itu mendekati Dewa, lalu mencengkeram kaosnya. Dewa sengaja tidak melawan untuk ajukan negosiasi. "Kami nggak suka menunggu, apalagi Pak Bos besar bilang, kami harus balik dengan bawa hasil." "Bagaimana kalau kami bayar 10 juta dulu, sisanya ..." Bukk!!! Dewa jatuh tersungkur lagi terkena pukulan, kali ini pada bagian perutnya. Ketiga orang yang bersamanya kembali meratap dan membantunya untuk bangun lagi di sertai makian tertuju pada sang kepala preman. "Mau nambah lagi? Sini. Tak apa kami di sini sampai malam, sampai dapat uangnya. Semakin lama, maka kamu akan kami jadikan bahan pengganti sasak, bagaimana?" Seringai mengintimidasi dari kepala preman. "Baiklah baiklah. Akan aku usahakan, tapi beri waktu sampai besok. Kalau sekarang tidak ada. Ini terlalu menda ..." Kepala preman itu mendekat, dan berniat memberikan pukulan pada wajah Dewa lagi, tapi tersela karena Kirana beringsut berdiri di hadapan Dewa untuk berikan pernyataan. "Aku yang bayar. 20 juta tunai. Sekarang juga!""Kenapa kamu lakuin hal seperti itu lagi? Aku bisa atasi sendiri, yang di perlukan cuma negosiasi soal waktu. Uang itu akan aku bayar padamu segera, dan awas ya. Jangan di tolak!" Kirana semakin menyadari, Dewa telah tumbuh menjadi pria dewasa dan semakin terlihat sikap gentlemannya. "Iya iya, maaf. Belum juga siang, aku sudah lakuin 2 kesalahan di matamu, dan sekarang kamu jadi ngambek. Tapi aku lakuin itu semua bukan cuma karena aku peduli sama kalian, tapi aku nggak akan lupa sama kebaikan kalian dulu padaku." "Kami lakuin itu karena kamu juga baik pada kami." "Tidak juga, Dewa. Kalian itu apa-apanya tulus dari hati, dan tidak semua orang bisa seperti itu, terlebih sama aku. Tahu sendiri, dari dulu aku orangnya tipe pemberontak." "Tapi kayaknya sekarang lebih kalem? Dulukan agak tomboy," ucap Dewa, menelusuri sekilas penampilan Kirana yang jauh berbeda. "Tapi masih cantik, kan?" Dewa tersenyum malu dan spontan jadi kikuk. Kirana seperti telah membaca pikirannya. "Tap
"Tidak untuk saat ini." Napas tertahan Sektetaris Li jadi endapan yang menyesak di dadanya. "Kenapa, Tuan? Bukankah ini akan menyulitkan Anda bila ingin lebih dekat dengan putra Anda?" "Awalnya aku juga berpikir seperti itu, tapi aku tidak mau ambil resiko besar lagi buat keselamatan jiwanya. Daniel semakin berharga bagiku sekarang." Sekretaris Li berikan anggukan hormat menyetujui. "Anda benar, Tuan. Setelah ini saya akan teruskan perintah Anda soal keberadaan makam Sari di mana tepatnya pada detektif Poltak." "Iya, dan juga dimana keberadaan surat Ayah yang di berikan padanya. Aku masih punya keyakinan kalau Sari sudah memberikannya pada seseorang tapi kita belum tahu itu siapa." "Benar. Tuan Anthony bukan hanya berikan surat biasa, tapi katanya ada beberapa dokumen yang terbawa Sari pada waktu kejadian itu. Sayang sekali Tuan Anthony sudah terkena stroke dan tidak bisa ceritakan pada kita." "Dewa ... Apa itu termasuk nama yang di inginkan Ayah sebagai pengganti identita
"Kamu ngomong apa? Aku nggak ngerti." Dewa letakkan berkas yang sempat dia baca pada bagian depannya saja, kemudian mendekati Deasy. Dewa raih tangan istrinya ini, tapi di tampik secara kasar oleh Deasy. "Apa sih, nggak usah pegang-pegang! Aku jijik!" bentak Deasy, semakin terlihat sifat aslinya. Sekretaris Li tertunduk trenyuh. Tidak ada dalam sejarah keluarga Wijaya, para prianya mendapat perlakuan seperti yang di lakukan Deasy ini, tapi untuk sementara ini Sekretaris Li hanya bisa terdiam. "Kita bicarakan ini nanti di tempat lain. Jangan di sini ya. Aku masih ada tamu." Dewa masih berusaha bersabar. "Malu." Ia berharap akan pengertian Deasy. "Tidak bisa!" bentak Deasy tak mau tahu, sehingga membuat Anjay merasa ikut turun tangan. "Bu Deasy. Saya antar keluar dulu ya." Anjay juga berusaha sopan, meski dalam hati sudah geregetan. "Pak Dewa nggak lama, kok." "Nggak usah!" balasan ketus Deasy. "Biar kliennya Dewa ini juga tahu, siapa orang yang akan dia ajak kerjasama ini."
"Iya, baiklah. Saya akan terima tawaran itu." Senyuman lebar Sekretaris Li mengembang. Dalam batin, seandainya bisa katakan siapa sebenarnya Dewa ini, maka seharusnya tak perlu proses seperti ini. Keputusan soal keamanan Dewa memang harus di ambil demi penerus keluarga Wijaya selanjutnya. "Kalau begitu, segera tanda tangani dokumen kesepakatan ini, Tuan Muda." "Tu tu tuan muda?" "Oh, maaf. Saking senangnya, sampai panggilan itu keluar begitu saja dari mulut saya. Tapi tak apa, kan? Tuan Besar Wijaya sangat menyukai Anda sejak bertemu pertama kali malam itu. Asal Anda tahu, Tuan besar tidak pernah merasa terkesan begitu besar pada seseorang seperti pada Anda, dan sekarang saya jadi tahu apa alasannya. Anda anak muda yang baik hati dan pantas dapat panggilan itu." "Tak apa, sih .... Tapi ...." Dewa jadi malu sendiri, garuk-garuk kepala meski tak gatal. Seumur-umur baru kali ini di perlakukan berbeda dari klien. "Deal!" ucap Sekretaris Li menyela. "Dokumen ini sudah Anda tand
Seperti biasanya, Dewa tak bisa menolak begitu saja permintaan dari Kirana. Kalau dulu menganggap kehadiran Kirana seperti saudara perempuan yang tidak pernah dia miliki, meski ada perasaan cinta terpendam, namun kini Dewa merasa sosok Kirana jadi seperti sesuatu berharga yang tak ingin hilang lagi dari hidupnya. "Jadi seperti itu. Cowok itu ngebet banget pengen ketemu berdua aja dulu, karena dia tahu aku nggak setuju sama perjodohan ini." Akhir cerita Kirana selama perjalanan. Walaupun harus terpecah dua konsentrasi dengan fokus menyetir motornya, tapi Dewa sudah paham kemana arah cerita Kirana. "Jadi kamu masih kekeh cari pacar settingan?" tanya Dewa, menoleh sedikit ke belakang. "Iya. Temen kamu ada kan? Atau pegawaimu tadi, atau siapa kek, cuman buat sekali dua kali momen aja, asal cowok itu tahu aku sudah punya pacar. Soalnya dia kayak nggak percaya, gitu." "Kita sampai," ucap Dewa sekaligus menghentikan laju motornya di depan sebuah gedung kantor. Dewa turun lantas memba
Setelah pembicaraan tanpa titik temu, karena Dewa masih kukuh tak bisa katakan pembicaraannya dengan Harry Tanu, Dewa memaksakan diri berpamitan, meski mendapatkan cacian dan makian berupa kata-kata merendahkan lagi. "Dewa. Kenapa kamu meski diam aja, sih waktu di kata-katain begitu?!" Justru Kirana yang berikan sikap tidak terima. "Seandainya tidak ada Aldi, aku sudah maki-maki balik tuh bapak sama anak. Mulutnya minta di karetin dua deh kayaknya, ngomongnya pedes banget!" Kirana hentikan langkah cepat Dewa sewaktu menuju ke lift. "Karena mereka memang benar." "Apanya?!" Nada bicara Kirana masih meninggi. "Aku nggak bisa bicara jujur karena janjiku sama Pak Harry Tanu, dan soal pengacara ingusan ... Itu memang aku yang masih terlalu idealis." "Terus maksudmu ajak aku masuk ke sana dan bilang statusku adalah pacarmu itu apa?" "Soal itu ... aku mengatakannya dengan ju ..." "Kirana!" panggilan dari pria muda yang merupakan adik Alex telah menghentikan ucapan Dewa dan membu
Dewa mengikuti saran Angga untuk menggunakan masker yang menutupi wajah dan juga topi berwarna serba hitam, begitu juga pakaian sampai jaket kulitnya. Setelah turun dari motor, keduanya sudah di suguhi keramaian dari upaya 7 orang pria sedang berusaha melumpuhkan seorang pria yang coba melawan. "Lu duluan, Bro." Angga berjalan lebih pelan di belakang pundak Dewa. "Kalau urusan percintaan emang gue jagonya, tapi yang berhubungan sama body gini, lu masternya dah," ucapnya was-was menatap ngeri satu-persatu pria yang sedang mengahajar Malik. "Hentikan!" bentak Dewa keras. "Dia temanku!" Bukannya menunggu reaksi para penyerang Malik yang sedang duduk meringis memegangi perutnya, tapi Dewa justru langsung maju dan menghajar satu-persatu 7 pria itu dengan tendangan dan tinjuan secara cepat. Selama aksi Dewa ini, Angga berlari menarik tangan Malik untuk membantunya menjauh. "Serahin ke Dewa aja," ucapnya saat Malik ingin membantu melawan. Dan benar saja, dalam waktu kurang dari 5 m
Setelah sampai di rumah, tak lantas membuat Dewa segera pejamkan kedua matanya. Dari semua masalah yang memenuhi pikirannya, hanya satu yang paling susah dia kesampingkan. Apalagi kalau bukan soal hati. Dewa duduk bersandar di kasur sambil menimang-nimang ponselnya. "Telpon nggak ya?" gumamnya bingung. Benar kata Angga. Kalau soal wanita Dewa suka mati langkah, terlebih yang di hadapinya selalu saja gadis-.gadis dari keluarga kaya. Dewa beranikan diri memulai pesan untuk Kirana, menanyakan apa gadis cantik bercat rambut cokelat hangat itu sudah tidur ataukah belum. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, jadi Dewa juga tak berharap banyak pada usahanya ini bila mengingat tadi Kirana sudah lakukan protes padanya lalu uring-uringan. Dewa hela napas dalam ketika hampir 10 menit berlalu tapi belum ada balasan dari Kirana. Dewa memutuskan mengetik pesan untuk meminta maaf, tapi tanpa banyak kalimat lain, berharap Kirana masih seperti dulu ketika mereka sedang perang dingin. "Kayakn
Setelah Anjasmara datang kembali ke kantor, ia masuk saja ke dalam ruangan Dewa setelah mendapati atasannya itu sedang merapikan penampilan. "Anda mau kemana, Pak?" tanya Anjasmara, penasaran dengan wajah dingin Dewa. Meskipun baru bekerja dengan Dewa, tapi Anjasmara sudah hafal akan sifat dan karakter kepribadian Dewa. "Janji ketemuan sama Pak Pramono baru nanti malam, kan?" "Sekretarisnya baru saja chat aku. Katanya, apa aku bisa datang sekarang juga." "Sekarang? Apa sepenting itu, Pak?" "Sepertinya gertakanku kemarin ada hasilnya, Jay." Dewa berikan seringai sembari memasukkan kancing kemeja bagian tangannya sebagai sentuhan akhir. "Kalau begitu saya temani, Pak." Anjasmara menyahut tas dokumen milik Dewa. "Takutnya nanti terjadi hal-hal yang di inginkan." "Apa maksudmu?" tanya Dewa dengan alis naik satu. "Kali aja Bapak mau di kasih uang, biar saya bantu bawain." Tawa Dewa menggema di ruangan. "Kamu kira aku akan semudah itu terima uang dari dia? Kalau menurutku s
"Nggak ... Aku tadi mengira Kakak orang yang aku kenal." "Itu berarti kamu melihatku sebelumnya. Emang seberapa persisnya aku sama orang yang kau kira itu?" "Cuma dari belakang miripnya, tapi waktu lihat ke depannya nggak sama ... Nggak mirip ... Maksudku." Mandapati jawaban gelagapan Lalita ini, membuat Dewa tak ingin lagi mengorek lebih jauh. "Oke kalau begitu. Tugasmu sudah selesai. Nggak ada yang perlu di beri catatan." "Kakak belum juga melihat berkeliling tapi sudah bilang semua oke?" "Kenapa kamu memanggilku kakak? Sorry, bagiku agak janggal." "Jadi nggak boleh panggil Kakak?" Kekecewaan terpancar jelas pada wajah Lalita. "Bukan begitu. Hanya saja dari awal kamu sudah memanggilku dengan Kakak. Tidak biasa di telingaku buat orang yang baru kenal." "Oh, maaf kalau lancang. Baiklah, aku panggil Tuan Muda saja." Sebenarnya Dewa merasa lebih tidak nyaman lagi dengan sebutan ini, tetapi karena yang di hadapi adalah seorang wanita yang baru di kenal, jadi dia tanggap
Walaupun konsentrasinya sempat terpecah, tapi pikiran refleks Dewa masih tanggap ketika membalaa usaha pria penyandera itu dengan luruskan satu kakinya sebagai senjata untuk menjatuhkan lawan. Suara debuman keras terdengar. Dewa tak menolak lengah dengan menghimpit tubuh pria yang sudah dijatuhkannya, lalu memlnarik dua tangannya menjadi satu ke belakang dan memegangnya dengan erat. "Jangan membuat keadaan semakin sulit. Tenangkan dirimu, Pak. Kita bicara baik-baik!" kesal Dewa di luapkan dalam nada bicara lantang. Pria itu menangis seperti anak kecil. Dewa kemudian membantunya berdiri dan di tuntun untuk duduk pada salah satu kursi kantor yang masih di tutupi plastik. Para pria petugas keamanan menghampiri segera mengelilingi pria penyandera itu dengan sikap sigap. "Tolong saya, Pak. Kami sekeluarga bingung. Anak kami nggak bersalah. Dia cuma di jebak," ucapnya dalam sesenggukan. "Biarkan kami bawa ke pos buat interogasi, Pak." Salah satu security memaksa dengan menarik ta
"MERUNDUK!" Anjasmara dan Rani spontan menuruti perintah Dewa. Tembakan memang tidak terdengar lagi, tapi perasaan was-was jadi bentuk kewaspadaan dua pria yang segera ambil posisi masing-masing di samping Rani. "Busyet!" umpat Anjasmara lirih. "Tadi apaan, Pak?" tanyanya pada Dewa yang sempat berposisi di paling depan. "Aku sempat lihat tadi ada wanita di dalam, terus ada pria bawa senjata sejenis pistol revolver, entah tipe glock ata apa, aku kaget terus langsung merunduk tadi," jelas Dewa lalu berjalan merembet masih dalam posisi jongkok. "Bapak mau kemana?" Anjasmara bergeser melewati Rani, lalu mengikuti Dewa. Dewa tempelkan jari ke bibirnya. Karena belum tahu apa yang terjadi, Dewa tidak mau menciptakan suara. "Siapa di situ?!" tanya seorang pria dalam bentakan. Ketegangan di mulai, terlebih terdengar suara isak tangis dari dekat pria tersebut dan menyebabkan Rani ikut terbawa suasana. "Pak. Saya takut," ujarnya. Dewa memberi kode tangan pada Anjasmara agar tetap
Dewa termenung dalam dilema. Kalau seandainya keadaan memaksanya untuk membenci Rizal Wijaya, tapi kenapa itu tidak di terima oleh hati nuraninya? "Apa sebenarnya rencanamu?" gumam Dewa dengan kepalan tangan di atas meja. Hiruk-pikuk di sekelilingnya jadi bahan pertimbangan akan keputusan yang harus dia ambil dalam waktu singkat ini. "Harusnya aku bisa menolak. Dokumen kesepakatan itu masih bisa di anggap tidak sah." Dewa berdiri menghampiri jendela dan memastikan ujaran Anjasmara memang benar adanya. Mobil yang di curigai sebagai pengawas itu masih ada di seberang jalan tak jauh dari kantor rukonya ini berada. "Pak. Bagaimana? Apa kita jadi pindah sekarang?" Dewa menoleh sebentar ke Anjasmara, lalu berbicara dengan tatapan ke arah luar. "Apa ada informasi lain lagi yang kamu dapatkan soal Rizal Wijaya?"tanyanya masih penasaran. "Hanya soal sepak terjangnya di bisnis. Banyak yang bersimpati padanya karena di balik kelemahan pada kondisi kakinya setelah kecelakaan itu, tap
Dewa berbalik, sedikit menjauh dari Kirana untuk menghormati Deasy sebagai sesama wanita. "Bicaralah di sini saja. Tidak masalah kalau Kirana tahu." "Tapi ini soal intern perusahaan keluargaku." "Saat ini apa ada hal penting di perusahaan keluargamu selain masalah modal di pasar saham?" "Tak apa, Dewa. Aku ke kamar mandi dulu." Baru saja akan berpamitan, tapi Kirana merasakan genggaman di tangannya. "Kirana keburu mau ke kamar mandi, jadi katakan saja apa yang ingin kamu bicarakan denganku." Dewa bersikap dingin. Bagaimana dia bisa lupa akan kejadian malam dimana kepulangannya dari New York waktu itu. Wanita yang sudah di harapkan akan dia jaga dan jadi pendamping baik suka maupun duka, ternyata nyata-nyata berselingkuh dan sengaja menjatuhkan harga dirinya. Pipi Kirana bersemu merah jambu. Ia yakin Dewa melakukannya bukan semata karena ingin buat benteng akan sakit hatinya pada pengkhianatan Deasy, tapi juga validasi akan statusnya sebagai kekasih Dewa. "Ehmm ... hanya so
"Tidak mungkin!" Posisi di sebelah Billy Tanu, memudahkan Deasy mengambil daftar para pemegang saham itu dari hadapannya. Bersama dengan Alex, keduanya kemudian saling bertatapan tak percaya apa yang sudah di baca. "Siapa? Bisa cepat sebutkan. Siapa nama stockholder terbesar di sini?" Michael paling antusias sebagai wakil dari pemilik saham lain. "Anybody?" tatapannya bergantian pada Deasy dan Billy Tanu, sampai kemudian Michael dengan terpaksa meminta asistennya untuk mengambil kertas daftar tersebut untuk segera dia baca di hadapan yang lain. "Wijaya corp. yang di wakilkan pada legalnya, Dewa Gundala. Siapa itu Dewa Gundala? Mana dia? Kenapa belum datang? Pengacara macam apa itu?" sungut Michael, sedikit tegang setelah nama konglomerat itu tersebut di dalam daftar. Salah satu orang yang di buat terkejut adalah Kirana. Memang pagi tadi secara mendadak Dewa menjemputnya lebih awal dan bersikeras menemaninya dalam rapat penting ini, tapi ia sama sekali tak menyangka akan apa yang
"Dewa. Maafin ucapan Mamaku, ya." Dewa jeda pemakaian helmnya. Berikan senyuman palsu hanya demi Kirana, meski dalam batin ini seketika sesak. Masa pemulihan trauma akibat tiap ucapan dan perlakuan keluarga Deasy belum juga pulih, tapi kembali dia dapatkan hal sama justru dari ibunya Kirana. "Hei, tak apa. Ini hanya soal waktu. Ibumu sedang tidak bisa berdamai dengan kenyataan, dan aku akan mengatasi perasaan dan diriku sendiri." Dewa segera pasang helmnya dan berpamitan. "Sampai jumpa besok. Kaca kantorku baru mau di ganti, jadi aku bisa jemput kamu lebih pagi. Oke."Dewa tarik gas, sengaja tinggalkan Kirana sebelum berniat ajukan protes soal jemputan esok pagi. Salah satu kebiasaan Kirana adalah kemanapun pergi sendirian, tapi kali ini Dewa tak akan membiarkan hal itu sering di lakukan pujaan hatinya itu. Sampai keesokan paginya, Dewa bersiap untuk aktifitas hari ini. Penampilan rambut jadi yang terakhir saat panggilan dari ibunya terdengar untuk segera menuju ke beranda depan.
"Ceritanya jangan pake nangis, nanti omongannya jadi nggak jelas." Dewa jauhkan sapuan bibirnya, mengarahkan kedua tangannya menangkup kedua pipi untuk sesaat berucap. "Terima kasih, Kirana. Kamu simpan perasaan itu sampai datang tepat di waktu aku merasa jatuh." Getaran tangan itu dia gunakan sebagai kekuatan untuk menyatukan bibir mereka lagi hingga beberapa saat. "Kita pulang," ajaknya kemudian, setelah sebuah sorot lampu dari mobil melintas ke arah berlawanan. "Ban mobilku bagaimana?" Kirana masih enggan lepaskan diri dari pelukan Dewa, dan justru bergelayut manja. "Aku panggilkan dari montir servis kendaraan 24 jam, sekaligus minta membawa mobil penarik buat pindahin mobil ke rumahmu. Kamu naik motor sama aku." Setelah Kirana menyetujui, keduanya bersama menaiki motor di belakang mobil pesanan serta montir. Kirana tak pernah lepaskan pelukan dari belakang, sebagai penghangat dari angin malam yang menusuk kalbu. "Aku cinta pertama dan terakhirmu, kan Dewa?" jejak cemburu da