Bagai tersambar oleh petir surgawi, Ki Arya Saloka terpaku di tempatnya berdiri. Segudang kalimat yang ingin ia katakan tiba-tiba lenyap saat itu juga.
"Eyang ... aku ingat betul sebelum aku terlelap kondisiku baik-baik saja. Tapi kenapa sekarang seperti ini?" Surya Yudha terlihat kecewa dengan kondisinya yang menyedihkan. Begitu pemuda itu bangun, tenaga dalam miliknya tak bisa ia keluarkan. Padahal ia yakin jika tenaga dalamnya masih tersisa bahkan dalam kondisi penuh.
Sejenak, Ki Arya Saloka menghela napas panjang. Pria tua itu menatap Raja Wirya Semitha dan Panglima Besar Indra Yudha bergantian. Panglima Besar Indra Yudha mengangguk lalu keluar bersama dengan Dewi Mayangsari dan Raja Wirya Semitha.
Perlahan Ki Arya Saloka mendekati Surya Yudha dan duduk di sampingnya. Ki Arya Saloka terlihat ingin menyampaikan sesuatu, tetapi seperti tak bisa mengungkapnya.
Surya Yudha akhirnya mengalah dan memulai pembicaraan. "Katakan saja, Eyang. Maaf jika aku menyakiti hati Eyang. Aku ... aku hanya terkejut."
Ki Arya Saloka mengangguk. Jika apa yang dialami oleh Surya Yudha menimpa dirinya, kemungkinan besar dia akan bersikap lebih parah.
"Kamu pernah mendengar matahari yang tertutup bulan?"
Surya Yudha mengangguk. "Maksud Eyang gerhana matahari?"
"Benar. Dan hal itu adalah yang kamu alami saat ini," ucap Ki Arya Saloka hati-hati. "Kamu adalah matahari, dan tenaga dalam yang kamu miliki adalah sinar. Saat ini kencana wungu berperan sebagai bulan. Seberapa lama Gerhana ini akan berlangsung hanya kamu yang bisa menentukan."
Surya Yudha kembali mengangguk. Firasat tentang tenaga dalamnya terbukti benar. Pemuda itu menatap Ki Arya Saloka dengan sendu, tetapi ada setitik cahaya terlihat dalam mata Surya Yudha. "Lalu apa yang harus aku lakukan?"
"Ikut dengan Eyang. Eyang akan mengantarmu ke kerajaan Jalu Pangguruh."
"Ada apa di tempat itu, Eyang?" tanya Surya Yudha penasaran.
"Kamu pernah mendengar Padepokan Raga Geni?"
"Apa yang eyang maksud adalah padepokan yang melatih tenaga dalam hawa panas?" Surya Yudha kembali berpikir, "tapi, aku sudah tidak bisa menggunakan tenaga dalamku. Untuk apa aku ke tempat itu?"
"Surya, tenaga dalammu bisa terbuka lagi asal kamu mengkonsumsi mengkudu emas. Sepengetahuan Eyang, di kerajaan jalu Pangguruh ada tanaman itu. Padepokan Raga Geni hanya sebagai pijakan. Kamu paham?"
"Jika itu yang terbaik, aku akan melakukannya. Tapi ... aku harus menjaga Pangeran Abimanyu." Surya Yudha kembali teringat dengan tugasnya sebagai pengawal pribadi Pangeran Abimanyu.
"Ayahmu sudah mencopotmu dari militer. Dia kecewa karena sifat keras kepala Abimanyu menyeretmu dalam masalah sepelik ini."
Mata Surya Yudha melebar, tak menyangka dengan keputusan Sang Ayah. Sejenak ada rasa sakit di hatinya, tetapi dengan cepat ia singkirkan karena tahu jika Ayahnya orang yang berpikir ke depan.
"Apa Pangeran Abimanyu tidak mencegahnya?"
"Siapa yang bisa menentang ayahmu? Dia begitu setia pada kerajaan, jika permintaan kecil seperti ini saja tidak diindahkan, untuk apa pengabdiannya?"
"Eyang benar. Ayah juga pasti kecewa, dan orang yang paling sakit hati dengan ini semua pasti ayah. Eyang ... aku sudah mengecewakan ayah. Apa ayah masih mau menerimaku?"
Pletak!
Sebuah jitakan keras mendarat di dahi Surya Yudha membuat pemuda itu meringis.
"Kamu sadar dengan yang kamu katakan? Jika Ayahmu tahu kamu meragukannya, bisa-bisa dia langsung gantung diri!" pekik Ki Arya Saloka. "Dia sedih, tapi dia juga bahagia karena kamu masih hidup. Kekuatan boleh hilang, tapi tidak dengan nyawa. Paham?"
Lama kelamaan Surya Yudha bisa menerima kondisinya dengan lapang dada. Hal yang harus ia lakukan saat ini adalah sembuh. Dan setelah saat itu tiba, dia akan pergi dalam waktu lama.
Sebulan setelah penyerangan di hutan pejagalan, luka luar Surya Yudha sudah sembuh total. Hari ini saatnya pemuda itu pergi meninggalkan kehidupan lamanya.
"Surya, kamu masih memiliki tempat untuk pulang. Kembalilah ketika kamu ingin kembali. Jika kamu mendapat kesulitan besar, jangan ragu meminta bantuan ayah."
"Terima kasih, Ayah. Aku pasti akan pulang."
Panglima Besar Indra Yudha mengangguk dan memeluk putranya sebagai tanda perpisahan. Entah kapan dirinya bisa bertemu dengan putranya lagi. Dewi Mayangsari juga melepas putranya dengan airmata.
"Ibu, aku pasti akan pulang. Saat pulang nanti aku akan menjadi manusia yang lebih baik lagi."
Akhirnya, hari itu Surya Yudha meninggalkan istana dan menuju utara, tempat tinggal Ki Arya Saloka.
Para prajurit yang melihat kepergian Surya Yudha membungkuk hormat, apalagi para pengawal pribadi Pangeran Abimanyu yang memang teman seperjuangannya. Surya Yudha hanya membalasnya dengan senyuman, tanpa kata-kata.
Saat Ki Arya Saloka dan Surya Yudha sudah di luar gerbang kerajaan, Ki Arya Saloka mulai membuka pembicaraan karena merasa bosan. Jalur ini membelah hutan Nara Artha agar perjalanan bisa ditempuh dengan lebih cepat.
"Perjalanan kita akan membutuhkan waktu sekitar 2 hari. Nanti kita akan menginap di hutan saja," ucap Ki Arya Saloka.
"Tidak masalah, Eyang. Jika aku masih memiliki tenaga dalam pasti akan lebih singkat." Surya Yudha hanya tersenyum kecut saat mengingat dirinya saat ini hanyalah manusia biasa.
"Jangan merendahkan diri sendiri. Kamu hanya tidak memiliki tenaga dalam. Wanita tidak akan memikirkannnya karena kamu memiliki ketampanan dan kekayaan. Di lain itu, kamu juga memiliki kekuatan fisik yang tangguh."
"Sepertinya itu semua tidak cukup, Eyang. Aku tidak pandai mengungkap perasaan. Wanita mana yang mau denganku?"
"Hahaha! Persis seperti ayahmu."
Saat mereka asyik bercengkerama, Surya Yudha menarik tali kekang yang ia pegang hingga bintang-kuda perang miliknya berhenti. Ki Arya Saloka ikut berhenti dan menatap cucunya penasaran.
"Ada apa?" tanya Ki Arya Saloka penasaran.
"Aku mendengar sesuatu, Eyang. Sebentar." Surya Yudha turun dari kudanya dan berjalan ke arah semak-semak.
Ki Arya Saloka yang penasaran ikut turun dan mengikuti Surya Yudha.
"Surya, sebaiknya kita tidak ikut campur."
"Eyang, wanita itu sedang dalam kesusahan, aku harus menolongnya," bisik Surya Yudha.
Tak jauh di depan mereka berdua, terlihat tiga orang pria setengah telanjang sedang mengitari seorang perempuan yang tak berbusana. Wanita itu begitu ketakutan, tetapi tidak ada suara yang keluar karena masing-masing dari tiga orang itu menodongkan clurit.
"Jika begitu, majulah!" ucap Ki Arya Saloka dengan suara tertahan.
Surya Yudha mengangguk, lalu keluar dari tempat persembunyiannya.
"Hentikan!" teriak Surya Yudha saat melihat salah satu dari tiga pria di depannya mulai mendekati tubuh si wanita. Orang yang awalnya sudah dalam posisi jongkok kini berdiri dan mengacungkan clurit pada Surya Yudha.
"Bocah! Mau apa kau?"
Surya Yudha mendengkus. Pemuda itu menarik pedang dan menyerang pria di depannya.
"Orang seperti kalian tidak pantas hidup!" teriak Surya Yudha.
Denting dari pedang dan clurit yang saling berbenturan memekakkan telinga. Dua orang yang awalnya hanya melihat kini maju menyerang Surya Yudha.
Trang!
Tiga orang yang memegang clurit merasa kebas saat beradu senjata dengan Surya Yudha, menandakan jika kekuatan Surya Yudha berada di atas mereka. Berbeda dengan Surya Yudha yang dengan mudah menepis setiap serangan dan memberikan serangan balik.
Kres!
"Argh!" Raungan kesakitan terdengar setelah Surya Yudha memotong pergelangan salah satu penyerang. Orang itu menggeliat di tanah seraya memegang pergelangan tangan yang putus.
Surya Yudha menyeringai, menampakkan wajah haus darah yang selama ini jarang terlihat. Surya Yudha merengsek maju berniat menghabisi orang yang sudah terluka, tetapi niatnya dihalangi oleh dua lawan lainnya yang kembali maju.
Seorang penyerang mengarahkan serangan ke kepala Surya Yudha, sedangkan satu lagi menebas ke arah perut.
"Hanya ini?"
Surya Yudha menendang tangang penyerang yang ingin merobek perutnya hingga terdengar suara tulang patah. Tangan kanannya juga menangkis clurit yang terarah ke kepala dengan pedang. Orang itu mundur beberapa langkah, tetapi Surya Yudha terus mengejar dan menebas kepala orang itu.
Darah menyembur keluar dari leher tanpa kepala yang sedang menggelinjang di tanah seperti ayam yang baru disembelih. Orang itu tewas seketika.
"Aku Surya Yudha! Tak akan membiarkan kebiadaban berdiri di tanah Maja Pura!" teriak Surya Yudha murka. Dua orang lawan yang masih hidup hanya bisa bersujud memohon ampun.
"Ampun ... ampuni kami!"
Surya Yudha mendengkus dan menatap dua orang di depannya dengan tajam. "Kalian sudah cacat. Jika kalian mengulangi ini, aku bersumpah akan membabad keluarga kalian hingga anak cucu habis tak bersisa! Camkan itu!"
Wanita yang ditolong oleh Surya Yudha terlihat ketakutan. Pakaiannya juga compang-camping serta penampilan yang begitu berantakan. Saat Surya Yudha mendekati wanita tersebut, wanita itu mundur karena ketakutan."Aku tidak akan menyakitimu. Namaku Surya Yudha.""Su-Surya Yudha?" tanya wanita itu tergagap ketakutan.Surya Yudha mengangguk dan mendekati wanita itu lagi. "Aku Surya Yudha. Dulu aku adalah seorang prajurit di kerajaan Nara Artha. Siapa namamu?"Wanita itu masih diam. Surya Yudha hanya menghela napas dan memalingkan wajahnya. "Sekar," jawab gadis itu bernama Sekar.Surya Yudha tersenyum tipis dan kembali berdiri. "Di mana rumahmu? Jika kamu ingin pulang aku akan mengantarnya. Namun, jika masih betah di sini aku harus pergi sekarang."Sekar terlihat ragu untuk memilih pergi bersama Surya Yudha atau tidak. Namun, berdiam diri di tempat ini sama saja mencari mati. Maka, wanita itu akhirnya memutuskan mengikuti S
Jalanan dusun Tegalsari tak terlalu ramai, tapi tidak juga bisa dikatakan sepi. Seorang gadis muda yang berjalan dengan pakaian compang-camping tentu saja menarik perhatian orang-orang sehingga bisikan-bisikan mulai timbul karena beberapa orang mulai bergunjing.Sekar, gadis cantik berkulit sawo matang dengan alisnya bagaikan lambaian daun kelapa, giginya bagai biji mentimun berjalan dengan muka yang memerah menahan malu. Untung saja jarak antara gapura dusun hingga rumahnya tak begitu jauh sehingga gadis itu kini sudah sampai di depan rumahnya. Rumah yang cukup besar namun tampak sederhana. Dengan kebingungan bercampur rasa takut, Sekar berjalan memasuki rumahnya. Baru di ambang pintu, seseorang membuka pintu dan memberinya tatapan tajam penuh pertanyaan.Terdengar suara berat mengandung amarah yang membuat tubuh Sekar bergetar seketika. "Masuk."Satu kata yang diucapkan dengan perlahan, nada yang begitu datar tetapi siapa saja bisa mengetahui jika tersirat ama
Di tengah kegelapan malam yang hanya disinari rembulan, Surya Yudha terus melangkah untuk mencari hewan buruan. Matanya terus mengedar, pendengarannya terus ditajamkan, kewaspadaannya tak turun sedikit pun. Selain itu, tangan kanannya selalu memegang gagang pedang dengan tangan kiri mencengkeram erat selongsongnya.Tak jauh dari tempat Surya Yudha berdiri, terdengar suara gemerisik yang berasal dari balik semak-semak. Senyum licik tersimpul di bibir Surya Yudha sebelum pemuda itu melangkah memburu hewan buruannya.Dengan perlahan Surya Yudha menyibak semak-semak di hadapannya.Bruk!Sebuah hewan sebesar anak gajah menerjang Surya Yudha hingga pemuda itu tersungkur. Tanpa memberi kesempatan untuk lawannya bangkit, hewan tersebut kembali menerjang dan menendang tubuh Surya Yudha hingga tersungkur beberapa langkah dari tempat sebelumnya. Surya Yudha menarik pedang dari selongsong dan menghunuskan ke tubuh hewan yang menyerangnya. Seekor babi hutan dewasa yang menyerangnya dengan membab
"Ya Dewa ... kenapa aku harus melihatnya?" Surya Yudha berkata dalam hati ketika dia sedang melihat gadis penolongnya sedang membersihkan diri. Dan yang membuat tubuh Surya Yudha terasa panas adalah, gadis itu tak memakai sehelai kain pun di badannya. Walau setengah badannya berada di bawah air, tetapi penglihatan Surya Yudha yang seperti kucing saat malam hari membuat semuanya begitu jelas. Dan ketika Surya Yudha telah selesai mengenakan pakaiannya, pemuda itu bergegas meninggalkan sungai. Malang tak dapat dihindari, ketika Surya Yudha baru saja naik ke tepian sungai, kakinya menginjak batu dan membuatnya tergelincir, kembali tercebur ke sungai."AAA!!"Terdengar suara nyaring diikuti dengan suara riak air membuat Surya Yudha secara tak sadar memalingkan wajahnya. Gadis yang awalnya sedang berendam di air kini sudah berada di tepian sungai dan mengenakan pakaiannya secara tergesa. Surya Yudha yang masih terpana di tempatnya tak menyadari jika bahaya akan segera tiba."Kau pemuda c
Selama perjalanan berlangsung, tak ada hambatan berarti menghadang mereka. Namun, perjalanan mereka tetap lambat karena Surya Yudha yang meminta istirahat beberapa kali.Surya Yudha duduk di bawah pohon sengon dan memegang dadanya yang terasa sakit. Ki Arya Saloka kembali memeriksa kondisi cucunya. "Maaf, Eyang. Aku menyusahkan Eyang." "Tidak ada masalah serius. Hanya saja kita perlu berhenti beberapa hari untuk pemulihan. Tak jauh dari sini ada kota kecil, jika ada penginapan kita bisa menginap di kota itu," ucap Ki Arya Saloka dengan wajah tenangnya.Surya Yudha mengangguk setuju dan kembali mengenakan pakaiannya sebelum melepas tambatan kuda. Keduanya beriringan dengan menunggang kuda, setelah tiga jam melewati perjalanan, akhirnya mereka sampai di kota Batu ceper.Setelah bertanya kepada beberapa penduduk sekitar, Surya Yudha mengetahui jika di kota ini ada beberapa penginapan. Ki Arya Saloka kemudian mengajak Surya Yudha menuju ke penginapan terdekat dari mereka saat ini.Waj
Di kota batu ceper, beberapa gadis sedang membicarakan seorang pemuda yang datang bersama dengan pria paruh baya. "Pemuda itu sangat tampan, tapi sayang, dia tampak terluka.""Kau benar, sangat malang nasibnya.""Kau lihat, walau wajahnya pucat dan tampak tak sehat, tetapi dia terlihat begitu gagah dengan aura yang mengesankan. Asal dia bukan dari kalangan penjahat, aku mau menikahinya.""Aku akan jadi yang pertama.""Jika kau yang pertama, maka aku akan menjadi yang kedua.""Aku ketiga,"..."Aku yang ke dua belas,"Mendengar yang terakhir, semuanya terdiam sesaat sebelum tertawa terbahak-bahak bersama.Seorang gadis dengan baju berwarna kuning daffodil sedang berjalan bersama dua punggawa, merasa penasaran dengan obrolan para teman-temannya."Hei ... apa yang sedang kalian bicarakan? Kenapa kalian tak mengajaku juga?"Seorang gadis yang melihat kedatangan gadis itu buru-buru bangkit dan mendekatinya."Ningrum, kau sudah kembali?"Gadis yang dipanggil Ningrum mengangguk pelan, ken
Di kediaman Tumenggung Adhyaksa, seorang gadis memasuki ruang pribadi Sang Tumenggung dengan wajah cemberut, langkahnya yang tergesa membuat Sang Tumenggung yang sedang membaca gulungan lontar segera menghentikan kegiatannya."Ada apa denganmu, Ningrum?" Tumenggung Adhyaksa bertanya seraya mendekati putrinya lalu mengajaknya duduk di kursi panjang yang terdapat di ruanganya."Rama, kenapa Rama membuat sayembara tanpa persetujuanku? Apa aku sekarang sudah tidak penting untuk Rama?" Gadis yang tak lain dan tak bukan adalah Ningrum, memonyongkon bibirnya, membuat Tumenggung Adhyaksa tersenyum tipis.Di dunia ini, tak ada yang memahami gadis ini lebih baik dari dirinya, apalagi semenjak kematian ibunya tujuh tahun lalu, membuat Tumenggung Adhyaksa sangat memperhatikan putri bungsunya.Saat ini, dengan senyum tipis yang selalu terulas di wajahnya, Tumenggung Adhyaksa menggoda Ningrum. "Justru karena Rama sangat peduli dengan Ningrum, jadi Rama membuat sayembara ini. Bagaimana menurut Ni
Ki Antasena mengajak Ningrum menemui kawan lamanya di sebuah rumah makan yang letaknya tak jauh dari kediaman Tumenggung Adhyaksa. Begitu sampai di tempat tersebut, Ki Antasena memilih meja yang berada di lantai dua dan terletak di samping jendela."Duduklah," ucap Ki Antasena pada Ningrum, gadis itu mengangguk dan duduk di samoing gurunya.Seorang pelayan mendekati mereka dan menanyakan pesanan, dengan santai Ki Antasena menjawab, "kami masih menunggu. Ambilkan arak dan teh terbaik," Pelayan tersebut mengangguk dan kembali untuk menyiapkan pesanan Ki Antasena."Muridku, kau tahu siapa yang akan kita temui sebentar lagi?" "Tidak, Guru." Ki Antasena tersenyum tipis, "Dia memiliki seorang cucu yang tangguh. Aku ingin mengenalkanmu pada cucunya, mungkin kalian akan cocok karena usia kalian tak berbeda jauh.""Guru menggodaku," sahut Ningrum dengan wajah merah seperti tomat."Mana mungkin? Aku hanya mengatakan beberapa kata dan kau bilang menggodamu? Anak nakal!" Ki Antasena melon
Pendekar Tombak Matahari bab 88[Tunjukkan padanya jika kau memiliki sesuatu yang istimewa!]Suara Bai Ji kembali menggea di pikiran Surya Yudha. Dia mengerutkan kening untuk sesaat, dan kembali seperti semula ketika menyadari jika Rangga Geni mungkin akan mencurigai perubahan ekspresinya.Istimewa apanya? Aku hanya pemuda yang kehilangan tenaga dalam. Selain latar belakang keluargaku, tidak ada lagi yang istimewa.Suara dengusan muncul dalam pikiran Surya Yudha.Apakah kepingan jiwa dari alam lain yang mendiami pikirannya juga bisa mendengus? [surya, aku bisa mendengar semua yang ada dalam pikiranmu dengan jelas. SEMUANYA!]Surya Yudha berdehem. Dia lantas membatin.Lalu bagaimana aku menunjukkan keistimewaan? Aku bahkan tidak tahu apa yang aku miliki sehingga membuatku menjadi istimewa.[Buatlah tungku energi dari sumber energi yang kau miliki.]Sebelumnya Surya Yudha sudah pernah mendengar tentang tungku pembakaran yang dipakai oleh para pande besi. Namun, selama hidupnya, dia tid
Di dalam ruangan luas yang tampak sederhana itu, Surya Yudha duduk bersama Gendon sementara Banyulingga menyiapkan minum untuk para kawannya. Di ruangan itu pula, Sosok pria yang tampak dingin mengamati Surya Yudha dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan tajamnya terasa mengintimidasi. Dia adalah Rangga Geni, guru Banyulingga sekaligus pande besi terbaik di Jalu Pangguruh.Surya Yudha yang ditatap sedemikian juga merasa sedang ditelanjangi oleh pria tua yang memiliki perawakan kekar itu. Namun, sebagai seseorang yang terbiasa dengan tekanan dari berbagai pihak, Surya Yudha bisa terlihat tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang. Pada saat keheningan menenggelamkan mereka semua, tiba-tiba suara Baiji yang beberapa hari ini jarang muncul kembali bergema di kepala Surya Yudha. [Jadikan dia gurumu. Aku merasakan aura istimewa dari dalam tubuhnya. Bisa jadi dia telah menemukan sesuatu dari alamku.]Surya Yudha mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin dia bisa menjadikan seseo
Sore harinya, di penginapan tempat Surya Yudha menginap, pemuda itu berkumpul bersama rekan-rekannya. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja. Wajah mereka terlihat serius. "Candrika dan Paman Mahasura tetap di sini. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon selama beberapa hari." "Apa yang ingin kau lakukan, Surya?" Candrika bertanya dengan penasaran."Aku harus pergi ke suatu tempat. Kalian berdua jangan khawatir.""Kalian ingin melakukan penyerangan?" tanya Mahasura. Surya Yudha menggeleng. "Tidak. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon untuk mengambil sesuatu. Kalian jangan khawatir, aku akan baik-baik saja." Tatapan Mahasura beralih pada Banyulingga. "Ke mana kalian akan pergi? Jawab aku!"Banyulingga menelan ludahnya. Dia tidak menyangka pria yang pagi ini masih terlihat lemah saat ini tampak mengerikan."Ka-kami ...." Banyulingga tergagap, tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Surya Yudha yang melihat Banyulingga ketakutan tertawa. Dia lantas berkata lada Mahasur
Ada beberapa kedai arak di pasar budak. Namun, hanya ada satu yang selalu buka sementara yang lainnya hanya buka ketika senja datang. Surya Yudha memasuki kedai arak bersama Gendon dan Banyulingga. Kedatangan mereka menarik perhatian terutama Gendon yang mengeluarkan aroma obat dari tubuhnya, ciri khas para tabib. Surya Yudha mengajak mereka ke lantai dua kedai tersebut dan memilih tempat duduk di dekat jendela. Di lantai tersebut, hanya ada kelompok Surya Yudha. Suasana kedai tersebut juga sangat tenang tidak seperti kedai arak di malam hari.Seorang pelayan pria datang menghampiri meja mereka. "Tuan-tuan ingin pesan apa?" "Dua guci arak beras, daging dan kacang rebus." Surya Yudha menjawab dengan cepat. Pelayan itu mengangguk dan pergi untuk menyiapkan pesanan. "Den bagus, kita mau cari informasi gimana? Ini masih sepi, lagipula kita datang kepagian." Gendon berkata dan diangguki Banyulingga. "Lihat saja apa yang akan aku lakukan."Mata Surya Yudha menerawang ke luar, memandang
Surya Yudha mendapat informasi tambahan mengenai pasar budak. Ternyata pasar budak dikuasai oleh sebuah organisasi yang bernama kelompok Harimau Besi. Pemuda itu juga mengetahui markas besar Harimau Besi."Bagus. Kita bisa melakukan penyerangan malam ini juga." Mahasura berdehem. Seolah menujukkan ketidaksetujuannya. Meski dia seorang budak, tetapi setelah mendapat nasihat bertubi-tubi dari Gendon, akhirnya Mahasura mau menerima identitasnya dulu, sebagai Paman dari Surya Yudha. "Paman, ada apa? Kau tidak setuju?" tanya Surya Yudha. "Surya, menyerang Markas Harimau Besi saat malam hari adalah ide paling buruk yang kita miliki." Mahasura berkata dengan tenang. Dia mengambil sebuah kendi dan meletakannya di atas meja. "Mereka sangat aktif pada malam hari. Kekuatan mereka berkumpul saat malam tiba. Menyerang saat tengah hari adalah pilihan terbaik." Mahasura mengambil sebuah cangkir dan meletakannya di bagian utara kendi."Ini adalah pintu utama yang dijaga oleh Harimau utara. Aku t
"Tuan, ada orang yang ingin bertemu dengan anda. Kami sudah berusaha untuk tetap menjaga ketenangan anda, tetapi mereka mengatakan jika anda akan menerima mereka dengan baik." Meski pelayan itu berkata dengan penuh senyuman, tetapi getaram di tangannya menunjukkan jika dia sedang gugup.Sementara itu, mendengar penjelasan pelayan itu, Surya Yudha mulai menebak-nebak siapakah orang yang ingin menemuinya itu. "Baiklah, aku akan menemui mereka."Pelayan itu mengangguk dan pergi. Surya Yudha juga turun mengikuti pelayan itu. Ketika sampai di lantai dasar, dia melihat dua orang yang sangat dia kenal. Yang satu terlihat ceria dan yang lainnya tampak kesal. "Den bagus!" Begitu melihat kedatangan Surya Yudha, pemuda bertubuh gempal itu segera berteriak memanggilnya. Surya Yudha tersenyum tipis. Sudah cukup lama sejak mereka terakhir kali bertemu. "Den bagus, wah den bagus keliatan makin gagah saja." Gendon menghampiri Surya Yudha dengan wajah cerianya. "Den bagus apa kabar?" "Sangat
Mahasura tentu saja bingung dengan reaksi yang Surya Yudha tunjukkan. Meski tidak tahu teknik apa yang pemuda itu gunakan, tetapi dia adalah orang yang paling tahu tentang akibat dari teknik tersebut. Dia yakin jika Surya Yudha baru saja memindahkan sedikit racun dari tubuhnya. Walau racun yang berpindah hanya sedikit, tetapi itu sudah mengurangi rasa sakit yang Mahasura derita, dan itu berarti rasa sakit itu berpindah pada Surya Yudha. Mahasura memang tahu jika ada teknik yang bisa menetralisir racun menggunakan tenaga dalam. Namun, dibutuhkan keahlian khusus dan tenaga dalam yang tinggi untuk bisa melakukannya. Selain itu, menetralkan tenaga dalam dan memindahkannya adalah hal yang sama sekali berbeda.Dia ingin bertanya tentang teknik yang baru saja Surya Yudha gunakan. Namun, dia tidak berani bertanya karena merasa tidak memiliki hak. Melihat kebingungan di wajah Mahasura, Surya Yudha tersenyum tipis. "Paman, tenang saja. Aku sudah menguasai teknik ini, jadi jangan khawatir te
Meski disebut sebagai pasar Budak, tetapi sebenarnya tempat ini layak disebut sebagai kota kecil. Ada banyak penginapan dan kedai makanan yang buka di tempat ini. Suasananya pun tak kalah ramai dengan kota kecil di wilayah lain Jalu Pangguruh. Surya Yudha membawa Banyulingga dan budak yang baru saja dia beli ke sebuah penginapan. Pemuda itu menyewa sebuah lantai di penginapan khusus untuk mereka bertiga. Dia sengaja menyewa satu lantai karena tidak ingin diganggu. Di dalam kamar terbesar di penginapan itu, tiga orang pria duduk melingkar di meja. Salah satu pemuda menatap nanar pria yang lain seperti ingin menangis. "Paman ... Paman Mahasura. Kami mencarimu ke seluruh hutan bahkan menyusuri jurang." Air mata Surya Yudha menetes. Budak yang baru saja dia beli adalah Mahasura, salah satu orang yang melatih Surya Yudha hingga menjadi petarung yang tangguh. Setahun lalu, Mahasura mendapat misi penting dari kerajaan. Namun, misi tersebut gagal dan semua orang di dalamnya mati. Surya Y
Surya Yudha kembali mengatur napasnya yang terengah-engah. Dengan menggunakan sebelah tangannya, Surya Yudha menyeka keringatnya. Melihat kondisi Banyulingga sekarang, dia merasa puas. "Bagaimana? Kau masih meremehkan pil milikku?" ucap Surya Yudha mengejek. Banyulingga menggeleng. "Aku berharap ini adalah kebodohanku yang terakhir." "Aku juga berharap seperti itu." Surya Yudha mengangguk setuju. Hal itu malah membuat Banyulingga tersenyum kecut. Saat Surya Yudha sudah mendapat kembali tenaganya, dia menemukan ada sesuatu yang aneh. Sebelumnya dia mengetahui jika Cakra miliknya tersegel oleh sesuatu yang berbentuk seperti cincin berwarna ungu pekat. Namun, saat ini cincin itu tampak retak seolah dikikis oleh sesuatu. 'Baiji, apa kau bisa menjelaskan ini kepadaku?' [Menjelaskan apa?]'Cakra milikku. Segelnya seperti retak.'[Bukankah itu bagus? Kau bisa menggunakan tenaga dalammu lagi jika bisa menghancurkan segel tersebut.]Surya Yudha tersenyum senang. Apa itu berarti dia tidak