“Ramuan pemusnah siluman?” Malawati seketika terdiam, mengamati kendi di depannya dan Sekar Sari bergantian. Sebagai salah satu murid terbaik di padepokan, gadis itu tahu jika ramuan pemusnah siluman adalah salah satu ramuan yang sangat sulit dibuat. Tak sembarang pendekar bisa membuat ramuan tersebut, terlebih pendekar muda seperti Sekar Sari.Malawati awalnya ragu jika Sekar Sari bisa membuat ramuan tersebut, bahkan sempat mencurigai ucapannya hanya bualan semata. Akan tetapi, ketika mengingat ramuan yang diberikan gadis itu padanya tempo hari dan takjub dengan kemanjurannya, keraguannya dengan cepat terkikis. “Apa kau berusaha menyogokku dengan ramuan ini?”“Anggap saja itu bayaran karena kau sudah memberi tumpangan pada kami di tempat ini.”“Baiklah, aku akan menyimpannya.” Malawati mengamati kendi kecil itu sekilas, kemudian menyimpannya di bawah dipan. Secara tiba-tiba, ia kembali teringat dengan sosok pendekar yang terkenal sebagai ahli dalam membuat ramuan obat yang saat ini
“Terima kasih, Kakang.” Nilasari balas tersenyum. Gadis itu segera mengikuti pendekar itu dari belakang, memberi anggukan kecil pada Wintara yang mengawasi dari balik pohon.Nilasari dan pendekar itu berjalan menuju pinggiran perkampungan sesuai yang dikatakan gadis tadi. Keadaan di sekitar tempat ini sangat sepi dari keberadaan orang-orang, termasuk pendekar sekalipun. “Nyai, jika kau tidak memiliki tempat untuk bermalam malam ini, aku dengan senang hati akan menemanimu dan mengahangatkan malammu. Gadis cantik sepertimu tidak boleh sendiri, apalagi di malam yang dingin dan berbahaya seperti sekarang,” ujar pendekar itu dengan sesekali menoleh ke belakang. Ia seakan mendapat durian runtuh karena bisa bersama seorang gadis cantik di malam sedingin ini.“Siapa yang sudi?” Nilasari dengan cepat berubah menjadi wujud ular siluman.Pendekar itu seketika berbalik dan terkejut ketika melihat seekor ular besar sudah berada di depannya dengan mulut yang sudah menganga lebar. Pendekar itu mund
Lingga kembali duduk di dipan, menerka-nerka ke mana perginya Wintara. “Apa mungkin dia mengejar ular siluman itu bersama para pendekar yang lain?”Lingga kembali mengintip keadaan luar melalui lubang kecil. Ia terhenyak ketika tidak melihat keberadaan Nilasari lagi. Pemuda itu mengawasi keadaan sekeliling dengan saksama. “Ke mana perginya, Nilasari? Aku harap dia sudah berada di tempat aman atau setidaknya bertemu kembali dengan kakaknya.”Lingga kembali teringat dengan keanehan yang dirinya rasakan dari kedua kakak-beradik itu, terutama Wintara. Keduanya memiliki bau yang secara samar agak aneh, ditambah Wintara yang beberapa kali tertangkap basah mengawasinya.“Apa mungkin paman ikut merasakan keanehan dari mereka?” terka Lingga sembari menoleh pada tiruan Limbur Kancana yang tengah duduk bersila dengan mata terpejam. “Aku tidak punya pilihan lain selain menunggu kabar dari paman. Aku harap Paman bisa mengalahkan dua siluman itu atau setidaknya membongkar siapa dua siluman itu.”Se
Para pendekar yang mengejar ular siluman Wintara berhenti di tengah hutan, tepatnya di tanah lapang yang cukup terang disiram cahaya bulan. Jumlah mereka sekitar dua puluh orang yang berasal dari berbagai padepokan. Berbeda dengan pencari sang pewaris kujang emas yang bisa membuat mereka saling berselisih, pencarian ular siluman ini justru membuat hubungan para pendekar itu menjadi lebih dekat.Wintara dalam wujud siluman ular menjulurkan lidah dengan tatapan yang tak lepas dari para pendekar. Ia menghilangkan hawa keberadaan dan di saat yang sama mengelilingi mangsanya.Salah satu tiruan Limbur Kancana bersembunyi tak jauh dari para pendekar berada, mengawasi keadaan sekitar untuk mencari keberadaan siluman ular yang mendadak menghilang.“Cari sampai dapat! Jangan biarkan siluman ular itu pergi!” teriak salah satu pendekar seraya menebas-nebas semak-semak, “kita harus bisa menebas kepala ular itu dan mengarak ke seluruh perkampungan yang berada di wilayah ini!”Wintara mulai bergerak
Limbur Kancana melompat turun ke arah siluman ular yang berada di depannya. Pendekar itu mengamati keadaan musuh lekat-lekat. Serangan dari harimau putih yang ia kerahkan mampu melukai ular siluman itu di bagian leher. Tetes darah tampak mengucur di tanah. Wintara dalam wujud ular terkejut ketika melihat sosok yang tadi bersama Lingga dan Sekar Sari sudah berada di depannya. Ia bisa merasakan kekuatan yang meluap-luap dari sosok itu. “Sudah kuduga jika dia bukan pendekar sembarangan. Hanya saja kekuatannya saat ini jauh berbeda dengan kekuatannya saat berada di dekatku,” gumamnya.Wintara mulai mengelilingi Limbur Kancana dengan lidah menjulur. “Apa mungkin pendekar ini yang sudah mengawasiku sejak tadi? Tapi bukankah dia berada di dekatku saat di perkampungan tadi? Siapa dia sebenarnya?”Limbur Kancana mengamati pergerakan ular siluman itu saksama untuk mengukur kekuatan lawan. Tubuhnya memutar bersamaan dengan makhluk itu mengelilinginya.Wintara melayangkan serangan pembuka denga
Sementara itu, Nilasari baru saja mengisap kekuatan para pendekar yang berhasil diperdaya olehnya di pinggiran hutan. Gadis itu menyeka air liur di bibir, mengawasi keadaan sekitar sesaat. Ia kemudian mengamati pinggiran perkampungan di mana beberapa pendekar tampak berjaga.Nilasari berjalan ke luar hutan dengan pandangan yang sesekali menoleh ke pekatnya hutan di belakangnya. “Sepertinya raka sudah menemukan pendekar yang mengawasi kita berdua dan sedang bersenang-senang dengan pendekar itu. Aku sebaiknya melakukan tugasku di sini lebih cepat sebelum raka kembali.”Nilasari segera bersembunyi di balik pohon ketiga tiga pendekar berada di dekatnya berjalan ke kiri dan kanan dengan senjata dalam genggaman. “Mereka bukan pendekar yang kuat. Hanya saja kekuatan mereka tetap aku butuhkan.”Nilasari dengan cepat mengubah wujudnya menjadi ular siluman, bergerak perlahan di belakang tiga pendekar itu dengan sebisa mungkin tidak menghasilkan suara. Tubuh bagian atasnya ditegakkan dengan mulu
“Tolong selamatkan anakku!” Wanita itu tiba-tiba saja jatuh berlutut, menarik-narik kedua tangan Lingga dengan air mata yang bercucuran. “Tolong selamatkan anakku!”“Bagaimana ciri-ciri anakmu?” tanya Lingga sembari membawa wanita itu untuk kembali berdiri. “Bisa kau jelaskan padaku?”“Dia ... anak laki-laki kisaran sepuluh tahun. Dia memiliki tompel hitam di tangan kiri. Rumah kami tak jauh dari tengah perkampungan.” Wanita itu kembali terjatuh.Lingga menoleh ke arah luar sesaat. “Baiklah, aku akan—”Lingga tiba-tiba menghentikan ucapan ketika tiruan Limbur Kancana menahan tangannya kuat-kuat. Pemuda itu menggertakkan gigi di mana tangannya mendadak terkepal sangat erat. Ia benar-benar membenci keadaannya saat ini yang memaksanya untuk diam.Di sisi lain, Malawati semakin merasakan keanehan pada sosok Limbur Kancana yang ia kenal sebagai Aditara. Sejak tadi, pria itu terus mencegah Lingga untuk ikut andil dalam perterarungan melawan siluman ular. Di sisi lain, ia tidak mungkin berta
“Tapi aku harus menolong para pendekar itu, Kakang Guru. Kalau tidak akan semakin banyak korban yang berjatuhan,” ujar Sekar Sari, “tolong bawalah anak ini selagi aku menggunakan ramuan pemusnah siluman ini. Aku berjanji akan segera kembali.”Tiruan Limbur Kancana menggeleng, kian erat menggenggam tangan Sekar Sari. Anak laki-laki di dekat mereka hanya terdiam dengan tatapan yang menoleh pada keduanya bergantian.Sekar Sari menoleh ke kanan dan kiri, tersenyum ketika melihat panah yang tergelatak yang tak jauh berada di dekatnya. “Aku bisa menggunakan panah ini untuk menembakkan ramuan pemusnah siluman pada siluman ular itu. Bukankah itu pilihan terbaik saat ini?”Tiruan Limbur Kancana perlahan melepas genggaman tanah pada Sekar Sari, mengamati gadis itu yang dengan cepat mengambil panah dan anak panahnya di tanah.“Kakang Guru, pergilah lebih dulu dari tempat ini.” Sekar Sari bergegas menaiki sebuah pohon, mengolesi anak-anak panah dengan ramuan pemusnah siluman. Gadis itu menarik na