Panglima Besar Indra Yudha menulis surat pengunduran diri Surya Yudha dan menyerahkannya ke Raja Wirya Semitha. Hari itu juga, Panglima Besar Indra Yudha resmi mencopot Surya Yudha dari jajaran militer kerajaan Nara Artha.
Istana terlihat ramai karena banyak pejabat militer yang menolak keputusan Panglima Besar Indra Yudha mengenai pengunduran Surya Yudha yang masih dinilai sepihak.
Surya Yudha bahkan belum bangun dari tidur panjangnya, tetapi Panglima Besar Indra Yudha sudah menurunkan perintah untuk mencopot Surya Yudha dan meresmikannya.
"Maaf, Panglima besar, saya rasa pencopotan Surya Yudha adalah sesuatu yang berlebihan. Apalagi jika alasannya adalah karena gagal melindungi Putra Mahkota." Wirmo menjadi orang yang pertama menolak keputusan Panglima Besar Indra Yudha.
"Benar, Panglima. Tanpa kehadiran Surya Yudha, maka kekuatan generasi muda kita akan menurun banyak."
"Jangan karena Surya Yudha sudah melebihi temannya dalam segala hal maka kalian memandang tinggi pemuda itu," ucap Panglima Besar Indra Yudha.
Panglima Besar Indra Yudha masih tidak mau mengatakan jika tenaga dalam Surya Yudha saat ini tersegel, karena membuat beberapa orang kecewa dan justru menyalahkan ayah mertuanya.
"Keputusan sudah dibuat. Bahkan jika yang mulia Raja Wirya Semitha yang meminta, aku tidak dapat berbuat banyak karena Ki Arya Saloka ingin membawa cucunya pergi dari kerajaan ini." Orang-orang yang mendengar ucapan Panglima Besar Indra Yudha semakin terkejut karena jika Ki Arya Saloka membawa Surya Yudha, maka kecil kemungkinan Surya Yudha kembali dalam dunia militer.
"Jika hal ini sudah menyangkut Ki Arya Saloka, maka saya tidak akan mendebatnya." Beberapa pejabat militer yang protes langsung kepada Panglima Besar Indra Yudha memilih mundur daripada memperdebatkan hal kosong.
Perdebatan juga terjadi dalam sidang di istana. Raja Wirya Semitha menolak pengunduran diri Surya Yudha. Pangeran Abimanyu juga tidak ingin mengganti Surya Yudha dengan siapa pun di kerajaan ini.
"Maaf, Panglima. Saya rasa mencopot Surya Yudha adalah tindakan yang berlebihan. Surya Yudha sudah melindungiku hingga terluka parah. Yang harus kita lakukan saat ini adalah membiarkannya istirahat dan memberinya lencana kehormatan. Bukan dengan mencopot jabatannya."
"Maaf yang mulia, saat ini Surya Yudha sudah tidak layak menjadi pengawal Anda lagi. Saya mohon pangeran memahaminya dan memberikan kesempatan untuk dirinya berkembang."
Pangeran Abimanyu masih ngotot mempertahankan keinginannya agar Surya Yudha tidak dicopot. Namun, keputusan Panglima Besar Indra Yudha tidak dapat diganggu gugat. "Bukankah Surya Yudha akan terus berkembang jika dia terus berlatih? Bahkan dia juga bisa menggantikan posisi Panglima Besar suatu saat nanti."
Saat perdebatan alot terjadi, Ki Arya Saloka secara pribadi ingin bertemu dengan Pangeran Abimanyu dan Raja Wirya Semitha.
"Yang Mulia, anda berhutang padaku untuk minum teh bersama dan aku ingin menagihnya saat ini juga." Ki Arya Saloka menyerobot masuk dalam rapat kerajaan.
"Tentu saja, Ki Arya. Suatu kehormatan bagiku bisa meminum teh bersama Anda."
Ki Arya Saloka tersenyum tipis dan menggeleng pelan. "Jangan terlalu berlebihan, Yang Mulia. Orang tua ini takut jika jiwaku melayang."
Raja Wirya Semitha kembali tertawa. "Pelayan! Siapkan jamuan di kediamanku!"
Beberapa pelayan menyiapkan jamuan kecil di kediaman pribadi Raja Wirya Semitha. Panglima Besar Indra Yudha juga turut diundang dalam jamuan kali ini.
"Terima kasih, Ki Arya Saloka sudah mau berkunjung ke kediamanku yang sederhana ini."
"Jika kediamanmu yang begitu bagus seperti ini dibilang sederhana, apakah Anda akan menyebut kediamanku sebagai gubug? Atau seonggok kayu yang ditumpuk rapi hingga bisa ditempati manusia bau tanah?" Ki Arya Saloka tampaknya kesal dengan sifat raja Wirya Semitha yang terlalu merendah.
"Maaf jika perkataanku menyinggung Anda, Ki Arya," ucap Raja Wirya Semitha tak enak hati.
"Tidak masalah. Hanya saja rasanya kurang pantas jika seorang raja terlalu merendah," balas Ki Arya Saloka cuek. "Baiklah, Yang Mulia. Aku ingin mengatakan satu hal tentang Surya Yudha kepada Anda. Aku juga ingin meminta satu hal kepadamu, Yang Mulia. Apa yang Mulia bisa memberikan hal itu padaku?"
"Jika saya mampu, Saya akan memberikannya. Tapi saya tidak bisa menjanjikan sesuatu yang diluar kemampuan saya." Ki Arya terlihat puas saat mendengar jawaban Raja Wirya Semitha.
"Baiklah, aku akan mengatakan tentang Surya Yudha di sini. Saya juga akan memberikan sebuah janji kepada Yang Mulia."
Ki Arya Saloka mulai menceritakan tentang kondisi Surya Yudha yang hampir mati, tenaga dalamnya yang tersegel dan tanaman ilalang emas yang membuat Surya Yudha melemah.
Raja Wirya Semitha mendengarkan dengan saksama dan sesekali mengangguk paham. Ki Arya Saloka berniat membawa cucunya pergi dari kerajaan Nara Artha agar bisa berguru di padepokan milik teman Ki Arya Saloka. Dengan begitu, kesempatan Surya Yudha menjadi kuat lebih besar.
"Janji saya adalah, di masa depan, Surya Yudha akan pulang jika kerajaan membutuhkannya dan hatinya tergerak. Namun, hal itu hanya berlaku sekali. Jika Anda sudah menggunakan kesempatan itu, sekali Surya Yudha pergi maka saya tidak bisa memastikan kapan dia kembali."
Raja Wirya Semitha terlihat berpikir keras. Ia tidak menyangka jika Surya Yudha akan berakhir seperti ini. Namun, ia yakin dengan tekad dan semangat Surya Yudha, pemuda itu bisa kembali bangkit. "Jika memang ini untuk kebaikan Surya Yudha, maka tidak ada yang boleh menghalanginya. Aku percaya jika Ki Arya dan Surya Yudha adalah orang yang menepati janji."
Raja Wirya Semitha menatap tajam panglimanya, terlihat kecewa saat tahu jika penglimanya tidak jujur dalam hal ini. "Hal sepenting ini kenapa kau sembunyikan dariku, Indra? Kita sudah bersahabat sejak kecil. Begitu pun anak kita. Aku akan melepasnya dengan ikhlas dan memberikan alasan yang masuk akal tanpa menjatuhkan harga diri Surya Yudha."
"Itu karena Indra Yudha kurang memahami kondisi anaknya. Dia adalah seorang prajurit. Wajar jika ada penyampaiannya yang salah tentang kondisi seseorang," ujar Ki Arya Saloka.
Melihat Ki Arya Saloka membela Panglima Besar Indra Yudha membuat Raja Wirya Semitha diam tak mau memperpanjang masalah walau alasannya terdengar tabu.
"Tehnya mulai dingin. Jika tidak segera diminum rasanya akan kurang enak." Ki Arya Saloka mencoba mencairkan kecanggungan yang terjadi. Panglima Besar Indra Yudha dan Raja Wirya Semitha kompak mengangkat gelasnya berniat mengajak bersulang.
"Hei. Ini hanyalah teh. Jika kalian ingin bersulang maka sebaiknya kita minum arak!" ucap Ki Arya Saloka.
Raja Wirya Semitha setuju dengan usulan Ki Arya Saloka. Dirinya nmeminta kepada pelayan agar membawakan beberapa guci arak terbaik.
"Anggap saja sebagai arak perjumpaan," ucap raja Wirya Semitha yang diangguki dua rekan minumnya.
Saat Ki Arya Saloka hendak meminum araknya, seorang penjaga melapor jika Surya Yudha siuman. Ki Arya Saloka pamit untuk memeriksa kondisi Surya Yudha.
Perjamuan itu akhirnya harus berakhir singkat karena baik Pangkima Besar Indra Yudha maupun Raja Wirya Semitha ingin melihat kondisi Surya Yudha.
***
Di ruangan Surya Yudha dirawat, Dewi Mayangsari selalu menemani Surya Yudha. Untuk beberapa hari ini wanita itu bahkan mengabaikan suaminya yang baru pulang dari misi.
"Nak ... kenapa kamu tidak sadar juga?" ucap Dewi Mayangsari bersedih. Setetes air mata yang keluar menyusuri pipi mulusnya hingga jatuh di tangan Surya Yudha yang sedang ia pegang.
"I ... ibu." Suara yang begitu lirih, tetapi cukup jelas di telinga Dewi Mayangsari, membuat wanita itu menyeka airmatanya dan mengumbar senyum kebahagiaan.
"Surya ... kamu sadar, nak?" ucap Dewi Mayangsari bahagia. "Penjaga! Panggilkan Ki Arya Saloka sekarang juga! Katakan padanya jika Surya Yudha telah sadar."
Penjaga itu mengangguk dan pergi meninggalkan Balai Pengobatan. Beberapa saat berlalu, si penjaga yang pergi sudah kembali bersama Ki Arya Saloka dan dua pria lainnya.
Senyum tipis terbit di bibir Ki Arya Saloka. Namun, senyum itu hilang ketika ia menemui Surya Yudha dan mendapat pertanyaan yang paling menyakitkan selama hidupnya.
"Eyang ... apa yang terjadi kepadaku?"
Bagai tersambar oleh petir surgawi, Ki Arya Saloka terpaku di tempatnya berdiri. Segudang kalimat yang ingin ia katakan tiba-tiba lenyap saat itu juga."Eyang ... aku ingat betul sebelum aku terlelap kondisiku baik-baik saja. Tapi kenapa sekarang seperti ini?" Surya Yudha terlihat kecewa dengan kondisinya yang menyedihkan. Begitu pemuda itu bangun, tenaga dalam miliknya tak bisa ia keluarkan. Padahal ia yakin jika tenaga dalamnya masih tersisa bahkan dalam kondisi penuh.Sejenak, Ki Arya Saloka menghela napas panjang. Pria tua itu menatap Raja Wirya Semitha dan Panglima Besar Indra Yudha bergantian. Panglima Besar Indra Yudha mengangguk lalu keluar bersama dengan Dewi Mayangsari dan Raja Wirya Semitha.Perlahan Ki Arya Saloka mendekati Surya Yudha dan duduk di sampingnya. Ki Arya Saloka terlihat ingin menyampaikan sesuatu, tetapi seperti tak bisa mengungkapnya.Surya Yudha akhirnya mengalah dan
Wanita yang ditolong oleh Surya Yudha terlihat ketakutan. Pakaiannya juga compang-camping serta penampilan yang begitu berantakan. Saat Surya Yudha mendekati wanita tersebut, wanita itu mundur karena ketakutan."Aku tidak akan menyakitimu. Namaku Surya Yudha.""Su-Surya Yudha?" tanya wanita itu tergagap ketakutan.Surya Yudha mengangguk dan mendekati wanita itu lagi. "Aku Surya Yudha. Dulu aku adalah seorang prajurit di kerajaan Nara Artha. Siapa namamu?"Wanita itu masih diam. Surya Yudha hanya menghela napas dan memalingkan wajahnya. "Sekar," jawab gadis itu bernama Sekar.Surya Yudha tersenyum tipis dan kembali berdiri. "Di mana rumahmu? Jika kamu ingin pulang aku akan mengantarnya. Namun, jika masih betah di sini aku harus pergi sekarang."Sekar terlihat ragu untuk memilih pergi bersama Surya Yudha atau tidak. Namun, berdiam diri di tempat ini sama saja mencari mati. Maka, wanita itu akhirnya memutuskan mengikuti S
Jalanan dusun Tegalsari tak terlalu ramai, tapi tidak juga bisa dikatakan sepi. Seorang gadis muda yang berjalan dengan pakaian compang-camping tentu saja menarik perhatian orang-orang sehingga bisikan-bisikan mulai timbul karena beberapa orang mulai bergunjing.Sekar, gadis cantik berkulit sawo matang dengan alisnya bagaikan lambaian daun kelapa, giginya bagai biji mentimun berjalan dengan muka yang memerah menahan malu. Untung saja jarak antara gapura dusun hingga rumahnya tak begitu jauh sehingga gadis itu kini sudah sampai di depan rumahnya. Rumah yang cukup besar namun tampak sederhana. Dengan kebingungan bercampur rasa takut, Sekar berjalan memasuki rumahnya. Baru di ambang pintu, seseorang membuka pintu dan memberinya tatapan tajam penuh pertanyaan.Terdengar suara berat mengandung amarah yang membuat tubuh Sekar bergetar seketika. "Masuk."Satu kata yang diucapkan dengan perlahan, nada yang begitu datar tetapi siapa saja bisa mengetahui jika tersirat ama
Di tengah kegelapan malam yang hanya disinari rembulan, Surya Yudha terus melangkah untuk mencari hewan buruan. Matanya terus mengedar, pendengarannya terus ditajamkan, kewaspadaannya tak turun sedikit pun. Selain itu, tangan kanannya selalu memegang gagang pedang dengan tangan kiri mencengkeram erat selongsongnya.Tak jauh dari tempat Surya Yudha berdiri, terdengar suara gemerisik yang berasal dari balik semak-semak. Senyum licik tersimpul di bibir Surya Yudha sebelum pemuda itu melangkah memburu hewan buruannya.Dengan perlahan Surya Yudha menyibak semak-semak di hadapannya.Bruk!Sebuah hewan sebesar anak gajah menerjang Surya Yudha hingga pemuda itu tersungkur. Tanpa memberi kesempatan untuk lawannya bangkit, hewan tersebut kembali menerjang dan menendang tubuh Surya Yudha hingga tersungkur beberapa langkah dari tempat sebelumnya. Surya Yudha menarik pedang dari selongsong dan menghunuskan ke tubuh hewan yang menyerangnya. Seekor babi hutan dewasa yang menyerangnya dengan membab
"Ya Dewa ... kenapa aku harus melihatnya?" Surya Yudha berkata dalam hati ketika dia sedang melihat gadis penolongnya sedang membersihkan diri. Dan yang membuat tubuh Surya Yudha terasa panas adalah, gadis itu tak memakai sehelai kain pun di badannya. Walau setengah badannya berada di bawah air, tetapi penglihatan Surya Yudha yang seperti kucing saat malam hari membuat semuanya begitu jelas. Dan ketika Surya Yudha telah selesai mengenakan pakaiannya, pemuda itu bergegas meninggalkan sungai. Malang tak dapat dihindari, ketika Surya Yudha baru saja naik ke tepian sungai, kakinya menginjak batu dan membuatnya tergelincir, kembali tercebur ke sungai."AAA!!"Terdengar suara nyaring diikuti dengan suara riak air membuat Surya Yudha secara tak sadar memalingkan wajahnya. Gadis yang awalnya sedang berendam di air kini sudah berada di tepian sungai dan mengenakan pakaiannya secara tergesa. Surya Yudha yang masih terpana di tempatnya tak menyadari jika bahaya akan segera tiba."Kau pemuda c
Selama perjalanan berlangsung, tak ada hambatan berarti menghadang mereka. Namun, perjalanan mereka tetap lambat karena Surya Yudha yang meminta istirahat beberapa kali.Surya Yudha duduk di bawah pohon sengon dan memegang dadanya yang terasa sakit. Ki Arya Saloka kembali memeriksa kondisi cucunya. "Maaf, Eyang. Aku menyusahkan Eyang." "Tidak ada masalah serius. Hanya saja kita perlu berhenti beberapa hari untuk pemulihan. Tak jauh dari sini ada kota kecil, jika ada penginapan kita bisa menginap di kota itu," ucap Ki Arya Saloka dengan wajah tenangnya.Surya Yudha mengangguk setuju dan kembali mengenakan pakaiannya sebelum melepas tambatan kuda. Keduanya beriringan dengan menunggang kuda, setelah tiga jam melewati perjalanan, akhirnya mereka sampai di kota Batu ceper.Setelah bertanya kepada beberapa penduduk sekitar, Surya Yudha mengetahui jika di kota ini ada beberapa penginapan. Ki Arya Saloka kemudian mengajak Surya Yudha menuju ke penginapan terdekat dari mereka saat ini.Waj
Di kota batu ceper, beberapa gadis sedang membicarakan seorang pemuda yang datang bersama dengan pria paruh baya. "Pemuda itu sangat tampan, tapi sayang, dia tampak terluka.""Kau benar, sangat malang nasibnya.""Kau lihat, walau wajahnya pucat dan tampak tak sehat, tetapi dia terlihat begitu gagah dengan aura yang mengesankan. Asal dia bukan dari kalangan penjahat, aku mau menikahinya.""Aku akan jadi yang pertama.""Jika kau yang pertama, maka aku akan menjadi yang kedua.""Aku ketiga,"..."Aku yang ke dua belas,"Mendengar yang terakhir, semuanya terdiam sesaat sebelum tertawa terbahak-bahak bersama.Seorang gadis dengan baju berwarna kuning daffodil sedang berjalan bersama dua punggawa, merasa penasaran dengan obrolan para teman-temannya."Hei ... apa yang sedang kalian bicarakan? Kenapa kalian tak mengajaku juga?"Seorang gadis yang melihat kedatangan gadis itu buru-buru bangkit dan mendekatinya."Ningrum, kau sudah kembali?"Gadis yang dipanggil Ningrum mengangguk pelan, ken
Di kediaman Tumenggung Adhyaksa, seorang gadis memasuki ruang pribadi Sang Tumenggung dengan wajah cemberut, langkahnya yang tergesa membuat Sang Tumenggung yang sedang membaca gulungan lontar segera menghentikan kegiatannya."Ada apa denganmu, Ningrum?" Tumenggung Adhyaksa bertanya seraya mendekati putrinya lalu mengajaknya duduk di kursi panjang yang terdapat di ruanganya."Rama, kenapa Rama membuat sayembara tanpa persetujuanku? Apa aku sekarang sudah tidak penting untuk Rama?" Gadis yang tak lain dan tak bukan adalah Ningrum, memonyongkon bibirnya, membuat Tumenggung Adhyaksa tersenyum tipis.Di dunia ini, tak ada yang memahami gadis ini lebih baik dari dirinya, apalagi semenjak kematian ibunya tujuh tahun lalu, membuat Tumenggung Adhyaksa sangat memperhatikan putri bungsunya.Saat ini, dengan senyum tipis yang selalu terulas di wajahnya, Tumenggung Adhyaksa menggoda Ningrum. "Justru karena Rama sangat peduli dengan Ningrum, jadi Rama membuat sayembara ini. Bagaimana menurut Ni
Di dalam ruangan luas yang tampak sederhana itu, Surya Yudha duduk bersama Gendon sementara Banyulingga menyiapkan minum untuk para kawannya. Di ruangan itu pula, Sosok pria yang tampak dingin mengamati Surya Yudha dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan tajamnya terasa mengintimidasi. Dia adalah Rangga Geni, guru Banyulingga sekaligus pande besi terbaik di Jalu Pangguruh.Surya Yudha yang ditatap sedemikian juga merasa sedang ditelanjangi oleh pria tua yang memiliki perawakan kekar itu. Namun, sebagai seseorang yang terbiasa dengan tekanan dari berbagai pihak, Surya Yudha bisa terlihat tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang. Pada saat keheningan menenggelamkan mereka semua, tiba-tiba suara Baiji yang beberapa hari ini jarang muncul kembali bergema di kepala Surya Yudha. [Jadikan dia gurumu. Aku merasakan aura istimewa dari dalam tubuhnya. Bisa jadi dia telah menemukan sesuatu dari alamku.]Surya Yudha mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin dia bisa menjadikan seseo
Sore harinya, di penginapan tempat Surya Yudha menginap, pemuda itu berkumpul bersama rekan-rekannya. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja. Wajah mereka terlihat serius. "Candrika dan Paman Mahasura tetap di sini. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon selama beberapa hari." "Apa yang ingin kau lakukan, Surya?" Candrika bertanya dengan penasaran."Aku harus pergi ke suatu tempat. Kalian berdua jangan khawatir.""Kalian ingin melakukan penyerangan?" tanya Mahasura. Surya Yudha menggeleng. "Tidak. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon untuk mengambil sesuatu. Kalian jangan khawatir, aku akan baik-baik saja." Tatapan Mahasura beralih pada Banyulingga. "Ke mana kalian akan pergi? Jawab aku!"Banyulingga menelan ludahnya. Dia tidak menyangka pria yang pagi ini masih terlihat lemah saat ini tampak mengerikan."Ka-kami ...." Banyulingga tergagap, tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Surya Yudha yang melihat Banyulingga ketakutan tertawa. Dia lantas berkata lada Mahasur
Ada beberapa kedai arak di pasar budak. Namun, hanya ada satu yang selalu buka sementara yang lainnya hanya buka ketika senja datang. Surya Yudha memasuki kedai arak bersama Gendon dan Banyulingga. Kedatangan mereka menarik perhatian terutama Gendon yang mengeluarkan aroma obat dari tubuhnya, ciri khas para tabib. Surya Yudha mengajak mereka ke lantai dua kedai tersebut dan memilih tempat duduk di dekat jendela. Di lantai tersebut, hanya ada kelompok Surya Yudha. Suasana kedai tersebut juga sangat tenang tidak seperti kedai arak di malam hari.Seorang pelayan pria datang menghampiri meja mereka. "Tuan-tuan ingin pesan apa?" "Dua guci arak beras, daging dan kacang rebus." Surya Yudha menjawab dengan cepat. Pelayan itu mengangguk dan pergi untuk menyiapkan pesanan. "Den bagus, kita mau cari informasi gimana? Ini masih sepi, lagipula kita datang kepagian." Gendon berkata dan diangguki Banyulingga. "Lihat saja apa yang akan aku lakukan."Mata Surya Yudha menerawang ke luar, memandang
Surya Yudha mendapat informasi tambahan mengenai pasar budak. Ternyata pasar budak dikuasai oleh sebuah organisasi yang bernama kelompok Harimau Besi. Pemuda itu juga mengetahui markas besar Harimau Besi."Bagus. Kita bisa melakukan penyerangan malam ini juga." Mahasura berdehem. Seolah menujukkan ketidaksetujuannya. Meski dia seorang budak, tetapi setelah mendapat nasihat bertubi-tubi dari Gendon, akhirnya Mahasura mau menerima identitasnya dulu, sebagai Paman dari Surya Yudha. "Paman, ada apa? Kau tidak setuju?" tanya Surya Yudha. "Surya, menyerang Markas Harimau Besi saat malam hari adalah ide paling buruk yang kita miliki." Mahasura berkata dengan tenang. Dia mengambil sebuah kendi dan meletakannya di atas meja. "Mereka sangat aktif pada malam hari. Kekuatan mereka berkumpul saat malam tiba. Menyerang saat tengah hari adalah pilihan terbaik." Mahasura mengambil sebuah cangkir dan meletakannya di bagian utara kendi."Ini adalah pintu utama yang dijaga oleh Harimau utara. Aku t
"Tuan, ada orang yang ingin bertemu dengan anda. Kami sudah berusaha untuk tetap menjaga ketenangan anda, tetapi mereka mengatakan jika anda akan menerima mereka dengan baik." Meski pelayan itu berkata dengan penuh senyuman, tetapi getaram di tangannya menunjukkan jika dia sedang gugup.Sementara itu, mendengar penjelasan pelayan itu, Surya Yudha mulai menebak-nebak siapakah orang yang ingin menemuinya itu. "Baiklah, aku akan menemui mereka."Pelayan itu mengangguk dan pergi. Surya Yudha juga turun mengikuti pelayan itu. Ketika sampai di lantai dasar, dia melihat dua orang yang sangat dia kenal. Yang satu terlihat ceria dan yang lainnya tampak kesal. "Den bagus!" Begitu melihat kedatangan Surya Yudha, pemuda bertubuh gempal itu segera berteriak memanggilnya. Surya Yudha tersenyum tipis. Sudah cukup lama sejak mereka terakhir kali bertemu. "Den bagus, wah den bagus keliatan makin gagah saja." Gendon menghampiri Surya Yudha dengan wajah cerianya. "Den bagus apa kabar?" "Sangat
Mahasura tentu saja bingung dengan reaksi yang Surya Yudha tunjukkan. Meski tidak tahu teknik apa yang pemuda itu gunakan, tetapi dia adalah orang yang paling tahu tentang akibat dari teknik tersebut. Dia yakin jika Surya Yudha baru saja memindahkan sedikit racun dari tubuhnya. Walau racun yang berpindah hanya sedikit, tetapi itu sudah mengurangi rasa sakit yang Mahasura derita, dan itu berarti rasa sakit itu berpindah pada Surya Yudha. Mahasura memang tahu jika ada teknik yang bisa menetralisir racun menggunakan tenaga dalam. Namun, dibutuhkan keahlian khusus dan tenaga dalam yang tinggi untuk bisa melakukannya. Selain itu, menetralkan tenaga dalam dan memindahkannya adalah hal yang sama sekali berbeda.Dia ingin bertanya tentang teknik yang baru saja Surya Yudha gunakan. Namun, dia tidak berani bertanya karena merasa tidak memiliki hak. Melihat kebingungan di wajah Mahasura, Surya Yudha tersenyum tipis. "Paman, tenang saja. Aku sudah menguasai teknik ini, jadi jangan khawatir te
Meski disebut sebagai pasar Budak, tetapi sebenarnya tempat ini layak disebut sebagai kota kecil. Ada banyak penginapan dan kedai makanan yang buka di tempat ini. Suasananya pun tak kalah ramai dengan kota kecil di wilayah lain Jalu Pangguruh. Surya Yudha membawa Banyulingga dan budak yang baru saja dia beli ke sebuah penginapan. Pemuda itu menyewa sebuah lantai di penginapan khusus untuk mereka bertiga. Dia sengaja menyewa satu lantai karena tidak ingin diganggu. Di dalam kamar terbesar di penginapan itu, tiga orang pria duduk melingkar di meja. Salah satu pemuda menatap nanar pria yang lain seperti ingin menangis. "Paman ... Paman Mahasura. Kami mencarimu ke seluruh hutan bahkan menyusuri jurang." Air mata Surya Yudha menetes. Budak yang baru saja dia beli adalah Mahasura, salah satu orang yang melatih Surya Yudha hingga menjadi petarung yang tangguh. Setahun lalu, Mahasura mendapat misi penting dari kerajaan. Namun, misi tersebut gagal dan semua orang di dalamnya mati. Surya Y
Surya Yudha kembali mengatur napasnya yang terengah-engah. Dengan menggunakan sebelah tangannya, Surya Yudha menyeka keringatnya. Melihat kondisi Banyulingga sekarang, dia merasa puas. "Bagaimana? Kau masih meremehkan pil milikku?" ucap Surya Yudha mengejek. Banyulingga menggeleng. "Aku berharap ini adalah kebodohanku yang terakhir." "Aku juga berharap seperti itu." Surya Yudha mengangguk setuju. Hal itu malah membuat Banyulingga tersenyum kecut. Saat Surya Yudha sudah mendapat kembali tenaganya, dia menemukan ada sesuatu yang aneh. Sebelumnya dia mengetahui jika Cakra miliknya tersegel oleh sesuatu yang berbentuk seperti cincin berwarna ungu pekat. Namun, saat ini cincin itu tampak retak seolah dikikis oleh sesuatu. 'Baiji, apa kau bisa menjelaskan ini kepadaku?' [Menjelaskan apa?]'Cakra milikku. Segelnya seperti retak.'[Bukankah itu bagus? Kau bisa menggunakan tenaga dalammu lagi jika bisa menghancurkan segel tersebut.]Surya Yudha tersenyum senang. Apa itu berarti dia tidak
Banyulingga menatap Surya Yudha dengan cemas. "Ada apa? Kenapa kau di sini?" tanya Surya Yudha keheranan saat melihat Banyulingga yang seperti menunggunya. "Kau sudah empat hari bertapa tapi tidak bangun-bangun. Kau bilang hanya memulihkan energi, kenapa begitu lama?""Empat hari?" Surya Yudha terkejut saat mengetahui waktu yang dia habiskan. "Gawat! Aku menghabiskan terlalu banyak waktu. Kita harus pergi ke pasar budak saat ini juga!"Surya Yudha bergegas bangkit dan menyiapkan kelengkapannya. Namun, suara Banyulingga berhasil menghentikannya. "Candrika tidak akan membiarkan kita pergi sebelum memeriksa kondisimu." "Aku baik-baik saja. Aku sudah sangat sehat." Surya Yudha menunjukkan tubuhnya. Dia memang tampak sangat sehat sekarang. Tanpa berkata-kata lagi, Surya Yudha mencengkeram bahu Banyulingga. Pemuda itu mengerahkan sumber energinya ke kaki dan melompat hingga keluar dari tempat itu. Ketika tubuhnya masih berada di udara, Surya Yudha bersiul. Ringkikan kuda menyahuti si