Lingga memasuki rumah makan, mengamati keadaan sekeliling untuk mencari keberadaan Sekar Sari. Tanpa diduga, kemunculannya menjadi pusat perhatian, terutama dua pelayan wanita yang langsung berbisik-bisik ketika melihatnya. Pemuda itu kemudian berjalan menuju meja yang diduduki Sekar Sari.“Kakang, silakan duduk,” ujar seorang pelayan wanita sembari menarik kursi kosong untuk Lingga. “Kau ingin memesan apa, Kakang? Biar aku segera mempersiapkannya untukmu.”Lingga terkejut sesaat. Saat akan kembali berjalan, tiba-tiba saja tangannya ditarik pelayan wanita tadi hingga tubuhnya mendarat di kursi. “A-aku ... aku—”“Aku akan menyediakan makanan terenak untukmu, Kakang. Tunggulah di sini.” Pelayan wanita itu dengan cepat menuju dapur, berbisik-bisik dengan pelayan yang lain.Lingga menggaruk tengkuk bingung. “Aneh sekali. Kenapa aku sejak tadi ditatap oleh para pelayan wanita di tempat ini? Apa mereka takut jika aku tidak membayar?”Lingga melepas caping, menaruhnya di meja. Hal itu seketi
Gembul kembali menerjang ke arah Lingga, melayangkan pukulan-pukulan penuh tenaga. Lingga dengan mudah menghindar dan menepis serangan-serangan tersebut. Ia menendang Gembul hingga membuat pemuda bertelanjang dada itu mundur, nyaris keluar dari lapangan pertarungan. Sorakan dukungan untuk Lingga kian santer terdengar.Gembul memelotot saat penonton justru berbalik mendukung Lingga. Sebagai orang yang sudah bergelut dalam pertarungan jalanan, pantang baginya untuk direndahkan oleh orang baru. Ia menyentuh pinggang kirinya, tempat pisau kecil berada. Jika keadaan tidak memungkinkan, ia akan mengunakan senjata itu untuk memenangkan pertandingan. Persetan dengan aturan.Gembul kembali melompat ke depan, mengamati Lingga dengan lekat-lekat. Saat angin berembus, ia dengan cepat menerjang ke depan seraya melayangkan pukulan tangan kanan, lalu disusul dengan tendangan kuat kaki kiri.Lingga menghindar ke samping, lalu menahan tendangan Gembul dengan satu tangan. Melihat celah kosong, ia denga
Malam semakin menggurita. Perkampungan yang tadinya penuh sesak dan ramai oleh warga perlahan sepi. Serangga malam terdengar bersahutan. Api obor dan dedaunan rindang tampak bergerak ke kiri dan kanan, tertiup embusan angin kencang.Selepas mengisi perut di warung makan, Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari pergi ke sebuah penginapan untuk beristirahat. Malam mereka dilalui tanpa banyak pembicaraan.Limbur Kancana tampak duduk bersila di atas dipan, terpejam untuk memastikan keadaan keamanan perkampungan. Setelah mengetahui kabar dari Sekar Sari, ia sempat mendengar pembicaraan yang sama dari para pendekar di perkampungan ini, ditambah berita mengenai perkampungan lain yang lagi-lagi menjadi korban keganasan dua siluman ular itu.Limbur Kancana perlahan membuka mata, menoleh sesaat pada Lingga yang sudah tertidur pulas di dipan sebelah. “Siapa sebenarnya dua siluman ular itu? Apa mungkin mereka bawahan Kalong Setan atau justru mereka berdua bergerak sendiri?” Limbur Kancana bertuk
“Rantai terkutuk ini yang sudah mengekangku setelah aku dimasukkan ke dalam lubang ini.” Wintara memelotot. “Kau pasti akan aku habisi, Tarusbawa.” Wintara dan Nilasari menyentuh rantai-rantai itu satu per satu, tetapi tidak terjadi apa pun. “Nilasari, apa kau menemukan rantai di tengah lubang?” tanya Wintara setengah berteriak. “Aku menemukannya, Kakang.” Nilasari menyentuh satu per satu rantai. “Cobalah untuk mengalirkan tenaga dalammu pada rantai itu secara bersamaan.” “Baik, Kakang,” balas Nilasari. Wintara dan Nilasari mengalirkan tenaga dalamnya pada semua rantai. Secara tiba-tiba, muncul titik-titik berupa bulatan kecil berwarna kuning yang muncul dari empat rantai tersebut. Titik-titik itu kemudian menyatu menjadi sebuah garis lurus panjang yang melesat ke arah luar. Wintara dan Nilasari tersentak sesaat. “Ikuti garis itu, Nilasari!” Wintara dan Nilasari dengan cepat mengubah wujud menjadi ular, lalu bergerak melalui garis lurus hingga keduanya sampai di atas bukit kem
Sesuai kesepakatan awal, Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari bergerak ketika matahari masih bersembunyi di ufuk timur. Ketiganya tengah melompati satu per satu dahan pohon, menerobos pekatnya hutan dan dinginnya udara pagi. Ketiganya mengenakan caping, di mana Lingga dan Limbur Kancana masih dalam penyamaran mereka.Limbur Kancana memimpin jalan di depan. Pendekar itu tiba-tiba mendapat sebuah rekaman kejadian di dalam kepala mengenai dua siluman yang melahap beberapa orang, termasuk saat tiruannya akan menjadi korban dua siluman ular itu. Niatannya untuk bergerak ke perkampungan selanjutnya justru berpindah ke sebuah tebing.“Kenapa kita malah berhenti di tempat ini, Paman?” tanya Lingga seraya mengawasi keadaan sekeliling. Ia menoleh pada beberapa titik cahaya yang ia kira sebagai perkampungan. Matahari mulai menampakkan diri. Langit gelap perlahan terusir cahaya pagi. Kokok ayam dan cicit burung mulai bersahutan.“Salah satu tiruanku sempat bertarung dengan dua siluman di tebi
Lingga mendekat untuk memastikan dugaannya. Ia mengamati sosok pemuda yang dipanggil Gembul itu dari atas hingga bawah. “Pemuda itu benar-benar orang yang aku lawan saat di perkampungan semalam.”“Ada apa, Lingga?” tanya Limbur Kancana sembari mendekat. Tatapannya dengan cepat tertuju pada sosok yang tak berada jauh darinya.“Pemuda itu adalah orang yang aku lawan saat di perkampungan semalam, Paman.” Lingga diam sejenak, lalu mendekat pada salah satu tabib yang tengah memberikan ramuan obat. “Bolehkah aku bertanya sesuatu?”Tabib itu mengangguk.“Siapa yang membawa pemuda bertelanjang dada itu ke tempat ini?” Lingga melirik Limbur Kancana dan Sekar Sari yang mendekat. Ia juga sempat melihat empat pendekar yang membawanya ke tempat ini sedang memeriksa keadaan teman-temannya yang lain.“Dua orang teman kami menemukan pemuda itu di pinggiran sungai yang tidak jauh dari perkampungan, lalu membawanya ke tempat ini,” jawab tabib itu, “selain di dalam hutan, para korban banyak ditemukan di
Setelah kepulangan dari bangunan di atas bukit, Limbur Kancana memutuskan untuk melatih Lingga di dekat sungai. Keduanya berada di sebuah kubah yang menyembunyikan keberadaan mereka dari penglihatan orang-orang, termasuk dari Sekar Sari sekalipun. Adapun jawab dari pertanyaan Lingga adalah pemuda itu diminta untuk tetap diam dan tidak mencolok untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Limbur Kancana menghadapi Lingga secara langsung. Keduanya bertarung satu sama lain di mana Lingga ditugaskan untuk merebut seruling dari pendekar berambut panjang itu.Sekar Sari sendiri hanya diam di atas batu dengan wajah cemberut. Gadis itu untuk kesekian kalinya meminta izin untuk ikut berlatih. Akan tetapi, Limbur Kancana untuk kesekian kalinya pula menolak dengan alasan Sekar Sari harus melatih dirinya sendiri.Sekar Sari mengamati tengah sungai dengan raut cemberut, menoleh ke kanan dan kiri, mengikuti angin yang berembus secara berpindah-pindah. Di tempat itulah Lingga dan Limbur Kancana b
Sekar Sari larut dalam kesibukannya membuat ramuan obat. Gadis itu tampak telaten dalam mengolah tanaman-tanaman obat yang diperolehnya. Saat di bangunan tempat para korban dua siluman itu, ia mengambil sedikit ramuan obat yang digunakan para tabib di sana.Sebenarnya, tidak ada keanehan dalam ramuan tersebut. Dalam satu lihat dan menciumbaunya, Sekar Sari bisa langsung tahu bahan-bahan yang digunakan. Ia memang cukup percaya diri dalam masalah membuat ramuan obat, pasalnya sejak kecil dirinya sudah berkutat dengan hal tersebut. Di bawah bimbingan Ganawirya, kemampuannya semakin terasah.Sekar Sari tiba-tiba menghentikan kegiatannya ketika merasakan hawa keberadaan seseorang. Gadis itu segera membereskan ramuan obat yang dibuatnya, kemudian memasukkan ke dalam kendi kecil. Setelahnya, ia menoleh ke sekeliling arah.Sekar Sari menoleh ke semak-semak yang berada di seberang sungai. Ada sesuatu yang bergerak di dalam sana. Awalnya, gadis itu berniat untuk tidak acuh, tetapi seiring berja