Wanita yang ditolong oleh Surya Yudha terlihat ketakutan. Pakaiannya juga compang-camping serta penampilan yang begitu berantakan. Saat Surya Yudha mendekati wanita tersebut, wanita itu mundur karena ketakutan.
"Aku tidak akan menyakitimu. Namaku Surya Yudha.""Su-Surya Yudha?" tanya wanita itu tergagap ketakutan.Surya Yudha mengangguk dan mendekati wanita itu lagi. "Aku Surya Yudha. Dulu aku adalah seorang prajurit di kerajaan Nara Artha. Siapa namamu?"Wanita itu masih diam. Surya Yudha hanya menghela napas dan memalingkan wajahnya."Sekar," jawab gadis itu bernama Sekar.Surya Yudha tersenyum tipis dan kembali berdiri. "Di mana rumahmu? Jika kamu ingin pulang aku akan mengantarnya. Namun, jika masih betah di sini aku harus pergi sekarang."Sekar terlihat ragu untuk memilih pergi bersama Surya Yudha atau tidak. Namun, berdiam diri di tempat ini sama saja mencari mati. Maka, wanita itu akhirnya memutuskan mengikuti Surya Yudha yang sudah berjalan lebih dulu."Aku ikut," ucap Sekar dengan pandangan tertunduk, tak berani menatap Surya Yudha."Di mana rumahmu?" tanya Surya Yudha tanpa melihat Sekar sedikitpun. Baju Sekar yang terkoyak sehingga lekuk tubuh dan beberapa area sensitif wanita itu terlihat, membuat Surya Yudha tak mau memandangnya."Aku tinggal di dusun Tegal sari," lirih Sekar. "Letaknya tidak jauh dari sini."Surya Yudha mengangguk dan turun dari kuda. Pemuda itu meminta Sekar untuk naik ke kuda dan Surya Yudha akan menuntunnya hingga dusun tegal sari. Sekar yang tak biasa menunggangi kuda langsung menolak dan memilih berjalan bersama Surya Yudha."Kuda ini akan tertawa jika melihat kita berjalan. Jadi ... lebih baik menurut dan naiklah." Surya Yudha meminta Sekar untuk naik, tetapi gadis itu kembali menolak."Bagaimana aku bisa naik jika orang yang menyelamatkanku malah berjalan? Lebih baik aku berjalan saja.""Jika begitu ... kita naik bersama saja.""Apa kuda itu bisa bertahan?" tanya Sekar dengan polos.Surya Yudha tertawa mendengar ucapan polos wanita di hadapannya. Bintang adalah kuda perang dan terbiasa membawa beban berat. Bagaimana kuda ini akan menyerah jika hanya membawa mereka berdua?Setelah Surya Yudha beberapa kali meyakinkan sekar, akhirnya Sekar hanya bisa menurut dan naik ke kuda dengan bantuan Surya Yudha. Kini Sekar dan Surya Yudha duduk di satu kuda, Surya Yudha di belakang, sementara Sekar di bagian depan.Kedua tangan Surya Yudha melingkari pinggang Sekar agar dapat memegang tali kekang dengan benar. Hal itu tentu saja membuat Sekar terpaku. Aliran darahnya terasa lebih cepat dan tubuhnya terasa panas.Surya Yudha yang tidak pernah berpikir jika dengan hal sesederhana itu bisa membuat wanita di depannya berdebar-debar, tetap santai menarik tali kekang.Kuda mulai berjalan santai. Ki Arya Saloka tersenyum melihat sikap Surya Yudha yang menurutnya sangat manis. Mereka berjalan mengikuti jalan setapak yang memanjang. Pohon-pohon besar tumbuh lebat di sisi kanan kiri mereka, membuat cahaya matahari tak mengenai mereka secara langsung."Apa masih jauh?" tanya Surya Yudha setelah berapa lama mereka berkuda tetapi belum sampai di dusun Tegal sari.Sekar menggeleng pelan. "Di depan ada persimpangan, kita ambil kanan dan tidak jauh dari tempat itu adalah gerbang dusun."Surya Yudha mengangguk dan tiba-tiba mengepakkan tali kekang yang ia pegang, membuat kuda yang berjalan santai tersentak hingga berlari kencang. Sekar yang tidak siap dengan hal itu mendekap kedua tangan Surya Yudha.Tanpa sengaja Surya Yudha merasakan jika tangannya terganjal oleh dua bongkahan besar yang begitu kenyal. Tiba-tiba Surya Yudha merasa jantungnya berdebar lebih kencang dan mukanya memerah terasa panas. Karena tak tahan dengan hal itu, Surya Yudha melepas genggamannya pada tali kekang dan meminta Sekar menggantikannya. Sementara itu, kedua tangan Surya Yudha memegang pergelangan tangan Sekar.Benar saja, setelah melewati persimpangan mereka sampai di gerbang dusun. Ki Arya Saloka berhenti di gerbang dan memutar kudanya agar posisinya bisa berhadapan dengan Bintang."Gadis manis, aku dan cucuku sedang buru-buru, tak bisa mengantarmu sampai rumah. Jika kalian berjodoh pasti akan bertemu lagi." Wajah Sekar kembali memerah. Gadis itu mengangguk pelan dan tersenyum manis pada Ki Arya Saloka.Surya Yudha turun dan membantu Sekar agar tidak jatuh saat turun dari kuda."Terima kasih, Surya.""Sama-sama. Jika kita berjodoh pasti akan bertemu lagi. Sekarang aku harus pergi, jaga dirimu baik-baik."Sekar mengangguk dan menunduk malu. Perkataan Surya Yudha nyatanya mampu membuat Sekar terbuai dan jatuh dalam lingkaran asmara. Tiba-tiba Sekar memegang tangannya, tetapi tidak berlangsung lama karena Sekar segera menariknya."Surya, kita harus segera pergi."Surya Yudha mengangguk dan kembali menatap sekar. "Jaga dirimu baik-baik."Surya Yudha kembali menunggangi kudanya dan memacunya perlahan. Sekar melambaikan tangan pada pemuda itu dibalas dengan senyum manis dari Surya Yudha."Beberapa jam lalu aku baru mendengar jika ada seorang pemuda tampan yang berkata tidak bisa mengungkapkan perasaan. Tapi ... beberapa saat lalu aku malah mendapatinya menanam benih cinta. Semesta mungkin sedang bercanda." Ki Arya Saloka tidak tahan untuk tidak menggoda cucunya. Surya Yudha tak bisa mengelak dan hanya tersenyum sembari mengusap pipinya yang terasa panas."Kamu suka wanita itu?" tanya Ki Arya Saloka penasaran."Aku tidak tahu, Eyang. Aku hanya berpikir jika gadis itu begitu manis," ucap Surya Yudha.Ki Arya Saloka hanya bisa tertawa. Mungkin sifat ini diturunkan oleh ayahnya yang juga sangat kaku.Kuda kembali masuk ke jalur hutan. Ki Arya Saloka sempat berhenti beberapa kali untuk makan dan mengisi persediaan air minum.Lembayung melamabai di sisi barat menandakan senja datang dan Surya mulai turun. Rembulan akan segera naik menggantikan Surya yang sudah kelelahan."Kita istirahat di sini saja," ucap Ki Arya Saloka saat tiba di tanah lapang yang cocok sebagai tempat bermalam. Surya Yudha mengangguk dan turun dari kuda. Pemuda itu menambatkan tunggangannya di pohon besar di sana."Eyang, aku akan masuk ke hutan untuk berburu. Eyang tunggu di sini."Ki Arya Saloka mengangguk pelan, "Hati-hati. Eyang akan membuat api unggun."Jalanan dusun Tegalsari tak terlalu ramai, tapi tidak juga bisa dikatakan sepi. Seorang gadis muda yang berjalan dengan pakaian compang-camping tentu saja menarik perhatian orang-orang sehingga bisikan-bisikan mulai timbul karena beberapa orang mulai bergunjing.Sekar, gadis cantik berkulit sawo matang dengan alisnya bagaikan lambaian daun kelapa, giginya bagai biji mentimun berjalan dengan muka yang memerah menahan malu. Untung saja jarak antara gapura dusun hingga rumahnya tak begitu jauh sehingga gadis itu kini sudah sampai di depan rumahnya. Rumah yang cukup besar namun tampak sederhana. Dengan kebingungan bercampur rasa takut, Sekar berjalan memasuki rumahnya. Baru di ambang pintu, seseorang membuka pintu dan memberinya tatapan tajam penuh pertanyaan.Terdengar suara berat mengandung amarah yang membuat tubuh Sekar bergetar seketika. "Masuk."Satu kata yang diucapkan dengan perlahan, nada yang begitu datar tetapi siapa saja bisa mengetahui jika tersirat ama
Di tengah kegelapan malam yang hanya disinari rembulan, Surya Yudha terus melangkah untuk mencari hewan buruan. Matanya terus mengedar, pendengarannya terus ditajamkan, kewaspadaannya tak turun sedikit pun. Selain itu, tangan kanannya selalu memegang gagang pedang dengan tangan kiri mencengkeram erat selongsongnya.Tak jauh dari tempat Surya Yudha berdiri, terdengar suara gemerisik yang berasal dari balik semak-semak. Senyum licik tersimpul di bibir Surya Yudha sebelum pemuda itu melangkah memburu hewan buruannya.Dengan perlahan Surya Yudha menyibak semak-semak di hadapannya.Bruk!Sebuah hewan sebesar anak gajah menerjang Surya Yudha hingga pemuda itu tersungkur. Tanpa memberi kesempatan untuk lawannya bangkit, hewan tersebut kembali menerjang dan menendang tubuh Surya Yudha hingga tersungkur beberapa langkah dari tempat sebelumnya. Surya Yudha menarik pedang dari selongsong dan menghunuskan ke tubuh hewan yang menyerangnya. Seekor babi hutan dewasa yang menyerangnya dengan membab
"Ya Dewa ... kenapa aku harus melihatnya?" Surya Yudha berkata dalam hati ketika dia sedang melihat gadis penolongnya sedang membersihkan diri. Dan yang membuat tubuh Surya Yudha terasa panas adalah, gadis itu tak memakai sehelai kain pun di badannya. Walau setengah badannya berada di bawah air, tetapi penglihatan Surya Yudha yang seperti kucing saat malam hari membuat semuanya begitu jelas. Dan ketika Surya Yudha telah selesai mengenakan pakaiannya, pemuda itu bergegas meninggalkan sungai. Malang tak dapat dihindari, ketika Surya Yudha baru saja naik ke tepian sungai, kakinya menginjak batu dan membuatnya tergelincir, kembali tercebur ke sungai."AAA!!"Terdengar suara nyaring diikuti dengan suara riak air membuat Surya Yudha secara tak sadar memalingkan wajahnya. Gadis yang awalnya sedang berendam di air kini sudah berada di tepian sungai dan mengenakan pakaiannya secara tergesa. Surya Yudha yang masih terpana di tempatnya tak menyadari jika bahaya akan segera tiba."Kau pemuda c
Selama perjalanan berlangsung, tak ada hambatan berarti menghadang mereka. Namun, perjalanan mereka tetap lambat karena Surya Yudha yang meminta istirahat beberapa kali.Surya Yudha duduk di bawah pohon sengon dan memegang dadanya yang terasa sakit. Ki Arya Saloka kembali memeriksa kondisi cucunya. "Maaf, Eyang. Aku menyusahkan Eyang." "Tidak ada masalah serius. Hanya saja kita perlu berhenti beberapa hari untuk pemulihan. Tak jauh dari sini ada kota kecil, jika ada penginapan kita bisa menginap di kota itu," ucap Ki Arya Saloka dengan wajah tenangnya.Surya Yudha mengangguk setuju dan kembali mengenakan pakaiannya sebelum melepas tambatan kuda. Keduanya beriringan dengan menunggang kuda, setelah tiga jam melewati perjalanan, akhirnya mereka sampai di kota Batu ceper.Setelah bertanya kepada beberapa penduduk sekitar, Surya Yudha mengetahui jika di kota ini ada beberapa penginapan. Ki Arya Saloka kemudian mengajak Surya Yudha menuju ke penginapan terdekat dari mereka saat ini.Waj
Di kota batu ceper, beberapa gadis sedang membicarakan seorang pemuda yang datang bersama dengan pria paruh baya. "Pemuda itu sangat tampan, tapi sayang, dia tampak terluka.""Kau benar, sangat malang nasibnya.""Kau lihat, walau wajahnya pucat dan tampak tak sehat, tetapi dia terlihat begitu gagah dengan aura yang mengesankan. Asal dia bukan dari kalangan penjahat, aku mau menikahinya.""Aku akan jadi yang pertama.""Jika kau yang pertama, maka aku akan menjadi yang kedua.""Aku ketiga,"..."Aku yang ke dua belas,"Mendengar yang terakhir, semuanya terdiam sesaat sebelum tertawa terbahak-bahak bersama.Seorang gadis dengan baju berwarna kuning daffodil sedang berjalan bersama dua punggawa, merasa penasaran dengan obrolan para teman-temannya."Hei ... apa yang sedang kalian bicarakan? Kenapa kalian tak mengajaku juga?"Seorang gadis yang melihat kedatangan gadis itu buru-buru bangkit dan mendekatinya."Ningrum, kau sudah kembali?"Gadis yang dipanggil Ningrum mengangguk pelan, ken
Di kediaman Tumenggung Adhyaksa, seorang gadis memasuki ruang pribadi Sang Tumenggung dengan wajah cemberut, langkahnya yang tergesa membuat Sang Tumenggung yang sedang membaca gulungan lontar segera menghentikan kegiatannya."Ada apa denganmu, Ningrum?" Tumenggung Adhyaksa bertanya seraya mendekati putrinya lalu mengajaknya duduk di kursi panjang yang terdapat di ruanganya."Rama, kenapa Rama membuat sayembara tanpa persetujuanku? Apa aku sekarang sudah tidak penting untuk Rama?" Gadis yang tak lain dan tak bukan adalah Ningrum, memonyongkon bibirnya, membuat Tumenggung Adhyaksa tersenyum tipis.Di dunia ini, tak ada yang memahami gadis ini lebih baik dari dirinya, apalagi semenjak kematian ibunya tujuh tahun lalu, membuat Tumenggung Adhyaksa sangat memperhatikan putri bungsunya.Saat ini, dengan senyum tipis yang selalu terulas di wajahnya, Tumenggung Adhyaksa menggoda Ningrum. "Justru karena Rama sangat peduli dengan Ningrum, jadi Rama membuat sayembara ini. Bagaimana menurut Ni
Ki Antasena mengajak Ningrum menemui kawan lamanya di sebuah rumah makan yang letaknya tak jauh dari kediaman Tumenggung Adhyaksa. Begitu sampai di tempat tersebut, Ki Antasena memilih meja yang berada di lantai dua dan terletak di samping jendela."Duduklah," ucap Ki Antasena pada Ningrum, gadis itu mengangguk dan duduk di samoing gurunya.Seorang pelayan mendekati mereka dan menanyakan pesanan, dengan santai Ki Antasena menjawab, "kami masih menunggu. Ambilkan arak dan teh terbaik," Pelayan tersebut mengangguk dan kembali untuk menyiapkan pesanan Ki Antasena."Muridku, kau tahu siapa yang akan kita temui sebentar lagi?" "Tidak, Guru." Ki Antasena tersenyum tipis, "Dia memiliki seorang cucu yang tangguh. Aku ingin mengenalkanmu pada cucunya, mungkin kalian akan cocok karena usia kalian tak berbeda jauh.""Guru menggodaku," sahut Ningrum dengan wajah merah seperti tomat."Mana mungkin? Aku hanya mengatakan beberapa kata dan kau bilang menggodamu? Anak nakal!" Ki Antasena melon
Malam mulai menjelang, Ki Antasena dan Ki Arya Saloka mengakhiri pertemuan tersebut dengan bersulang arak untuk yang terakhir kalinya. Ki Antasena mengajak Ningrum pulang sementara Ki Arya Saloka masih duduk di kursinya memperhatikan kota Batu Ceper yang mulai ramai.Walau batu ceper termasuk kota yang tak terlalu besar, tetapi kegiatan di kota ini benar-benar hidup. "Pelayan, ambilkan seguci arak lagi!" teriak Ki Arya Saloka. Seorang pelayan datang dengan seguci arak di tangannya dan meletakannya di meja Ki Arya Saloka. Dengan mata yang terus menatap luar, Ki Arya Saloka menarik guci arak tersebut dan mulai meneguknya. Tegukan demi tegukan telah terlewatkan hingga tegikan terakhir. Ki Arya Saloka meletakan beberapa keping perak di meja untuk membayar arak yang diminumnya sebelum kembali ke penginapan.***Surya Yudha sedang duduk di tepi ranjang ketika dia mendengar suara langkah mendekat."Eyang telah kembali?" tanya Surya Yudha ketika melihat Ki Arya Saloka muncul dari balik
Bab 92Ketika matahari mulai terbenam, Surya Yudha bersama dengan Banyulingga dan Gendon pergi ke markas Harimau Besi. Persis seperti kabar yang beredar, malam itu markas harimau besi begitu ramai. Ada banyak sekali orang yang datang ke tempat tersebut.“Den Bagus, kita mau gimana?” tanya Gendon. Surya Yudha tidak mengatakan apa pun sebelum pergi ke tempat ini.Surya Yudha meletakkan jari telunjuknya di bibir. “Jangan berisik.”Pemuda itu lantas menunjuk sebuah tembok yang berada di sisi timur. “Itu adalah tempat paling dekat dengan tempat para budak itu disekap.”Gendon mengangguk mengerti. “Den Bagus jaga di sini saja, biar Gendon yang masuk dan bawa para budak keluar.”Surya Yudha menggeleng. Dia sudah punya rencana sendiri. “Kau membawa arak, kan?”Gendon menggaruk lehernya yang tidak gatal. Ingin rasanya dia menggali lubang dan bersembunyi di dalamnya.“Keluarkan beberapa guci arak terbaik, juga beberapa harta benda.”“Tapi Den …” Wajah Gendon menunjukkan ekspresi keberatan. “Di
Bab 91Setelah diskusi panjang nan alot, akhirnya Surya Yudha berhasil meyakinkan Mahasura dan lainnya. Ketika dirinya terdesak karena tiga orang itu, suara Baiji tiba-tiba beresonansi di kepalanya.[Asal menggunakan tombak yang kau dapatkan kemarin, tubuhmu akan baik-baik saja. Kau kelelahan karena tidak bisa mengeluarkan sumber energi dengan baik sehingga menyerang dirimu sendiri. Aku akan melatihmu mengendalikannya.]Mereka berempat kembali ke penginapan dan mendapati Candrika yang menyambut mereka dengan kemarahan. “Apa tidak cukup kalian membuatku gelisah semalam?”“Waduh … Gendon ngga ikut-ikut kalau begini.” Gendon segera berbalik dan melarikan diri. Musuh sekuat apa pun bisa dia hadapi, tetapi jika makhluk dengan jenis wanita, dia tidak pernah yakin bisa menghadapi mereka.Banyulingga yang tidak ingin mendapat masalah juga pergi. “Aku lupa meninggalkan arak yang sudah aku beli. Akan akan segera kembali.”Tersisa Surya Yudha dan Mahasura yang berdiri dengan gugup. Meski usianya
Bab 90Surya Yudha merasakan seluruh tubuhnya dipenuhi dengan rasa sakit. Pemuda itu membuka matanya perlahan, untuk saat ini penglihatannya sedikit buram. Namun, setelah mengerjapkan mata beberapa kali, akhirnya dia bisa melihat dengan jelas. Ingatan terakhirnya adalah pertarungannya melawan beruang jambul api yang dia menangkan sebelum jatuh pingsan.“Tuan Muda….”Suara lembut yang familier di telinga Surya Yudha menyiratkan kekhawatiran. Surya Yudha menoleh dan melihat Candrika yang duduk di sampingnya dengan wajah cemas. “Candrika? Ini … apa aku sudah di penginapan?”Ekspresi Candrika berubah begitu cepat. Gadis itu terlihat tak senang dengan Surya Yudha. Dengan marah dia berkata, “Kau berjanji akan baik-baik saja, tapi baru pergi dua hari malah pulang seperti ini.”Surya Yudha menghela napas pelan. Akhirnya dia mengerti dengan kecemasan gadis itu. “Aku baik-baik saja,” Pemuda itu mengedarkan pandangannya, mencari rekan-rekannya. “ Di mana Gendon dan Lingga?”Pemuda itu menyadar
Bab 89Ketika matahari mulai tinggi, Surya Yudha meninggalkan lembah sunyi bersama Gendon dan Banyulingga. Seperti yang Banyulingga katakan sebelumnya, melakukan perjalanan di lembah sunyi pada siang hari sedikit lebih mudah dibandingkan jika melakukannya pada malam hari. Tak butuh waktu lama hingga mereka bisa meninggalkan lembah Sunyi.Perjalanan terus dilakukan, beberapa kali mereka harus berhenti untuk istirahat dan memberi makan kuda.“Kita langsung ke sarang macan atau mau ketemu paman Mahasura dulu, Den?”“Kita pulang ke penginapan dulu. Besok malam baru beraksi.”Gendon mengangguk paham. Pemuda bertubuh gempal itu sedang membakar ayam hutan buruannya beberapa waktu lalu. Aroma harum yang menyebar ke segala arah menarik perhatian, tidak hanya manusia tetapi juga hewan lainnya.“Kita kedatangan tamu.” Tanpa menoleh sedikit pun, Surya Yudha sudah menyadari kedatangan mereka. Pemuda itu menghela napas panjang sebelum bangkit dan menatap ke sebuah arah. Semak-semak mulai bergetar
Pendekar Tombak Matahari bab 88[Tunjukkan padanya jika kau memiliki sesuatu yang istimewa!]Suara Bai Ji kembali menggea di pikiran Surya Yudha. Dia mengerutkan kening untuk sesaat, dan kembali seperti semula ketika menyadari jika Rangga Geni mungkin akan mencurigai perubahan ekspresinya.Istimewa apanya? Aku hanya pemuda yang kehilangan tenaga dalam. Selain latar belakang keluargaku, tidak ada lagi yang istimewa.Suara dengusan muncul dalam pikiran Surya Yudha.Apakah kepingan jiwa dari alam lain yang mendiami pikirannya juga bisa mendengus? [surya, aku bisa mendengar semua yang ada dalam pikiranmu dengan jelas. SEMUANYA!]Surya Yudha berdehem. Dia lantas membatin.Lalu bagaimana aku menunjukkan keistimewaan? Aku bahkan tidak tahu apa yang aku miliki sehingga membuatku menjadi istimewa.[Buatlah tungku energi dari sumber energi yang kau miliki.]Sebelumnya Surya Yudha sudah pernah mendengar tentang tungku pembakaran yang dipakai oleh para pande besi. Namun, selama hidupnya, dia tida
Di dalam ruangan luas yang tampak sederhana itu, Surya Yudha duduk bersama Gendon sementara Banyulingga menyiapkan minum untuk para kawannya. Di ruangan itu pula, Sosok pria yang tampak dingin mengamati Surya Yudha dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan tajamnya terasa mengintimidasi. Dia adalah Rangga Geni, guru Banyulingga sekaligus pande besi terbaik di Jalu Pangguruh.Surya Yudha yang ditatap sedemikian juga merasa sedang ditelanjangi oleh pria tua yang memiliki perawakan kekar itu. Namun, sebagai seseorang yang terbiasa dengan tekanan dari berbagai pihak, Surya Yudha bisa terlihat tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang. Pada saat keheningan menenggelamkan mereka semua, tiba-tiba suara Baiji yang beberapa hari ini jarang muncul kembali bergema di kepala Surya Yudha. [Jadikan dia gurumu. Aku merasakan aura istimewa dari dalam tubuhnya. Bisa jadi dia telah menemukan sesuatu dari alamku.]Surya Yudha mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin dia bisa menjadikan seseo
Sore harinya, di penginapan tempat Surya Yudha menginap, pemuda itu berkumpul bersama rekan-rekannya. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja. Wajah mereka terlihat serius. "Candrika dan Paman Mahasura tetap di sini. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon selama beberapa hari." "Apa yang ingin kau lakukan, Surya?" Candrika bertanya dengan penasaran."Aku harus pergi ke suatu tempat. Kalian berdua jangan khawatir.""Kalian ingin melakukan penyerangan?" tanya Mahasura. Surya Yudha menggeleng. "Tidak. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon untuk mengambil sesuatu. Kalian jangan khawatir, aku akan baik-baik saja." Tatapan Mahasura beralih pada Banyulingga. "Ke mana kalian akan pergi? Jawab aku!"Banyulingga menelan ludahnya. Dia tidak menyangka pria yang pagi ini masih terlihat lemah saat ini tampak mengerikan."Ka-kami ...." Banyulingga tergagap, tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Surya Yudha yang melihat Banyulingga ketakutan tertawa. Dia lantas berkata lada Mahasur
Ada beberapa kedai arak di pasar budak. Namun, hanya ada satu yang selalu buka sementara yang lainnya hanya buka ketika senja datang. Surya Yudha memasuki kedai arak bersama Gendon dan Banyulingga. Kedatangan mereka menarik perhatian terutama Gendon yang mengeluarkan aroma obat dari tubuhnya, ciri khas para tabib. Surya Yudha mengajak mereka ke lantai dua kedai tersebut dan memilih tempat duduk di dekat jendela. Di lantai tersebut, hanya ada kelompok Surya Yudha. Suasana kedai tersebut juga sangat tenang tidak seperti kedai arak di malam hari.Seorang pelayan pria datang menghampiri meja mereka. "Tuan-tuan ingin pesan apa?" "Dua guci arak beras, daging dan kacang rebus." Surya Yudha menjawab dengan cepat. Pelayan itu mengangguk dan pergi untuk menyiapkan pesanan. "Den bagus, kita mau cari informasi gimana? Ini masih sepi, lagipula kita datang kepagian." Gendon berkata dan diangguki Banyulingga. "Lihat saja apa yang akan aku lakukan."Mata Surya Yudha menerawang ke luar, memandang
Surya Yudha mendapat informasi tambahan mengenai pasar budak. Ternyata pasar budak dikuasai oleh sebuah organisasi yang bernama kelompok Harimau Besi. Pemuda itu juga mengetahui markas besar Harimau Besi."Bagus. Kita bisa melakukan penyerangan malam ini juga." Mahasura berdehem. Seolah menujukkan ketidaksetujuannya. Meski dia seorang budak, tetapi setelah mendapat nasihat bertubi-tubi dari Gendon, akhirnya Mahasura mau menerima identitasnya dulu, sebagai Paman dari Surya Yudha. "Paman, ada apa? Kau tidak setuju?" tanya Surya Yudha. "Surya, menyerang Markas Harimau Besi saat malam hari adalah ide paling buruk yang kita miliki." Mahasura berkata dengan tenang. Dia mengambil sebuah kendi dan meletakannya di atas meja. "Mereka sangat aktif pada malam hari. Kekuatan mereka berkumpul saat malam tiba. Menyerang saat tengah hari adalah pilihan terbaik." Mahasura mengambil sebuah cangkir dan meletakannya di bagian utara kendi."Ini adalah pintu utama yang dijaga oleh Harimau utara. Aku t