Wintara memperdalam tusukan tangannya pada dada Bangasera. Kekek tua itu terbahak, kemudian menendang tubuh lawannya yang tengah menggelepar meregang nyawa.“Dasar sombong!” maki Nilasari dengan senyum menyeringai ketika melihat darah menyembur dari dada Bangasera. “Kau hanya besar kepala dan besar mulut, pria jelek!”Wintara melompat mundur ke arah Nilasari. “Terlalu cepat jika kau menentang kami, Bangasera. Sekarang, nikmatilah ajalmu.”“Benarkah begitu?” Suara Bangasera tiba-tiba menggema di atas bukit.Wintara dan Nilasari sontak tercengang ketika mendengar suara tersebut, padahal mereka sangat yakin jika Bangasera sudah terbujur kaku bersimbah darah. Akan tetapi, keduanya justru terhenyak saat melihat raga Bangasera yang sudah berkalang tanah tiba-tiba berubah menjadi puluhan ular kecil yang dengan cepat menyebar ke sekeliling.“Kalian berdua memang hebat meski masih dalam wujud tua bangka
“Tidak mungkin,” ujar Nilasari dengan tatapan penuh ketidakpercayaan, “meski aku dan kakangku sudah melanglangbuana di rimba persilatan selama bertahun-tahun lamanya, kami berdua tidak pernah sekalipun diminta Gusti Totok Surya untuk menjadi anggota Cakar Setan. Berhentilah membual, Bangasera. Kau membuatku ingin meludahimu sepanjang malam.”Wintara menatap tajam Bangasera, berusaha menilai ilmu kanarugan pria bersisik ular di depannya. Ia bisa merasakan kekuatan yang meluap-luap dari pria yang berhasil mengalahkan dirinya dan adiknya beberapa saat lalu.“Aku tahu kalau kalian hanya terkejut dan merasa iri padaku. Tapi pada kenyataannya aku adalah salah anggota Cakar Setan yang dipilih langsung oleh Gusti Totok Surya. Gusti Totok Surya memilihku karena aku pantas menjadi salah satu pendekar terkuatnya.” Bangasera tertawa, lalu menunjukkan dada sebelah kiri yang terdapat gambar tengkorak.Wintara dan Nilasari sontak terhenyak, berdecak kesal ketika melihat tanda itu. Mau tak mau mereka
“Bagaimana dengan wajahku, Kakang? Apa aku kembali cantik seperti sediakala?” tanya Nilasari sembari memeriksa keadaan tubuhnya.“Kau menjadi cantik kembali, Nilasari. Hanya saja kau masih terlihat tua, bukan seperti dirimu yang dulu,” jawab Wintara jujur.“Benarkah, Kakang?” Nilasari cemberut, lalu melompat ke sebuah kendi berisi air di samping pagar bambu yang tumbang. Wanita itu mengamati penampilannya beberapa kali. “Kakang benar, aku masih terlihat tua.”Nilasari kembali melompat ke dekat Wintara, lalu menatap tajam Bangasera. “Kenapa aku masih terlihat tua, Bangasera? Apa kau membohongiku dan kakangku?”“Sama sekali tidak.” Bangasera memelotot tajam. “Buktinya kau dan Wintara menjadi lebih muda dari sebelumnya. Jika kau menginginkan dirimu kembali ke keadaan semula, kenapa kau tidak mencari perkampungan warga yang lain agar kau bisa mengisap kekuatan mereka kembali?”Nilasari mendengkus, mengamati warga yang bergelimpangan di tanah. “Rasa mereka benar-benar pahit. Aku bahkan ing
Pendekar wanita berbaju kuning segera menempatkan nenek tua yang tak sadarkan diri di dekat pohon, kemudian ia melompat ke arah tiga teman pendekar yang lain. Wiintara dan Nilasari seketika bergerak menyerang. Dua pendekar wanita berhadapan dengan Nilasari, sedang dua pendekar laki-laki berhadapan dengan Wintara. Pertarungan pun segera pecah dan tak dapat dielakkan. Dua pendekar laki-laki berlari menjauh dari perkampungan, sengaja memilih kawasan pohon kelapa sebagai tempat pertarungan. Keduanya berjibaku melawan serangan dan pergerakan Wintara yang sangat cepat dan kuat. Dua pendekar laki-laki itu menghindar ke samping, lalu secara bersamaan mengayunkan pedang di saat keduanya bergerak maju. Tubuh ular Wintara berhasil dipotong menjadi dua, tetapi dengan cepat kembali ke keadaan semula. Wintara melayangkan serangan ekor dengan sangat kuat hingga kedua pendekar laki-laki itu terlempar ke belakang dan menabrak pepohonan. Ia kembali melesat maju, lalu melompat tinggi untuk sembari m
Nilasari menghimpun kekuatan untuk kembali mengubah wujud menjadi ular siluman, hendak melompat ke air terjun. Akan tetapi, Wintara dengan cepat menahan tangannya. “Ada apa, Kakang? Kita harus segera mengejar wanita itu sebelum dia berhasil melarikan diri.”“Kita tidak perlu melakukannya, Nilasari. Lihatlah.” Wintara mendongak sekaligus menunjuk ke bawah. Deburan air terjun terlihat ganas menampar bebatuan curam yang ada di bawah sana. “Wanita itu kemungkinan besar mati karena menabrak batu. Kalaupun dia selamat, dia pasti akan terluka sangat parah. Wanita itu pasti terasa sangat pahit karena darah dan luka-lukannya jika kita telan.”“Tapi dia bisa saja mencari bantuan, Kakang.” Nilasari kembali menghimpun kekuatan, tetapi Wintara lagi-lagi menghentikannya.“Kalaupun bantuan itu datang, mereka tidak akan bisa mengalahkan kita.” Wintara tertawa pelan. “Lihatlah dirimu di aliran air sungai, Nilasari.”Nilasari dengan cepat menunduk. Ia terhenyak karena melihat kulit dan wajahnya kembali
Wintara dan Nilasari kembali mendarat di tanah, lalu tanpa membuang waktu segera melesat ke arah Bangasera. Keduanya dengan cepat menghunus senjata masing-masing. Bangasera berhasil menahan kedua senjata tersebut dengan kedua tangan meski setelahnya ia terdorong agak jauh.Wintara dan Nilasari tercekat sesaat ketika dua ekor ular muncul dari tangan Bangasera, lalu merayap di senjata mereka. Keduanya memukul alas tombak dan susuk bersamaan smebari mengalirkan tenaga dalam mereka. Ketika dua ekor ular tersebut terpental ke atas hingga hancur menjadi abu, Wintara dan Nilasari melompat mundur.Wintara dan Nilasari kembali menerjang Bangasera. Pertarungan dua lawan satu tidak bisa dihindarkan. Kedua siluman berwujud pemuda dan pemudi itu menyerang dengan beringas dan membabi buta. Gerakan mereka saling berkesinambungan dan mendukung gerakan masing-masing. Gempuran serangan tersebut membuat Bangasera terdesak mundur meski di saat yang sama masih bisa menepis dan menghindari serangan-seranga
Kawanan burung tampak berterbangan di langit biru. Awan putih terlihat bergerak pelan. Angin berembus cukup kencang, menggoyangkan pepohonan ke kiri dan kanan, menerbangkan dedaunan di udara. Air sungai mengalir tenang. Riak air tercipta ketika seorang pemuda memasukkan kaki ke dalam air.Beberapa ikan berenang gesit di antara bebeatuan. Pemuda yang nyatanya adalah Lingga dengan perlahan berjalan, mengamati pergerakan ikan. Ia menghimpun kekuatan di kedua tangan, kemudian memukul air dengan cukup kencang. Dalam sekejap, lima ekor ikan dibuat terbang ke udara. Lingga dengan cekatan memasukkan satu per satu ikan ke dalam keranjang bambu.“Cepat berikan padaku, Kakang,” ujar Sekar Sari yang berdiri di sisi sungai, tersenyum bangga, “biar aku yang memasak ikan bakar itu.”“Baiklah.” Lingga melempar keranjang bambu itu pada Sekar Sari.Sekar Sari melompat untuk menangkapnya. Gadis itu berhasil mendapatkan keranjang bambu dengan sempurna, memeriksa ikan-ikan yang melompat-lompat. Ia kemudia
Seorang gadis berbaju hijau tak sadarkan diri di hadapan Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari dengan tubuh yang penuh dengan luka lebam.“Dilihat dari ciri-cirinya, gadis ini seperti seorang pendekar,” ujar Limbur Kancana.Limbur Kancana berbisik di telinga Lingga, “Bagaimana rasanya menyentuh seorang gadis, Lingga? Bukankah itu menyenangkan?”“Hen-hentikan, Paman.” Lingga bergeser menjauh. Wajahnya tampak memerah. “A-aku ha-hanya ingin menolongnya saja. Aku sama sekali tidak memiliki pikiran buruk apa pun.”“Apa kita harus menolongnya, Kakang Guru?” tanya Sekar Sari dengan nada marah yang ditekan kuat-kuat. Ia mendengkus kesal ketika mendapati Lingga tak henti melirik gadis berbaju hijau di depannya.Limbur Kancana menimbang sesaat, mengamati gadis yang tak sadarkan diri itu dari atas hingga bawah. “Kita bisa mendapatkan berita penting dari gadis ini ketika dia terbangun.”