Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari kembali memasuki perkampungan saat matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Malam tiba bersamaan dengan kedatangan ketiganya di gerbang perkampungan. Meski kabar mengenai kengerian siluman ular itu kian santer terdengar, tetapi hal itu nyatanya sama sekali tidak membuat tempat ini sepi dari kegiatan orang-orang.Para pedagang tampak sibuk meladeni pembeli, menawarkan barang-barang. Di beberapa tempat, tampak kumpulan pendekar berada yang tengah berbincang. Lebih dalam memasuki perkampungan, tempat sabung ayam dan pertarungan satu lawan satu disesaki oleh warga.“Sepertinya semakin banyak pendekar yang mendatangi perkampungan akhir-akhir ini,” ujar Sekar Sari seraya mengamati keadaan sekeliling. “Selain itu, meski kabar dua siluman itu sudah menyebar ke banyak tempat, tapi sepertinya perkampungan masih disesaki oleh warga dan para pengelana yang datang dari berbagai wilayah.”“Kau benar, Sekar Sari,” ujar Limbur Kancana tanpa menoleh ke bekalang. Ta
“Kau terlalu berlebihan, Kakang. Kemampuanku masih sangat jauh dari guru. Lagipula, aku hanya berusaha untuk berguna dalam perjalanan ini. Aku harus menggunakan kesempatan ini untuk meningkatkan kemampuanku.” Sekar Sari tiba-tiba cemberut ketika mengingat jika dirinya masih berada dalam masa percobaan Limbur Kancana. Jika dirinya tidak lulus, maka kesempatannya untuk tetap berada di dekat Lingga akan musnah. Kenyataan itu benar-benar membuatnya tak nyaman.Sekar Sari mendadak berhenti, meremas jemari di ujung selendang. Ia menunduk di tengah keramaian dan tatapan penuh minat beberapa pendekar laki-laki yang berada di sekitarnya.“Apa yang terjadi, Sekar Sari?” tanya Lingga yang ikut berhenti.Tiruan Limbur Kancana tiba-tiba terdorong ke depan hingga menubruk Lingga saat tiba-tiba seorang gadis menabraknya dari belakang.“Tidak ada apa-apa, Kang.” Sekar Sari mengembus napas panjang. “Bukan saatnya aku bersedih karena hal itu tidak akan mengubah apa pun. Aku harus menunjukkan jika aku b
“Kau?” Sekar Sari mundur beberapa langkah hingga sejajar dengan Lingga. Saat menoleh ke sisi kiri dan kanan Wintara, ia bisa melihat beberapa gadis menatapnya dengan penuh amarah. Nilasari seketika mendekat pada Wintara, mengusir beberapa gadis yang berada di depannya. “Apa kau mengenal gadis menyebalkan ini, Kakang?”“Gadis ini adalah gadis yang kuceritakan padamu siang tadi, Nilasari.”Nilasari memutar bola mata. “Dia sama sekali tidak cantik seperti yang kau ceritakan, Kakang. Dia bahkan terkesan buruk rupa, apalagi di sangat menyebalkan. Apa seleramu benar-benar menurun, Kakang? Kau bisa memilih gadis lain yang lebih cantik.”“Siapa yang kau bilang buruk rupa?” tanya Sekar Sari dengan tatapan jengkel, “apa kau tidak pernah bercermin dengan benar?”“Sudah jelas kalau kau buruk rupa.” Nilasari tertawa, tersenyum meremehkan. “Kau sepertinya terlalu percaya diri.”“Jika aku buruk rupa, maka harus kusebut apa kau dengan gayamu yang terlihat tua?” balas Sekar Sari dengan senyum penuh
“Kau dengar apa yang dikatakan Kakang Bimantara?” Malawati tersenyum jemawa.“Tentu saja Kakang ... Bimantara memberimu izin karena kau seperti anak ayam yang perlu dikasihani,” sahut Sekar Sari tak ingin kalah, menatap sinis pada Lingga karena mengizinkan Malawati mengikutinya.Lingga terhenyak karena perubahan sikap Sekar Sari yang tiba-tiba, berbicara pelan dengan dirinya sendiri, “Bukankah tadi kami masih baik-baik saja? Kenapa aku jusru mendapat wajah sinis dari Sekar Sari?”Malawati melirik ke arah tiruan Limbur Kancana, lantas bergumam, “Aneh sekali. Sejak tadi Aditara tidak mengatakan apa pun. Apa terjadi sesuatu padanya?”Sementara itu, Nilasari tiba-tiba merasa jengkel saat melihat Lingga dibawa oleh dua gadis tadi, padahal dirinya ingin mengenal pemuda berkumis tipis itu lebih dekat. “Kakang, apakah aku boleh mengikuti mereka?”“Kenapa tidak?” Wintara mulai berjalan. Di antara puluhan pendekar yang berada di tempat ini, ia merasa tertarik dengan Lingga yang memiliki bau ber
“Apa yang kalian berdua lakukan?” tanya Sekar Sari dengan tatapan sinis pada Malawati dan Nilasari, “selendang ini milikmu karena aku yang pertama kali melihatnya.”“Aku yang harusnya bertanya padamu, Sekar Dewi,” balas Malawati tak mau kalah, “akulah yang pertama kali menyentuh selendang ini. Jadi selendang ini adalah milikku sekarang.”“Dasar orang-orang jelek! Apa kalian berdua tidak pernah bercermin seumur hidup kalian? Kalian berdua tidak pantas memakai selendang sebagus ini.” Nilasari ikut berbicara.Sekar Sari, Malawati dan Nilasari saling menarik selendang dengan tatapan yang tidak beralih dari sosok lawan masing-masing.“Ini milikku!” Sekar Sari menarik selendang ke arahnya.“Tidak! Ini milikku karena akulah yang pertama kali menyentuhnya.” Malawati tidak ingin kalah. “Lepaskan atau kau akan tahu akibatnya.”“Singkirkan tangan kalian dari selendang ini!” rutuk Nilasari.“Nyai.” Lingga mendekat, menatap selembar selendang merah yang tengah diperebutkan ketiga gadis itu. Ia han
Pria yang bertindak sebagai pemimpin jalannya pertandingan itu tiba-tiba berjalan ke tengah lapangan. “Untuk kendi keempat dan kelima, setiap gadis akan melemparkan batu secara bersamaan. Kendi keempat dan kelima diisi oleh bebatuan dan pasir di dalamnya. Setiap gadis harus memecahkan kendi sehancur-hancurnya hingga menjadi potongan kecil. Retak dan berlubang tidak akan dihitung.”Para warga kembali bersorak. Semakin malam, suasana menjadi semakin ramai. Beberapa warga mulai memasang taruhan masing-masing.Sekar Sari, Malawati dan Nilasari saling melirik sinis sesaat, kemudian kembali memusatkan perhatian pada sisa batu di tangan dan kendi yang ada di depan. Saat tanda diberikan, ketiga gadis itu kembali melempar batu masing-masing.Sekar Sari dan Malawati hanya bisa melubangi kendi, sedang Nilasari berhasil membuat hancur kendi dalam satu kali lemparan. Sorak-sorakan warga kembali terdengar meski beberapa warga tampak bersedih karena mulai takut kalah dalam bertaruh.“Kalian memang l
“Sepertinya tidak ada tempat penginapan yang masih buka di perkampungan ini, Kakang.” Sekar Sari mengawasi keadaan sekeliling. “Terpaksa kita harus bersembunyi di dalam hutan.”“Ikuti aku,” ucap Malawati yang tiba-tiba ikut berlari di samping Lingga, “aku tahu di mana tempat layak yang masih bisa digunakan untuk persembunyian.”“Kenapa kau berada di sini, Malawati?” ketus Sekar Sari, “Kakang sebaiknya kita bersembunyi di hutan saja.”“Itu berbahaya, Kakang,” sahut Malawati, “dua ular siluman itu bisa saja bersembunyi di sekitar hutan.”Lingga menoleh pada tiruan Limbur Kancana yang memberi anggukan kecil. “Baiklah, tunjukkan tempatnya pada kami, Malawati.”“Ikuti aku, Kakang.” Malawati berbelok ke kanan, berlari lebih dahulu, tersenyum jemawa pada Sekar Sari. Ia sangat puas melihat wajah cemberut gadis itu.Sekar Sari mendengkus, menatap tajam Lingga, lalu membuntuti Malawati dari belakang.Lingga sendiri hanya menggaruk tengkuk karena bingung. Ketika menoleh ke sekeliling perkampunga
“Ramuan pemusnah siluman?” Malawati seketika terdiam, mengamati kendi di depannya dan Sekar Sari bergantian. Sebagai salah satu murid terbaik di padepokan, gadis itu tahu jika ramuan pemusnah siluman adalah salah satu ramuan yang sangat sulit dibuat. Tak sembarang pendekar bisa membuat ramuan tersebut, terlebih pendekar muda seperti Sekar Sari.Malawati awalnya ragu jika Sekar Sari bisa membuat ramuan tersebut, bahkan sempat mencurigai ucapannya hanya bualan semata. Akan tetapi, ketika mengingat ramuan yang diberikan gadis itu padanya tempo hari dan takjub dengan kemanjurannya, keraguannya dengan cepat terkikis. “Apa kau berusaha menyogokku dengan ramuan ini?”“Anggap saja itu bayaran karena kau sudah memberi tumpangan pada kami di tempat ini.”“Baiklah, aku akan menyimpannya.” Malawati mengamati kendi kecil itu sekilas, kemudian menyimpannya di bawah dipan. Secara tiba-tiba, ia kembali teringat dengan sosok pendekar yang terkenal sebagai ahli dalam membuat ramuan obat yang saat ini