Limbur Kancana melompat turun ke arah siluman ular yang berada di depannya. Pendekar itu mengamati keadaan musuh lekat-lekat. Serangan dari harimau putih yang ia kerahkan mampu melukai ular siluman itu di bagian leher. Tetes darah tampak mengucur di tanah. Wintara dalam wujud ular terkejut ketika melihat sosok yang tadi bersama Lingga dan Sekar Sari sudah berada di depannya. Ia bisa merasakan kekuatan yang meluap-luap dari sosok itu. “Sudah kuduga jika dia bukan pendekar sembarangan. Hanya saja kekuatannya saat ini jauh berbeda dengan kekuatannya saat berada di dekatku,” gumamnya.Wintara mulai mengelilingi Limbur Kancana dengan lidah menjulur. “Apa mungkin pendekar ini yang sudah mengawasiku sejak tadi? Tapi bukankah dia berada di dekatku saat di perkampungan tadi? Siapa dia sebenarnya?”Limbur Kancana mengamati pergerakan ular siluman itu saksama untuk mengukur kekuatan lawan. Tubuhnya memutar bersamaan dengan makhluk itu mengelilinginya.Wintara melayangkan serangan pembuka denga
Sementara itu, Nilasari baru saja mengisap kekuatan para pendekar yang berhasil diperdaya olehnya di pinggiran hutan. Gadis itu menyeka air liur di bibir, mengawasi keadaan sekitar sesaat. Ia kemudian mengamati pinggiran perkampungan di mana beberapa pendekar tampak berjaga.Nilasari berjalan ke luar hutan dengan pandangan yang sesekali menoleh ke pekatnya hutan di belakangnya. “Sepertinya raka sudah menemukan pendekar yang mengawasi kita berdua dan sedang bersenang-senang dengan pendekar itu. Aku sebaiknya melakukan tugasku di sini lebih cepat sebelum raka kembali.”Nilasari segera bersembunyi di balik pohon ketiga tiga pendekar berada di dekatnya berjalan ke kiri dan kanan dengan senjata dalam genggaman. “Mereka bukan pendekar yang kuat. Hanya saja kekuatan mereka tetap aku butuhkan.”Nilasari dengan cepat mengubah wujudnya menjadi ular siluman, bergerak perlahan di belakang tiga pendekar itu dengan sebisa mungkin tidak menghasilkan suara. Tubuh bagian atasnya ditegakkan dengan mulu
“Tolong selamatkan anakku!” Wanita itu tiba-tiba saja jatuh berlutut, menarik-narik kedua tangan Lingga dengan air mata yang bercucuran. “Tolong selamatkan anakku!”“Bagaimana ciri-ciri anakmu?” tanya Lingga sembari membawa wanita itu untuk kembali berdiri. “Bisa kau jelaskan padaku?”“Dia ... anak laki-laki kisaran sepuluh tahun. Dia memiliki tompel hitam di tangan kiri. Rumah kami tak jauh dari tengah perkampungan.” Wanita itu kembali terjatuh.Lingga menoleh ke arah luar sesaat. “Baiklah, aku akan—”Lingga tiba-tiba menghentikan ucapan ketika tiruan Limbur Kancana menahan tangannya kuat-kuat. Pemuda itu menggertakkan gigi di mana tangannya mendadak terkepal sangat erat. Ia benar-benar membenci keadaannya saat ini yang memaksanya untuk diam.Di sisi lain, Malawati semakin merasakan keanehan pada sosok Limbur Kancana yang ia kenal sebagai Aditara. Sejak tadi, pria itu terus mencegah Lingga untuk ikut andil dalam perterarungan melawan siluman ular. Di sisi lain, ia tidak mungkin berta
“Tapi aku harus menolong para pendekar itu, Kakang Guru. Kalau tidak akan semakin banyak korban yang berjatuhan,” ujar Sekar Sari, “tolong bawalah anak ini selagi aku menggunakan ramuan pemusnah siluman ini. Aku berjanji akan segera kembali.”Tiruan Limbur Kancana menggeleng, kian erat menggenggam tangan Sekar Sari. Anak laki-laki di dekat mereka hanya terdiam dengan tatapan yang menoleh pada keduanya bergantian.Sekar Sari menoleh ke kanan dan kiri, tersenyum ketika melihat panah yang tergelatak yang tak jauh berada di dekatnya. “Aku bisa menggunakan panah ini untuk menembakkan ramuan pemusnah siluman pada siluman ular itu. Bukankah itu pilihan terbaik saat ini?”Tiruan Limbur Kancana perlahan melepas genggaman tanah pada Sekar Sari, mengamati gadis itu yang dengan cepat mengambil panah dan anak panahnya di tanah.“Kakang Guru, pergilah lebih dulu dari tempat ini.” Sekar Sari bergegas menaiki sebuah pohon, mengolesi anak-anak panah dengan ramuan pemusnah siluman. Gadis itu menarik na
“Kakang Guru,” gumam Sekar Sari saat tubuhnya mendarat kembali ke tanah. Gadis itu dengan cepat menarik kembali kedua selendangnya. Ia melihat ular siluman itu masih mengeluarkan susuk hitam dari mulutnya.Beberapa pendekar terkena serangan susuk hitam hingga harus dipapah oleh pendekar lain untuk menghindar dari serangan berikutnya.“Ular siluman itu nyatanya sangat kuat. Ramuan yang kubuat hanya bisa membakar tubuhnya untuk sementara. Ternyata ramuanku belum sesempurna yang dibuat guru.” Sekar Sari berusaha mengendalikan napas yang mulai memburu. Ia bisa melihat para pendekar yang berbondong-bondong mundur ke arah hutan.“Kalau ular siluman itu sampai mengejar mereka, para warga dan Lingga akan berada dalam bahaya. Aku harus melakukan sesuatu.”Sekar Sari i menoleh pada susuk hitam di udara yang terus-menerus mengeluarkan susuk-susuk berukuran kecil ke sekeliling. “Jika ramuanku bisa membakar tubuh ular itu dari luar, maka untuk membakar tubuhnya dari dalam aku harus bisa memasukkan
Sekar Sari menabrak deretan pohon dan baru bisa berhenti ketika dirinya menahan dorongan tubuh dengan mengaitkan kedua selendang. Gadis itu terbatuk darah dengan napas yang memburu. Panah yang tadi berada dalam genggamannya patah menjadi dua bagian. Untungnya, kendi berisi ramuan pemusnah siluman masih berhasil ia selamatkan.Sekar Sari menyeka darah dengan punggung tangan. Tubuhnya terasa sangat sakit setiap kali digerakkan. Gadis itu berusaha berdiri meski setelahnya kembali terjatuh. Ia dengan cepat menelan pil bulat untuk mempercepat pemulihan dirinya.Di sisi lain, Nilasari tertawa dalam hati ketika melihat Sekar Sari sudah duduk bersandar di dahan pohon dengan keadaan tak berdaya. “Ini saatnya aku memberinya pelajaran berharga.”Nilasari bergerak cepat ke arah Sekar Sari. Hanya dalam waktu singkat ia sudah berada di depan mangsanya. Jika saja Wintara tidak memerintahkannya untuk tidak mencelakai gadis itu, sudah pasti dirinya akan langsung memangsanya saat ini juga.Melihat Seka
Sekar Sari masih berdiam diri di tempat selama beberapa detik lamanya. Saat akan mendekat ke perkampungan kembali, gadis itu dengan cepat mengurungkan niatannya. “Aku sebaiknya kembali ke tempat Kakang Lingga dan para warga untuk memastikan keadaan mereka.”Sekar Sari kembali meneruskan perjalanan. Pikiran gadis itu masih terpaku pada sosok seorang gadis yang berlari meninggalkan perkampungan. Dari jaraknya tadi, ia kesulitan untuk melihat wajah jelmaan ular siluman itu. Akan tetapi, dari pertarungan itu dirinya bisa mengambil kesimpulan jika ramuan pemusnah siluman yang dibuatnya memiliki khasiat untuk melawan siluman ular itu.“Aku hanya tinggal menyempurnakan ramuan itu.” Sekar Sari tersenyum, sedikit bernapas lega. “Tapi aku yakin jika siluman ular itu akan kembali mengincarku untuk balas dendam.”“Sekar Sari,” panggil Lingga dari arah berlawanan. Pemuda itu menyusul ke perkampungan karena Sekar Sari tidak kembali dalam waktu cukup lama, terlebih saat dirinya melihat cahaya terang
“Itu ....” Lingga tiba-tiba kikuk ketika menyadari kesalahannya. Ia menoleh ke samping saat Malawati mengamatinya saksama.Di sisi lain, Sekar Sari ikut merasakan ketegangan yang terjadi. Jika sampai Malawati curiga dan bertindak macam-macam, jelas ia, Lingga dan Limbur Kancana akan dirugikan. Bisa saja gadis berbaju hijau itu akan berpikir-pikir macam-macam.“Sepertinya aku salah memanggil.” Lingga mengusap tengkuk sesaat. “Sekar Sari adalah salah satu temanku di perkampunganku dulu. Karena namanya mirip dengan Sekar Dewi, aku seringkali salah memanggil namanya.”“Itu sudah sering terjadi,” tambah Sekar Sari, meyakinkan, “aku sudah sering mendengar Kakang ... Bimantara salah menyebut namaku.”Malawati diam sesaat, menoleh pada Lingga dan Sekar Sari bergantian, kemudian mengangguk. Gadis itu menoleh pada mulut gua sesaat, melirik Limbur Kancana yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. Ia tidak memungkiri jika ketiga orang di dekatnya mencurigakan, seakan tengah menyembunyikan sesuatu
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me