“Dasar pemuda terkutuk!” maki Nyi Genit seraya melesatkan selendang kuningnya ke berbagai arah hingga banyak benda berterbangan dan berjatuhan. Nyi Genit kembali menarik selendangnya. “Aku tidak menduga jika dia mampu melihat dan merasakan benda yang sudah aku masukkan pada pemuda dan gadis itu. Ganawirya juga sudah mengetahui hal itu sehingga dia akan melakukan sesuatu pada dua manusia itu. Para pendekar golongan putih juga akan menyadari jika aku terbebas dari penjara di Jaya Tonggoh.” Nyi Genit melesatkan selendangnya pada sebuah kendi besar hingga hancur dan airnya berhamburan ke tanah. “Gadis bernama Sekar Sari itu sudah menghinaku dengan sebuatan siluman tua! Aku pasti menyiksa gadis itu hingga hancur hingga ke tulang-tulangnya!” Nyi Genit memelotot tajam saat melihat Darmasena, Danuseka, dan Wira memasuki ruangannya. “Pergilah sebelum aku menghancurkan kalian!” Wira, Danuseka, dan Darmasena saling bertatapan sesaat, meninggalkan ruangan. “Kenapa kalian kembali? Bukan
“Indra, Meswara, Jaka, Arya, kalian berempat kembalilah melatih para murid padepokan, begitupun denganmu Sekar Sari. Aku dan beberapa tabib lain akan mengobati Jatnika dan Puspa Sari sekaligus mengawasi mereka,” ujar Ganawirya.“Kami mengerti, Guru.” Sekar Sari, Indra, Meswara, Jaka, dan Arya serempak mengangguk, bergegas meninggalkan ruangan. Indra, Meswara, Jaka, dan Arya segera memerintahkan para murid untuk pergi. Mereka mulai membubarkan diri meski mereka masih berbisik-bisik.Sekar Sari melirik Lingga di celah pintu. “Aku ingin berbincang dengan Kakang Lingga, tetapi aku justu harus sibuk dengan tugasku.”Sekar Sari mendadak menggigil ketika angin berembus dari dalam gubuk. “Guru Ganawirya memperhatikanku.” Sekar Sari bergegas meninggalkan gubuk, berlari menuju tempat pembelajaran. “Lalu, bagaimana denganku, Guru?” tanya Lingga. “Kau bisa memeriksa keadaan Lebak Angin dan kembali saat sore, Lingga. Beberapa hari lalu, aku mendapatkan kabar jika beberapa orang asing be
“Kita masih cukup jauh dari tempat yang kita tuju,” ujar seorang pemuda sembari melompat turun dari pelana kuda. “Untuk sekarang kita akan beristirahat di tempat ini. Kita juga harus mengumpulkan perbekalan untuk perjalanan.”Gadis cantik itu mengembus napas panjang, mendekati sungai, mengamati penampilan dirinya di air sungai yang tenang. Tatapannya tertuju pada air terjun yang mengalir deras dari atas.Gadis itu menoleh pada sang kakak yang sedang menyiduk air. “Kita sudah melakukan perjalanan sekitar satu bulan setelah melihat tanda pusaka kujang emas, tetapi kita masih belum menemukan orang yang kita cari, Kakang.”“Bersabarlah. Aku yakin kita akan bertemu dengan orang itu dalam waktu dekat. Meskipun kita tidak bisa bertemu dengan orang itu secara langsung, kita bisa bertemu dengan orang bernama Ganawirya atau Limbur Kancana lebih dahulu.”Gadis itu membasahi wajahnya dengan air, tersenyum saat merasa sangat segar. Ia membasahi ujung rambut panjangnya, duduk di sebuah batu di mana
“Itu rencana yang bagus, Paman. Aku juga ingin bertemu dengan mereka,” kata Lingga. Limbur Kancana tiba-tiba menghilang. Akan tetapi, sebuah harimau berukuran besar mendadak muncul dan menyerang Lingga. Lingga melompat tinggi, mengamati pergerakan harimau putih itu dengan saksama. “Paman benar-benar jahat. Dia terus saja mengerjaiku.” Lingga tersenyum. “Ini waktu yang tepat bagiku untuk menguji jurus baruku.”Lingga menghindar terkaman si harimau putih. Pemuda itu menghimpun kekuatan, melompat tinggi. Seluruh tubuhnya tiba-tiba diselimuti oleh cahaya putih keperakan. Saat harimau itu melompat dan menyerangnya, ia segera mengentak udara dan bergerak maju. Kedua tangan dan kaki Lingga tiba-tiba diselimuti oleh cakar harimau. Lingga mengentak udara kembali, merentangkan kedua tangan lebar-lebar. Ia tiba-tiba bergerak sangat cepat hingga dalam sekejap menghilang. Lingga memutar tubuh, terus bergerak maju di saat harimau putih Limbur Kancana semakin dekat dengannya. Jarak semakin meni
Lingga memasuki ruangan makan lebih dahulu, mengamati banyak pasang mata yang tengah memperhatikannya. Ia mengambil beberapa lauk, tersenyum saat Geni, Jaya, dan Barma melambaikan tangan padanya. Lingga duduk di samping Geni, mulai menikmati makan malam. “Aku memang sudah lapar sejak tadi. Makanan ini sangat lezat.”Geni berbisik, “Kau tampaknya masih menjadi buah bibir banyak murid di padepokan ini, Lingga. Para gadis terus saja membicarakanmu, dan hal itu membuatku sangat kesal dan iri.”“Apakah karena aku aneh?” Geni, Jaya, Barma, dan beberapa murid padepokan seketika tertawa. Lingga mengangkat kedua bahu, kembali menikmati makanan di atas daun. “Para gadis itu menyukaimu, Lingga. Apakah kau tidak menyadari hal itu?” Geni menyenggol Lingga. “Jangan berpura-pura bodoh.”“Mereka menyukaiku? Kenapa mereka menyukaiku?”“Aku sangat kesal melihat wajahmu sekarang, Lingga.” Jaya menggeleng beberapa kali.“Apa yang akan kau lakukan besok, Lingga?” tanya Barma, “apa kau akan mengintip p
Teman-teman Jatnika segera menyerang. Geni, Jaya, Barma, dan teman-teman Lingga tidak ingin kalah sehingga pertarungan tidak terelakkan. Lingga melompat ke atas, bergelantungan di atap ruangan makan. Ia menepis lemparan piring dan kendi dengan tendangan dan pukulan. “Hentikan pertarungan ini sebelum Guru Ganawirya dan yang lain menghukum kalian!” Pertarungan semakin memanas dari waktu ke waktu. Ucapan Lingga hanya dianggap sebagai angin lalu. Meja dan kursi terbang, terbalik dan terlempar hingga makanan dan minuman berhamburan ke tanah. Para pelayan seketika bersembunyi di dapur, mengintip pertarungan.Para gadis di ruangan sebelah bergegas keluar, menonton pertandingan di teras dan dekat pintu. Suasana menjadi semakin gaduh saat meja dan kursi terbang hingga sebagian hancur. Lingga melompat di tengah-tengah ruangan, mendorong teman-temannya dan juga teman-teman Jatnika agar menjauh. “Hentikan pertarungan ini!”“Diamlah, pemuda sialan! Kau bertingkah seolah kau adalah pemuda paling
Indra, Meswara, Jaka, dan Arya terkejut ketika melihat keadaan ruangan yang hancur. Para murid sontak terdiam, menunduk ketakutan. “Katakan, apa yang sebenarnya sudah kalian lakukan?” tanya Indra sembari mendekat. Para murid semakin menunduk dan mundur hingga saling berdekatan. “Apakah tidak ada dari kalian yang ingin berbicara?” Indra memelotot tajam. “Jika tidak ada, aku akan memberi tahu Guru Ganawirya sekarang.”Para murid mulai saling mendorong, meminta teman-teman mereka untuk berbicara. Sekar Sari tersenyum, memutar bola mata. “Laki-laki memang selalu kekanakan. Aku sebaiknya pergi sebelum Guru tiba.”Sekar Sari keluar dari ruangan, menatap para gadis yang mengintip di samping ruangan. “Apa yang kalian lakukan? Cepatlah kembali ke gubuk kalian masing-masing sebelum Guru Ganawirya muncul dan menghukum kalian.”Para gadis menatap sinis Sekar Sari. “Aku sudah memperingatkan kalian.” Sekar Sari melompat, berlari menuju gubuknya. Ia sontak menahan napas saat melihat sekelebat b
Lingga tiba di gubuk, merenggangkan badan beberapa kali. Ketika akan duduk di ranjang, ia mendadak melompat-lompat kesakitan. “Guru Ganawirya memukulku dengan sangat keras. Aku kesulitan duduk sekarang.”“Tunggu!” Lingga berjalan ke luar gubuk, mengawasi keadaan sekeliling. “Aku harus membantu Guru Ganawirya untuk mengeluarkan benda hitam di dada Jatnika dan Puspa Sari. Aku tidak bisa membantunya jika aku kembali berlatih.”Ganawirya melompat dari atap gubuk, mendarat di teras. “Kau tidak perlu melakukannya, Lingga. Aku sudah mengerti tata cara mengeluarkan benda hitam itu. Kau harus pergi ke gunung Padaherang besok.”“Baiklah, Guru.” Lingga kembali memasuki gubuk, menutup pintu perlahan. Ia mengintip keadaan luar di jendela. “Guru Ganawirya memang hebat. Dia berhasil membuat penawar racun kalong setan di saat semua tabib di seluruh rimba persilatan kesulitan. Dia juga mampu menciptakan beragam ramuan hebat.”Lingga berbaring menyamping di ranjang. “Aku penasaran apakah Guru Ganawirya
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me