“Kau?” Sekar Sari mundur beberapa langkah hingga sejajar dengan Lingga. Saat menoleh ke sisi kiri dan kanan Wintara, ia bisa melihat beberapa gadis menatapnya dengan penuh amarah. Nilasari seketika mendekat pada Wintara, mengusir beberapa gadis yang berada di depannya. “Apa kau mengenal gadis menyebalkan ini, Kakang?”“Gadis ini adalah gadis yang kuceritakan padamu siang tadi, Nilasari.”Nilasari memutar bola mata. “Dia sama sekali tidak cantik seperti yang kau ceritakan, Kakang. Dia bahkan terkesan buruk rupa, apalagi di sangat menyebalkan. Apa seleramu benar-benar menurun, Kakang? Kau bisa memilih gadis lain yang lebih cantik.”“Siapa yang kau bilang buruk rupa?” tanya Sekar Sari dengan tatapan jengkel, “apa kau tidak pernah bercermin dengan benar?”“Sudah jelas kalau kau buruk rupa.” Nilasari tertawa, tersenyum meremehkan. “Kau sepertinya terlalu percaya diri.”“Jika aku buruk rupa, maka harus kusebut apa kau dengan gayamu yang terlihat tua?” balas Sekar Sari dengan senyum penuh
“Kau dengar apa yang dikatakan Kakang Bimantara?” Malawati tersenyum jemawa.“Tentu saja Kakang ... Bimantara memberimu izin karena kau seperti anak ayam yang perlu dikasihani,” sahut Sekar Sari tak ingin kalah, menatap sinis pada Lingga karena mengizinkan Malawati mengikutinya.Lingga terhenyak karena perubahan sikap Sekar Sari yang tiba-tiba, berbicara pelan dengan dirinya sendiri, “Bukankah tadi kami masih baik-baik saja? Kenapa aku jusru mendapat wajah sinis dari Sekar Sari?”Malawati melirik ke arah tiruan Limbur Kancana, lantas bergumam, “Aneh sekali. Sejak tadi Aditara tidak mengatakan apa pun. Apa terjadi sesuatu padanya?”Sementara itu, Nilasari tiba-tiba merasa jengkel saat melihat Lingga dibawa oleh dua gadis tadi, padahal dirinya ingin mengenal pemuda berkumis tipis itu lebih dekat. “Kakang, apakah aku boleh mengikuti mereka?”“Kenapa tidak?” Wintara mulai berjalan. Di antara puluhan pendekar yang berada di tempat ini, ia merasa tertarik dengan Lingga yang memiliki bau ber
“Apa yang kalian berdua lakukan?” tanya Sekar Sari dengan tatapan sinis pada Malawati dan Nilasari, “selendang ini milikmu karena aku yang pertama kali melihatnya.”“Aku yang harusnya bertanya padamu, Sekar Dewi,” balas Malawati tak mau kalah, “akulah yang pertama kali menyentuh selendang ini. Jadi selendang ini adalah milikku sekarang.”“Dasar orang-orang jelek! Apa kalian berdua tidak pernah bercermin seumur hidup kalian? Kalian berdua tidak pantas memakai selendang sebagus ini.” Nilasari ikut berbicara.Sekar Sari, Malawati dan Nilasari saling menarik selendang dengan tatapan yang tidak beralih dari sosok lawan masing-masing.“Ini milikku!” Sekar Sari menarik selendang ke arahnya.“Tidak! Ini milikku karena akulah yang pertama kali menyentuhnya.” Malawati tidak ingin kalah. “Lepaskan atau kau akan tahu akibatnya.”“Singkirkan tangan kalian dari selendang ini!” rutuk Nilasari.“Nyai.” Lingga mendekat, menatap selembar selendang merah yang tengah diperebutkan ketiga gadis itu. Ia han
Pria yang bertindak sebagai pemimpin jalannya pertandingan itu tiba-tiba berjalan ke tengah lapangan. “Untuk kendi keempat dan kelima, setiap gadis akan melemparkan batu secara bersamaan. Kendi keempat dan kelima diisi oleh bebatuan dan pasir di dalamnya. Setiap gadis harus memecahkan kendi sehancur-hancurnya hingga menjadi potongan kecil. Retak dan berlubang tidak akan dihitung.”Para warga kembali bersorak. Semakin malam, suasana menjadi semakin ramai. Beberapa warga mulai memasang taruhan masing-masing.Sekar Sari, Malawati dan Nilasari saling melirik sinis sesaat, kemudian kembali memusatkan perhatian pada sisa batu di tangan dan kendi yang ada di depan. Saat tanda diberikan, ketiga gadis itu kembali melempar batu masing-masing.Sekar Sari dan Malawati hanya bisa melubangi kendi, sedang Nilasari berhasil membuat hancur kendi dalam satu kali lemparan. Sorak-sorakan warga kembali terdengar meski beberapa warga tampak bersedih karena mulai takut kalah dalam bertaruh.“Kalian memang l
“Sepertinya tidak ada tempat penginapan yang masih buka di perkampungan ini, Kakang.” Sekar Sari mengawasi keadaan sekeliling. “Terpaksa kita harus bersembunyi di dalam hutan.”“Ikuti aku,” ucap Malawati yang tiba-tiba ikut berlari di samping Lingga, “aku tahu di mana tempat layak yang masih bisa digunakan untuk persembunyian.”“Kenapa kau berada di sini, Malawati?” ketus Sekar Sari, “Kakang sebaiknya kita bersembunyi di hutan saja.”“Itu berbahaya, Kakang,” sahut Malawati, “dua ular siluman itu bisa saja bersembunyi di sekitar hutan.”Lingga menoleh pada tiruan Limbur Kancana yang memberi anggukan kecil. “Baiklah, tunjukkan tempatnya pada kami, Malawati.”“Ikuti aku, Kakang.” Malawati berbelok ke kanan, berlari lebih dahulu, tersenyum jemawa pada Sekar Sari. Ia sangat puas melihat wajah cemberut gadis itu.Sekar Sari mendengkus, menatap tajam Lingga, lalu membuntuti Malawati dari belakang.Lingga sendiri hanya menggaruk tengkuk karena bingung. Ketika menoleh ke sekeliling perkampunga
“Ramuan pemusnah siluman?” Malawati seketika terdiam, mengamati kendi di depannya dan Sekar Sari bergantian. Sebagai salah satu murid terbaik di padepokan, gadis itu tahu jika ramuan pemusnah siluman adalah salah satu ramuan yang sangat sulit dibuat. Tak sembarang pendekar bisa membuat ramuan tersebut, terlebih pendekar muda seperti Sekar Sari.Malawati awalnya ragu jika Sekar Sari bisa membuat ramuan tersebut, bahkan sempat mencurigai ucapannya hanya bualan semata. Akan tetapi, ketika mengingat ramuan yang diberikan gadis itu padanya tempo hari dan takjub dengan kemanjurannya, keraguannya dengan cepat terkikis. “Apa kau berusaha menyogokku dengan ramuan ini?”“Anggap saja itu bayaran karena kau sudah memberi tumpangan pada kami di tempat ini.”“Baiklah, aku akan menyimpannya.” Malawati mengamati kendi kecil itu sekilas, kemudian menyimpannya di bawah dipan. Secara tiba-tiba, ia kembali teringat dengan sosok pendekar yang terkenal sebagai ahli dalam membuat ramuan obat yang saat ini
“Terima kasih, Kakang.” Nilasari balas tersenyum. Gadis itu segera mengikuti pendekar itu dari belakang, memberi anggukan kecil pada Wintara yang mengawasi dari balik pohon.Nilasari dan pendekar itu berjalan menuju pinggiran perkampungan sesuai yang dikatakan gadis tadi. Keadaan di sekitar tempat ini sangat sepi dari keberadaan orang-orang, termasuk pendekar sekalipun. “Nyai, jika kau tidak memiliki tempat untuk bermalam malam ini, aku dengan senang hati akan menemanimu dan mengahangatkan malammu. Gadis cantik sepertimu tidak boleh sendiri, apalagi di malam yang dingin dan berbahaya seperti sekarang,” ujar pendekar itu dengan sesekali menoleh ke belakang. Ia seakan mendapat durian runtuh karena bisa bersama seorang gadis cantik di malam sedingin ini.“Siapa yang sudi?” Nilasari dengan cepat berubah menjadi wujud ular siluman.Pendekar itu seketika berbalik dan terkejut ketika melihat seekor ular besar sudah berada di depannya dengan mulut yang sudah menganga lebar. Pendekar itu mund
Lingga kembali duduk di dipan, menerka-nerka ke mana perginya Wintara. “Apa mungkin dia mengejar ular siluman itu bersama para pendekar yang lain?”Lingga kembali mengintip keadaan luar melalui lubang kecil. Ia terhenyak ketika tidak melihat keberadaan Nilasari lagi. Pemuda itu mengawasi keadaan sekeliling dengan saksama. “Ke mana perginya, Nilasari? Aku harap dia sudah berada di tempat aman atau setidaknya bertemu kembali dengan kakaknya.”Lingga kembali teringat dengan keanehan yang dirinya rasakan dari kedua kakak-beradik itu, terutama Wintara. Keduanya memiliki bau yang secara samar agak aneh, ditambah Wintara yang beberapa kali tertangkap basah mengawasinya.“Apa mungkin paman ikut merasakan keanehan dari mereka?” terka Lingga sembari menoleh pada tiruan Limbur Kancana yang tengah duduk bersila dengan mata terpejam. “Aku tidak punya pilihan lain selain menunggu kabar dari paman. Aku harap Paman bisa mengalahkan dua siluman itu atau setidaknya membongkar siapa dua siluman itu.”Se