Lingga tengah berbaring di sebuah batu pipih di dekat air terjun. Pemuda itu memandangi langit biru dengan awan-awan yang bergerak pelan. “Aku mulai bosan karena aku tidak melakukan apa pun sejak tadi, padahal biasanya aku sedang berlatih sekarang. Berlibur tidak semenyenangkan yang aku pikirkan.”Lingga berbalik, menghadap deburan air terjun. Ia tiba-tiba memejamkan mata ketika mengingat peristiwa dirinya membaca surat dari Ki Petot. Tubuhnya bergetar dan dadanya menjadi sangat sesak. “Aki. Aku sangat merindukanmu. Sampai saat ini, aku masih tidak percaya kau sudah meninggalkanku.”“Aku sungguh menyesal karena tidak menghabiskan banyak waktu denganmu. Andai saja aku mendengarkan kata-katamu saat itu, mungkin keadaannya akan berbeda sekarang.”Lingga menarik napas panjang, mengembuskan perlahan. “Tidak. Aku tidak boleh menyalahkan takdir kematian seseorang. Aki sudah menjagaku dengan sangat baik hingga akhir hayatnya. Aku hanya akan menyakiti Aki jika aku tidak merelakan kepergiannya.
Lingga segera melompat, menendang batu-batu yang terah padanya. Batu-batu itu meluncur dan mendarat di dahi dan dada beberapa teman Jatnika.“Ah.” Empat murid tabib sontak terjatuh.Jatnika dan lima temannya seketika muncul dari semak-semak, berlari secepat mungkin, lalu menyerang Lingga bersamaan.“Jatnika.” Lingga melompat mundur, menghindari lembaran batu dengan lincah. “Kenapa kalian tiba-tiba menyerangku? Aku tidak memiliki masalah dengan kalian.”Jatnika berdecak. “Terkutuk! Dia menghindari semua lemparan dengan baik.”Jatnika dan kelima temannya menyerang Lingga bersamaan. Lingga menghindari serangan, melompat dari satu batu ke batu lain.“Kita bisa membicarakan masalah ini dengan cara yang baik.” Lingga menangkis serangan, mendorong kelima teman Jatnika satu per satu hingga mereka terjatuh ke sungai.“Maaf.” Lingga melompat mundur ketika Jatnika menendangnya. Ia terbatuk beberapa kali, menggaruk-garuk hidung. “Bau busuknya semakin menyegat.”“Terkutuk! Apa kau baru saja menghi
Jatnika melesat sangat cepat menuju Lingga. Air sungai terciprat ke sekeliling dengan kencang. Ia tersenyum bengis dengan mata merah menyala. “Kau harus mati!”Lingga melompat tinggi. “Jatnika sudah dirasuki oleh sebuah kekuatan. Dia bahkan kehilangan keasadran. Aku harus segera mengalahkannya.”Jatnika melompat ke arah Lingga, melayangkan berbagai serangan jarak jauh. Lingga bergerak lincah di udara, menghindari serangan. Serangan-serangan Jatnika mendarat di air terjun hingga air terciprat ke berbagai, salah satu pada kesembilan temannya.“Cepat panggilan Kakang Indra dan yang lain! Jatnika tampaknya sudah kerasukan!” ujar seorang murid tabib seraya berteriak panik.“Ba-baik.” Seorang murid bergegas menuju padepokan.“Tunggu!” Dua murid lain segera mengejar murid pertama.Jatnika terus melesat menyerang Lingga, tetapi Lingga terus menghindari dan menepis serangan. Keduanya terus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain hingga akhirnya berada di atas air terjun.“Hentikan tin
Sekar Sari bersiap siaga, mengamati Puspa Sari lekat-lekat. “Selain mencium bau Nyi Genit, aku juga merasakan kekuatan Nyi Genit dari Puspa Sari. Siluman tua itu pasti sudah menempatkan sesuatu di tubuh Puspa Sari dan Jatnika agar mereka bisa mengawasi padepokan ini dari dekat. Dia sungguh siluman tua yang licik!”Sekar Sari melesatkan selendang merahnya pada Puspa Sari, tetapi gadis itu mampu menghindari dengan bergerak ke berbagai arah. “Gerakannya bertambah cepat, padahal Puspa Sari sebelumnya hanya memiliki kemampuan biasa-biasa saja.”Puspa Sari hinggap di dinding kayu, menatap tajam bersamaan dengan matanya yang merah menyala. Tubuhnya diselimuti cahaya merah kehitaman. “Siapa yang kau panggil siluman tua, gadis gila? Berani sekali kau menghinaku! Aku tidak akan mengampunimu meski kau menangis darah dan mencium kakiku sekalipun!”“Aku tidak sudi memohon pada siluman sepertimu!”Puspa sari melompat dari dinding, melesatkan serangan jarak jauh pada Sekar Sari. Tubuhnya semaki
Ganawirya, Indra, Meswara, Jaka, dan Arya segera mendekati Lingga dan Jatnika. Tak lama setelahnya, teman-teman Jatnika mendekat. Mereka menatap sinis Lingga. Ganawiya segera memeriksa Jatnika, menyentuh dada pemuda itu. Ia merasakan hawa panas tidak biasa. “Lingga benar. Ada sesuatu yang aneh di dada Jatnika,” gumamnya. Geni, Jaya, dan Barma tiba-tiba berhenti saat melihat Ganawirya, Indra, dan yang lain di sungai. Mereka bergegas bersembunyi, mengamati dari kejauhan. “Hei, kenapa kita harus bersembunyi di sini? Bukankah kita akan bertemu Lingga?” tanya Barma seraya menggaruk rambutnya. Jaya mengamati kerumunan. “Aku merasa akan terjadi sesuatu jika kita bertemu dengan Lingga sekarang. Guru Ganawirya bahkan berada di sana. Kita sebaiknya menunggu di sini sampai kita memahami keadaan di sana.”“Lihatlah pemuda yang berbaring di tanah itu. Dia tidak sadarkan diri, dan bajunya basah kuyup. Apa mungkin dia tenggelam?” kata Barma. Jaya menyahut, “Dia tidak mungkin tenggelam. Aku pern
“Dasar pemuda terkutuk!” maki Nyi Genit seraya melesatkan selendang kuningnya ke berbagai arah hingga banyak benda berterbangan dan berjatuhan. Nyi Genit kembali menarik selendangnya. “Aku tidak menduga jika dia mampu melihat dan merasakan benda yang sudah aku masukkan pada pemuda dan gadis itu. Ganawirya juga sudah mengetahui hal itu sehingga dia akan melakukan sesuatu pada dua manusia itu. Para pendekar golongan putih juga akan menyadari jika aku terbebas dari penjara di Jaya Tonggoh.” Nyi Genit melesatkan selendangnya pada sebuah kendi besar hingga hancur dan airnya berhamburan ke tanah. “Gadis bernama Sekar Sari itu sudah menghinaku dengan sebuatan siluman tua! Aku pasti menyiksa gadis itu hingga hancur hingga ke tulang-tulangnya!” Nyi Genit memelotot tajam saat melihat Darmasena, Danuseka, dan Wira memasuki ruangannya. “Pergilah sebelum aku menghancurkan kalian!” Wira, Danuseka, dan Darmasena saling bertatapan sesaat, meninggalkan ruangan. “Kenapa kalian kembali? Bukan
“Indra, Meswara, Jaka, Arya, kalian berempat kembalilah melatih para murid padepokan, begitupun denganmu Sekar Sari. Aku dan beberapa tabib lain akan mengobati Jatnika dan Puspa Sari sekaligus mengawasi mereka,” ujar Ganawirya.“Kami mengerti, Guru.” Sekar Sari, Indra, Meswara, Jaka, dan Arya serempak mengangguk, bergegas meninggalkan ruangan. Indra, Meswara, Jaka, dan Arya segera memerintahkan para murid untuk pergi. Mereka mulai membubarkan diri meski mereka masih berbisik-bisik.Sekar Sari melirik Lingga di celah pintu. “Aku ingin berbincang dengan Kakang Lingga, tetapi aku justu harus sibuk dengan tugasku.”Sekar Sari mendadak menggigil ketika angin berembus dari dalam gubuk. “Guru Ganawirya memperhatikanku.” Sekar Sari bergegas meninggalkan gubuk, berlari menuju tempat pembelajaran. “Lalu, bagaimana denganku, Guru?” tanya Lingga. “Kau bisa memeriksa keadaan Lebak Angin dan kembali saat sore, Lingga. Beberapa hari lalu, aku mendapatkan kabar jika beberapa orang asing be
“Kita masih cukup jauh dari tempat yang kita tuju,” ujar seorang pemuda sembari melompat turun dari pelana kuda. “Untuk sekarang kita akan beristirahat di tempat ini. Kita juga harus mengumpulkan perbekalan untuk perjalanan.”Gadis cantik itu mengembus napas panjang, mendekati sungai, mengamati penampilan dirinya di air sungai yang tenang. Tatapannya tertuju pada air terjun yang mengalir deras dari atas.Gadis itu menoleh pada sang kakak yang sedang menyiduk air. “Kita sudah melakukan perjalanan sekitar satu bulan setelah melihat tanda pusaka kujang emas, tetapi kita masih belum menemukan orang yang kita cari, Kakang.”“Bersabarlah. Aku yakin kita akan bertemu dengan orang itu dalam waktu dekat. Meskipun kita tidak bisa bertemu dengan orang itu secara langsung, kita bisa bertemu dengan orang bernama Ganawirya atau Limbur Kancana lebih dahulu.”Gadis itu membasahi wajahnya dengan air, tersenyum saat merasa sangat segar. Ia membasahi ujung rambut panjangnya, duduk di sebuah batu di mana