Indra, Meswara, Jaka, dan Arya sontak terkejut.“Apakah itu benar, Lingga?” tanya Indra memastikan.“Itu sama sekali tidak benar, Kakang. Aku tidak pernah mengintip para gadis mandi. Paman Limbur Kancana sengaja menjatuhkanku di sungai untuk mengerjaiku,” ujar Lingga.Sekar Sari menatap sinis Lingga. “Benarkah? Kau pernah mengintip para gadis mandi ketika kau masih menjadi murid padepokan dulu.”“Aku tidak berbohong.” Lingga mengawasi sekeliling. “Dasar Paman. Dia sengaja membuatku berada dalam masalah,” gumamnya.Ganawirya mengamati Lingga saksama, menoleh pada Sekar Sari.Sekar Sari mengeluarkan sebuah kalung dengan liontin batu berwarna merah tua. “Kau berkata jujur, Kakang.”“Apa itu, Sekar Sari?” Lingga bertanya.“Aku menciptakan liontin yang mampu menilai seseorang berbohong atau berkata jujur. Jika batu merah ini bercahaya, maka orang itu berbohong.” Sekar Sari memasukkan kembali liontin itu ke dalam selendangnya. “Sayangnya, liontin ini masih belum sempurna. Aku harus menyempu
Lingga menyambut kedatangan Geni, Jaya, dan Barma. “Aku mendapatkan waktu libur selama dua hari. Aku akan menghabiskan waktu di sini.”“Lihatlah dirimu sekarang, Lingga. Kau bertambah tinggi dan gagah.” Geni menyentuh bahu dan lengan Lingga. “Kau pasti berlatih sangat keras.”“Aku senang kau berkunjung ke padepokan, Lingga,” ujar Jaya.“Hei, tunggu. Bukankah pakaian ini adalah pakaian yang dikenakan oleh pengitip tadi?” Barma tiba-tiba tertawa. “Kau pasti yang sudah mengintip para gadis, Lingga.”“Benarkah?” Geni dan Jaya tersenyum lebar.“Kau memang mesum, Lingga.” Geni tertawa. “Kau juga mengintip Sekar Sari saat kau pertama kali datang ke padepokan ini.”“Paman Limbur Kancana mengerjaiku. Dia tiba-tiba saja menjatuhkanku di tengah sungai saat para gadis mandi. Aku terkejut dan segera pergi.”“Kau pasti melihat tubuh para gadis itu, bukan?”Lingga tiba-tiba menunduk. “Aku tidak sengaja melihatnya.”“Lingga.” Para murid padepokan yang lain terdiam di dekat pintu dan teras. Mereka ber
Para gadis terus membicarakan Lingga di ruang makan. Beberapa di antara mereka bahkan mengintip Lingga melalui dinding kayu yang terbuka. Rasa penasaran mereka semakin besar dari waktu ke waktu.“Mereka sangat berisik. Aku tidak bisa menikmati makanan ini.” Sekar Sari memutar bola mata. “Aku sejujurnya ingin berbincang banyak hal dengan Kakang Lingga. Dia hanya memiliki wkatu libur selama dua hari. Akan tetapi, aku memiliki banyak pekerjaan sekarang, dan Guru Ganawirya tidak akan membiarkanku berleha-leha. Ini membuatku sangat jengkel.”Di saat yang sama, para pemuda juga memperhatikan Lingga, berbisik-bisik.“Hei, dengarkan aku,” ujar seorang murid tabib yang baru datang dengan suara berbisik. “Aku mendengar jika pemuda itu adalah mantan murid padepokan di tempat ini. Dia pergi berkelana sesuai perintah Guru Ganawirya.”“Ah, pantas saja dia sangat akrab dengan para murid padepokan serta Kakang Indra dan yang lain,” sahut seroang murid dengan mulut yang sibuk mengunyah makanan.“Dia t
Wira, Danuseka, dan Darmasena terbaring tak sadarkan diri setelah bertarung nyaris semalam. Ketiga tergeletak di atas tanah dengan luka di hampir sekujur tubuh mereka. Tanah dan dinding tampak retak, begitupun dengan bebatuan.Jatna dan Ratih Ningsih mengamati dari atas sebuah batu, duduk bersila. Keduanya menguji kemmpuan Wira, Danuseka, dan Darmasena hingga waktu berakhir.“Mereka gagal dalam menjalankan ujian terakhir, tetapi aku harus mengakui kesungguhan tekad mereka,” uajr Jatna seraya berdiri di atas batu, tersenyum.Jatna menoleh pada Wira, melompat turun. “Aku harus memuji penampilan Wira kali ini. Dialah yang paling banyak berubah selama dalam pertarungan. Dia berpikir cerdik dengan mengalahkan penjara akar tanaman itu dari bawah sungai. Dia juga membantu Danuseka dan Darmasena dengan memberikan banyak celah untuk menyerang. Sebagai pemuda sombong dengan harga diri yang sangat tinggi, dia pasti merasa harga dirinya terluka karena harus bekerja sama dengan dua orang yang dibe
Para pendekar muda tengah berlatih di bawah arahan Limbur Kancana. Mereka harus menaiki puncak gunung dengan menggunakan kedua tangan di mana kedua kaki mereka terikat dengan batu besar. Di saat yang sama, Wirayuda menatap dari atas gubuk.Galih Jaya, Dharma, Malawati, Ajisoka, Amarsa, Gendis, dan para pendekar lain berlatih dengan sangat keras. Matahari mulai terik, tetapi keringat sudah membanjiri sekujur tubuh mereka.Limbur Kancana menendang beberapa batu berukuran besar dari puncak gunung hingga menggelinding ke arah para pendekar muda dengan cepat. Para pendekar mudah sontak terkejut. Mereka berusaha menghindari bebatuan. Mereka melompat ke atas, samping dan belakang. Sayangnya, beberapa di antara merek justru saling menabrak hingga terjatuh.“Guru Limbur Kancana benar-benar jahat! Dia nyaris membunuhku,” ujar Galih Jaya seraya melompati bebatuan besar yang meluncur dari atas puncak.“Hei, perhatikan langkahmu, Galih Jaya.” Dharma melompat ke samping saat Galih Jaya nyaris men
“Lingga, aku sebenarnya sudah mencurigai Jatnika dan Puspa Sari semenjak kedatangan mereka ke padepokan ini. Aku mengawasi mereka nyaris sepanjang waktu. Aku meminta Sekar Sari untuk membuat sebuah ramuan untuk mengungkap jurus atau kekuatan yang mungkin saja sudah dimasukkan ke dalam tubuh mereka,” ujar Ganawirya.Sekar Sari menambahkan, “Itu benar, Kakang. Aku … maksudku aku dan Guru bekerja keras untuk mencari penjelasan dari gulungan-gulungan milik Nyi Genit. Butuh waktu untuk mempelajarinya sekaligus menuliskannya kembali ke dalam kitab lain.”“Kita harus segera mengeluarkan kekuatan dan mematahkan jurus itu secepatnya dari Jatnika dan Puspa Sari. Aku takut hal ini akan menjadi hal buruk di kemudian hari.” Lingga menoleh pada Sekar Sari. “Aku juga akan mempelajari gulungan-gulungan itu untuk membantu.”Sekar Sari menunduk saat membayangkan kedekatannya dengan Lingga.Ganawirya tiba-tiba berdeham cukup keras. “Aku tidak setuju. Aku sudah menugaskan hal itu pada Sekar Sari. Kedatan
Lingga bergumam, “Kemungkinan besar benda itulah yang menjadi kekuatan atau tanda dari jurus yang digunakan oleh Nyi Genit pada Jatnika dan Puspa Sari.” Lingga menoleh pada gubuk. “Aku yakin Guru Ganawirya dan Sekar Sari sedang mengupayakan secepatnya untuk menghilangkan kekuatan Nyi Genit yang membelenggu Jatnika dan Puspa Sari.”Limbur Kancana mengamati Lingga. “Lingga masih belum tahu mengenai Nyi Genit yang sedang mengumpulkan pasukan dari bangsa manusia dan siluman serta rencananya untuk di Batu Nangkarak saat bulan purnama nanti. Dia harus tetap berlatih untuk menguasai pusaka kujang emas sekaligus berusaha untuk mengumpulkan ketiga mustika.”Lingga mengamati para murid tabib perempuan yang membubarkan diri dari tanah lapang. Ia mengamati satu per satu gadis sampai akhirnya perhatiannya tertuju pada Puspa Sari. “Gadis itu menguarkan bau yang sama seperti Jatnika. Aku … melihat benda yang sama dengan yang aku lihat di dada Jatnika.”“Apa yang kau lihat, Lingga?” Limbur Kancana me
Lingga tengah berbaring di sebuah batu pipih di dekat air terjun. Pemuda itu memandangi langit biru dengan awan-awan yang bergerak pelan. “Aku mulai bosan karena aku tidak melakukan apa pun sejak tadi, padahal biasanya aku sedang berlatih sekarang. Berlibur tidak semenyenangkan yang aku pikirkan.”Lingga berbalik, menghadap deburan air terjun. Ia tiba-tiba memejamkan mata ketika mengingat peristiwa dirinya membaca surat dari Ki Petot. Tubuhnya bergetar dan dadanya menjadi sangat sesak. “Aki. Aku sangat merindukanmu. Sampai saat ini, aku masih tidak percaya kau sudah meninggalkanku.”“Aku sungguh menyesal karena tidak menghabiskan banyak waktu denganmu. Andai saja aku mendengarkan kata-katamu saat itu, mungkin keadaannya akan berbeda sekarang.”Lingga menarik napas panjang, mengembuskan perlahan. “Tidak. Aku tidak boleh menyalahkan takdir kematian seseorang. Aki sudah menjagaku dengan sangat baik hingga akhir hayatnya. Aku hanya akan menyakiti Aki jika aku tidak merelakan kepergiannya.
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me