Lingga menyambut kedatangan Geni, Jaya, dan Barma. “Aku mendapatkan waktu libur selama dua hari. Aku akan menghabiskan waktu di sini.”“Lihatlah dirimu sekarang, Lingga. Kau bertambah tinggi dan gagah.” Geni menyentuh bahu dan lengan Lingga. “Kau pasti berlatih sangat keras.”“Aku senang kau berkunjung ke padepokan, Lingga,” ujar Jaya.“Hei, tunggu. Bukankah pakaian ini adalah pakaian yang dikenakan oleh pengitip tadi?” Barma tiba-tiba tertawa. “Kau pasti yang sudah mengintip para gadis, Lingga.”“Benarkah?” Geni dan Jaya tersenyum lebar.“Kau memang mesum, Lingga.” Geni tertawa. “Kau juga mengintip Sekar Sari saat kau pertama kali datang ke padepokan ini.”“Paman Limbur Kancana mengerjaiku. Dia tiba-tiba saja menjatuhkanku di tengah sungai saat para gadis mandi. Aku terkejut dan segera pergi.”“Kau pasti melihat tubuh para gadis itu, bukan?”Lingga tiba-tiba menunduk. “Aku tidak sengaja melihatnya.”“Lingga.” Para murid padepokan yang lain terdiam di dekat pintu dan teras. Mereka ber
Para gadis terus membicarakan Lingga di ruang makan. Beberapa di antara mereka bahkan mengintip Lingga melalui dinding kayu yang terbuka. Rasa penasaran mereka semakin besar dari waktu ke waktu.“Mereka sangat berisik. Aku tidak bisa menikmati makanan ini.” Sekar Sari memutar bola mata. “Aku sejujurnya ingin berbincang banyak hal dengan Kakang Lingga. Dia hanya memiliki wkatu libur selama dua hari. Akan tetapi, aku memiliki banyak pekerjaan sekarang, dan Guru Ganawirya tidak akan membiarkanku berleha-leha. Ini membuatku sangat jengkel.”Di saat yang sama, para pemuda juga memperhatikan Lingga, berbisik-bisik.“Hei, dengarkan aku,” ujar seorang murid tabib yang baru datang dengan suara berbisik. “Aku mendengar jika pemuda itu adalah mantan murid padepokan di tempat ini. Dia pergi berkelana sesuai perintah Guru Ganawirya.”“Ah, pantas saja dia sangat akrab dengan para murid padepokan serta Kakang Indra dan yang lain,” sahut seroang murid dengan mulut yang sibuk mengunyah makanan.“Dia t
Wira, Danuseka, dan Darmasena terbaring tak sadarkan diri setelah bertarung nyaris semalam. Ketiga tergeletak di atas tanah dengan luka di hampir sekujur tubuh mereka. Tanah dan dinding tampak retak, begitupun dengan bebatuan.Jatna dan Ratih Ningsih mengamati dari atas sebuah batu, duduk bersila. Keduanya menguji kemmpuan Wira, Danuseka, dan Darmasena hingga waktu berakhir.“Mereka gagal dalam menjalankan ujian terakhir, tetapi aku harus mengakui kesungguhan tekad mereka,” uajr Jatna seraya berdiri di atas batu, tersenyum.Jatna menoleh pada Wira, melompat turun. “Aku harus memuji penampilan Wira kali ini. Dialah yang paling banyak berubah selama dalam pertarungan. Dia berpikir cerdik dengan mengalahkan penjara akar tanaman itu dari bawah sungai. Dia juga membantu Danuseka dan Darmasena dengan memberikan banyak celah untuk menyerang. Sebagai pemuda sombong dengan harga diri yang sangat tinggi, dia pasti merasa harga dirinya terluka karena harus bekerja sama dengan dua orang yang dibe
Para pendekar muda tengah berlatih di bawah arahan Limbur Kancana. Mereka harus menaiki puncak gunung dengan menggunakan kedua tangan di mana kedua kaki mereka terikat dengan batu besar. Di saat yang sama, Wirayuda menatap dari atas gubuk.Galih Jaya, Dharma, Malawati, Ajisoka, Amarsa, Gendis, dan para pendekar lain berlatih dengan sangat keras. Matahari mulai terik, tetapi keringat sudah membanjiri sekujur tubuh mereka.Limbur Kancana menendang beberapa batu berukuran besar dari puncak gunung hingga menggelinding ke arah para pendekar muda dengan cepat. Para pendekar mudah sontak terkejut. Mereka berusaha menghindari bebatuan. Mereka melompat ke atas, samping dan belakang. Sayangnya, beberapa di antara merek justru saling menabrak hingga terjatuh.“Guru Limbur Kancana benar-benar jahat! Dia nyaris membunuhku,” ujar Galih Jaya seraya melompati bebatuan besar yang meluncur dari atas puncak.“Hei, perhatikan langkahmu, Galih Jaya.” Dharma melompat ke samping saat Galih Jaya nyaris men
“Lingga, aku sebenarnya sudah mencurigai Jatnika dan Puspa Sari semenjak kedatangan mereka ke padepokan ini. Aku mengawasi mereka nyaris sepanjang waktu. Aku meminta Sekar Sari untuk membuat sebuah ramuan untuk mengungkap jurus atau kekuatan yang mungkin saja sudah dimasukkan ke dalam tubuh mereka,” ujar Ganawirya.Sekar Sari menambahkan, “Itu benar, Kakang. Aku … maksudku aku dan Guru bekerja keras untuk mencari penjelasan dari gulungan-gulungan milik Nyi Genit. Butuh waktu untuk mempelajarinya sekaligus menuliskannya kembali ke dalam kitab lain.”“Kita harus segera mengeluarkan kekuatan dan mematahkan jurus itu secepatnya dari Jatnika dan Puspa Sari. Aku takut hal ini akan menjadi hal buruk di kemudian hari.” Lingga menoleh pada Sekar Sari. “Aku juga akan mempelajari gulungan-gulungan itu untuk membantu.”Sekar Sari menunduk saat membayangkan kedekatannya dengan Lingga.Ganawirya tiba-tiba berdeham cukup keras. “Aku tidak setuju. Aku sudah menugaskan hal itu pada Sekar Sari. Kedatan
Lingga bergumam, “Kemungkinan besar benda itulah yang menjadi kekuatan atau tanda dari jurus yang digunakan oleh Nyi Genit pada Jatnika dan Puspa Sari.” Lingga menoleh pada gubuk. “Aku yakin Guru Ganawirya dan Sekar Sari sedang mengupayakan secepatnya untuk menghilangkan kekuatan Nyi Genit yang membelenggu Jatnika dan Puspa Sari.”Limbur Kancana mengamati Lingga. “Lingga masih belum tahu mengenai Nyi Genit yang sedang mengumpulkan pasukan dari bangsa manusia dan siluman serta rencananya untuk di Batu Nangkarak saat bulan purnama nanti. Dia harus tetap berlatih untuk menguasai pusaka kujang emas sekaligus berusaha untuk mengumpulkan ketiga mustika.”Lingga mengamati para murid tabib perempuan yang membubarkan diri dari tanah lapang. Ia mengamati satu per satu gadis sampai akhirnya perhatiannya tertuju pada Puspa Sari. “Gadis itu menguarkan bau yang sama seperti Jatnika. Aku … melihat benda yang sama dengan yang aku lihat di dada Jatnika.”“Apa yang kau lihat, Lingga?” Limbur Kancana me
Lingga tengah berbaring di sebuah batu pipih di dekat air terjun. Pemuda itu memandangi langit biru dengan awan-awan yang bergerak pelan. “Aku mulai bosan karena aku tidak melakukan apa pun sejak tadi, padahal biasanya aku sedang berlatih sekarang. Berlibur tidak semenyenangkan yang aku pikirkan.”Lingga berbalik, menghadap deburan air terjun. Ia tiba-tiba memejamkan mata ketika mengingat peristiwa dirinya membaca surat dari Ki Petot. Tubuhnya bergetar dan dadanya menjadi sangat sesak. “Aki. Aku sangat merindukanmu. Sampai saat ini, aku masih tidak percaya kau sudah meninggalkanku.”“Aku sungguh menyesal karena tidak menghabiskan banyak waktu denganmu. Andai saja aku mendengarkan kata-katamu saat itu, mungkin keadaannya akan berbeda sekarang.”Lingga menarik napas panjang, mengembuskan perlahan. “Tidak. Aku tidak boleh menyalahkan takdir kematian seseorang. Aki sudah menjagaku dengan sangat baik hingga akhir hayatnya. Aku hanya akan menyakiti Aki jika aku tidak merelakan kepergiannya.
Lingga segera melompat, menendang batu-batu yang terah padanya. Batu-batu itu meluncur dan mendarat di dahi dan dada beberapa teman Jatnika.“Ah.” Empat murid tabib sontak terjatuh.Jatnika dan lima temannya seketika muncul dari semak-semak, berlari secepat mungkin, lalu menyerang Lingga bersamaan.“Jatnika.” Lingga melompat mundur, menghindari lembaran batu dengan lincah. “Kenapa kalian tiba-tiba menyerangku? Aku tidak memiliki masalah dengan kalian.”Jatnika berdecak. “Terkutuk! Dia menghindari semua lemparan dengan baik.”Jatnika dan kelima temannya menyerang Lingga bersamaan. Lingga menghindari serangan, melompat dari satu batu ke batu lain.“Kita bisa membicarakan masalah ini dengan cara yang baik.” Lingga menangkis serangan, mendorong kelima teman Jatnika satu per satu hingga mereka terjatuh ke sungai.“Maaf.” Lingga melompat mundur ketika Jatnika menendangnya. Ia terbatuk beberapa kali, menggaruk-garuk hidung. “Bau busuknya semakin menyegat.”“Terkutuk! Apa kau baru saja menghi