Lingga mendekat untuk memastikan dugaannya. Ia mengamati sosok pemuda yang dipanggil Gembul itu dari atas hingga bawah. “Pemuda itu benar-benar orang yang aku lawan saat di perkampungan semalam.”“Ada apa, Lingga?” tanya Limbur Kancana sembari mendekat. Tatapannya dengan cepat tertuju pada sosok yang tak berada jauh darinya.“Pemuda itu adalah orang yang aku lawan saat di perkampungan semalam, Paman.” Lingga diam sejenak, lalu mendekat pada salah satu tabib yang tengah memberikan ramuan obat. “Bolehkah aku bertanya sesuatu?”Tabib itu mengangguk.“Siapa yang membawa pemuda bertelanjang dada itu ke tempat ini?” Lingga melirik Limbur Kancana dan Sekar Sari yang mendekat. Ia juga sempat melihat empat pendekar yang membawanya ke tempat ini sedang memeriksa keadaan teman-temannya yang lain.“Dua orang teman kami menemukan pemuda itu di pinggiran sungai yang tidak jauh dari perkampungan, lalu membawanya ke tempat ini,” jawab tabib itu, “selain di dalam hutan, para korban banyak ditemukan di
Setelah kepulangan dari bangunan di atas bukit, Limbur Kancana memutuskan untuk melatih Lingga di dekat sungai. Keduanya berada di sebuah kubah yang menyembunyikan keberadaan mereka dari penglihatan orang-orang, termasuk dari Sekar Sari sekalipun. Adapun jawab dari pertanyaan Lingga adalah pemuda itu diminta untuk tetap diam dan tidak mencolok untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Limbur Kancana menghadapi Lingga secara langsung. Keduanya bertarung satu sama lain di mana Lingga ditugaskan untuk merebut seruling dari pendekar berambut panjang itu.Sekar Sari sendiri hanya diam di atas batu dengan wajah cemberut. Gadis itu untuk kesekian kalinya meminta izin untuk ikut berlatih. Akan tetapi, Limbur Kancana untuk kesekian kalinya pula menolak dengan alasan Sekar Sari harus melatih dirinya sendiri.Sekar Sari mengamati tengah sungai dengan raut cemberut, menoleh ke kanan dan kiri, mengikuti angin yang berembus secara berpindah-pindah. Di tempat itulah Lingga dan Limbur Kancana b
Sekar Sari larut dalam kesibukannya membuat ramuan obat. Gadis itu tampak telaten dalam mengolah tanaman-tanaman obat yang diperolehnya. Saat di bangunan tempat para korban dua siluman itu, ia mengambil sedikit ramuan obat yang digunakan para tabib di sana.Sebenarnya, tidak ada keanehan dalam ramuan tersebut. Dalam satu lihat dan menciumbaunya, Sekar Sari bisa langsung tahu bahan-bahan yang digunakan. Ia memang cukup percaya diri dalam masalah membuat ramuan obat, pasalnya sejak kecil dirinya sudah berkutat dengan hal tersebut. Di bawah bimbingan Ganawirya, kemampuannya semakin terasah.Sekar Sari tiba-tiba menghentikan kegiatannya ketika merasakan hawa keberadaan seseorang. Gadis itu segera membereskan ramuan obat yang dibuatnya, kemudian memasukkan ke dalam kendi kecil. Setelahnya, ia menoleh ke sekeliling arah.Sekar Sari menoleh ke semak-semak yang berada di seberang sungai. Ada sesuatu yang bergerak di dalam sana. Awalnya, gadis itu berniat untuk tidak acuh, tetapi seiring berja
Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari kembali memasuki perkampungan saat matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Malam tiba bersamaan dengan kedatangan ketiganya di gerbang perkampungan. Meski kabar mengenai kengerian siluman ular itu kian santer terdengar, tetapi hal itu nyatanya sama sekali tidak membuat tempat ini sepi dari kegiatan orang-orang.Para pedagang tampak sibuk meladeni pembeli, menawarkan barang-barang. Di beberapa tempat, tampak kumpulan pendekar berada yang tengah berbincang. Lebih dalam memasuki perkampungan, tempat sabung ayam dan pertarungan satu lawan satu disesaki oleh warga.“Sepertinya semakin banyak pendekar yang mendatangi perkampungan akhir-akhir ini,” ujar Sekar Sari seraya mengamati keadaan sekeliling. “Selain itu, meski kabar dua siluman itu sudah menyebar ke banyak tempat, tapi sepertinya perkampungan masih disesaki oleh warga dan para pengelana yang datang dari berbagai wilayah.”“Kau benar, Sekar Sari,” ujar Limbur Kancana tanpa menoleh ke bekalang. Ta
“Kau terlalu berlebihan, Kakang. Kemampuanku masih sangat jauh dari guru. Lagipula, aku hanya berusaha untuk berguna dalam perjalanan ini. Aku harus menggunakan kesempatan ini untuk meningkatkan kemampuanku.” Sekar Sari tiba-tiba cemberut ketika mengingat jika dirinya masih berada dalam masa percobaan Limbur Kancana. Jika dirinya tidak lulus, maka kesempatannya untuk tetap berada di dekat Lingga akan musnah. Kenyataan itu benar-benar membuatnya tak nyaman.Sekar Sari mendadak berhenti, meremas jemari di ujung selendang. Ia menunduk di tengah keramaian dan tatapan penuh minat beberapa pendekar laki-laki yang berada di sekitarnya.“Apa yang terjadi, Sekar Sari?” tanya Lingga yang ikut berhenti.Tiruan Limbur Kancana tiba-tiba terdorong ke depan hingga menubruk Lingga saat tiba-tiba seorang gadis menabraknya dari belakang.“Tidak ada apa-apa, Kang.” Sekar Sari mengembus napas panjang. “Bukan saatnya aku bersedih karena hal itu tidak akan mengubah apa pun. Aku harus menunjukkan jika aku b
“Kau?” Sekar Sari mundur beberapa langkah hingga sejajar dengan Lingga. Saat menoleh ke sisi kiri dan kanan Wintara, ia bisa melihat beberapa gadis menatapnya dengan penuh amarah. Nilasari seketika mendekat pada Wintara, mengusir beberapa gadis yang berada di depannya. “Apa kau mengenal gadis menyebalkan ini, Kakang?”“Gadis ini adalah gadis yang kuceritakan padamu siang tadi, Nilasari.”Nilasari memutar bola mata. “Dia sama sekali tidak cantik seperti yang kau ceritakan, Kakang. Dia bahkan terkesan buruk rupa, apalagi di sangat menyebalkan. Apa seleramu benar-benar menurun, Kakang? Kau bisa memilih gadis lain yang lebih cantik.”“Siapa yang kau bilang buruk rupa?” tanya Sekar Sari dengan tatapan jengkel, “apa kau tidak pernah bercermin dengan benar?”“Sudah jelas kalau kau buruk rupa.” Nilasari tertawa, tersenyum meremehkan. “Kau sepertinya terlalu percaya diri.”“Jika aku buruk rupa, maka harus kusebut apa kau dengan gayamu yang terlihat tua?” balas Sekar Sari dengan senyum penuh
“Kau dengar apa yang dikatakan Kakang Bimantara?” Malawati tersenyum jemawa.“Tentu saja Kakang ... Bimantara memberimu izin karena kau seperti anak ayam yang perlu dikasihani,” sahut Sekar Sari tak ingin kalah, menatap sinis pada Lingga karena mengizinkan Malawati mengikutinya.Lingga terhenyak karena perubahan sikap Sekar Sari yang tiba-tiba, berbicara pelan dengan dirinya sendiri, “Bukankah tadi kami masih baik-baik saja? Kenapa aku jusru mendapat wajah sinis dari Sekar Sari?”Malawati melirik ke arah tiruan Limbur Kancana, lantas bergumam, “Aneh sekali. Sejak tadi Aditara tidak mengatakan apa pun. Apa terjadi sesuatu padanya?”Sementara itu, Nilasari tiba-tiba merasa jengkel saat melihat Lingga dibawa oleh dua gadis tadi, padahal dirinya ingin mengenal pemuda berkumis tipis itu lebih dekat. “Kakang, apakah aku boleh mengikuti mereka?”“Kenapa tidak?” Wintara mulai berjalan. Di antara puluhan pendekar yang berada di tempat ini, ia merasa tertarik dengan Lingga yang memiliki bau ber
“Apa yang kalian berdua lakukan?” tanya Sekar Sari dengan tatapan sinis pada Malawati dan Nilasari, “selendang ini milikmu karena aku yang pertama kali melihatnya.”“Aku yang harusnya bertanya padamu, Sekar Dewi,” balas Malawati tak mau kalah, “akulah yang pertama kali menyentuh selendang ini. Jadi selendang ini adalah milikku sekarang.”“Dasar orang-orang jelek! Apa kalian berdua tidak pernah bercermin seumur hidup kalian? Kalian berdua tidak pantas memakai selendang sebagus ini.” Nilasari ikut berbicara.Sekar Sari, Malawati dan Nilasari saling menarik selendang dengan tatapan yang tidak beralih dari sosok lawan masing-masing.“Ini milikku!” Sekar Sari menarik selendang ke arahnya.“Tidak! Ini milikku karena akulah yang pertama kali menyentuhnya.” Malawati tidak ingin kalah. “Lepaskan atau kau akan tahu akibatnya.”“Singkirkan tangan kalian dari selendang ini!” rutuk Nilasari.“Nyai.” Lingga mendekat, menatap selembar selendang merah yang tengah diperebutkan ketiga gadis itu. Ia han
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me