Ganawirya, Indra, Meswara, Jaka, dan Arya segera mendekati Lingga dan Jatnika. Tak lama setelahnya, teman-teman Jatnika mendekat. Mereka menatap sinis Lingga. Ganawiya segera memeriksa Jatnika, menyentuh dada pemuda itu. Ia merasakan hawa panas tidak biasa. “Lingga benar. Ada sesuatu yang aneh di dada Jatnika,” gumamnya. Geni, Jaya, dan Barma tiba-tiba berhenti saat melihat Ganawirya, Indra, dan yang lain di sungai. Mereka bergegas bersembunyi, mengamati dari kejauhan. “Hei, kenapa kita harus bersembunyi di sini? Bukankah kita akan bertemu Lingga?” tanya Barma seraya menggaruk rambutnya. Jaya mengamati kerumunan. “Aku merasa akan terjadi sesuatu jika kita bertemu dengan Lingga sekarang. Guru Ganawirya bahkan berada di sana. Kita sebaiknya menunggu di sini sampai kita memahami keadaan di sana.”“Lihatlah pemuda yang berbaring di tanah itu. Dia tidak sadarkan diri, dan bajunya basah kuyup. Apa mungkin dia tenggelam?” kata Barma. Jaya menyahut, “Dia tidak mungkin tenggelam. Aku pern
“Dasar pemuda terkutuk!” maki Nyi Genit seraya melesatkan selendang kuningnya ke berbagai arah hingga banyak benda berterbangan dan berjatuhan. Nyi Genit kembali menarik selendangnya. “Aku tidak menduga jika dia mampu melihat dan merasakan benda yang sudah aku masukkan pada pemuda dan gadis itu. Ganawirya juga sudah mengetahui hal itu sehingga dia akan melakukan sesuatu pada dua manusia itu. Para pendekar golongan putih juga akan menyadari jika aku terbebas dari penjara di Jaya Tonggoh.” Nyi Genit melesatkan selendangnya pada sebuah kendi besar hingga hancur dan airnya berhamburan ke tanah. “Gadis bernama Sekar Sari itu sudah menghinaku dengan sebuatan siluman tua! Aku pasti menyiksa gadis itu hingga hancur hingga ke tulang-tulangnya!” Nyi Genit memelotot tajam saat melihat Darmasena, Danuseka, dan Wira memasuki ruangannya. “Pergilah sebelum aku menghancurkan kalian!” Wira, Danuseka, dan Darmasena saling bertatapan sesaat, meninggalkan ruangan. “Kenapa kalian kembali? Bukan
“Indra, Meswara, Jaka, Arya, kalian berempat kembalilah melatih para murid padepokan, begitupun denganmu Sekar Sari. Aku dan beberapa tabib lain akan mengobati Jatnika dan Puspa Sari sekaligus mengawasi mereka,” ujar Ganawirya.“Kami mengerti, Guru.” Sekar Sari, Indra, Meswara, Jaka, dan Arya serempak mengangguk, bergegas meninggalkan ruangan. Indra, Meswara, Jaka, dan Arya segera memerintahkan para murid untuk pergi. Mereka mulai membubarkan diri meski mereka masih berbisik-bisik.Sekar Sari melirik Lingga di celah pintu. “Aku ingin berbincang dengan Kakang Lingga, tetapi aku justu harus sibuk dengan tugasku.”Sekar Sari mendadak menggigil ketika angin berembus dari dalam gubuk. “Guru Ganawirya memperhatikanku.” Sekar Sari bergegas meninggalkan gubuk, berlari menuju tempat pembelajaran. “Lalu, bagaimana denganku, Guru?” tanya Lingga. “Kau bisa memeriksa keadaan Lebak Angin dan kembali saat sore, Lingga. Beberapa hari lalu, aku mendapatkan kabar jika beberapa orang asing be
“Kita masih cukup jauh dari tempat yang kita tuju,” ujar seorang pemuda sembari melompat turun dari pelana kuda. “Untuk sekarang kita akan beristirahat di tempat ini. Kita juga harus mengumpulkan perbekalan untuk perjalanan.”Gadis cantik itu mengembus napas panjang, mendekati sungai, mengamati penampilan dirinya di air sungai yang tenang. Tatapannya tertuju pada air terjun yang mengalir deras dari atas.Gadis itu menoleh pada sang kakak yang sedang menyiduk air. “Kita sudah melakukan perjalanan sekitar satu bulan setelah melihat tanda pusaka kujang emas, tetapi kita masih belum menemukan orang yang kita cari, Kakang.”“Bersabarlah. Aku yakin kita akan bertemu dengan orang itu dalam waktu dekat. Meskipun kita tidak bisa bertemu dengan orang itu secara langsung, kita bisa bertemu dengan orang bernama Ganawirya atau Limbur Kancana lebih dahulu.”Gadis itu membasahi wajahnya dengan air, tersenyum saat merasa sangat segar. Ia membasahi ujung rambut panjangnya, duduk di sebuah batu di mana
“Itu rencana yang bagus, Paman. Aku juga ingin bertemu dengan mereka,” kata Lingga. Limbur Kancana tiba-tiba menghilang. Akan tetapi, sebuah harimau berukuran besar mendadak muncul dan menyerang Lingga. Lingga melompat tinggi, mengamati pergerakan harimau putih itu dengan saksama. “Paman benar-benar jahat. Dia terus saja mengerjaiku.” Lingga tersenyum. “Ini waktu yang tepat bagiku untuk menguji jurus baruku.”Lingga menghindar terkaman si harimau putih. Pemuda itu menghimpun kekuatan, melompat tinggi. Seluruh tubuhnya tiba-tiba diselimuti oleh cahaya putih keperakan. Saat harimau itu melompat dan menyerangnya, ia segera mengentak udara dan bergerak maju. Kedua tangan dan kaki Lingga tiba-tiba diselimuti oleh cakar harimau. Lingga mengentak udara kembali, merentangkan kedua tangan lebar-lebar. Ia tiba-tiba bergerak sangat cepat hingga dalam sekejap menghilang. Lingga memutar tubuh, terus bergerak maju di saat harimau putih Limbur Kancana semakin dekat dengannya. Jarak semakin meni
Lingga memasuki ruangan makan lebih dahulu, mengamati banyak pasang mata yang tengah memperhatikannya. Ia mengambil beberapa lauk, tersenyum saat Geni, Jaya, dan Barma melambaikan tangan padanya. Lingga duduk di samping Geni, mulai menikmati makan malam. “Aku memang sudah lapar sejak tadi. Makanan ini sangat lezat.”Geni berbisik, “Kau tampaknya masih menjadi buah bibir banyak murid di padepokan ini, Lingga. Para gadis terus saja membicarakanmu, dan hal itu membuatku sangat kesal dan iri.”“Apakah karena aku aneh?” Geni, Jaya, Barma, dan beberapa murid padepokan seketika tertawa. Lingga mengangkat kedua bahu, kembali menikmati makanan di atas daun. “Para gadis itu menyukaimu, Lingga. Apakah kau tidak menyadari hal itu?” Geni menyenggol Lingga. “Jangan berpura-pura bodoh.”“Mereka menyukaiku? Kenapa mereka menyukaiku?”“Aku sangat kesal melihat wajahmu sekarang, Lingga.” Jaya menggeleng beberapa kali.“Apa yang akan kau lakukan besok, Lingga?” tanya Barma, “apa kau akan mengintip p
Teman-teman Jatnika segera menyerang. Geni, Jaya, Barma, dan teman-teman Lingga tidak ingin kalah sehingga pertarungan tidak terelakkan. Lingga melompat ke atas, bergelantungan di atap ruangan makan. Ia menepis lemparan piring dan kendi dengan tendangan dan pukulan. “Hentikan pertarungan ini sebelum Guru Ganawirya dan yang lain menghukum kalian!” Pertarungan semakin memanas dari waktu ke waktu. Ucapan Lingga hanya dianggap sebagai angin lalu. Meja dan kursi terbang, terbalik dan terlempar hingga makanan dan minuman berhamburan ke tanah. Para pelayan seketika bersembunyi di dapur, mengintip pertarungan.Para gadis di ruangan sebelah bergegas keluar, menonton pertandingan di teras dan dekat pintu. Suasana menjadi semakin gaduh saat meja dan kursi terbang hingga sebagian hancur. Lingga melompat di tengah-tengah ruangan, mendorong teman-temannya dan juga teman-teman Jatnika agar menjauh. “Hentikan pertarungan ini!”“Diamlah, pemuda sialan! Kau bertingkah seolah kau adalah pemuda paling
Indra, Meswara, Jaka, dan Arya terkejut ketika melihat keadaan ruangan yang hancur. Para murid sontak terdiam, menunduk ketakutan. “Katakan, apa yang sebenarnya sudah kalian lakukan?” tanya Indra sembari mendekat. Para murid semakin menunduk dan mundur hingga saling berdekatan. “Apakah tidak ada dari kalian yang ingin berbicara?” Indra memelotot tajam. “Jika tidak ada, aku akan memberi tahu Guru Ganawirya sekarang.”Para murid mulai saling mendorong, meminta teman-teman mereka untuk berbicara. Sekar Sari tersenyum, memutar bola mata. “Laki-laki memang selalu kekanakan. Aku sebaiknya pergi sebelum Guru tiba.”Sekar Sari keluar dari ruangan, menatap para gadis yang mengintip di samping ruangan. “Apa yang kalian lakukan? Cepatlah kembali ke gubuk kalian masing-masing sebelum Guru Ganawirya muncul dan menghukum kalian.”Para gadis menatap sinis Sekar Sari. “Aku sudah memperingatkan kalian.” Sekar Sari melompat, berlari menuju gubuknya. Ia sontak menahan napas saat melihat sekelebat b