Seperti biasanya, Dewa tak bisa menolak begitu saja permintaan dari Kirana. Kalau dulu menganggap kehadiran Kirana seperti saudara perempuan yang tidak pernah dia miliki, meski ada perasaan cinta terpendam, namun kini Dewa merasa sosok Kirana jadi seperti sesuatu berharga yang tak ingin hilang lagi dari hidupnya. "Jadi seperti itu. Cowok itu ngebet banget pengen ketemu berdua aja dulu, karena dia tahu aku nggak setuju sama perjodohan ini." Akhir cerita Kirana selama perjalanan. Walaupun harus terpecah dua konsentrasi dengan fokus menyetir motornya, tapi Dewa sudah paham kemana arah cerita Kirana. "Jadi kamu masih kekeh cari pacar settingan?" tanya Dewa, menoleh sedikit ke belakang. "Iya. Temen kamu ada kan? Atau pegawaimu tadi, atau siapa kek, cuman buat sekali dua kali momen aja, asal cowok itu tahu aku sudah punya pacar. Soalnya dia kayak nggak percaya, gitu." "Kita sampai," ucap Dewa sekaligus menghentikan laju motornya di depan sebuah gedung kantor. Dewa turun lantas memba
Setelah pembicaraan tanpa titik temu, karena Dewa masih kukuh tak bisa katakan pembicaraannya dengan Harry Tanu, Dewa memaksakan diri berpamitan, meski mendapatkan cacian dan makian berupa kata-kata merendahkan lagi. "Dewa. Kenapa kamu meski diam aja, sih waktu di kata-katain begitu?!" Justru Kirana yang berikan sikap tidak terima. "Seandainya tidak ada Aldi, aku sudah maki-maki balik tuh bapak sama anak. Mulutnya minta di karetin dua deh kayaknya, ngomongnya pedes banget!" Kirana hentikan langkah cepat Dewa sewaktu menuju ke lift. "Karena mereka memang benar." "Apanya?!" Nada bicara Kirana masih meninggi. "Aku nggak bisa bicara jujur karena janjiku sama Pak Harry Tanu, dan soal pengacara ingusan ... Itu memang aku yang masih terlalu idealis." "Terus maksudmu ajak aku masuk ke sana dan bilang statusku adalah pacarmu itu apa?" "Soal itu ... aku mengatakannya dengan ju ..." "Kirana!" panggilan dari pria muda yang merupakan adik Alex telah menghentikan ucapan Dewa dan membu
Dewa mengikuti saran Angga untuk menggunakan masker yang menutupi wajah dan juga topi berwarna serba hitam, begitu juga pakaian sampai jaket kulitnya. Setelah turun dari motor, keduanya sudah di suguhi keramaian dari upaya 7 orang pria sedang berusaha melumpuhkan seorang pria yang coba melawan. "Lu duluan, Bro." Angga berjalan lebih pelan di belakang pundak Dewa. "Kalau urusan percintaan emang gue jagonya, tapi yang berhubungan sama body gini, lu masternya dah," ucapnya was-was menatap ngeri satu-persatu pria yang sedang mengahajar Malik. "Hentikan!" bentak Dewa keras. "Dia temanku!" Bukannya menunggu reaksi para penyerang Malik yang sedang duduk meringis memegangi perutnya, tapi Dewa justru langsung maju dan menghajar satu-persatu 7 pria itu dengan tendangan dan tinjuan secara cepat. Selama aksi Dewa ini, Angga berlari menarik tangan Malik untuk membantunya menjauh. "Serahin ke Dewa aja," ucapnya saat Malik ingin membantu melawan. Dan benar saja, dalam waktu kurang dari 5 m
Setelah sampai di rumah, tak lantas membuat Dewa segera pejamkan kedua matanya. Dari semua masalah yang memenuhi pikirannya, hanya satu yang paling susah dia kesampingkan. Apalagi kalau bukan soal hati. Dewa duduk bersandar di kasur sambil menimang-nimang ponselnya. "Telpon nggak ya?" gumamnya bingung. Benar kata Angga. Kalau soal wanita Dewa suka mati langkah, terlebih yang di hadapinya selalu saja gadis-.gadis dari keluarga kaya. Dewa beranikan diri memulai pesan untuk Kirana, menanyakan apa gadis cantik bercat rambut cokelat hangat itu sudah tidur ataukah belum. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, jadi Dewa juga tak berharap banyak pada usahanya ini bila mengingat tadi Kirana sudah lakukan protes padanya lalu uring-uringan. Dewa hela napas dalam ketika hampir 10 menit berlalu tapi belum ada balasan dari Kirana. Dewa memutuskan mengetik pesan untuk meminta maaf, tapi tanpa banyak kalimat lain, berharap Kirana masih seperti dulu ketika mereka sedang perang dingin. "Kayakn
"Kamu masih mengharap istrimu, ya?" Dewa keluar dari lamunan sesaatnya, dan tersentak dengan pertanyaan Kirana ini. "Kamu ngomong apa? Ini bukan soal perasaan." Dewa tunjukkan sikap sama dengan Kirana. Dulu, hal semacam ini akan jadi sebuah candaan bahkan sampai bahan olok-olokan untuk satu sama lain, tapi tidak ketika ego keduanya juga telah menjelma jadi manusia dewasa. "Habis kamu kayaknya langsung kepikiran pas aku bahas soal keluarga istrimu." Dewa sedikit menunduk, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Kirana yang merespon mundurkan ke belakang. "Cemburu, ya?" ucap Dewa pelan dan dalam. Sesuatu dimana dulu tak sekalipun berani dia lontarkan bila dalam keadaan yang sama. "Apa, sih?! Sukanya asal, deh!" Dewa tersenyum. Ada rasa puas bila mampu buat Kirana salah tingkah. Ia raih tangan Kirana, menggenggam dalam tatapan sayu dan dalam. "Kirana ... Aku ..." Deheman terdengar lagi, kali ini lebih keras. Aldi berdiri lalu mendekat, segerakan Kirana melepaskan diri dari genggam
"Dewa ... Anakku." Dewa spontan mencium lagi punggung tangan Aryo Bimo. Ucapan terbata dari dua kalimatnya jadi bukti bahwa restu itu telah dia dapatkan. "Terima kasih, Pak. Anda sudah tepati janji Anda." *** Di tempat lain, pada ruang kerja berdesain mewah dan luas. "Tuan. Kenapa Anda belum juga tidur?" pertanyaan Sekretaris Li pada Rizal Wijaya di depan laptop dan masih mengikuti pergerakan angka-angka yang tiap beberapa detik terus bergerak. "Grafiknya masih turun, Li." Jawaban dari Rizal yang tidak nyambung dengan pertanyaannya, membuat Sekretaris Li justru khawatir. "Apa Anda ingin segera bertemu anak itu, Tuan?" "Apa kamu ingin tidur, Li? Seharusnya kamu pulang saja, nggak perlu menginap di sini lagi." Sekretaris Li menghela napas, lalu di hembuskan perlahan. "Jangan menyiksa diri Anda, Tuan. Anda tidak bersalah." "Aku bersalah, Li! Semua itu terjadi karena kebodohanku!" Sekretaris Li menatap trenyuh dari balik punggung Rizal Wijaya yang duduk di atas kursi
Pagi harinya. Air gemericik membasuh wajah sumringah Dewa. Ketika cinta mengisi jiwa, serasa dunia sudah dalam genggaman. Dewa segera pulang ke rumah, tapi berlanjut bersiap ke kantor, sekaligus tatap tantangan apa hari ini. "Pak. Daftar pertanyaan yang Anda usulkan di sidang nanti sudah saya rekap, sekaligus semua dokumen terkait." Anjasmara memberikan berkas yang dia maksudkan pada Dewa. Dewa lirik jam tangannya terlebih dulu. "Masih ada 10 menit, setelah itu kita jalan. Beri aku waktu baca dulu," putusnya dan di tanggapi Anjasmara untuk ke membuatkan minuman. Kantor yang mengenaskan. Sebagian besar perabotannya sudah di angkut oleh pihak Deasy, sehingga hanya tersisa bagian pantry yang berada di di lantai 3 ruko sekaligus di gunakan sebagai tempat beracara. Pegawainyapun hanya 3 orang, terdiri dari Anjasmara sebagai asisten Dewa, seorang office girl dan seorang security. Sebuah ketukan di pintu mengagetkan keduanya. Anjasmara segera membuka, dan semakin di lebarkan ketika
Dewa segera menyalakan mesin mobil setelah mengucap terima kasih pada dua petugas keamanan yang secara sukarela mengantar mereka sampai mobil, baru kemudian berikan jawaban pada Rani. "Resiko pekerjaan." "Anda tidak takut, Pak?" "Kalau kamu sudah mencintai pekerjaan, maka tidak akan mengenal apa itu kata takut, Rani." Rani menatap takjub akan jawaban dan setiap sepak terjang Dewa setelah hanya dalam waktu belum sehari saja sudah di suguhkan bagaimana Dewa menjalani rutinitasnya. "Wedus! Asu!" umpatan isi kebun belakang pak dhe dari Anjasmara tiba-tiba keluar, seraya melanjutkan mengusap wajahnya dengan tissu. "Dibayar berapa sih mereka? Seneng banget jahatin orang? Keliatan banget nggak pernah nonton film siksa neraka!" Anjasmara terus saja ngedumel. Ia seperti tak mau kalah jadi pusat perhatian juga di depan Rani. Berbeda dengan Anjasmara, Dewa memilih diam, sibuk membersihkan diri dengan melepas kancing kemeja, setelah menoleh ke kursi penumpang dan memastikan sekretaris b