Lingga serasa ditarik ke titik semula secara tiba-tiba. Begitu membuka mata, ia melihat dirinya masih duduk bersila di atas batu. Tatapannya segera mengedar ke sekeliling di mana hanya ada sungai, air terjun dan pepohonan di sekelilingnya.“Ruangan yang dikelilingi asap putih itu nyatanya adalah sebuah ruangan istana. Aku melihat Prabu Nilakendra tengah duduk di kursi singgasana di mana ada seorang pria dan seorang wanita berdiri di sampingnya. Selain itu, aku melihat aki, paman Limbur Kancana dan tiga pendekar lain yang aku duga sebagai pendekar Sayap Putih. Mungkinkah ini semacam gambaran masa lalu?”Lingga mendongak ke langit, mengembus napas panjang. Ia mengamati kedua tangan, lalu beralih pada wajahnya di aliran air yang tenang. “Bukan saatnya aku memikirkan hal itu sekarang. Paman, Sekar Sari dan para pendekar lain sedang berjuang keras saat ini. Aku tidak boleh kalah dengan mereka.”Lingga kembali duduk bersila, menyatukan kepalan tangan di depan dada, memejamkan mata. Dua caha
Wintara dan Nilasari mendekat ke arah Munding Hideung, menoleh pada Sekar Sari yang masih berada di atas sesaat.“Kenapa kau membawa gadis itu?” tanya Wintara.“Jawab pertanyaanku sebelum kalian mengajukan pertanyaan padaku.” Munding Hideung berdecak. Sabit di tangannya kembali mengeluarkan api.Wintara dan Nilasari saling menoleh satu sama lain, bersiaga penuh.“Kakang, dia siluman yang kuat. Aku bisa mencium racun kalong setan dari tubuhnya.” Nilasari berbisik di mana tatapannya tetap tertuju pada Munding Hideung. “Sebaiknya kita tidak mencari masalah dengannya. Kita bisa bertanya padanya mengenai keberadaan Nyi Genit.”Wintara mengangguk, maju selangkah. “Aku Wintara dan ini adikku Nilasari.”Munding Hideung terdiam sesaat, menghilangkan sabut di tangannya. “Jadi, kalian berdua adalah dua siluman ular yang membuat kecauan di rimba persilatan?”“Benar.” Wintara mengangguk.Munding Hideung tertawa. “Apa yang kalian inginkan dariku?”“Kami hanya penasaran kenapa kau membawa gadis itu,
“Aku sempat menghadapinya saat dia menyusup ke hutan siluman,” ujar Munding Hideung, “hanya saja dia berhasil melarikan diri.”“Sosok Pendekar Hitam itu berjumlah dua orang,” sahut Wintara, “mereka tidak lain adalah Tarusbawa dan Limbur Kancana. Mereka sengaja bersembunyi di balik sosok Pendekar Hitam untuk membantu para pendekar golongan putih.” “Tarusbawa? Limbur Kancana?” Munding Hideung memelotot tajam, menoleh pada Wintara dan Nilasari yang terbang di sampingnya. “Aku seperti pernah mendengar nama kedua pendekar itu.”“Tarusbawa adalah salah satu pendekar Sayap Putih, sedang Limbur Kancana adalah pendekar yang bersama pemuda pewaris kujang emas saat ini.” Wintara membalas.“Pendekar Sayap Putih? Pendekar yang bersama pemuda pewaris kujang emas?” Munding Hideung begitu terkejut ketika mendengarnya. “Ini benar-benar kabar yang sangat penting.”“Tarusbawa sudah kami habisi dalam pertarungan beberapa hari lalu. Saat itu, kami dan Bangasera melawan Tasrubawa dan Limbur Kancana di de
“Aku akan membawa kalian ke tempat Nyi Genit dengan segera sekaligus membawa gadis ini padanya,” ujar Munding Hideung, “kalian tidak akan kuizinkan untuk mengacau saat ini.”“Kami tidak menerima perintah dari siapa pun,” ketus Nilasari.“Kau terlalu cerewet, Nyai.” Munding Hideung mempercepat laju terbangnya. “Jika sampai Nyi Genit memintaku untuk membawa kalian berdua, berarti ada hal penting yang ingin dia sampaikan pada kalian selain memberikan racun kalong setan.” “Baiklah,” ujar Wintara seraya menghilangkan kembali kekuatannya. Sementara itu, para pendekar yang berada di hutan langsung menyebar ke sekeliling ketika mendapat tanda bambu kuning bergerak.Wirayuda yang menjadi pemimpin pendekar ikut mengawasi keadaan sekeliling. Ia mengamati bambu kuning yang terus bergerak meski lambat laun memelan dengan sendirinya.Wirayuda melompat ke puncak pohon, mengamati keadaan sekitar dengan saksama. Tatapannya tertuju ke langit. Ia terkejut ketika melihat keanehan dari awan y
“Katakan, apa yang terjadi?” tanya Limbur Kancana.“Pendekar Hitam?” Wirayuda terkejut ketika tiruan yang berada di dekatnya tiba-tiba berbicara. Para pendekar seketika bergerak mundur.“Aku dan pasukanku merasakan bambu kuning yang bergetar beberapa waktu lalu. Kami segera menyebar ke sekeliling hutan, tapi kami tidak menemukan keberadaan mereka. Selain itu, kami mencium bau aneh di sekitar hutan.” Wirayuda menyerahkan sebuah batu ke tangan Limbur Kancana. “Aku mendapatkan pesan di batu itu dan tak lama setelahnya tanaman merambat mendadak tumbuh tinggi.”Limbur Kancana terperangah ketika melihat sebuah pesan di batu tersebut. Ia mengeluarkan batu dalam bentuk yang tidak jauh berbeda. “Aku tahu siapa yang mengirimkan pesan ini.”“Kau mengetahuinya?” Wirayuda tercekat, begitupun dengan para pendekar.“Seorang siluman menculik tabib wanita yang membuat bambu ajaib. Menurut pesan yang kutemukan, tabib wanita itu akan dibawa ke tempat Nyi Genit,” ungkap Limbur Kancana, “bau aneh yang kal
Para murid sontak terperangah ketika mendengar perkataan Ganawirya meski tak lama setelahnya mereka berusaha menenangkan diri.“Pertempuran antara pasukan pendekar golongan putih dan dua siluman ular akan terjadi dalam waktu dekat. Aku akan ikut andil dengan membantu para tabib untuk membuat penawar racun kalong setan bagi para pendekar,” ujar Ganawirya.“Apa kami semua juga akan dilibatkan dalam pertempuran, Guru?” tanya Indra.“Tidak, kalian sama sekali tidak akan dilibatkan dalam pertempuran. Ada kemungkinan anggota Cakar Setan akan kembali terlibat. Aku tidak bisa membiarkan kalian semua berada dalam bahaya.” Ganawirya mengembus napas panjang, mengamati satu per satu murid. “Kita akan pergi ke Jaya Tonggoh, tepatnya ke sebuah gua. Di sana kalian akan tinggal dan bertugas untuk menyelesaikan ramuan pengubah siluman ular menjadi manusia kembali. Kalian juga akan membuat beragam ramuan yang berguna dalam pertarungan.”“Indra, Meswara, Jaka, Arya, kalian berempat akan menjaga para mur
Ganawirya melirik ke arah salah satu tiruan Limbur Kancana yang melambaikan tangan padanya. Ia segera mendekat dengan cara melompat. Ada sebuah retakan dinding gua yang menyambung dari atas hingga bawah di depannya. Saat ia menyentuh dinding tersebut, tiba-tiba saja retakan terbuka dan menunjukkan sebuah jalan.Ganawirya melewati tangga dan lorong hingga akhirnya tiba di sebuah taman dengan pohon besar, kolam berair jernih serta tanaman-tanaman obat yang tumbuh dengan subur. Sebelum ditelan keterkejutan, Ganawirya lebih dahulu mengamati tanama obat di sekelilingnya.“Tanaman obat di tempat ini terbilang sangat langka dan sulit ditemukan di mana pun.” Ganawirya bergerak ke kolam, meneguk airnya sedikit. “Air kolam ini tak jauh berbeda dengan air dari Telaga Asri.”Ganawirya memasukkan air ke dalam kendi. Pendekar itu segera mengumpulkan tanaman-tanaman obat, mencabut satu per satu tumbuhan kecil dari masing-masing tanaman obat. Semua daun yang diambil, termasuk tumbuhan kecil tadi lant
“Kakang Indra?” ujar Geni, Jaya dan bersamaan. Ketiganya seketika saling menoleh, menunduk dalam, saling menyikut lengan satu sama lain. Ketakutan terlihat jelas di wajah mereka. “Katakan padaku, apa maksud kalian mengenai permbicaraan kalian tadi?” pinta Indra dengan tatapan yang beralih dari Geni, Jaya dan Barma bergantian.“Ada apa, Indra?” Meswara datang mendekat bersama Jaya dan Arya.Geni, Jaya dan Barma semakin ketakutan. Jika terus didesak, mau tidak mau mereka harus berterus terang jika mereka mengingat Lingga.“Kalian bertiga membicarakan soal ‘Lingga’. Apa yang kalian ketahui soal Lingga?” Indra kembali bertanya. Suaranya terkesan memaksa dan penuh tekanan.Meswara, Jaka dan Arya kontak terkejut ketika mendengarnya.Beberapa murid yang sedang meramu obat seketika menoleh ketika melihat Geni, Jaya dan Barma dikerumuni. Mereka mendekat dan mulai berkerumun, saling berbisik, bertanya mengenai apa yang terjadi.“Kembali pada tugas kalian masing-masing,” kata Jaka sembari men