“Aku tahu jika kalian bertiga adalah pendekar. Aku bisa merasakan ilmu kanuragan kalian,” ujar Malawati, “apakah kalian juga ikut dalam pencarian pewaris kujang emas itu?”
“Kami berasal dari salah satu padepokan di wilayah utara,” jawab Limbur Kancana, “sayangnya kami tidak tertarik dengan pencarian pewaris kujang emas tersebut. Tujuan kami saat ini adalah pergi ke wilayah selatan untuk mencari keberadaan guru kami.”
“Tidak tertarik? Apa maksudmu?” Malawati tentu saja terkejut, pasalnya yang ia ketahui semua pendekar golongan putih tingkat tinggi mengerahkan seluruh pasukannya untuk mencari keberadaan sang pewaris kujang emas tersebut, bahkan beberapa pendekar golongan putih sempat terlibat adu kekuatan dalam pencarian.
Lingga dan Sekar Sari saling bertatapan sesaat.
“Para pendekar golongan putih mengirimkan pasukan besar-besaran untuk mencari keberadaan pewaris kujang emas, bahkan beberapa
Lingga, Limbur Kancana, Sekar Sari dan Malawati tengah beristirahat di bawah sebuah pohon rindang. Langit sudah mulai menguning dengan kawanan burung yang muali berlalu lalang di cakrawala. Perjalanan mereka lebih banyak diwarnai dengan perang dingin antara Sekar Sari dan Malawati. Perseteruan itu benar-benar membuat Lingga bingung, terlebih ketika Limbur Kancana mengatakan kalau semua pertengkaran itu adalah salahnya.“Kakang, ini untukmu.” Malawati memberikan sebuah kelapa muda pada Lingga, tersenyum malu-malu. “Terima kasih karena sudah membantuku selama dalam perjalanan.”Sekar Sari dengan cepat merebut kelapa muda tersebut, lalu meneguk airnya hingga tak bersisa. Setelahnya, ia kembali memberikan buahnya pada Malawati. “Seharusnya kau berterima kasih padaku karena akulah yang sudah mengobatimu.”Malawati berdecak kesal. “Dasar tidak tahu sopan santun! Kenapa kau justru meminum air kelapa muda yang kuberikan pada Kakang Bimantara?”Sekar Sari memutar bola mata, menyilangkan kedua
“Banyak sekali orang di perkampungan ini, Paman,” ujar Lingga saat berjalan memasuki perkampungan. Tatapannya mengedar ke sekeliling. “Perkampungan yang pernah aku datangi tidak pernah seramai ini.”Limbur Kancana tertawa pelan. “Sepanjang hidupmu kau terus saja terkurung di hutan, padahal kau bisa mendapat kesenangan yang tiada duanya di tempat keramaian, seperti menemukan gadis-gadis cantik.”Sekar Sari berdeham, tersenyum lebar. “Kalau untuk gadis cantik, bukankah kalian berdua sudah sering bersamanya selama ini?”“Biar kutunjukkan,” kata Limbur Kancana seraya merangkul Lingga, mengarahkan pandangan pemuda itu pada beberapa gadis muda yang lalu lalang di keramaian.Mendengar dan melihat hal itu, Sekar Sari seketika mengentak tanah, berdecak kesal. “Aku ingin mencari makanan untuk makan malam.”Sekar Sari menerobos lalu lalang warga, memberi tatapan kesal pada Lingga dan Limbur Kancana, kemudian kembali berjalan. “Dasar laki-laki! Kenapa mereka tidak pernah mengerti perasaan wanita
Lingga memasuki rumah makan, mengamati keadaan sekeliling untuk mencari keberadaan Sekar Sari. Tanpa diduga, kemunculannya menjadi pusat perhatian, terutama dua pelayan wanita yang langsung berbisik-bisik ketika melihatnya. Pemuda itu kemudian berjalan menuju meja yang diduduki Sekar Sari.“Kakang, silakan duduk,” ujar seorang pelayan wanita sembari menarik kursi kosong untuk Lingga. “Kau ingin memesan apa, Kakang? Biar aku segera mempersiapkannya untukmu.”Lingga terkejut sesaat. Saat akan kembali berjalan, tiba-tiba saja tangannya ditarik pelayan wanita tadi hingga tubuhnya mendarat di kursi. “A-aku ... aku—”“Aku akan menyediakan makanan terenak untukmu, Kakang. Tunggulah di sini.” Pelayan wanita itu dengan cepat menuju dapur, berbisik-bisik dengan pelayan yang lain.Lingga menggaruk tengkuk bingung. “Aneh sekali. Kenapa aku sejak tadi ditatap oleh para pelayan wanita di tempat ini? Apa mereka takut jika aku tidak membayar?”Lingga melepas caping, menaruhnya di meja. Hal itu seketi
Gembul kembali menerjang ke arah Lingga, melayangkan pukulan-pukulan penuh tenaga. Lingga dengan mudah menghindar dan menepis serangan-serangan tersebut. Ia menendang Gembul hingga membuat pemuda bertelanjang dada itu mundur, nyaris keluar dari lapangan pertarungan. Sorakan dukungan untuk Lingga kian santer terdengar.Gembul memelotot saat penonton justru berbalik mendukung Lingga. Sebagai orang yang sudah bergelut dalam pertarungan jalanan, pantang baginya untuk direndahkan oleh orang baru. Ia menyentuh pinggang kirinya, tempat pisau kecil berada. Jika keadaan tidak memungkinkan, ia akan mengunakan senjata itu untuk memenangkan pertandingan. Persetan dengan aturan.Gembul kembali melompat ke depan, mengamati Lingga dengan lekat-lekat. Saat angin berembus, ia dengan cepat menerjang ke depan seraya melayangkan pukulan tangan kanan, lalu disusul dengan tendangan kuat kaki kiri.Lingga menghindar ke samping, lalu menahan tendangan Gembul dengan satu tangan. Melihat celah kosong, ia denga
Malam semakin menggurita. Perkampungan yang tadinya penuh sesak dan ramai oleh warga perlahan sepi. Serangga malam terdengar bersahutan. Api obor dan dedaunan rindang tampak bergerak ke kiri dan kanan, tertiup embusan angin kencang.Selepas mengisi perut di warung makan, Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari pergi ke sebuah penginapan untuk beristirahat. Malam mereka dilalui tanpa banyak pembicaraan.Limbur Kancana tampak duduk bersila di atas dipan, terpejam untuk memastikan keadaan keamanan perkampungan. Setelah mengetahui kabar dari Sekar Sari, ia sempat mendengar pembicaraan yang sama dari para pendekar di perkampungan ini, ditambah berita mengenai perkampungan lain yang lagi-lagi menjadi korban keganasan dua siluman ular itu.Limbur Kancana perlahan membuka mata, menoleh sesaat pada Lingga yang sudah tertidur pulas di dipan sebelah. “Siapa sebenarnya dua siluman ular itu? Apa mungkin mereka bawahan Kalong Setan atau justru mereka berdua bergerak sendiri?” Limbur Kancana bertuk
“Rantai terkutuk ini yang sudah mengekangku setelah aku dimasukkan ke dalam lubang ini.” Wintara memelotot. “Kau pasti akan aku habisi, Tarusbawa.” Wintara dan Nilasari menyentuh rantai-rantai itu satu per satu, tetapi tidak terjadi apa pun. “Nilasari, apa kau menemukan rantai di tengah lubang?” tanya Wintara setengah berteriak. “Aku menemukannya, Kakang.” Nilasari menyentuh satu per satu rantai. “Cobalah untuk mengalirkan tenaga dalammu pada rantai itu secara bersamaan.” “Baik, Kakang,” balas Nilasari. Wintara dan Nilasari mengalirkan tenaga dalamnya pada semua rantai. Secara tiba-tiba, muncul titik-titik berupa bulatan kecil berwarna kuning yang muncul dari empat rantai tersebut. Titik-titik itu kemudian menyatu menjadi sebuah garis lurus panjang yang melesat ke arah luar. Wintara dan Nilasari tersentak sesaat. “Ikuti garis itu, Nilasari!” Wintara dan Nilasari dengan cepat mengubah wujud menjadi ular, lalu bergerak melalui garis lurus hingga keduanya sampai di atas bukit kem
Sesuai kesepakatan awal, Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari bergerak ketika matahari masih bersembunyi di ufuk timur. Ketiganya tengah melompati satu per satu dahan pohon, menerobos pekatnya hutan dan dinginnya udara pagi. Ketiganya mengenakan caping, di mana Lingga dan Limbur Kancana masih dalam penyamaran mereka.Limbur Kancana memimpin jalan di depan. Pendekar itu tiba-tiba mendapat sebuah rekaman kejadian di dalam kepala mengenai dua siluman yang melahap beberapa orang, termasuk saat tiruannya akan menjadi korban dua siluman ular itu. Niatannya untuk bergerak ke perkampungan selanjutnya justru berpindah ke sebuah tebing.“Kenapa kita malah berhenti di tempat ini, Paman?” tanya Lingga seraya mengawasi keadaan sekeliling. Ia menoleh pada beberapa titik cahaya yang ia kira sebagai perkampungan. Matahari mulai menampakkan diri. Langit gelap perlahan terusir cahaya pagi. Kokok ayam dan cicit burung mulai bersahutan.“Salah satu tiruanku sempat bertarung dengan dua siluman di tebi
Lingga mendekat untuk memastikan dugaannya. Ia mengamati sosok pemuda yang dipanggil Gembul itu dari atas hingga bawah. “Pemuda itu benar-benar orang yang aku lawan saat di perkampungan semalam.”“Ada apa, Lingga?” tanya Limbur Kancana sembari mendekat. Tatapannya dengan cepat tertuju pada sosok yang tak berada jauh darinya.“Pemuda itu adalah orang yang aku lawan saat di perkampungan semalam, Paman.” Lingga diam sejenak, lalu mendekat pada salah satu tabib yang tengah memberikan ramuan obat. “Bolehkah aku bertanya sesuatu?”Tabib itu mengangguk.“Siapa yang membawa pemuda bertelanjang dada itu ke tempat ini?” Lingga melirik Limbur Kancana dan Sekar Sari yang mendekat. Ia juga sempat melihat empat pendekar yang membawanya ke tempat ini sedang memeriksa keadaan teman-temannya yang lain.“Dua orang teman kami menemukan pemuda itu di pinggiran sungai yang tidak jauh dari perkampungan, lalu membawanya ke tempat ini,” jawab tabib itu, “selain di dalam hutan, para korban banyak ditemukan di
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me