Wanita yang ditolong oleh Surya Yudha terlihat ketakutan. Pakaiannya juga compang-camping serta penampilan yang begitu berantakan. Saat Surya Yudha mendekati wanita tersebut, wanita itu mundur karena ketakutan.
"Aku tidak akan menyakitimu. Namaku Surya Yudha.""Su-Surya Yudha?" tanya wanita itu tergagap ketakutan.Surya Yudha mengangguk dan mendekati wanita itu lagi. "Aku Surya Yudha. Dulu aku adalah seorang prajurit di kerajaan Nara Artha. Siapa namamu?"Wanita itu masih diam. Surya Yudha hanya menghela napas dan memalingkan wajahnya."Sekar," jawab gadis itu bernama Sekar.Surya Yudha tersenyum tipis dan kembali berdiri. "Di mana rumahmu? Jika kamu ingin pulang aku akan mengantarnya. Namun, jika masih betah di sini aku harus pergi sekarang."Sekar terlihat ragu untuk memilih pergi bersama Surya Yudha atau tidak. Namun, berdiam diri di tempat ini sama saja mencari mati. Maka, wanita itu akhirnya memutuskan mengikuti Surya Yudha yang sudah berjalan lebih dulu."Aku ikut," ucap Sekar dengan pandangan tertunduk, tak berani menatap Surya Yudha."Di mana rumahmu?" tanya Surya Yudha tanpa melihat Sekar sedikitpun. Baju Sekar yang terkoyak sehingga lekuk tubuh dan beberapa area sensitif wanita itu terlihat, membuat Surya Yudha tak mau memandangnya."Aku tinggal di dusun Tegal sari," lirih Sekar. "Letaknya tidak jauh dari sini."Surya Yudha mengangguk dan turun dari kuda. Pemuda itu meminta Sekar untuk naik ke kuda dan Surya Yudha akan menuntunnya hingga dusun tegal sari. Sekar yang tak biasa menunggangi kuda langsung menolak dan memilih berjalan bersama Surya Yudha."Kuda ini akan tertawa jika melihat kita berjalan. Jadi ... lebih baik menurut dan naiklah." Surya Yudha meminta Sekar untuk naik, tetapi gadis itu kembali menolak."Bagaimana aku bisa naik jika orang yang menyelamatkanku malah berjalan? Lebih baik aku berjalan saja.""Jika begitu ... kita naik bersama saja.""Apa kuda itu bisa bertahan?" tanya Sekar dengan polos.Surya Yudha tertawa mendengar ucapan polos wanita di hadapannya. Bintang adalah kuda perang dan terbiasa membawa beban berat. Bagaimana kuda ini akan menyerah jika hanya membawa mereka berdua?Setelah Surya Yudha beberapa kali meyakinkan sekar, akhirnya Sekar hanya bisa menurut dan naik ke kuda dengan bantuan Surya Yudha. Kini Sekar dan Surya Yudha duduk di satu kuda, Surya Yudha di belakang, sementara Sekar di bagian depan.Kedua tangan Surya Yudha melingkari pinggang Sekar agar dapat memegang tali kekang dengan benar. Hal itu tentu saja membuat Sekar terpaku. Aliran darahnya terasa lebih cepat dan tubuhnya terasa panas.Surya Yudha yang tidak pernah berpikir jika dengan hal sesederhana itu bisa membuat wanita di depannya berdebar-debar, tetap santai menarik tali kekang.Kuda mulai berjalan santai. Ki Arya Saloka tersenyum melihat sikap Surya Yudha yang menurutnya sangat manis. Mereka berjalan mengikuti jalan setapak yang memanjang. Pohon-pohon besar tumbuh lebat di sisi kanan kiri mereka, membuat cahaya matahari tak mengenai mereka secara langsung."Apa masih jauh?" tanya Surya Yudha setelah berapa lama mereka berkuda tetapi belum sampai di dusun Tegal sari.Sekar menggeleng pelan. "Di depan ada persimpangan, kita ambil kanan dan tidak jauh dari tempat itu adalah gerbang dusun."Surya Yudha mengangguk dan tiba-tiba mengepakkan tali kekang yang ia pegang, membuat kuda yang berjalan santai tersentak hingga berlari kencang. Sekar yang tidak siap dengan hal itu mendekap kedua tangan Surya Yudha.Tanpa sengaja Surya Yudha merasakan jika tangannya terganjal oleh dua bongkahan besar yang begitu kenyal. Tiba-tiba Surya Yudha merasa jantungnya berdebar lebih kencang dan mukanya memerah terasa panas. Karena tak tahan dengan hal itu, Surya Yudha melepas genggamannya pada tali kekang dan meminta Sekar menggantikannya. Sementara itu, kedua tangan Surya Yudha memegang pergelangan tangan Sekar.Benar saja, setelah melewati persimpangan mereka sampai di gerbang dusun. Ki Arya Saloka berhenti di gerbang dan memutar kudanya agar posisinya bisa berhadapan dengan Bintang."Gadis manis, aku dan cucuku sedang buru-buru, tak bisa mengantarmu sampai rumah. Jika kalian berjodoh pasti akan bertemu lagi." Wajah Sekar kembali memerah. Gadis itu mengangguk pelan dan tersenyum manis pada Ki Arya Saloka.Surya Yudha turun dan membantu Sekar agar tidak jatuh saat turun dari kuda."Terima kasih, Surya.""Sama-sama. Jika kita berjodoh pasti akan bertemu lagi. Sekarang aku harus pergi, jaga dirimu baik-baik."Sekar mengangguk dan menunduk malu. Perkataan Surya Yudha nyatanya mampu membuat Sekar terbuai dan jatuh dalam lingkaran asmara. Tiba-tiba Sekar memegang tangannya, tetapi tidak berlangsung lama karena Sekar segera menariknya."Surya, kita harus segera pergi."Surya Yudha mengangguk dan kembali menatap sekar. "Jaga dirimu baik-baik."Surya Yudha kembali menunggangi kudanya dan memacunya perlahan. Sekar melambaikan tangan pada pemuda itu dibalas dengan senyum manis dari Surya Yudha."Beberapa jam lalu aku baru mendengar jika ada seorang pemuda tampan yang berkata tidak bisa mengungkapkan perasaan. Tapi ... beberapa saat lalu aku malah mendapatinya menanam benih cinta. Semesta mungkin sedang bercanda." Ki Arya Saloka tidak tahan untuk tidak menggoda cucunya. Surya Yudha tak bisa mengelak dan hanya tersenyum sembari mengusap pipinya yang terasa panas."Kamu suka wanita itu?" tanya Ki Arya Saloka penasaran."Aku tidak tahu, Eyang. Aku hanya berpikir jika gadis itu begitu manis," ucap Surya Yudha.Ki Arya Saloka hanya bisa tertawa. Mungkin sifat ini diturunkan oleh ayahnya yang juga sangat kaku.Kuda kembali masuk ke jalur hutan. Ki Arya Saloka sempat berhenti beberapa kali untuk makan dan mengisi persediaan air minum.Lembayung melamabai di sisi barat menandakan senja datang dan Surya mulai turun. Rembulan akan segera naik menggantikan Surya yang sudah kelelahan."Kita istirahat di sini saja," ucap Ki Arya Saloka saat tiba di tanah lapang yang cocok sebagai tempat bermalam. Surya Yudha mengangguk dan turun dari kuda. Pemuda itu menambatkan tunggangannya di pohon besar di sana."Eyang, aku akan masuk ke hutan untuk berburu. Eyang tunggu di sini."Ki Arya Saloka mengangguk pelan, "Hati-hati. Eyang akan membuat api unggun."Jalanan dusun Tegalsari tak terlalu ramai, tapi tidak juga bisa dikatakan sepi. Seorang gadis muda yang berjalan dengan pakaian compang-camping tentu saja menarik perhatian orang-orang sehingga bisikan-bisikan mulai timbul karena beberapa orang mulai bergunjing.Sekar, gadis cantik berkulit sawo matang dengan alisnya bagaikan lambaian daun kelapa, giginya bagai biji mentimun berjalan dengan muka yang memerah menahan malu. Untung saja jarak antara gapura dusun hingga rumahnya tak begitu jauh sehingga gadis itu kini sudah sampai di depan rumahnya. Rumah yang cukup besar namun tampak sederhana. Dengan kebingungan bercampur rasa takut, Sekar berjalan memasuki rumahnya. Baru di ambang pintu, seseorang membuka pintu dan memberinya tatapan tajam penuh pertanyaan.Terdengar suara berat mengandung amarah yang membuat tubuh Sekar bergetar seketika. "Masuk."Satu kata yang diucapkan dengan perlahan, nada yang begitu datar tetapi siapa saja bisa mengetahui jika tersirat ama
Di tengah kegelapan malam yang hanya disinari rembulan, Surya Yudha terus melangkah untuk mencari hewan buruan. Matanya terus mengedar, pendengarannya terus ditajamkan, kewaspadaannya tak turun sedikit pun. Selain itu, tangan kanannya selalu memegang gagang pedang dengan tangan kiri mencengkeram erat selongsongnya.Tak jauh dari tempat Surya Yudha berdiri, terdengar suara gemerisik yang berasal dari balik semak-semak. Senyum licik tersimpul di bibir Surya Yudha sebelum pemuda itu melangkah memburu hewan buruannya.Dengan perlahan Surya Yudha menyibak semak-semak di hadapannya.Bruk!Sebuah hewan sebesar anak gajah menerjang Surya Yudha hingga pemuda itu tersungkur. Tanpa memberi kesempatan untuk lawannya bangkit, hewan tersebut kembali menerjang dan menendang tubuh Surya Yudha hingga tersungkur beberapa langkah dari tempat sebelumnya. Surya Yudha menarik pedang dari selongsong dan menghunuskan ke tubuh hewan yang menyerangnya. Seekor babi hutan dewasa yang menyerangnya dengan membab
"Ya Dewa ... kenapa aku harus melihatnya?" Surya Yudha berkata dalam hati ketika dia sedang melihat gadis penolongnya sedang membersihkan diri. Dan yang membuat tubuh Surya Yudha terasa panas adalah, gadis itu tak memakai sehelai kain pun di badannya. Walau setengah badannya berada di bawah air, tetapi penglihatan Surya Yudha yang seperti kucing saat malam hari membuat semuanya begitu jelas. Dan ketika Surya Yudha telah selesai mengenakan pakaiannya, pemuda itu bergegas meninggalkan sungai. Malang tak dapat dihindari, ketika Surya Yudha baru saja naik ke tepian sungai, kakinya menginjak batu dan membuatnya tergelincir, kembali tercebur ke sungai."AAA!!"Terdengar suara nyaring diikuti dengan suara riak air membuat Surya Yudha secara tak sadar memalingkan wajahnya. Gadis yang awalnya sedang berendam di air kini sudah berada di tepian sungai dan mengenakan pakaiannya secara tergesa. Surya Yudha yang masih terpana di tempatnya tak menyadari jika bahaya akan segera tiba."Kau pemuda c
Selama perjalanan berlangsung, tak ada hambatan berarti menghadang mereka. Namun, perjalanan mereka tetap lambat karena Surya Yudha yang meminta istirahat beberapa kali.Surya Yudha duduk di bawah pohon sengon dan memegang dadanya yang terasa sakit. Ki Arya Saloka kembali memeriksa kondisi cucunya. "Maaf, Eyang. Aku menyusahkan Eyang." "Tidak ada masalah serius. Hanya saja kita perlu berhenti beberapa hari untuk pemulihan. Tak jauh dari sini ada kota kecil, jika ada penginapan kita bisa menginap di kota itu," ucap Ki Arya Saloka dengan wajah tenangnya.Surya Yudha mengangguk setuju dan kembali mengenakan pakaiannya sebelum melepas tambatan kuda. Keduanya beriringan dengan menunggang kuda, setelah tiga jam melewati perjalanan, akhirnya mereka sampai di kota Batu ceper.Setelah bertanya kepada beberapa penduduk sekitar, Surya Yudha mengetahui jika di kota ini ada beberapa penginapan. Ki Arya Saloka kemudian mengajak Surya Yudha menuju ke penginapan terdekat dari mereka saat ini.Waj
Di kota batu ceper, beberapa gadis sedang membicarakan seorang pemuda yang datang bersama dengan pria paruh baya. "Pemuda itu sangat tampan, tapi sayang, dia tampak terluka.""Kau benar, sangat malang nasibnya.""Kau lihat, walau wajahnya pucat dan tampak tak sehat, tetapi dia terlihat begitu gagah dengan aura yang mengesankan. Asal dia bukan dari kalangan penjahat, aku mau menikahinya.""Aku akan jadi yang pertama.""Jika kau yang pertama, maka aku akan menjadi yang kedua.""Aku ketiga,"..."Aku yang ke dua belas,"Mendengar yang terakhir, semuanya terdiam sesaat sebelum tertawa terbahak-bahak bersama.Seorang gadis dengan baju berwarna kuning daffodil sedang berjalan bersama dua punggawa, merasa penasaran dengan obrolan para teman-temannya."Hei ... apa yang sedang kalian bicarakan? Kenapa kalian tak mengajaku juga?"Seorang gadis yang melihat kedatangan gadis itu buru-buru bangkit dan mendekatinya."Ningrum, kau sudah kembali?"Gadis yang dipanggil Ningrum mengangguk pelan, ken
Di kediaman Tumenggung Adhyaksa, seorang gadis memasuki ruang pribadi Sang Tumenggung dengan wajah cemberut, langkahnya yang tergesa membuat Sang Tumenggung yang sedang membaca gulungan lontar segera menghentikan kegiatannya."Ada apa denganmu, Ningrum?" Tumenggung Adhyaksa bertanya seraya mendekati putrinya lalu mengajaknya duduk di kursi panjang yang terdapat di ruanganya."Rama, kenapa Rama membuat sayembara tanpa persetujuanku? Apa aku sekarang sudah tidak penting untuk Rama?" Gadis yang tak lain dan tak bukan adalah Ningrum, memonyongkon bibirnya, membuat Tumenggung Adhyaksa tersenyum tipis.Di dunia ini, tak ada yang memahami gadis ini lebih baik dari dirinya, apalagi semenjak kematian ibunya tujuh tahun lalu, membuat Tumenggung Adhyaksa sangat memperhatikan putri bungsunya.Saat ini, dengan senyum tipis yang selalu terulas di wajahnya, Tumenggung Adhyaksa menggoda Ningrum. "Justru karena Rama sangat peduli dengan Ningrum, jadi Rama membuat sayembara ini. Bagaimana menurut Ni
Ki Antasena mengajak Ningrum menemui kawan lamanya di sebuah rumah makan yang letaknya tak jauh dari kediaman Tumenggung Adhyaksa. Begitu sampai di tempat tersebut, Ki Antasena memilih meja yang berada di lantai dua dan terletak di samping jendela."Duduklah," ucap Ki Antasena pada Ningrum, gadis itu mengangguk dan duduk di samoing gurunya.Seorang pelayan mendekati mereka dan menanyakan pesanan, dengan santai Ki Antasena menjawab, "kami masih menunggu. Ambilkan arak dan teh terbaik," Pelayan tersebut mengangguk dan kembali untuk menyiapkan pesanan Ki Antasena."Muridku, kau tahu siapa yang akan kita temui sebentar lagi?" "Tidak, Guru." Ki Antasena tersenyum tipis, "Dia memiliki seorang cucu yang tangguh. Aku ingin mengenalkanmu pada cucunya, mungkin kalian akan cocok karena usia kalian tak berbeda jauh.""Guru menggodaku," sahut Ningrum dengan wajah merah seperti tomat."Mana mungkin? Aku hanya mengatakan beberapa kata dan kau bilang menggodamu? Anak nakal!" Ki Antasena melon
Malam mulai menjelang, Ki Antasena dan Ki Arya Saloka mengakhiri pertemuan tersebut dengan bersulang arak untuk yang terakhir kalinya. Ki Antasena mengajak Ningrum pulang sementara Ki Arya Saloka masih duduk di kursinya memperhatikan kota Batu Ceper yang mulai ramai.Walau batu ceper termasuk kota yang tak terlalu besar, tetapi kegiatan di kota ini benar-benar hidup. "Pelayan, ambilkan seguci arak lagi!" teriak Ki Arya Saloka. Seorang pelayan datang dengan seguci arak di tangannya dan meletakannya di meja Ki Arya Saloka. Dengan mata yang terus menatap luar, Ki Arya Saloka menarik guci arak tersebut dan mulai meneguknya. Tegukan demi tegukan telah terlewatkan hingga tegikan terakhir. Ki Arya Saloka meletakan beberapa keping perak di meja untuk membayar arak yang diminumnya sebelum kembali ke penginapan.***Surya Yudha sedang duduk di tepi ranjang ketika dia mendengar suara langkah mendekat."Eyang telah kembali?" tanya Surya Yudha ketika melihat Ki Arya Saloka muncul dari balik
Di dalam ruangan luas yang tampak sederhana itu, Surya Yudha duduk bersama Gendon sementara Banyulingga menyiapkan minum untuk para kawannya. Di ruangan itu pula, Sosok pria yang tampak dingin mengamati Surya Yudha dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan tajamnya terasa mengintimidasi. Dia adalah Rangga Geni, guru Banyulingga sekaligus pande besi terbaik di Jalu Pangguruh.Surya Yudha yang ditatap sedemikian juga merasa sedang ditelanjangi oleh pria tua yang memiliki perawakan kekar itu. Namun, sebagai seseorang yang terbiasa dengan tekanan dari berbagai pihak, Surya Yudha bisa terlihat tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang. Pada saat keheningan menenggelamkan mereka semua, tiba-tiba suara Baiji yang beberapa hari ini jarang muncul kembali bergema di kepala Surya Yudha. [Jadikan dia gurumu. Aku merasakan aura istimewa dari dalam tubuhnya. Bisa jadi dia telah menemukan sesuatu dari alamku.]Surya Yudha mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin dia bisa menjadikan seseo
Sore harinya, di penginapan tempat Surya Yudha menginap, pemuda itu berkumpul bersama rekan-rekannya. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja. Wajah mereka terlihat serius. "Candrika dan Paman Mahasura tetap di sini. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon selama beberapa hari." "Apa yang ingin kau lakukan, Surya?" Candrika bertanya dengan penasaran."Aku harus pergi ke suatu tempat. Kalian berdua jangan khawatir.""Kalian ingin melakukan penyerangan?" tanya Mahasura. Surya Yudha menggeleng. "Tidak. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon untuk mengambil sesuatu. Kalian jangan khawatir, aku akan baik-baik saja." Tatapan Mahasura beralih pada Banyulingga. "Ke mana kalian akan pergi? Jawab aku!"Banyulingga menelan ludahnya. Dia tidak menyangka pria yang pagi ini masih terlihat lemah saat ini tampak mengerikan."Ka-kami ...." Banyulingga tergagap, tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Surya Yudha yang melihat Banyulingga ketakutan tertawa. Dia lantas berkata lada Mahasur
Ada beberapa kedai arak di pasar budak. Namun, hanya ada satu yang selalu buka sementara yang lainnya hanya buka ketika senja datang. Surya Yudha memasuki kedai arak bersama Gendon dan Banyulingga. Kedatangan mereka menarik perhatian terutama Gendon yang mengeluarkan aroma obat dari tubuhnya, ciri khas para tabib. Surya Yudha mengajak mereka ke lantai dua kedai tersebut dan memilih tempat duduk di dekat jendela. Di lantai tersebut, hanya ada kelompok Surya Yudha. Suasana kedai tersebut juga sangat tenang tidak seperti kedai arak di malam hari.Seorang pelayan pria datang menghampiri meja mereka. "Tuan-tuan ingin pesan apa?" "Dua guci arak beras, daging dan kacang rebus." Surya Yudha menjawab dengan cepat. Pelayan itu mengangguk dan pergi untuk menyiapkan pesanan. "Den bagus, kita mau cari informasi gimana? Ini masih sepi, lagipula kita datang kepagian." Gendon berkata dan diangguki Banyulingga. "Lihat saja apa yang akan aku lakukan."Mata Surya Yudha menerawang ke luar, memandang
Surya Yudha mendapat informasi tambahan mengenai pasar budak. Ternyata pasar budak dikuasai oleh sebuah organisasi yang bernama kelompok Harimau Besi. Pemuda itu juga mengetahui markas besar Harimau Besi."Bagus. Kita bisa melakukan penyerangan malam ini juga." Mahasura berdehem. Seolah menujukkan ketidaksetujuannya. Meski dia seorang budak, tetapi setelah mendapat nasihat bertubi-tubi dari Gendon, akhirnya Mahasura mau menerima identitasnya dulu, sebagai Paman dari Surya Yudha. "Paman, ada apa? Kau tidak setuju?" tanya Surya Yudha. "Surya, menyerang Markas Harimau Besi saat malam hari adalah ide paling buruk yang kita miliki." Mahasura berkata dengan tenang. Dia mengambil sebuah kendi dan meletakannya di atas meja. "Mereka sangat aktif pada malam hari. Kekuatan mereka berkumpul saat malam tiba. Menyerang saat tengah hari adalah pilihan terbaik." Mahasura mengambil sebuah cangkir dan meletakannya di bagian utara kendi."Ini adalah pintu utama yang dijaga oleh Harimau utara. Aku t
"Tuan, ada orang yang ingin bertemu dengan anda. Kami sudah berusaha untuk tetap menjaga ketenangan anda, tetapi mereka mengatakan jika anda akan menerima mereka dengan baik." Meski pelayan itu berkata dengan penuh senyuman, tetapi getaram di tangannya menunjukkan jika dia sedang gugup.Sementara itu, mendengar penjelasan pelayan itu, Surya Yudha mulai menebak-nebak siapakah orang yang ingin menemuinya itu. "Baiklah, aku akan menemui mereka."Pelayan itu mengangguk dan pergi. Surya Yudha juga turun mengikuti pelayan itu. Ketika sampai di lantai dasar, dia melihat dua orang yang sangat dia kenal. Yang satu terlihat ceria dan yang lainnya tampak kesal. "Den bagus!" Begitu melihat kedatangan Surya Yudha, pemuda bertubuh gempal itu segera berteriak memanggilnya. Surya Yudha tersenyum tipis. Sudah cukup lama sejak mereka terakhir kali bertemu. "Den bagus, wah den bagus keliatan makin gagah saja." Gendon menghampiri Surya Yudha dengan wajah cerianya. "Den bagus apa kabar?" "Sangat
Mahasura tentu saja bingung dengan reaksi yang Surya Yudha tunjukkan. Meski tidak tahu teknik apa yang pemuda itu gunakan, tetapi dia adalah orang yang paling tahu tentang akibat dari teknik tersebut. Dia yakin jika Surya Yudha baru saja memindahkan sedikit racun dari tubuhnya. Walau racun yang berpindah hanya sedikit, tetapi itu sudah mengurangi rasa sakit yang Mahasura derita, dan itu berarti rasa sakit itu berpindah pada Surya Yudha. Mahasura memang tahu jika ada teknik yang bisa menetralisir racun menggunakan tenaga dalam. Namun, dibutuhkan keahlian khusus dan tenaga dalam yang tinggi untuk bisa melakukannya. Selain itu, menetralkan tenaga dalam dan memindahkannya adalah hal yang sama sekali berbeda.Dia ingin bertanya tentang teknik yang baru saja Surya Yudha gunakan. Namun, dia tidak berani bertanya karena merasa tidak memiliki hak. Melihat kebingungan di wajah Mahasura, Surya Yudha tersenyum tipis. "Paman, tenang saja. Aku sudah menguasai teknik ini, jadi jangan khawatir te
Meski disebut sebagai pasar Budak, tetapi sebenarnya tempat ini layak disebut sebagai kota kecil. Ada banyak penginapan dan kedai makanan yang buka di tempat ini. Suasananya pun tak kalah ramai dengan kota kecil di wilayah lain Jalu Pangguruh. Surya Yudha membawa Banyulingga dan budak yang baru saja dia beli ke sebuah penginapan. Pemuda itu menyewa sebuah lantai di penginapan khusus untuk mereka bertiga. Dia sengaja menyewa satu lantai karena tidak ingin diganggu. Di dalam kamar terbesar di penginapan itu, tiga orang pria duduk melingkar di meja. Salah satu pemuda menatap nanar pria yang lain seperti ingin menangis. "Paman ... Paman Mahasura. Kami mencarimu ke seluruh hutan bahkan menyusuri jurang." Air mata Surya Yudha menetes. Budak yang baru saja dia beli adalah Mahasura, salah satu orang yang melatih Surya Yudha hingga menjadi petarung yang tangguh. Setahun lalu, Mahasura mendapat misi penting dari kerajaan. Namun, misi tersebut gagal dan semua orang di dalamnya mati. Surya Y
Surya Yudha kembali mengatur napasnya yang terengah-engah. Dengan menggunakan sebelah tangannya, Surya Yudha menyeka keringatnya. Melihat kondisi Banyulingga sekarang, dia merasa puas. "Bagaimana? Kau masih meremehkan pil milikku?" ucap Surya Yudha mengejek. Banyulingga menggeleng. "Aku berharap ini adalah kebodohanku yang terakhir." "Aku juga berharap seperti itu." Surya Yudha mengangguk setuju. Hal itu malah membuat Banyulingga tersenyum kecut. Saat Surya Yudha sudah mendapat kembali tenaganya, dia menemukan ada sesuatu yang aneh. Sebelumnya dia mengetahui jika Cakra miliknya tersegel oleh sesuatu yang berbentuk seperti cincin berwarna ungu pekat. Namun, saat ini cincin itu tampak retak seolah dikikis oleh sesuatu. 'Baiji, apa kau bisa menjelaskan ini kepadaku?' [Menjelaskan apa?]'Cakra milikku. Segelnya seperti retak.'[Bukankah itu bagus? Kau bisa menggunakan tenaga dalammu lagi jika bisa menghancurkan segel tersebut.]Surya Yudha tersenyum senang. Apa itu berarti dia tidak
Banyulingga menatap Surya Yudha dengan cemas. "Ada apa? Kenapa kau di sini?" tanya Surya Yudha keheranan saat melihat Banyulingga yang seperti menunggunya. "Kau sudah empat hari bertapa tapi tidak bangun-bangun. Kau bilang hanya memulihkan energi, kenapa begitu lama?""Empat hari?" Surya Yudha terkejut saat mengetahui waktu yang dia habiskan. "Gawat! Aku menghabiskan terlalu banyak waktu. Kita harus pergi ke pasar budak saat ini juga!"Surya Yudha bergegas bangkit dan menyiapkan kelengkapannya. Namun, suara Banyulingga berhasil menghentikannya. "Candrika tidak akan membiarkan kita pergi sebelum memeriksa kondisimu." "Aku baik-baik saja. Aku sudah sangat sehat." Surya Yudha menunjukkan tubuhnya. Dia memang tampak sangat sehat sekarang. Tanpa berkata-kata lagi, Surya Yudha mencengkeram bahu Banyulingga. Pemuda itu mengerahkan sumber energinya ke kaki dan melompat hingga keluar dari tempat itu. Ketika tubuhnya masih berada di udara, Surya Yudha bersiul. Ringkikan kuda menyahuti si