Di depan gerbang utama kerajaan, orang-orang tampak berjubel menunggu giliran untuk masuk. Namun, kerumunan itu mendadak terbelah ketika suara derap langkah kuda mendekat.
"Bertahanlah Yang Mulia ...," desis seorang pemuda sambil mengendalikan kuda, selagi seorang lainnya tampak tak sadarkan diri.
Kuda itu kian mendekat. Orang-orang yang dilewati tampak terbelalak sesaat, sebelum akhirnya membungkuk penuh hormat. Ketika kuda telah menjauh, mereka mulai berbisik.
"Bukankah itu Pangeran Abimanyu?"
"Ya, benar. Sepertinya Pangeran terluka parah."
"Ya Dewa, baru kemarin aku melihat rombongan Pangeran Abimanyu, apa yang terjadi dengan mereka?"
Saat kuda sudah begitu dekat dengan pintu gerbang, beberapa prajurit langsung membuka pintu lebar-lebar.
"Minggir!" bentak Surya Yudha ketika beberapa prajurit menghadangnya, seperti berniat mengambil alih Pangeran Abimanyu dari tangannya.
Wirmo, kepala prajurit yang sedang bertugas di gerbang kerajaan mengejar Surya Yudha dengan kudanya. "Surya Yudha! Biarkan kami membawa Yang Mulia!"
"Kalian kawal aku saja!" jawab Surya Yudha, membuat Wirmo mengangguk paham dan mendekati kudanya.
Surya Yudha sudah menempuh jarak yang begitu jauh dari Alas Pejagalan hingga Kota Arta Jaya, ibu kota dari kerajaan Nara Arta. Seseorang dengan kondisi prima sangat mungkin mengalami kelelahan. Lalu, bagaimana dengan Surya Yudha sekarang?
"Semoga Dewa memberinya kekuatan," batin Wirmo khawatir jika Pangeran Abimanyu atau Surya Yudha tiba-tiba terjatuh dari kuda.
Di sepanjang jalan menuju istana raja, orang-orang yang melihat Pangeran Abimanyu di atas kuda bersama Surya Yudha langsung memberi hormat. Hingga akhirnya mereka sampai juga di depan gerbang istana.
"Yang Mulia Pangeran Abimanyu memasuki istana!" Gerbang istana langsung terbuka lebar saat para penjaga mendengar teriakan Wirmo.
Surya Yudha kembali mengepakkan tali kekangnya hingga kuda perang yang ia tunggangi kembali berlari kencang. "Bersabarlah yang mulia ... sebentar lagi kita sampai."
Surya Yudha bermaksud membawa Pangeran Abimayu ke balai pengobatan istana agar lekas mendapat perawatan. Tempat tersebut berada di sisi timur istana, dekat dengan barak prajurit yang terletak di sebelah selatan. Beberapa orang tabib yang mendengar berita tentang terlukanya Pangeran Abimanyu telah mempersiapkan berbagai alat dan obat.
"Selamatkan Yang Mulia!"
Begitu Pangeran Abimanyu tiba, mereka langsung membawanya masuk. Awalnya mereka panik karena jubah sutra yang dikenakan Pangeran Abimanyu basah oleh darah di bagian punggungnya. Namun setelah diperiksa kembali, tak ada luka di punggung sang pangeran.
"Surya!" pekik seorang tabib melihat Surya Yudha terjatuh dari kuda.
Tabib bernama Ki Anwar itu berlari menghampiri Surya Yudha. Melihat wajahnya yang pucat dan tubuhnya mulai dingin, Ki Anwar berteriak, "Bawa Surya Yudha masuk!"
Orang-orang pun membopong Surya Yudha ke dalam balai pengobatan. Ki Anwar langsung berusaha untuk menyadarkannya. "Surya! Surya Yudha! Bangunlah!"
"Argh ...." Tidak ada jawaban, selain suara lenguhan Surya Yudha yang masih menutup mata.
"Panggilkan Dewi Mayangsari! Katakan padanya kita membutuhkan Pil Rembulan Bersinar." Prajurit yang sedari tadi berjaga di ambang pintu mengangguk saat mendengar perintah Ki Anwar.
"Buatkan ramuan sambang getih, dia terlalu banyak kehilangan darah." Tabib muda yang mendengar ucapan Ki Anwar dengan tangkas meracik ramuan yang diminta. Tak lama sesudahnya, ia menyerahkan semangkuk ramuan pada Ki Anwar.
Ramuan sambang getih berhasil diminumkam ke Surya Yudha. Pendarahan pun berhenti seketika, tetapi itu tak membuat kondisinya membaik.
Terdapat luka menyilang dari dada kiri hingga perut kanan bawah Surya Yudha. Tak hanya itu, sebuah luka yang menjebol pusar Surya Yudha juga membuat kondisinya semakin parah.
"Ya Dewa! Apa yang terjadi?" teriak seorang wanita yang baru memasuki balai pengobatan dan melihat Surya Yudha terbaring lemah tak berdaya. Wanita itu adalah Dewi Mayangsari.
"Dewi, apa Anda membawa obat itu?"
Dewi Mayangsari mengangguk dan memberikan sebuah botol giok pada Ki Anwar. Ketika botol terbuka, semerbak harum Pil Rembulan Bersinar memenuhi ruangan.
"Bertahanlah," lirih Ki Anwar sembari mengambil sebutir pil, lalu memasukkannya ke mulut Surya Yudha. Ia menyalurkan hawa murninya untuk membantu Surya Yudha.
"Uhuk!" Surya Yudha menyemburkan darah segar dari mulutnya. Tak lama kemudian tubuh pemuda itu kejang.
Kecemasan pun menyergap Dewi Mayangsari. Ia langsung melakukan hal yang sama dengan Ki Anwar. "Bertahanlah, nak!"
Sinar berwarna emas terpancar dari tubuh Surya Yudha. Tubuh yang awalnya mengejang, perlahan mulai terdiam sejalan dengan cahaya yang meredup. Tak ada hawa kehidupan yang tersisa dalam tubuh Surya Yudha.
"Tidak! Tidak mungkin!" Ki Anwar tidak percaya dengan kondisi yang sedang dihadapinya. Hawa kehidupan Surya Yudha menghilang, menandakan jika pemuda itu sudah pergi ke nirwana.
"Surya! Tidak ... tidak mungkin ini terjadi. Anakku, kau dilahirkan dengan kekuatan Dewa Surya! Kau ditakdirkan menjadi pemimpin! Itulah takdir yang tak bisa kau ingkari!"
Dewi Mayangsari seperti kehilangan akal sehatnya. Dia menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh putranya secara maksimal. Hingga akhirnya, sebuah ledakan yang cukup besar terjadi. Hawa kehidupan yang sangat tipis dapat dirasakan oleh Ki Anwar keluar dari tubuh Surya Yudha.
"Langit tak mengizinkanmu kembali terlalu cepat, anak muda."
Ki Anwar dengan cepat menyalurkan hawa murni ke tubuh Surya Yudha. Sementara Dewi Mayangsari telah dipindahkan untuk mendapatkan perawatan juga, karena sebelumnya Dewi Mayangsari hilang kesadaran setelah menyalurkan tenaga dalamnya pada Surya Yudha."Panggilkan beberapa perwira untuk membantu menyalurkan hawa murni," perintah Ki Anwar kepada Tole, salah satu muridnya."Baik, Guru!" Pemuda itu membungkuk hormat lalu pergi meninggalkan balai pengobatan menuju barak prajurit yang berada di sebelah selatan.Di lain sisi, Surya Yudha merasakan jika dirinya sedang berada di tempat yang sangat asing."Di ... di mana aku? Apa aku sudah mati?" Tempat Surya Yudha kini berada adalah dimensi kosong yang berwarna putih sepenuhnya. Tidak ada apa pun di sana kecuali Surya Yudha."Jika aku mati, seharusnya alam sebrang tidak seperti ini," gumam Surya Yudha. Tiba-tiba pemuda itu teringat dengan k
Mata Surya Yudha masih terpejam, tetapi tubuh pemuda itu menggelinjang dan mulutnya tak berhenti meraung. Kepanikan semakin menjadi tatkala Dewi Mayangsari masuk ke ruangan itu, karena keluar darah dari telinga, hidung dan mulut Surya Yudha.Luka-luka di tubuh Surya Yudha yang awalnya sudah menutup, kini kembali terbuka."Apa yang terjadi?" Ki Arya Saloka menggeleng, masih belum memahami dengan kondisi cucunya."Aliran tenaga dalamnya kacau, organ dalamnya juga mulai hancur. Padahal aku hanya memberinya ilalang emas untuk meningkatkan tenaga dalam." Dewi Mayangsari roboh seketika. Bibirnya bergetar tak dapat mengeluarkan kata-kata yang menumpuk di kepalanya."I-ilalang emas? Ayah memberikan ilalang emas?" tanya Dewi Mayangsari tak percaya. Air mata mengalir derastak bisa ia bendung lagi."Ya dewa ... kenapa harus terjadi?" lirih Dewi Mayangsari dalam tangisnya. Ki Ary
Panglima Besar Indra Yudha menulis surat pengunduran diri Surya Yudha dan menyerahkannya ke Raja Wirya Semitha. Hari itu juga, Panglima Besar Indra Yudha resmi mencopot Surya Yudha dari jajaran militer kerajaan Nara Artha.Istana terlihat ramai karena banyak pejabat militer yang menolak keputusan Panglima Besar Indra Yudha mengenai pengunduran Surya Yudha yang masih dinilai sepihak.Surya Yudha bahkan belum bangun dari tidur panjangnya, tetapi Panglima Besar Indra Yudha sudah menurunkan perintah untuk mencopot Surya Yudha dan meresmikannya."Maaf, Panglima besar, saya rasa pencopotan Surya Yudha adalah sesuatu yang berlebihan. Apalagi jika alasannya adalah karena gagal melindungi Putra Mahkota." Wirmo menjadi orang yang pertama menolak keputusan Panglima Besar Indra Yudha."Benar, Panglima. Tanpa kehadiran Surya Yudha, maka kekuatan generasi muda kita akan menurun banyak.""Janga
Bagai tersambar oleh petir surgawi, Ki Arya Saloka terpaku di tempatnya berdiri. Segudang kalimat yang ingin ia katakan tiba-tiba lenyap saat itu juga."Eyang ... aku ingat betul sebelum aku terlelap kondisiku baik-baik saja. Tapi kenapa sekarang seperti ini?" Surya Yudha terlihat kecewa dengan kondisinya yang menyedihkan. Begitu pemuda itu bangun, tenaga dalam miliknya tak bisa ia keluarkan. Padahal ia yakin jika tenaga dalamnya masih tersisa bahkan dalam kondisi penuh.Sejenak, Ki Arya Saloka menghela napas panjang. Pria tua itu menatap Raja Wirya Semitha dan Panglima Besar Indra Yudha bergantian. Panglima Besar Indra Yudha mengangguk lalu keluar bersama dengan Dewi Mayangsari dan Raja Wirya Semitha.Perlahan Ki Arya Saloka mendekati Surya Yudha dan duduk di sampingnya. Ki Arya Saloka terlihat ingin menyampaikan sesuatu, tetapi seperti tak bisa mengungkapnya.Surya Yudha akhirnya mengalah dan
Wanita yang ditolong oleh Surya Yudha terlihat ketakutan. Pakaiannya juga compang-camping serta penampilan yang begitu berantakan. Saat Surya Yudha mendekati wanita tersebut, wanita itu mundur karena ketakutan."Aku tidak akan menyakitimu. Namaku Surya Yudha.""Su-Surya Yudha?" tanya wanita itu tergagap ketakutan.Surya Yudha mengangguk dan mendekati wanita itu lagi. "Aku Surya Yudha. Dulu aku adalah seorang prajurit di kerajaan Nara Artha. Siapa namamu?"Wanita itu masih diam. Surya Yudha hanya menghela napas dan memalingkan wajahnya. "Sekar," jawab gadis itu bernama Sekar.Surya Yudha tersenyum tipis dan kembali berdiri. "Di mana rumahmu? Jika kamu ingin pulang aku akan mengantarnya. Namun, jika masih betah di sini aku harus pergi sekarang."Sekar terlihat ragu untuk memilih pergi bersama Surya Yudha atau tidak. Namun, berdiam diri di tempat ini sama saja mencari mati. Maka, wanita itu akhirnya memutuskan mengikuti S
Jalanan dusun Tegalsari tak terlalu ramai, tapi tidak juga bisa dikatakan sepi. Seorang gadis muda yang berjalan dengan pakaian compang-camping tentu saja menarik perhatian orang-orang sehingga bisikan-bisikan mulai timbul karena beberapa orang mulai bergunjing.Sekar, gadis cantik berkulit sawo matang dengan alisnya bagaikan lambaian daun kelapa, giginya bagai biji mentimun berjalan dengan muka yang memerah menahan malu. Untung saja jarak antara gapura dusun hingga rumahnya tak begitu jauh sehingga gadis itu kini sudah sampai di depan rumahnya. Rumah yang cukup besar namun tampak sederhana. Dengan kebingungan bercampur rasa takut, Sekar berjalan memasuki rumahnya. Baru di ambang pintu, seseorang membuka pintu dan memberinya tatapan tajam penuh pertanyaan.Terdengar suara berat mengandung amarah yang membuat tubuh Sekar bergetar seketika. "Masuk."Satu kata yang diucapkan dengan perlahan, nada yang begitu datar tetapi siapa saja bisa mengetahui jika tersirat ama
Di tengah kegelapan malam yang hanya disinari rembulan, Surya Yudha terus melangkah untuk mencari hewan buruan. Matanya terus mengedar, pendengarannya terus ditajamkan, kewaspadaannya tak turun sedikit pun. Selain itu, tangan kanannya selalu memegang gagang pedang dengan tangan kiri mencengkeram erat selongsongnya.Tak jauh dari tempat Surya Yudha berdiri, terdengar suara gemerisik yang berasal dari balik semak-semak. Senyum licik tersimpul di bibir Surya Yudha sebelum pemuda itu melangkah memburu hewan buruannya.Dengan perlahan Surya Yudha menyibak semak-semak di hadapannya.Bruk!Sebuah hewan sebesar anak gajah menerjang Surya Yudha hingga pemuda itu tersungkur. Tanpa memberi kesempatan untuk lawannya bangkit, hewan tersebut kembali menerjang dan menendang tubuh Surya Yudha hingga tersungkur beberapa langkah dari tempat sebelumnya. Surya Yudha menarik pedang dari selongsong dan menghunuskan ke tubuh hewan yang menyerangnya. Seekor babi hutan dewasa yang menyerangnya dengan membab
"Ya Dewa ... kenapa aku harus melihatnya?" Surya Yudha berkata dalam hati ketika dia sedang melihat gadis penolongnya sedang membersihkan diri. Dan yang membuat tubuh Surya Yudha terasa panas adalah, gadis itu tak memakai sehelai kain pun di badannya. Walau setengah badannya berada di bawah air, tetapi penglihatan Surya Yudha yang seperti kucing saat malam hari membuat semuanya begitu jelas. Dan ketika Surya Yudha telah selesai mengenakan pakaiannya, pemuda itu bergegas meninggalkan sungai. Malang tak dapat dihindari, ketika Surya Yudha baru saja naik ke tepian sungai, kakinya menginjak batu dan membuatnya tergelincir, kembali tercebur ke sungai."AAA!!"Terdengar suara nyaring diikuti dengan suara riak air membuat Surya Yudha secara tak sadar memalingkan wajahnya. Gadis yang awalnya sedang berendam di air kini sudah berada di tepian sungai dan mengenakan pakaiannya secara tergesa. Surya Yudha yang masih terpana di tempatnya tak menyadari jika bahaya akan segera tiba."Kau pemuda c
Pendekar Tombak Matahari bab 88[Tunjukkan padanya jika kau memiliki sesuatu yang istimewa!]Suara Bai Ji kembali menggea di pikiran Surya Yudha. Dia mengerutkan kening untuk sesaat, dan kembali seperti semula ketika menyadari jika Rangga Geni mungkin akan mencurigai perubahan ekspresinya.Istimewa apanya? Aku hanya pemuda yang kehilangan tenaga dalam. Selain latar belakang keluargaku, tidak ada lagi yang istimewa.Suara dengusan muncul dalam pikiran Surya Yudha.Apakah kepingan jiwa dari alam lain yang mendiami pikirannya juga bisa mendengus? [surya, aku bisa mendengar semua yang ada dalam pikiranmu dengan jelas. SEMUANYA!]Surya Yudha berdehem. Dia lantas membatin.Lalu bagaimana aku menunjukkan keistimewaan? Aku bahkan tidak tahu apa yang aku miliki sehingga membuatku menjadi istimewa.[Buatlah tungku energi dari sumber energi yang kau miliki.]Sebelumnya Surya Yudha sudah pernah mendengar tentang tungku pembakaran yang dipakai oleh para pande besi. Namun, selama hidupnya, dia tid
Di dalam ruangan luas yang tampak sederhana itu, Surya Yudha duduk bersama Gendon sementara Banyulingga menyiapkan minum untuk para kawannya. Di ruangan itu pula, Sosok pria yang tampak dingin mengamati Surya Yudha dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan tajamnya terasa mengintimidasi. Dia adalah Rangga Geni, guru Banyulingga sekaligus pande besi terbaik di Jalu Pangguruh.Surya Yudha yang ditatap sedemikian juga merasa sedang ditelanjangi oleh pria tua yang memiliki perawakan kekar itu. Namun, sebagai seseorang yang terbiasa dengan tekanan dari berbagai pihak, Surya Yudha bisa terlihat tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang. Pada saat keheningan menenggelamkan mereka semua, tiba-tiba suara Baiji yang beberapa hari ini jarang muncul kembali bergema di kepala Surya Yudha. [Jadikan dia gurumu. Aku merasakan aura istimewa dari dalam tubuhnya. Bisa jadi dia telah menemukan sesuatu dari alamku.]Surya Yudha mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin dia bisa menjadikan seseo
Sore harinya, di penginapan tempat Surya Yudha menginap, pemuda itu berkumpul bersama rekan-rekannya. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja. Wajah mereka terlihat serius. "Candrika dan Paman Mahasura tetap di sini. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon selama beberapa hari." "Apa yang ingin kau lakukan, Surya?" Candrika bertanya dengan penasaran."Aku harus pergi ke suatu tempat. Kalian berdua jangan khawatir.""Kalian ingin melakukan penyerangan?" tanya Mahasura. Surya Yudha menggeleng. "Tidak. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon untuk mengambil sesuatu. Kalian jangan khawatir, aku akan baik-baik saja." Tatapan Mahasura beralih pada Banyulingga. "Ke mana kalian akan pergi? Jawab aku!"Banyulingga menelan ludahnya. Dia tidak menyangka pria yang pagi ini masih terlihat lemah saat ini tampak mengerikan."Ka-kami ...." Banyulingga tergagap, tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Surya Yudha yang melihat Banyulingga ketakutan tertawa. Dia lantas berkata lada Mahasur
Ada beberapa kedai arak di pasar budak. Namun, hanya ada satu yang selalu buka sementara yang lainnya hanya buka ketika senja datang. Surya Yudha memasuki kedai arak bersama Gendon dan Banyulingga. Kedatangan mereka menarik perhatian terutama Gendon yang mengeluarkan aroma obat dari tubuhnya, ciri khas para tabib. Surya Yudha mengajak mereka ke lantai dua kedai tersebut dan memilih tempat duduk di dekat jendela. Di lantai tersebut, hanya ada kelompok Surya Yudha. Suasana kedai tersebut juga sangat tenang tidak seperti kedai arak di malam hari.Seorang pelayan pria datang menghampiri meja mereka. "Tuan-tuan ingin pesan apa?" "Dua guci arak beras, daging dan kacang rebus." Surya Yudha menjawab dengan cepat. Pelayan itu mengangguk dan pergi untuk menyiapkan pesanan. "Den bagus, kita mau cari informasi gimana? Ini masih sepi, lagipula kita datang kepagian." Gendon berkata dan diangguki Banyulingga. "Lihat saja apa yang akan aku lakukan."Mata Surya Yudha menerawang ke luar, memandang
Surya Yudha mendapat informasi tambahan mengenai pasar budak. Ternyata pasar budak dikuasai oleh sebuah organisasi yang bernama kelompok Harimau Besi. Pemuda itu juga mengetahui markas besar Harimau Besi."Bagus. Kita bisa melakukan penyerangan malam ini juga." Mahasura berdehem. Seolah menujukkan ketidaksetujuannya. Meski dia seorang budak, tetapi setelah mendapat nasihat bertubi-tubi dari Gendon, akhirnya Mahasura mau menerima identitasnya dulu, sebagai Paman dari Surya Yudha. "Paman, ada apa? Kau tidak setuju?" tanya Surya Yudha. "Surya, menyerang Markas Harimau Besi saat malam hari adalah ide paling buruk yang kita miliki." Mahasura berkata dengan tenang. Dia mengambil sebuah kendi dan meletakannya di atas meja. "Mereka sangat aktif pada malam hari. Kekuatan mereka berkumpul saat malam tiba. Menyerang saat tengah hari adalah pilihan terbaik." Mahasura mengambil sebuah cangkir dan meletakannya di bagian utara kendi."Ini adalah pintu utama yang dijaga oleh Harimau utara. Aku t
"Tuan, ada orang yang ingin bertemu dengan anda. Kami sudah berusaha untuk tetap menjaga ketenangan anda, tetapi mereka mengatakan jika anda akan menerima mereka dengan baik." Meski pelayan itu berkata dengan penuh senyuman, tetapi getaram di tangannya menunjukkan jika dia sedang gugup.Sementara itu, mendengar penjelasan pelayan itu, Surya Yudha mulai menebak-nebak siapakah orang yang ingin menemuinya itu. "Baiklah, aku akan menemui mereka."Pelayan itu mengangguk dan pergi. Surya Yudha juga turun mengikuti pelayan itu. Ketika sampai di lantai dasar, dia melihat dua orang yang sangat dia kenal. Yang satu terlihat ceria dan yang lainnya tampak kesal. "Den bagus!" Begitu melihat kedatangan Surya Yudha, pemuda bertubuh gempal itu segera berteriak memanggilnya. Surya Yudha tersenyum tipis. Sudah cukup lama sejak mereka terakhir kali bertemu. "Den bagus, wah den bagus keliatan makin gagah saja." Gendon menghampiri Surya Yudha dengan wajah cerianya. "Den bagus apa kabar?" "Sangat
Mahasura tentu saja bingung dengan reaksi yang Surya Yudha tunjukkan. Meski tidak tahu teknik apa yang pemuda itu gunakan, tetapi dia adalah orang yang paling tahu tentang akibat dari teknik tersebut. Dia yakin jika Surya Yudha baru saja memindahkan sedikit racun dari tubuhnya. Walau racun yang berpindah hanya sedikit, tetapi itu sudah mengurangi rasa sakit yang Mahasura derita, dan itu berarti rasa sakit itu berpindah pada Surya Yudha. Mahasura memang tahu jika ada teknik yang bisa menetralisir racun menggunakan tenaga dalam. Namun, dibutuhkan keahlian khusus dan tenaga dalam yang tinggi untuk bisa melakukannya. Selain itu, menetralkan tenaga dalam dan memindahkannya adalah hal yang sama sekali berbeda.Dia ingin bertanya tentang teknik yang baru saja Surya Yudha gunakan. Namun, dia tidak berani bertanya karena merasa tidak memiliki hak. Melihat kebingungan di wajah Mahasura, Surya Yudha tersenyum tipis. "Paman, tenang saja. Aku sudah menguasai teknik ini, jadi jangan khawatir te
Meski disebut sebagai pasar Budak, tetapi sebenarnya tempat ini layak disebut sebagai kota kecil. Ada banyak penginapan dan kedai makanan yang buka di tempat ini. Suasananya pun tak kalah ramai dengan kota kecil di wilayah lain Jalu Pangguruh. Surya Yudha membawa Banyulingga dan budak yang baru saja dia beli ke sebuah penginapan. Pemuda itu menyewa sebuah lantai di penginapan khusus untuk mereka bertiga. Dia sengaja menyewa satu lantai karena tidak ingin diganggu. Di dalam kamar terbesar di penginapan itu, tiga orang pria duduk melingkar di meja. Salah satu pemuda menatap nanar pria yang lain seperti ingin menangis. "Paman ... Paman Mahasura. Kami mencarimu ke seluruh hutan bahkan menyusuri jurang." Air mata Surya Yudha menetes. Budak yang baru saja dia beli adalah Mahasura, salah satu orang yang melatih Surya Yudha hingga menjadi petarung yang tangguh. Setahun lalu, Mahasura mendapat misi penting dari kerajaan. Namun, misi tersebut gagal dan semua orang di dalamnya mati. Surya Y
Surya Yudha kembali mengatur napasnya yang terengah-engah. Dengan menggunakan sebelah tangannya, Surya Yudha menyeka keringatnya. Melihat kondisi Banyulingga sekarang, dia merasa puas. "Bagaimana? Kau masih meremehkan pil milikku?" ucap Surya Yudha mengejek. Banyulingga menggeleng. "Aku berharap ini adalah kebodohanku yang terakhir." "Aku juga berharap seperti itu." Surya Yudha mengangguk setuju. Hal itu malah membuat Banyulingga tersenyum kecut. Saat Surya Yudha sudah mendapat kembali tenaganya, dia menemukan ada sesuatu yang aneh. Sebelumnya dia mengetahui jika Cakra miliknya tersegel oleh sesuatu yang berbentuk seperti cincin berwarna ungu pekat. Namun, saat ini cincin itu tampak retak seolah dikikis oleh sesuatu. 'Baiji, apa kau bisa menjelaskan ini kepadaku?' [Menjelaskan apa?]'Cakra milikku. Segelnya seperti retak.'[Bukankah itu bagus? Kau bisa menggunakan tenaga dalammu lagi jika bisa menghancurkan segel tersebut.]Surya Yudha tersenyum senang. Apa itu berarti dia tidak