Sekar Sari dan Wira berubah menjadi dua bayangan hitam yang saling berbenturan di gua, bergerak dari satu sudut ke sudut lain. Galih Jaya, Dharma dan Malawati mengikuti pergerakan keduanya dari tempat mereka berdiri.Malawati dan Galih Jaya turun ke tanah, merenggangkan jarak setelah tendangan mereka bertumbukan di titik yang sama. Keduanya kembali saling melempar pukulan dan tendangan, beradu kekuatan. Kuku panjang nan beracun Wira beberapa kali berbenturan dengan selendang merah Sekar Sari.“Apa kau tidak takut jika kau terkena racun kalong setan, Sekar Sari?” tanya Wira di sela melayangkan serangan dan menghadang serangan dari Sekar Sari, menyeringai meremehkan. “Kau bisa saja mati dengan racun itu.”Sekar Sari tersenyum tipis. “Aku sudah pernah menghadapi kematian sekali saat di Lebak Angin. Bertarung denganmu tidak akan membuatku gentar. Lagi pula aku bisa tahu kapan racun kalong setan kau gunakan. Kau hanya sedang menggertakku.”Wira berdecak, mundur sejauh satu tombak seraya me
Galih Jaya, Dharma dan Malawati segera melompat ke celah yang dilalui Sekar Sari tadi. Ketika ketiganya mendarat di atap gua, mereka melihat Sekar Sari tertarik ke luar gua dengan sangat cepat. Tampak selendangnya berusaha menggapai pepohonan, tetapi berulang kali gagal. “Siapa sebenarnya yang menculik, Sekar Sari?” tanya Malawati. “Apa mungkin ini ulah penyusup bernama Wira itu?” terka Dharma. “Dharma, Malawati, segera kejar Sekar Sari sebelum dia menjauh. Kita sangat membutuhkan kemampuannya. Bawa beberapa pendekar untuk membantu kalian. Jika terjadi sesuatu, segeralah memberi tanda,” perintah Galih Jaya. “Kami mengerti,” sahut Dharma dan Malawati bersamaan, melompat turun, pergi ke luar kubah bersama beberapa pendekar. Tampak beberapa tiruan Limbur Kancana yang berjaga di luar sudah lebih dahulu berlari mengejar sesuatu yang melesat cepat menjauh dari kubah. “Sekar Sari diculik oleh seseorang,” ujar Malawati dengan suara keras pada tiruan-tiruan Limbur Kancana yang tengah melom
Sekar tercekat ketika melihat seorang pria asing berada di depannya. Gadis itu dengan cepat melesatkan tendangan dan pukulan. Akan tetapi, serangannya dapat dengan mudah dihentikan dengan satu tangan.Sekar Sari tak hilang akal. Gadis itu segera melemparkan satu bagian selendangnya ke pohon yang berada di belakang, sedang sisanya melesat menyerang Munding Hideung. Bersamaan dengan tubuhnya yang tertarik ke belakang, Munding Hideung menjauh untuk menghindar.Munding Hideung tertawa, mengubah wujudnya menjadi sosok siluman bertanduk kerbau.“Dia seorang siluman.” Sekar Sari sontak terkejut hingga mundur beberapa langkah. “Apa yang dia inginkan dariku sebenarnya? Tunggu, penampilannya mengingatkanku pada seseorang.”“Nyai, kau harus ikut denganku sekarang juga. Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu. Aku tidak ingin bermain-main atau menyakitiku. Sebaiknya kau menyerah sebelum sabitku kembali terbang ke arahmu—”Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Munding Hideung tiba-tiba saja d
Limbur Kancana bersama tiruan-tiruannya tiba di tempat cahaya api menyala tadi. Ia tercekat ketika melihat sisa pertarungan di tempat ini. “Bau apa ini?”Salah satu tiruan Limbur Kancana mendekat, lalu memberikan sebuah batu yang bertuliskan sesuatu. “Nyi Genit.”Limbur Kancana melompat ke puncak pohon. Bau aneh itu masih tercium olehnya. Dari jaraknya saat ini, sudah tidak bisa lagi merasakan keberadaan Sekar Sari. “Sepertinya Sekar Sari dibawa ke tempat Nyi Genit berada. Ini gawat.”Salah satu tiruan lain kembal memberi sebuat batu bertuliskan pesan.“Siluman kerbau. Jangan khawatir.” Limbur Kancana tercenung sesaat. “Apa mungkin yang menculik Sekar Sari adalah Brajawesi? Tapi dia masih terkurung di penjara raka Tarsubawa.”Limbur Kancana segera duduk bersila, menghubungi Tarusbawa. “Raka, apa kau bisa mendengarku? Ada hal yang ingin aku tanyakan padamu.”Tarusbawa yang sedang memulihkan kekuatan di dalam pohon menyahut, “Apa yang ingin kau tanyakan, Limbur Kancana?”“Apakah Brajawe
Di alam lain, Lingga baru saja menyelesaikan latihan panjangnya. Pemuda itu mendekat ke arah sungai, membasuh wajah dan rambut untuk menyegarkan diri. Tatapannya tertuju pada pada isi sungai yang sangat jernih di mana ikan-ikan berenang dengan cepat dan tumbuhan yang bergoyang-goyang karean aliran air. Begitu mengangkat kepala, tetes air seketika membasahi leher dan bajunya.Lingga duduk dengan kaki yang dibiarkan jatuh ke air, memandang langit luas bertabur bintang. Beberapa kali tatapannya tertuju pada hutan di belakang, berharap Limbur Kancana datang, lalu beralih ke depan di mana bangunan berbatu runcing itu berada di balik hutan. Sayangnya, dicoba beberapa kali pun dinding tak kasat mata tidak membiarkannya untuk masuk.“Aku merasa aneh sekali karena tempat ini selalu malam. Selain itu, kenapa hanya paman Limbur Kancana yang bisa memasuki alam ini? Aki sama sekali tidak pernah bercerita mengenai alam ini.” Lingga merebahkan diri di sis sungai, menjadikan kedua tangan sebagai ban
Lingga serasa ditarik ke titik semula secara tiba-tiba. Begitu membuka mata, ia melihat dirinya masih duduk bersila di atas batu. Tatapannya segera mengedar ke sekeliling di mana hanya ada sungai, air terjun dan pepohonan di sekelilingnya.“Ruangan yang dikelilingi asap putih itu nyatanya adalah sebuah ruangan istana. Aku melihat Prabu Nilakendra tengah duduk di kursi singgasana di mana ada seorang pria dan seorang wanita berdiri di sampingnya. Selain itu, aku melihat aki, paman Limbur Kancana dan tiga pendekar lain yang aku duga sebagai pendekar Sayap Putih. Mungkinkah ini semacam gambaran masa lalu?”Lingga mendongak ke langit, mengembus napas panjang. Ia mengamati kedua tangan, lalu beralih pada wajahnya di aliran air yang tenang. “Bukan saatnya aku memikirkan hal itu sekarang. Paman, Sekar Sari dan para pendekar lain sedang berjuang keras saat ini. Aku tidak boleh kalah dengan mereka.”Lingga kembali duduk bersila, menyatukan kepalan tangan di depan dada, memejamkan mata. Dua caha
Wintara dan Nilasari mendekat ke arah Munding Hideung, menoleh pada Sekar Sari yang masih berada di atas sesaat.“Kenapa kau membawa gadis itu?” tanya Wintara.“Jawab pertanyaanku sebelum kalian mengajukan pertanyaan padaku.” Munding Hideung berdecak. Sabit di tangannya kembali mengeluarkan api.Wintara dan Nilasari saling menoleh satu sama lain, bersiaga penuh.“Kakang, dia siluman yang kuat. Aku bisa mencium racun kalong setan dari tubuhnya.” Nilasari berbisik di mana tatapannya tetap tertuju pada Munding Hideung. “Sebaiknya kita tidak mencari masalah dengannya. Kita bisa bertanya padanya mengenai keberadaan Nyi Genit.”Wintara mengangguk, maju selangkah. “Aku Wintara dan ini adikku Nilasari.”Munding Hideung terdiam sesaat, menghilangkan sabut di tangannya. “Jadi, kalian berdua adalah dua siluman ular yang membuat kecauan di rimba persilatan?”“Benar.” Wintara mengangguk.Munding Hideung tertawa. “Apa yang kalian inginkan dariku?”“Kami hanya penasaran kenapa kau membawa gadis itu,
“Aku sempat menghadapinya saat dia menyusup ke hutan siluman,” ujar Munding Hideung, “hanya saja dia berhasil melarikan diri.”“Sosok Pendekar Hitam itu berjumlah dua orang,” sahut Wintara, “mereka tidak lain adalah Tarusbawa dan Limbur Kancana. Mereka sengaja bersembunyi di balik sosok Pendekar Hitam untuk membantu para pendekar golongan putih.” “Tarusbawa? Limbur Kancana?” Munding Hideung memelotot tajam, menoleh pada Wintara dan Nilasari yang terbang di sampingnya. “Aku seperti pernah mendengar nama kedua pendekar itu.”“Tarusbawa adalah salah satu pendekar Sayap Putih, sedang Limbur Kancana adalah pendekar yang bersama pemuda pewaris kujang emas saat ini.” Wintara membalas.“Pendekar Sayap Putih? Pendekar yang bersama pemuda pewaris kujang emas?” Munding Hideung begitu terkejut ketika mendengarnya. “Ini benar-benar kabar yang sangat penting.”“Tarusbawa sudah kami habisi dalam pertarungan beberapa hari lalu. Saat itu, kami dan Bangasera melawan Tasrubawa dan Limbur Kancana di de