Nilasari menghimpun kekuatan untuk kembali mengubah wujud menjadi ular siluman, hendak melompat ke air terjun. Akan tetapi, Wintara dengan cepat menahan tangannya. “Ada apa, Kakang? Kita harus segera mengejar wanita itu sebelum dia berhasil melarikan diri.”“Kita tidak perlu melakukannya, Nilasari. Lihatlah.” Wintara mendongak sekaligus menunjuk ke bawah. Deburan air terjun terlihat ganas menampar bebatuan curam yang ada di bawah sana. “Wanita itu kemungkinan besar mati karena menabrak batu. Kalaupun dia selamat, dia pasti akan terluka sangat parah. Wanita itu pasti terasa sangat pahit karena darah dan luka-lukannya jika kita telan.”“Tapi dia bisa saja mencari bantuan, Kakang.” Nilasari kembali menghimpun kekuatan, tetapi Wintara lagi-lagi menghentikannya.“Kalaupun bantuan itu datang, mereka tidak akan bisa mengalahkan kita.” Wintara tertawa pelan. “Lihatlah dirimu di aliran air sungai, Nilasari.”Nilasari dengan cepat menunduk. Ia terhenyak karena melihat kulit dan wajahnya kembali
Wintara dan Nilasari kembali mendarat di tanah, lalu tanpa membuang waktu segera melesat ke arah Bangasera. Keduanya dengan cepat menghunus senjata masing-masing. Bangasera berhasil menahan kedua senjata tersebut dengan kedua tangan meski setelahnya ia terdorong agak jauh.Wintara dan Nilasari tercekat sesaat ketika dua ekor ular muncul dari tangan Bangasera, lalu merayap di senjata mereka. Keduanya memukul alas tombak dan susuk bersamaan smebari mengalirkan tenaga dalam mereka. Ketika dua ekor ular tersebut terpental ke atas hingga hancur menjadi abu, Wintara dan Nilasari melompat mundur.Wintara dan Nilasari kembali menerjang Bangasera. Pertarungan dua lawan satu tidak bisa dihindarkan. Kedua siluman berwujud pemuda dan pemudi itu menyerang dengan beringas dan membabi buta. Gerakan mereka saling berkesinambungan dan mendukung gerakan masing-masing. Gempuran serangan tersebut membuat Bangasera terdesak mundur meski di saat yang sama masih bisa menepis dan menghindari serangan-seranga
Kawanan burung tampak berterbangan di langit biru. Awan putih terlihat bergerak pelan. Angin berembus cukup kencang, menggoyangkan pepohonan ke kiri dan kanan, menerbangkan dedaunan di udara. Air sungai mengalir tenang. Riak air tercipta ketika seorang pemuda memasukkan kaki ke dalam air.Beberapa ikan berenang gesit di antara bebeatuan. Pemuda yang nyatanya adalah Lingga dengan perlahan berjalan, mengamati pergerakan ikan. Ia menghimpun kekuatan di kedua tangan, kemudian memukul air dengan cukup kencang. Dalam sekejap, lima ekor ikan dibuat terbang ke udara. Lingga dengan cekatan memasukkan satu per satu ikan ke dalam keranjang bambu.“Cepat berikan padaku, Kakang,” ujar Sekar Sari yang berdiri di sisi sungai, tersenyum bangga, “biar aku yang memasak ikan bakar itu.”“Baiklah.” Lingga melempar keranjang bambu itu pada Sekar Sari.Sekar Sari melompat untuk menangkapnya. Gadis itu berhasil mendapatkan keranjang bambu dengan sempurna, memeriksa ikan-ikan yang melompat-lompat. Ia kemudia
Seorang gadis berbaju hijau tak sadarkan diri di hadapan Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari dengan tubuh yang penuh dengan luka lebam.“Dilihat dari ciri-cirinya, gadis ini seperti seorang pendekar,” ujar Limbur Kancana.Limbur Kancana berbisik di telinga Lingga, “Bagaimana rasanya menyentuh seorang gadis, Lingga? Bukankah itu menyenangkan?”“Hen-hentikan, Paman.” Lingga bergeser menjauh. Wajahnya tampak memerah. “A-aku ha-hanya ingin menolongnya saja. Aku sama sekali tidak memiliki pikiran buruk apa pun.”“Apa kita harus menolongnya, Kakang Guru?” tanya Sekar Sari dengan nada marah yang ditekan kuat-kuat. Ia mendengkus kesal ketika mendapati Lingga tak henti melirik gadis berbaju hijau di depannya.Limbur Kancana menimbang sesaat, mengamati gadis yang tak sadarkan diri itu dari atas hingga bawah. “Kita bisa mendapatkan berita penting dari gadis ini ketika dia terbangun.”
“Aku bisa mendengar ucapanmu dengan jelas,” kata Sekar Sari.“Jika kau bisa mendengarnya, kenapa kau masih juga bertanya. Dasar aneh!” ketus Malawati.Sekar Sari berdecak. “Dasar tidak tahu balas budi. Aku sudah menolongmu dan mengobati luka-lukamu, tapi kau justru berucap tidak sopan padaku.”“Aku tidak pernah memintamu untuk menolongku.” Malawati memutar bola mata. “Maaf saja aku juga tidak ingin berteman dengan gadis sepertimu.”“Kau benar-benar menyebalkan.” Sekar Sari mendengkus kesal. “Kau pikir aku ingin berteman denganmu. Aku menolongmu karena aku merasa kasihan padamu. Kau tampak seperti anak ayam yang akan mati karena terseret arus sungai.”“Mulutmu memang benar-benar kotor.” Malawati tersenyum sinis.“Mulutmu yang lebih kotor.” Sekar Sari tak ingin kalah.Malawati mencuri pandang pada Lingga, mengedipkan mata beberapa kali. Ketika akan berjalan maju, ia tiba-tiba saja tersandung dan Sekar Sari dengan cepat menahan tubuhnya. “Lepaskan tanganmu dari tubuhku, muka bulat!”“Tut
“Aku tahu jika kalian bertiga adalah pendekar. Aku bisa merasakan ilmu kanuragan kalian,” ujar Malawati, “apakah kalian juga ikut dalam pencarian pewaris kujang emas itu?”“Kami berasal dari salah satu padepokan di wilayah utara,” jawab Limbur Kancana, “sayangnya kami tidak tertarik dengan pencarian pewaris kujang emas tersebut. Tujuan kami saat ini adalah pergi ke wilayah selatan untuk mencari keberadaan guru kami.”“Tidak tertarik? Apa maksudmu?” Malawati tentu saja terkejut, pasalnya yang ia ketahui semua pendekar golongan putih tingkat tinggi mengerahkan seluruh pasukannya untuk mencari keberadaan sang pewaris kujang emas tersebut, bahkan beberapa pendekar golongan putih sempat terlibat adu kekuatan dalam pencarian.Lingga dan Sekar Sari saling bertatapan sesaat.“Para pendekar golongan putih mengirimkan pasukan besar-besaran untuk mencari keberadaan pewaris kujang emas, bahkan beberapa
Lingga, Limbur Kancana, Sekar Sari dan Malawati tengah beristirahat di bawah sebuah pohon rindang. Langit sudah mulai menguning dengan kawanan burung yang muali berlalu lalang di cakrawala. Perjalanan mereka lebih banyak diwarnai dengan perang dingin antara Sekar Sari dan Malawati. Perseteruan itu benar-benar membuat Lingga bingung, terlebih ketika Limbur Kancana mengatakan kalau semua pertengkaran itu adalah salahnya.“Kakang, ini untukmu.” Malawati memberikan sebuah kelapa muda pada Lingga, tersenyum malu-malu. “Terima kasih karena sudah membantuku selama dalam perjalanan.”Sekar Sari dengan cepat merebut kelapa muda tersebut, lalu meneguk airnya hingga tak bersisa. Setelahnya, ia kembali memberikan buahnya pada Malawati. “Seharusnya kau berterima kasih padaku karena akulah yang sudah mengobatimu.”Malawati berdecak kesal. “Dasar tidak tahu sopan santun! Kenapa kau justru meminum air kelapa muda yang kuberikan pada Kakang Bimantara?”Sekar Sari memutar bola mata, menyilangkan kedua
“Banyak sekali orang di perkampungan ini, Paman,” ujar Lingga saat berjalan memasuki perkampungan. Tatapannya mengedar ke sekeliling. “Perkampungan yang pernah aku datangi tidak pernah seramai ini.”Limbur Kancana tertawa pelan. “Sepanjang hidupmu kau terus saja terkurung di hutan, padahal kau bisa mendapat kesenangan yang tiada duanya di tempat keramaian, seperti menemukan gadis-gadis cantik.”Sekar Sari berdeham, tersenyum lebar. “Kalau untuk gadis cantik, bukankah kalian berdua sudah sering bersamanya selama ini?”“Biar kutunjukkan,” kata Limbur Kancana seraya merangkul Lingga, mengarahkan pandangan pemuda itu pada beberapa gadis muda yang lalu lalang di keramaian.Mendengar dan melihat hal itu, Sekar Sari seketika mengentak tanah, berdecak kesal. “Aku ingin mencari makanan untuk makan malam.”Sekar Sari menerobos lalu lalang warga, memberi tatapan kesal pada Lingga dan Limbur Kancana, kemudian kembali berjalan. “Dasar laki-laki! Kenapa mereka tidak pernah mengerti perasaan wanita