“Kakang Indra?” ujar Geni, Jaya dan bersamaan. Ketiganya seketika saling menoleh, menunduk dalam, saling menyikut lengan satu sama lain. Ketakutan terlihat jelas di wajah mereka. “Katakan padaku, apa maksud kalian mengenai permbicaraan kalian tadi?” pinta Indra dengan tatapan yang beralih dari Geni, Jaya dan Barma bergantian.“Ada apa, Indra?” Meswara datang mendekat bersama Jaya dan Arya.Geni, Jaya dan Barma semakin ketakutan. Jika terus didesak, mau tidak mau mereka harus berterus terang jika mereka mengingat Lingga.“Kalian bertiga membicarakan soal ‘Lingga’. Apa yang kalian ketahui soal Lingga?” Indra kembali bertanya. Suaranya terkesan memaksa dan penuh tekanan.Meswara, Jaka dan Arya kontak terkejut ketika mendengarnya.Beberapa murid yang sedang meramu obat seketika menoleh ketika melihat Geni, Jaya dan Barma dikerumuni. Mereka mendekat dan mulai berkerumun, saling berbisik, bertanya mengenai apa yang terjadi.“Kembali pada tugas kalian masing-masing,” kata Jaka sembari men
Galih Jaya yang mendapat kabar mengenai pertempuran yang akan terjadi malam ini seketika mengumpulkan seluruh pendekar dan tabib di depan gua.“Para petinggi golongan putih sepakat untuk menangkap Wintara dan Nilasari malam ini,” ujar Galih Jaya membuka perkumpulan.Hampir semua pendekar dan tabib yang mendengarnya terkejut.“Wintara dan Nilasari diketahui pergi ke tempat Nyi Genit dengan dibantu oleh seorang siluman. Sebelum kedua siluman itu bertemu dengan Nyi Genit, para petinggi golongan putih memutuskan untuk bergerak menangkap mereka.”Suasana seketika menjadi riuh. Para pendekar dan para tabib mulai berbicara dengan rekan yang berada di samping mereka. Di malam yang kian menuju puncak, mereka harus dihadapkan pada sebuah peristiwa besar.“Segera kirimkan pesan pada para pendekar yang menjaga para warga bahwa pertempuran akan terjadi malam ini. Mereka harus melindungi warga menempatkan warga di tempat yang aman. Jika mereka sudah melakukannya, kirimkan sebagian dari mereka ke te
Ganawirya seketika terdiam, mengamati ketiga pendekar muda di depannya bergantian. Dari sorot mata mereka, ketiganya seperti ingin mengujinya. Ia mendengar bahwa Sekar Sari berpura-pura sebagai Sekar Dewi dalam pengembaraannya.Ganawirya menoleh ke samping ketika tiruan Limbur Kancana mendekat dan menyentuh bahunya. Ia terdiam ketika mendengar ucapan Limbur Kancana dalam pikirannya.Sementara itu, Galih Jaya, Dharma dan Malawati saling menoleh sesaat, mengamati setiap gerak-gerik dari tindakan sosok pendekar berbaju serba hitam di dekat mereka. Ketiganya ingin memastikan bahwa sosok yang mengaku sebagai murid dari Ganawirya itu memang berkata jujur.“Aku tidak mengenal gadis bernama Sekar Dewi,” ujar Ganawirya, “aku hanya mengenal satu nama gadis yang memiliki nama depan Sekar, yakni Sekar Sari. Dia adalah gadis yang memakai selendang merah di pinggangnya. Dia juga merupakan adik tingkatku di padepokan.”Galih Jaya, Dharma dan Malawati kembali salah menoleh, memberi anggukan singkat.
“Apa yang kalian maksud dengan bambu ajaib?” tanya Ganawirya. Ia akan menyerahkan Sekar Sari pada tiruan-tiruan Limbur Kancana dan memusatkan seluruh perhatian pada tugas ini.Galih Jaya menunjukkan bambu hijau dan bambu kuning ke hadapan Ganawirya. “Dua bambu ini adalah dua bambu yang sudah diciptakan oleh Sekar Sari. Bambu hijau memiliki kemampuan untuk merasakan kehadiran racun kalong setan. Bambu hijau ini akan dipenuhi oleh titik-titik hitam dan noda-noda hitam ketika terdapat racun kalong setan di sekitar kita. Bambu ini akan kembali ke keadaan semula jika racun kalong setan menghilang. Sementara itu, bambu kuning memiliki kemampuan untuk merasakan kehadiran Wintara dan Nilasari. Bambu ini akan memberi tanda dengan bergerak dengan sendirinya. Semakin dekat jarak kedua siluman itu, semakin cepat juga gerakan dari bambu ini.”Ganawirya sontak tercekat ketika mendengar penjelasan tersebut. Sebagai seorang guru, tentu ia merasa bangga dengan pencapaian yang sudah diraih Sekar Sari.
Semua orang yang ada di dalam ruang sontak terkejut meski tak lama setelahnya mereka tersenyum bahagia.“Kakang Ajisaka, Kakang Amarsa, Gendis, kalian sudah kembali.” Malawati sampai menangis. Gadis itu dengan cepat keluar dari ruangan, berlari menuju tempat para korban Wintara dan Nilasari berada, melewati para pendekar yang berjaga di sekitar lorong.“Apa yang terjadi, Nyai? Kenapa kau berlari?” tanya salah satu pendekar.“Aku hanya ingin memeriksa keadaan para korban yang sudah sadarkan diri.” Malawati terus berlari tanpa menoleh ke belakang.Kembali ke ruangan para tabib.“Kembali bertugas,” ujar Galih Jaya pada para tabib. Ia kemudian menoleh pada Dharma yang terus memperhatikan sosok Pendekar Hitam yang mengaku sebagai Kancana. “Dharma, kita akan memeriksa keadaan para korban.”“Baik, Galih Jaya.”Galih Jaya, Dharma dan beberapa pendekar bergegas keluar ruangan, berlari menuju tempat para korban berada.“Apa kau menyadari sesuatu yang aneh dari pendekar bernama Kancana itu, Dhar
Limbur Kancana tengah berdiri di puncak pohon yang berbatasan dengan hutan siluman. Bambu kuning yang berada di tangannya semakin bergerak cepat pertanda Wintara dan Nilasari semakin mendekat. Dari tempatnya saat ini, ia bisa melihat banyak bayangan yang bergerak cepat di rerimbunnya pepohonan.Tarusbawa tiba bersama dua tiruan Limbur Kancana. “Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk kita semua.”“Benar, Raka.” Limbur Kancana menoleh, menghadap Tarusbawa. “Para petinggi golongan putih dan para pendekar sedang bergerak menuju ke tempat masing-masing.”“Jadi apa rencanamu, Limbur Kancana?”“Aku dan para petinggi golongan putih akan memisahkan Wintara, Nilasari dan siluman yang membantu mereka. Aku akan berhadapan dengan siluman yang membantu Wintara dan Nilasari, sedang para petinggi golongan putih dan para pendekar akan menghadapi Wintara dan Nilasari. Aku akan menyerahkan Nyi Genit padamu, Raka.”“Baiklah, aku mengerti. Aku sudah menyelesaikan jalan yang bisa menemb
Bangkong Hideung yang tengah berjaga di pinggiran hutan siluman seketika tercekat ketika mendengar suara Munding Hideung. “Apa yang kau inginkan dariku, Munding Hideung?”“Para petinggi golongan putih mulai melakukan serangan besar-besaran untuk menangkap Wintara dan Nilasari. Saat ini, aku sedang berhadapan dengan salah satu dari Pendekar Hitam.”“Wintara dan Nilasari? Apa mungkin mereka dua siluman yang sedang dihadapi oleh para pendekar golongan putih saat ini?”“Kau benar. Gusti Totok Surya memerintahkan Nyi Genit untuk membantu Wintara dan Nilasari dalam menghadapi para pendekar golongan putih.”“Gusti Totok Surya?” Bangkong Bodas tiba-tiba merinding. Baiklah aku mengerti. Apa yang harus aku lakukan?”“Segera beri tahu Nyi Genit mengenai peristiwa ini sekarang juga. Selain itu, bawalah gadis yang diinginkan Nyi Genit ke hutan siluman sekarang juga. Aku akan memberikan tanda keberadaanku padamu sekarang.”“Kau sepertinya kesulitan menghadapi sosok Pendekar Hitam itu, Munding Hide
Limbur Kancana terdiam setelah mendengar perkataan tersebut. Ia kembali memutar tubuh untuk berhadapan langsung dengan Sekar Sari. “Apa yang dikatakan Wintara dan Nilasari memang benar. Raka Tarusbawa mengambil peran sebagai Pendekar Hitam.”Sekar Sari seketika terperangah. “Kenapa Kakang Guru tidak langsung memberi tahu Kakang Lingga mengenai hal ini? Bukankah Kakang Lingga harus segera berlatih di bawah arahan Tarusbawa agar bisa secepatnya menguasai pusaka kujang emas?”“Aku sudah menyampaikan hal itu pada raka Tarusbawa. Hanya saja, raka Tarusbawa memilih untuk menghadapi Wintara dan Nilasari lebih dulu. Selain itu, raka Tarusbawa ingin menguji Lingga sebelum dia melatihnya.”“Baiklah, aku mengerti.” Sekar Sari meremas selendangnya. “Bagaimana dengan keadaan kakang Lingga saat ini, Kakang Guru?”“Lingga sedang berlatih keras di alam sana.” Limbur Kancana maju beberapa langkah ke hadapan Sekar Sari. “Dengarkan aku baik-baik, Sekar Sari. Saat ini raka Tarusbawa sedang berusaha memas
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me