Di kota batu ceper, beberapa gadis sedang membicarakan seorang pemuda yang datang bersama dengan pria paruh baya. "Pemuda itu sangat tampan, tapi sayang, dia tampak terluka.""Kau benar, sangat malang nasibnya.""Kau lihat, walau wajahnya pucat dan tampak tak sehat, tetapi dia terlihat begitu gagah dengan aura yang mengesankan. Asal dia bukan dari kalangan penjahat, aku mau menikahinya.""Aku akan jadi yang pertama.""Jika kau yang pertama, maka aku akan menjadi yang kedua.""Aku ketiga,"..."Aku yang ke dua belas,"Mendengar yang terakhir, semuanya terdiam sesaat sebelum tertawa terbahak-bahak bersama.Seorang gadis dengan baju berwarna kuning daffodil sedang berjalan bersama dua punggawa, merasa penasaran dengan obrolan para teman-temannya."Hei ... apa yang sedang kalian bicarakan? Kenapa kalian tak mengajaku juga?"Seorang gadis yang melihat kedatangan gadis itu buru-buru bangkit dan mendekatinya."Ningrum, kau sudah kembali?"Gadis yang dipanggil Ningrum mengangguk pelan, ken
Di kediaman Tumenggung Adhyaksa, seorang gadis memasuki ruang pribadi Sang Tumenggung dengan wajah cemberut, langkahnya yang tergesa membuat Sang Tumenggung yang sedang membaca gulungan lontar segera menghentikan kegiatannya."Ada apa denganmu, Ningrum?" Tumenggung Adhyaksa bertanya seraya mendekati putrinya lalu mengajaknya duduk di kursi panjang yang terdapat di ruanganya."Rama, kenapa Rama membuat sayembara tanpa persetujuanku? Apa aku sekarang sudah tidak penting untuk Rama?" Gadis yang tak lain dan tak bukan adalah Ningrum, memonyongkon bibirnya, membuat Tumenggung Adhyaksa tersenyum tipis.Di dunia ini, tak ada yang memahami gadis ini lebih baik dari dirinya, apalagi semenjak kematian ibunya tujuh tahun lalu, membuat Tumenggung Adhyaksa sangat memperhatikan putri bungsunya.Saat ini, dengan senyum tipis yang selalu terulas di wajahnya, Tumenggung Adhyaksa menggoda Ningrum. "Justru karena Rama sangat peduli dengan Ningrum, jadi Rama membuat sayembara ini. Bagaimana menurut Ni
Ki Antasena mengajak Ningrum menemui kawan lamanya di sebuah rumah makan yang letaknya tak jauh dari kediaman Tumenggung Adhyaksa. Begitu sampai di tempat tersebut, Ki Antasena memilih meja yang berada di lantai dua dan terletak di samping jendela."Duduklah," ucap Ki Antasena pada Ningrum, gadis itu mengangguk dan duduk di samoing gurunya.Seorang pelayan mendekati mereka dan menanyakan pesanan, dengan santai Ki Antasena menjawab, "kami masih menunggu. Ambilkan arak dan teh terbaik," Pelayan tersebut mengangguk dan kembali untuk menyiapkan pesanan Ki Antasena."Muridku, kau tahu siapa yang akan kita temui sebentar lagi?" "Tidak, Guru." Ki Antasena tersenyum tipis, "Dia memiliki seorang cucu yang tangguh. Aku ingin mengenalkanmu pada cucunya, mungkin kalian akan cocok karena usia kalian tak berbeda jauh.""Guru menggodaku," sahut Ningrum dengan wajah merah seperti tomat."Mana mungkin? Aku hanya mengatakan beberapa kata dan kau bilang menggodamu? Anak nakal!" Ki Antasena melon
Malam mulai menjelang, Ki Antasena dan Ki Arya Saloka mengakhiri pertemuan tersebut dengan bersulang arak untuk yang terakhir kalinya. Ki Antasena mengajak Ningrum pulang sementara Ki Arya Saloka masih duduk di kursinya memperhatikan kota Batu Ceper yang mulai ramai.Walau batu ceper termasuk kota yang tak terlalu besar, tetapi kegiatan di kota ini benar-benar hidup. "Pelayan, ambilkan seguci arak lagi!" teriak Ki Arya Saloka. Seorang pelayan datang dengan seguci arak di tangannya dan meletakannya di meja Ki Arya Saloka. Dengan mata yang terus menatap luar, Ki Arya Saloka menarik guci arak tersebut dan mulai meneguknya. Tegukan demi tegukan telah terlewatkan hingga tegikan terakhir. Ki Arya Saloka meletakan beberapa keping perak di meja untuk membayar arak yang diminumnya sebelum kembali ke penginapan.***Surya Yudha sedang duduk di tepi ranjang ketika dia mendengar suara langkah mendekat."Eyang telah kembali?" tanya Surya Yudha ketika melihat Ki Arya Saloka muncul dari balik
Hari ini kota Batu Ceper lebih ramai dari biasanya. Banyak orang yang datang untuk menonton sayembara untuk calon menantu Tumenggung Adhyaksa.Para pria, wanita, yang tua hingga anak kecil semuanya berbindong-bondong menuju alun-alun kota. Bagi oara pemuda, mereka tampak menggunakan baju terbaik yang mereka miliki, atau menggunakan ikat kepala terkeren yang mereka punya.Tidak hanya pemuda dari Kota Batu Ceper saja yang antusias dengan acara ini, tetapi pemuda-pemuda dari desa dan kota terdekat juga ikut hadir mengadu nasib.Di sisi lain, Ki Arya Saloka yang mendapat undangan khusus dari Tumenggung Adhyaksa, berangkat lebih akhir dari Surya Yudha. Surya Yudha sudah hadir dan mendaftarkan diri, sementara Ki Arya Saloka belum terlihat batang hidungnya. Sementara itu, surya Yudha berbalik saat seseorang menepuk pundaknya."Siapa kau?" tanya Surya Yudha dengan tatapan tajam."Eh ... jangan salah paham dulu. Aku hanya ingin bertanya, apa kau berasal dari kota ini?" tanya pemuda tersebut.
"Sepertinya kau terlalu memandang tinggi Seno," ucap Surya Yudha ketika mendapati Sentot yang ternganga karena penampilan Mahesa."Bu-bukan seperti itu! Mahesa hampir tidak pernah menunjukan kemampuan penuhnya saat bertarung," elak Sentot."Begitukah?" tanya Surya Yudha yang dibalas dengan anggukan cepat dari Sentot, seperti ayam mematuk biji-bijian.Setelah Seno dan Mahesa turun, dua orang pemuda yang memiliki penampilan serupa naik ke panggung arena. Mereka berdua kembar. Selain wajah dan pakaiannya, senjata mereka juga sama, yaitu rantai dengan ujung bola besi berduri. "Kau mengenal mereka?" tanya Surya Yudha lagi."Aku hanya tahu nama mereka. Mereka Aditya dan Bagaskara. Untuk kemampuannya, aku tidak tahu pasti," balas Sentot."Menarik. Bagaskara, Aditya. Kenapa nama dengan arti matahari begitu populer? Sepertinya orang tua sekarang tak begitu kreatif," gumam Surya Yudha. Sentot yang tak sengaja mendengarnya, penasaran dengan nama orang yang sedari tadi ia ajak bicara. "Meman
Setelah beberapa pertandingan, akhirnya kini giliran Surya Yudha untuk naik. Dengan penuh percaya diri Surya Yudha melangkah ke arena. Beberapa orang menatapnya dengan tatapan merendahkan, pasalnya sebelum Surya Yudha, kebanyakan pemuda yang mengikuti sayembara akan melompat ke tengah arena dari tempat mereka berdiri. Namun, saat ini Surya Yudha bahkan terlihat berjalan dengan santai.Lawan Surya Yudha sudah berdiri di tengah arena, sedang menatap Surya Yudha dengan tatapan merendahkan."Surya,""Wera," Baik Surya Yudha mau pun Wera sama-sama pengguna pedang. Setelah perkenalan diri, mereka menarik pedang dari sarungnya. Walau Surya Yudha terlihat percaya diri, tetapi jantungnya berdebar kencang karena khawatir lawannya memiliki tenaga dalam tinggi yang akan membuatnya terluka. Namun, buru-buru ia menepis segala kerisauan di hatinya. Surya Yudha maju dan menebaskan pedang ke arah perut Wera, ketika pedangnya tak mampu mengenai sasaran, Surya Yudha berguling dan menyapukan kakin
Putaran pertama Sayembara sudah selesai. Saat ini ada 20 orang yang tersisa di antara 70 an pemuda yang mendaftar. Pada putaran kedua, Surya Yudha berhasil mengalahkan lawannya dalam satu kali serangan.Putaran kali ini sangat berbeda dari sebelumnya. Ketika putaran pertama dan kedua menggugurkan peserta dengan pertarungan, maka di putaran ketiga mereka akan beradu panahan.Masing-masing peserta akan diberikan sepuluh anak panah untuk mengenai sasaran yang sudah disiapkan. Mereka hanya diberi waktu 20 hitungan untuk menggunakan semua anak panah tersebut. Sepuluh orang dengan nilai tertinggi akan mendapat kesempatan untuk melawan Ningrum. Surya Yudha tersenyum bahagia ketika mengetahui peraturan tentang putaran ketiga. Sepertinya Sayembara ini disiapkan untukku!Sebagai seorang prajurit, dia menguasai berbagai macam senjata. Panah adalah salah satu senjata yang ia kuasai hingga tahap mahir.Mengenai sasaran tak bergerak sangat mudah, bahkan dia bisa melakukannya dengan mata tertutup
Di dalam ruangan luas yang tampak sederhana itu, Surya Yudha duduk bersama Gendon sementara Banyulingga menyiapkan minum untuk para kawannya. Di ruangan itu pula, Sosok pria yang tampak dingin mengamati Surya Yudha dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan tajamnya terasa mengintimidasi. Dia adalah Rangga Geni, guru Banyulingga sekaligus pande besi terbaik di Jalu Pangguruh.Surya Yudha yang ditatap sedemikian juga merasa sedang ditelanjangi oleh pria tua yang memiliki perawakan kekar itu. Namun, sebagai seseorang yang terbiasa dengan tekanan dari berbagai pihak, Surya Yudha bisa terlihat tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang. Pada saat keheningan menenggelamkan mereka semua, tiba-tiba suara Baiji yang beberapa hari ini jarang muncul kembali bergema di kepala Surya Yudha. [Jadikan dia gurumu. Aku merasakan aura istimewa dari dalam tubuhnya. Bisa jadi dia telah menemukan sesuatu dari alamku.]Surya Yudha mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin dia bisa menjadikan seseo
Sore harinya, di penginapan tempat Surya Yudha menginap, pemuda itu berkumpul bersama rekan-rekannya. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja. Wajah mereka terlihat serius. "Candrika dan Paman Mahasura tetap di sini. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon selama beberapa hari." "Apa yang ingin kau lakukan, Surya?" Candrika bertanya dengan penasaran."Aku harus pergi ke suatu tempat. Kalian berdua jangan khawatir.""Kalian ingin melakukan penyerangan?" tanya Mahasura. Surya Yudha menggeleng. "Tidak. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon untuk mengambil sesuatu. Kalian jangan khawatir, aku akan baik-baik saja." Tatapan Mahasura beralih pada Banyulingga. "Ke mana kalian akan pergi? Jawab aku!"Banyulingga menelan ludahnya. Dia tidak menyangka pria yang pagi ini masih terlihat lemah saat ini tampak mengerikan."Ka-kami ...." Banyulingga tergagap, tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Surya Yudha yang melihat Banyulingga ketakutan tertawa. Dia lantas berkata lada Mahasur
Ada beberapa kedai arak di pasar budak. Namun, hanya ada satu yang selalu buka sementara yang lainnya hanya buka ketika senja datang. Surya Yudha memasuki kedai arak bersama Gendon dan Banyulingga. Kedatangan mereka menarik perhatian terutama Gendon yang mengeluarkan aroma obat dari tubuhnya, ciri khas para tabib. Surya Yudha mengajak mereka ke lantai dua kedai tersebut dan memilih tempat duduk di dekat jendela. Di lantai tersebut, hanya ada kelompok Surya Yudha. Suasana kedai tersebut juga sangat tenang tidak seperti kedai arak di malam hari.Seorang pelayan pria datang menghampiri meja mereka. "Tuan-tuan ingin pesan apa?" "Dua guci arak beras, daging dan kacang rebus." Surya Yudha menjawab dengan cepat. Pelayan itu mengangguk dan pergi untuk menyiapkan pesanan. "Den bagus, kita mau cari informasi gimana? Ini masih sepi, lagipula kita datang kepagian." Gendon berkata dan diangguki Banyulingga. "Lihat saja apa yang akan aku lakukan."Mata Surya Yudha menerawang ke luar, memandang
Surya Yudha mendapat informasi tambahan mengenai pasar budak. Ternyata pasar budak dikuasai oleh sebuah organisasi yang bernama kelompok Harimau Besi. Pemuda itu juga mengetahui markas besar Harimau Besi."Bagus. Kita bisa melakukan penyerangan malam ini juga." Mahasura berdehem. Seolah menujukkan ketidaksetujuannya. Meski dia seorang budak, tetapi setelah mendapat nasihat bertubi-tubi dari Gendon, akhirnya Mahasura mau menerima identitasnya dulu, sebagai Paman dari Surya Yudha. "Paman, ada apa? Kau tidak setuju?" tanya Surya Yudha. "Surya, menyerang Markas Harimau Besi saat malam hari adalah ide paling buruk yang kita miliki." Mahasura berkata dengan tenang. Dia mengambil sebuah kendi dan meletakannya di atas meja. "Mereka sangat aktif pada malam hari. Kekuatan mereka berkumpul saat malam tiba. Menyerang saat tengah hari adalah pilihan terbaik." Mahasura mengambil sebuah cangkir dan meletakannya di bagian utara kendi."Ini adalah pintu utama yang dijaga oleh Harimau utara. Aku t
"Tuan, ada orang yang ingin bertemu dengan anda. Kami sudah berusaha untuk tetap menjaga ketenangan anda, tetapi mereka mengatakan jika anda akan menerima mereka dengan baik." Meski pelayan itu berkata dengan penuh senyuman, tetapi getaram di tangannya menunjukkan jika dia sedang gugup.Sementara itu, mendengar penjelasan pelayan itu, Surya Yudha mulai menebak-nebak siapakah orang yang ingin menemuinya itu. "Baiklah, aku akan menemui mereka."Pelayan itu mengangguk dan pergi. Surya Yudha juga turun mengikuti pelayan itu. Ketika sampai di lantai dasar, dia melihat dua orang yang sangat dia kenal. Yang satu terlihat ceria dan yang lainnya tampak kesal. "Den bagus!" Begitu melihat kedatangan Surya Yudha, pemuda bertubuh gempal itu segera berteriak memanggilnya. Surya Yudha tersenyum tipis. Sudah cukup lama sejak mereka terakhir kali bertemu. "Den bagus, wah den bagus keliatan makin gagah saja." Gendon menghampiri Surya Yudha dengan wajah cerianya. "Den bagus apa kabar?" "Sangat
Mahasura tentu saja bingung dengan reaksi yang Surya Yudha tunjukkan. Meski tidak tahu teknik apa yang pemuda itu gunakan, tetapi dia adalah orang yang paling tahu tentang akibat dari teknik tersebut. Dia yakin jika Surya Yudha baru saja memindahkan sedikit racun dari tubuhnya. Walau racun yang berpindah hanya sedikit, tetapi itu sudah mengurangi rasa sakit yang Mahasura derita, dan itu berarti rasa sakit itu berpindah pada Surya Yudha. Mahasura memang tahu jika ada teknik yang bisa menetralisir racun menggunakan tenaga dalam. Namun, dibutuhkan keahlian khusus dan tenaga dalam yang tinggi untuk bisa melakukannya. Selain itu, menetralkan tenaga dalam dan memindahkannya adalah hal yang sama sekali berbeda.Dia ingin bertanya tentang teknik yang baru saja Surya Yudha gunakan. Namun, dia tidak berani bertanya karena merasa tidak memiliki hak. Melihat kebingungan di wajah Mahasura, Surya Yudha tersenyum tipis. "Paman, tenang saja. Aku sudah menguasai teknik ini, jadi jangan khawatir te
Meski disebut sebagai pasar Budak, tetapi sebenarnya tempat ini layak disebut sebagai kota kecil. Ada banyak penginapan dan kedai makanan yang buka di tempat ini. Suasananya pun tak kalah ramai dengan kota kecil di wilayah lain Jalu Pangguruh. Surya Yudha membawa Banyulingga dan budak yang baru saja dia beli ke sebuah penginapan. Pemuda itu menyewa sebuah lantai di penginapan khusus untuk mereka bertiga. Dia sengaja menyewa satu lantai karena tidak ingin diganggu. Di dalam kamar terbesar di penginapan itu, tiga orang pria duduk melingkar di meja. Salah satu pemuda menatap nanar pria yang lain seperti ingin menangis. "Paman ... Paman Mahasura. Kami mencarimu ke seluruh hutan bahkan menyusuri jurang." Air mata Surya Yudha menetes. Budak yang baru saja dia beli adalah Mahasura, salah satu orang yang melatih Surya Yudha hingga menjadi petarung yang tangguh. Setahun lalu, Mahasura mendapat misi penting dari kerajaan. Namun, misi tersebut gagal dan semua orang di dalamnya mati. Surya Y
Surya Yudha kembali mengatur napasnya yang terengah-engah. Dengan menggunakan sebelah tangannya, Surya Yudha menyeka keringatnya. Melihat kondisi Banyulingga sekarang, dia merasa puas. "Bagaimana? Kau masih meremehkan pil milikku?" ucap Surya Yudha mengejek. Banyulingga menggeleng. "Aku berharap ini adalah kebodohanku yang terakhir." "Aku juga berharap seperti itu." Surya Yudha mengangguk setuju. Hal itu malah membuat Banyulingga tersenyum kecut. Saat Surya Yudha sudah mendapat kembali tenaganya, dia menemukan ada sesuatu yang aneh. Sebelumnya dia mengetahui jika Cakra miliknya tersegel oleh sesuatu yang berbentuk seperti cincin berwarna ungu pekat. Namun, saat ini cincin itu tampak retak seolah dikikis oleh sesuatu. 'Baiji, apa kau bisa menjelaskan ini kepadaku?' [Menjelaskan apa?]'Cakra milikku. Segelnya seperti retak.'[Bukankah itu bagus? Kau bisa menggunakan tenaga dalammu lagi jika bisa menghancurkan segel tersebut.]Surya Yudha tersenyum senang. Apa itu berarti dia tidak
Banyulingga menatap Surya Yudha dengan cemas. "Ada apa? Kenapa kau di sini?" tanya Surya Yudha keheranan saat melihat Banyulingga yang seperti menunggunya. "Kau sudah empat hari bertapa tapi tidak bangun-bangun. Kau bilang hanya memulihkan energi, kenapa begitu lama?""Empat hari?" Surya Yudha terkejut saat mengetahui waktu yang dia habiskan. "Gawat! Aku menghabiskan terlalu banyak waktu. Kita harus pergi ke pasar budak saat ini juga!"Surya Yudha bergegas bangkit dan menyiapkan kelengkapannya. Namun, suara Banyulingga berhasil menghentikannya. "Candrika tidak akan membiarkan kita pergi sebelum memeriksa kondisimu." "Aku baik-baik saja. Aku sudah sangat sehat." Surya Yudha menunjukkan tubuhnya. Dia memang tampak sangat sehat sekarang. Tanpa berkata-kata lagi, Surya Yudha mencengkeram bahu Banyulingga. Pemuda itu mengerahkan sumber energinya ke kaki dan melompat hingga keluar dari tempat itu. Ketika tubuhnya masih berada di udara, Surya Yudha bersiul. Ringkikan kuda menyahuti si