Valentia sudah lebih dari tiga puluh menit mematut dirinya di depan cermin. Dia terus meyakinkan dirinya bahwa penampilannya saat ini sudah benar-benar keceh badai cetar membahana.
Sebenarnya tanpa polesan pun wajah cantik alami Valentia sudah sangat memukau. Siapa yang tidak mengenal Valentia Swind, sang primadona SMA yang memiliki segudang prestasi tapi begitu bandel dan pembangkang sejati. Semua guru-gurunya dulu bahkan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi tingkah polah Valen.
Tak sedikit cinta dari kakak kelas, adik kelas, bahkan teman seangkatannya yang ditolak. Valen hanya ingin hidup dalam kebebasan, tanpa cinta dia yakin bahwa dia bisa hidup dengan penuh warna. Makanya dia sekarang mencari kebebasannya sendiri.
Di usia yang masih tergolong muda, sebagai seorang tuan putri dari konglomerat ternama di kotanya, dia meninggalkan semua fasilitas itu, membangkang ayahnya yang memintanya untuk berkuliah sesuai jurusan keinginannya agar bisa menjadi penerus bisnisnya, bahkan Valen nekat tinggal di kost-kostan sempit dan sederhana.
Valen telah mengurus administrasi pendaftaran perkualiahannya. Dia mengambil jurusan Ilmu Komunikasi dengan perkuliahan ekstensi, yang hanya kuliah pada malam hari saja. Tentu hal ini dilakukan agar pada pagi hingga sore harinya dia bisa bekerja. Valen benar-benar tak ingin menyia-nyiakan kebebasannya saat ini.
"Wish me luck!" ucap Valen sambil mengepalkan kedua tangannya dengan sorot mata membara yang memancarkan semangat tinggi Valen.
Dengan balutan kemeja putih dan rok span hitam diatas lutut, Valentia sudah meyakinkan diri bahwa dia terlihat cantik juga elegan. Walaupun memang itu adalah standar pakaian interview, tapi Valen tetap merasa bahwa dia sudah seperti seorang karyawan di Emerald Publishing.
"Ingat Valen, ini adalah sesi interview. Jadi lo harus bisa nunjukin semua sisi terbaik lo! Jangan sampai sifat pembangkang lo muncul di saat-saat ini. Kan, nggak banget kalau sampai gagal gara-gara keceplosan!" Valentia bermonolog dalam taksi. Biarpun dia memiliki mental yang kuat bagaikan baja dan rasa percaya diri tinggi, tapi tetap saja dia berdebar-debar untuk mengikuti interview kerja pertamanya ini.
Gedung Emerald Publishing sudah di depan mata. Valen berusaha menata pernapasannya. Dia tidak ingin terlihat begitu gugup dan para lawannya tau kelemahannya. Makanya dia terus melangkah dengan percaya diri dan senyuman manis yang memperlihatkan lesung pipit di kedua pipinya saat memasuki gedung megah itu.
"Selamat siang, Pak. Saya mau bertanya ruangan untuk interview dimana, ya?" tanya Valen pada salah satu resepsionis.
"Bisa tunjukan undangan interviewnya?" tanya resepsionis bernama Arman itu yang tak lepas matanya lekat-lekat memandang wajah Valentia.
"Ini." Valen menunjukkan email dari Emerald Publishing di ponselnya.
"Ah, baiklah. Ruangannya ada di lantai 8, naik saja menggunakan lift, dan tanyakan pada bagian HRD disana, nanti akan diantarkan untuk interviewnya."
"Okay, terimakasih ya, Pak," sahut Valen sambil tersenyum.
Arman si resepsionis tak mampu menjawab ucapan Valen karena dia sedang terhipnotis senyum manis Valen. Dia merasa bahwa Valen adalah gadis tercantik yang pernah dia temui di perusahaan itu.
"Woy, Man, Arman! Apaan dah lo kayak gak pernah liat cewek aja." Temannya Santi menegur Arman yang masih terbengong memandang Valentia berlalu sampai menghilang dalam lift.
"Astaga naga. apaan sih lo! Ganggu gue cuci mata aja. Lo tau nggak, gue ngerasa baru aja ketemu jodoh gue!" sahut Arman cengar-cengir.
"NGIMPI LO KESIANGAN" Santi lalu mentoyol jidat Arman agar dia sadar dari mimpinya.
Arman hanya melengos kesal, tapi dia memang harus segera sadar dari mimpinya, karena dunia kerja sudah nyata-nyata di depannya dan harus dikerjakan dengan maksimal. Dia tidak ingin terkena teguran dari atasannya kalau sampai CEO melihatnya bercanda dan melamun di meja resepsionis. CEO killer itu bisa saja memecatnya tanpa pesangon. Sampai bergidik ngeri Arman membayangkannya.
*****
Sementara itu, Valen sudah sampai di lantai 8 dan melihat sekeliling untuk mencari seseorang yang bisa ditanyai tentang ruangan interview.
"Selamat pagi, maaf mau tanya, ruangan interview dimana ya? Resepsionis di bawah tadi bilang ada di lantai 8, dan saya harus menemui HRD," tanya Valen pada seorang pria muda berambut klimis namun berwajah manis di depannya.
"Mari ikut saya, kebetulan saya Ketua HRD," sahut pria itu.
"What? Jadi, bapak ketua HRD disini? Ah, maaf kalau saya sudah tidak sopan bertanya." Wajah Valen memerah menyadari bahwa dia malah bertanya pada ketua HRD nya langsung. Huh, kebetulan yang menarik sih, jadi dia tidak usah repot-repot lagi karena akan langsung diantar ke ruangan interview.
"Hm." Pria itu hanya menjawab singkat sambil berjalan.
Langkah kaki pria itu begitu lebar, Valen yang memiliki kaki jenjang tentu saja dapat mengimbanginya seandainya saja dia tidak mengenakan high heels saat ini. Terpaksa dia setengah berlari agar dapat menyesuaikan langkah pria itu.
Selama perjalanan tak henti Valen mengumpat dalam hati. Menyesali dirinya yang memilih memakai high heels bukannya sepatu kets saja. Apalah daya, sudah terjadi juga.
Ruangan interview berada paling pojok, setelah melewati lorong yang berdinding kaca, mereka akhirnya sampai.
Valen sepanjang jalan walaupun mengumpat, tapi nalarnya juga jalan, dia memperhatikan bahwa ruangan-ruangan kaca tersebut sepertinya diperuntukkan untuk para penulis dan editor. Yah jelas banget lah, secara di masing-masing ruangan bertuliskan nama dan jabatan pemilih ruangan. Mereka sungguh sibuk, sampai tak memperhatikan kalau Valen dan ketua HRD itu lewat.
Valen belum apa-apa sudah membayangkan jika dia bekerja di salah satu ruangan itu. Membayangkan betapa menegangkannya dikejar-kejar deadline. Wow, bukannya ngeri malah dia tersenyum-senyum sendiri.
"Nona, nona? Tolong segera sadarkan diri anda! Kita sudah sampai di ruang interview!" Suara dingin Pak Ketua HRD mengagetkan Valentia yang sedang melamun sambil tersenyum sendiri.
Valen menepuk jidatnya sambil cengengesan. Dia mengumpat lagi dalam hati. Bisa-bisanya dia berhayal saat sedang berjalan.
"Ah, maaf Pak. Saya sudah sadar." Valen berucap yakin.
"Hah, ya sudah. Sekarang ayo kita masuk." Pria itu masuk terlebih dahulu, lalu menyuruh Valen mengikutinya.
Valen yang hanya diam mengikutinya begitu saja. Sambil dia berdoa semoga saja tidak mengeluarkan sifat-sifat anehnya saat interview nanti.
Di ruangan itu sudah ada 3 orang yang duduk. Dari pakaiannya tampak mereka bukanlah pesaing Valen, namun terlihat seperti para juri ajang pencarian bakat yang siap-siap mengeluarkan kata "Yes or No". Ah, maksud Valen mereka adalah para penguji interview kali ini.
"Kenapa lama sekali, Ndre? Bisa ya kamu membuat aku yang nungguin kamu?" Suara serak seorang pria memecah keheningan. Tampaknya pria itu adalah ketua dari penjurian ini. Valen belum bisa melihat wajah para penguji karena dia berdiri di belakang para penguji itu.
"Maaf, tadi pagi saya kebanyakan makan seblak dengan cabe terlalu banyak, jadi dari tadi saya bolak-balik buang air besar," jawab ketua HRD yang ternyata bernama Andrea Agastya itu.
"Apaan sih, jorok!" pria bersuara serak tersebut lalu melemparinya dengan kertas.
"He he, I'm sorry. Okay, ini juga peserta interview kita sudah datang." Andrea menunjuk Valen yang dari tadi berdiri mematung melihat kekonyolan di depannya.
"Nona, silakan kemari. Dan, duduklah di kursi ini!" perintah Andrea.
Valentia lantas berjalan maju menuju kursi yang harus di duduki. Kemudian Andrea mengambil kursi di samping para penguji lainnya.
Debaran jantung Valentia mungkin terdengar sangat keras saat ini. Apalagi ketika Valen mengangkat kepalanya dan melihat para penguji di depannya.
Selain Andrea, Valen melihat seorang sosok wanita yang kemungkinan berusia 30 tahunan dengan perut yang besar. Sepertinya sedang hamil. Lalu seorang pria muda berkacamata dengan rambut keriting ikal, manis memang wajahnya, tapi ekspresinya terlihat kaku. Lalu di center atau di tengah ada sosok seorang pria yang sangat tampan menyilaukan mata Valen. Rahangnya tegas, rambutnya tertata rapi dengan model kekinian, belum lagi hidung, mata, bibir, bahkan alisnya menampilkan wajah yang begitu rupawan.
"Oh My, mataku seperti melihat malaikat!"
"Uuuppss!" Valen lalu menutup mulutnya. Dia tersadar kalau dia keceplosan memuji pria itu.
"Ahh, maaf saya salah bicara," ucap Valen mencoba bersikap kembali normal.
"Tak apa-apa, kami semua memang terlihat seperti malaikat kok!" jawab si pria ikal tegas. Lalu semua juri tertawa mendengar jawabannya.
Ah sial, Valen belum apa-apa saja sudah membuat dirinya sendiri malu.
"Baiklah, kita akan mulai interviewnya. Apakah anda siap nona?"
"Iya, saya siap, pak." Valen menyahut sambil tersenyum.
Tanpa Valen sadari senyuman dan gerak-geriknya ternyata mengetarkan hati seseorang. Seorang pria dengan mata elang yang sedari tadi mendapat pujian dalam hati Valen ternyata tak bisa berhenti memandangi wajah Valen. Dia sepertinya merasakan sesuatu pada gadis itu.
"Kamu sangat cantik!" ucap pria itu dengan suara seraknya.
Semua orang melongo mendengar ucapan pria itu. Valen yang sedang memperkenalkan dirinya juga menjadi terdiam.
******
Langit tampak begitu mengikuti suasana hati Valen saat ini. Kelam, suram, dan kelabu. Valenpun merasakan hal yang sama. Rasa kesal dan juga sesalnya belum hilang juga. Padahal dia sudah melalui jalanan panjang ini hanya dengan berjalan kaki."Uugghh! Emang ya, sumpah banget dah kenapa bisa ada cowok nyebelin kayak orang itu tadi!" Valen mengumpat mengeluarkan unek-unek dalam hatinya. Dia tidak mempedulikan sekitar, tetap saja dia asyik berbicara sendiri."Semua jadi gagal total gara-gara cowok ngeselin itu tadi. Apaan coba dia tiba-tiba ngomong cantik gitu pas gue lagi memperkenalkan diri. Kan gue jadi gugup! Mana dia ngomongnya dengan wajah tampan gitu pula!"Valen menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Dia tidak habis pikir, seluruh konsentrasinya buyar hanya karena satu kalimat pujian dari lelaki yang dikaguminya dalam hati itu."Ambyar dah kalau sampai nggak bisa keterima jadi editor di Emerald P
Valen melangkah pasti dan mantap memasuki gedung megah Emerald Publishing. Setelah mematut dirinya selama berjam-jam di depan cermin dan memastikan bahwa senyumannya akan terlihat manis, dia pun percaya diri di hari pertamanya bekerja.Valen tidak begitu bingung akan situasi pagi ini. Sebagai seorang tuan putri, dia sudah biasa mendapatkan perhatian dan pandangan dari orang-orang sekelilingnya ketika dia hanya sekedar lewat atau nongkrong di taman.Tak terkecuali hari ini. Penampilan Valen yang kalau dinilai bisa mendekati poin 100! Dengan atasan putih berenda dan blazer lilac yang membuatnya tampak elegan, ditambah lagi rok diatas lutut dengan warna senada semakin manis dan menonjolkan kulit putih bersih Valen.'Hari ini cerah. Dan, tentu saja sesuai isi hatiku yang sedang cerah dan bahagia.' gumam Valen dalam hati sambil berjalan. Tak lupa senyum selalu menghiasi wajahnya.Duh, siapa sih yang tidak akan terp
"Bu Mira, saya rasa ada sebuah kesalahan disini. Saya melamar untuk bekerja sebagai seorang editor. Bagaimana bisa saya sekarang harus mempelajari basik menjad seorang sekretaris? Jelas-jelas ini adalah POSISI YANG TAK SEHARUSNYA!" ujar Valen penuh penekanan. Dia tak terima hal ini.Sementara Valen sedang melongo dan menunggu penjelasan dari Mira sambil dongkol, James tampak sedang tersenyum senang melihat semua gerak-gerik Valen dari monitor CCTV."Kamu sudah tandatangan kontrak, gadisku. Kamu tak akan bisa lepas dariku!" James tersenyum penuh kemenangan. Dan, mata elangnya terus mengawasi CCTV.James menyeringai memandang monitor CCTV, dia sangat puas akan hasil kerja dari Andrea yang mampu membuat Valentia menandatangani kontrak kerja. Kali ini James merasa bahwa rencananya untuk memiliki Valen akan berhasil. Menjadikan gadis itu sebagai sekretarisnya, tentu saja Valen akan terus berada di sisinya.
"Kenapa kamu begitu membangkang? Terima saja keputusan pada kontrak yang sudah kamu tanda tangani tadi. Jadilah sekretarisku, dan bekerjalah sesuai kontrakmu atau kamu mau membayar ganti rugi dalam jumlah yang sangat besar? Ini bukan jebakan, tapi ini adalah takdirmu," seringai James penuh kelicikan. Valen yang menyadari hal ini sangat marah. Bisa-bisanya pria sekelas CEO Emerald Publishing melakukan hal ini. Sudah sangat nyata dan jelas bahwa ini adalah jebakan James Leogard! "Bagaimana ini, Bapak James? Saya sama sekali tidak menginginkan posisi sebagai sekretaris anda. Saya tidak memiliki waktu yang cukup banyak untuk bekerja sebagai seorang sekretaris. Apalagi menjadi seorang sekretaris pribadi. Saya melamar sebagai seorang editor karena saya merasa bahwa saya bisa bekerja sambil berkuliah. Namun, kalau harusmembayar ganti rugi yang besar, baiklah, saya bersedia untuk posisi ini." Valen menjawab dengan ragu - rag
Valen berguling-guling sendiri di atas ranjangnya.Dia tidak tahu sama sekali apakah keputusannya untuk bekerja dengan James Leogard adalah keputusan yang tepat atau adalah cara baginya untuk menggali kuburannya sendiri?Ingin sekali rasanya gadis ini menghubungi ibunya dan mengatakan apa yang telah terjadi padanya di kantor tadi. Namun, lagi-lagi Valen menggelengkan kepalanya karena dia tahu kalau melakukan hal itu pasti akan membuat dia disuruh untuk kembali ke rumah."Nggak bisa!" Valen bermonolog. "Biar gimanapun aku nggak mau kembali ke rumah lagi karena aku udah bertekad menjadi seorang gadis mandiri!""Aku nggak mau kalau sampai Daddy tertawa melihat aku yang nyerah gitu aja hanya karena dikerjain sama pria aneh kayak James itu!" serunya pada diri sendiri.Valen tampak berpikir sejenak.Dia harus mencari cara yang tepat untuk bisa menghadapi sikap James yang kadang-kadang suka di luar logikanya itu.Ya, sekuat apa pun pertahanan gadis cantik ini, dia yang bertubuh lemah pasti ti
Valen tidak bisa berbuat apa-apa sekarang.Pergerakan James benar-benar membuat dia kebingungan sendiri akan melakukan apa untuk membuat pria ini menjauh darinya."Apa kamu nggak bisa denger ya kalau aku mengancam kamu barusan?" tanya Valen ketus.James tersenyum menyeringai. "Kalau aku jawab aku mau pura-pura nggak denger gimana?""Oh, Tuhan. Kenapa Anda suka sekali mendebatku, Tuan James Leogard?" tanya Valen kesal."Itu semua karena kamu terlalu menggemaskan dan juga membuatku ingin memilikimu, Valentia!" jawab James santai.Sumpah demi apa pun yang ada di dunia ini, sekarang Valen benar-benar merasa begitu kesal pada sosok James yang sudah berani mengambil langkah seakan tidak peduli pada apa pun lagi. Valen mencoba untuk berpikir.Karena biar bagaimanapun dia tidak mau jatuh pada jerawat pesona pria dewasa yang saat ini merupakan bossnya itu.Ah, lagi pula seorang James pasti hanya mencoba untuk menggodanya saja karena berdasarkan gosip yang beredar dia adalah seorang casanova!
Valentia sadar kalau sekarang situasi tidak memungkinkan bagi dia untuk melawan lagi pria di hadapannya.Namun, ini juga sama sekali tidak mau kalau harus berurusan dengannya apalagi harus bersentuhan dengannya seperti apa yang diinginkan oleh James."Beri aku ruang dan waktu untuk berpikir dulu, Tuan James," pinta Valentia.James mengerutkan keningnya. "Hah? Kamu butuh apa?""Ruang dan waktu untuk berpikir!" sahut Valentia cepat. "Aku sama sekali nggak suka kalau kita dalam posisi ini.""Oh, kamu mencoba untuk kabur?" James melihatnya penuh penekanan.Valentia menggeleng cepat. "No. Sama sekali enggak! Aku hanya berusaha untuk mengambil napas! Anda terlalu dekat," jawabnya.James terkekeh mendengar apa yang dikatakan oleh gadis muda ini. Bagaimana mungkin dia akan melepaskan buruan kecilnya yang telah tertangkap hanya untuk memberikan dia ruang dan juga waktu untuk berpikir?Ah, rasanya setiap hal dari diri Valentia begitu membuat James tertantang untuk segera memiliki gadis ini."Ba
"Valen sayang, please dengerin Mommy! Mommy nggak mau kalau sampai kamu kenapa-kenapa, honey. So, please stay di rumah, okay?" Suara lembut Amanda Swind terdengar lirih meminta putrinya untuk tetap tinggal di rumah.Valentia Swind, gadis manis bahkan dapat dikatakan sangat cantik berusia 19 tahun ini mendongak dan memandang mommy nya."Mommy, I know kalau Mommy khawatir. But, please Mom.. Valen udah besar sekarang. Umur udah 19 tahun, loh. Jadi, please Mom, beri Valen kesempatan untuk bisa mandiri," ucap Valen meyakinkan ibunya, tapi Amanda malah menggeleng."Honey, kamu tau kan gimana bakal marahnya Daddy kamu kalau tau kamu malah pergi diem-diem dari rumah?""Yes, I know. Makanya please banget ya Mommy rahasiakan ini." Telunjuk Valentia mengatup kedua bibirnya, seolah memberi isyarat kepada ibunya bahwa ini adalah sebuah rahasia."Oh, My.. Kepala Mommy pusing. Kamu memang selalu membantah Mommy, V
Valentia sadar kalau sekarang situasi tidak memungkinkan bagi dia untuk melawan lagi pria di hadapannya.Namun, ini juga sama sekali tidak mau kalau harus berurusan dengannya apalagi harus bersentuhan dengannya seperti apa yang diinginkan oleh James."Beri aku ruang dan waktu untuk berpikir dulu, Tuan James," pinta Valentia.James mengerutkan keningnya. "Hah? Kamu butuh apa?""Ruang dan waktu untuk berpikir!" sahut Valentia cepat. "Aku sama sekali nggak suka kalau kita dalam posisi ini.""Oh, kamu mencoba untuk kabur?" James melihatnya penuh penekanan.Valentia menggeleng cepat. "No. Sama sekali enggak! Aku hanya berusaha untuk mengambil napas! Anda terlalu dekat," jawabnya.James terkekeh mendengar apa yang dikatakan oleh gadis muda ini. Bagaimana mungkin dia akan melepaskan buruan kecilnya yang telah tertangkap hanya untuk memberikan dia ruang dan juga waktu untuk berpikir?Ah, rasanya setiap hal dari diri Valentia begitu membuat James tertantang untuk segera memiliki gadis ini."Ba
Valen tidak bisa berbuat apa-apa sekarang.Pergerakan James benar-benar membuat dia kebingungan sendiri akan melakukan apa untuk membuat pria ini menjauh darinya."Apa kamu nggak bisa denger ya kalau aku mengancam kamu barusan?" tanya Valen ketus.James tersenyum menyeringai. "Kalau aku jawab aku mau pura-pura nggak denger gimana?""Oh, Tuhan. Kenapa Anda suka sekali mendebatku, Tuan James Leogard?" tanya Valen kesal."Itu semua karena kamu terlalu menggemaskan dan juga membuatku ingin memilikimu, Valentia!" jawab James santai.Sumpah demi apa pun yang ada di dunia ini, sekarang Valen benar-benar merasa begitu kesal pada sosok James yang sudah berani mengambil langkah seakan tidak peduli pada apa pun lagi. Valen mencoba untuk berpikir.Karena biar bagaimanapun dia tidak mau jatuh pada jerawat pesona pria dewasa yang saat ini merupakan bossnya itu.Ah, lagi pula seorang James pasti hanya mencoba untuk menggodanya saja karena berdasarkan gosip yang beredar dia adalah seorang casanova!
Valen berguling-guling sendiri di atas ranjangnya.Dia tidak tahu sama sekali apakah keputusannya untuk bekerja dengan James Leogard adalah keputusan yang tepat atau adalah cara baginya untuk menggali kuburannya sendiri?Ingin sekali rasanya gadis ini menghubungi ibunya dan mengatakan apa yang telah terjadi padanya di kantor tadi. Namun, lagi-lagi Valen menggelengkan kepalanya karena dia tahu kalau melakukan hal itu pasti akan membuat dia disuruh untuk kembali ke rumah."Nggak bisa!" Valen bermonolog. "Biar gimanapun aku nggak mau kembali ke rumah lagi karena aku udah bertekad menjadi seorang gadis mandiri!""Aku nggak mau kalau sampai Daddy tertawa melihat aku yang nyerah gitu aja hanya karena dikerjain sama pria aneh kayak James itu!" serunya pada diri sendiri.Valen tampak berpikir sejenak.Dia harus mencari cara yang tepat untuk bisa menghadapi sikap James yang kadang-kadang suka di luar logikanya itu.Ya, sekuat apa pun pertahanan gadis cantik ini, dia yang bertubuh lemah pasti ti
"Kenapa kamu begitu membangkang? Terima saja keputusan pada kontrak yang sudah kamu tanda tangani tadi. Jadilah sekretarisku, dan bekerjalah sesuai kontrakmu atau kamu mau membayar ganti rugi dalam jumlah yang sangat besar? Ini bukan jebakan, tapi ini adalah takdirmu," seringai James penuh kelicikan. Valen yang menyadari hal ini sangat marah. Bisa-bisanya pria sekelas CEO Emerald Publishing melakukan hal ini. Sudah sangat nyata dan jelas bahwa ini adalah jebakan James Leogard! "Bagaimana ini, Bapak James? Saya sama sekali tidak menginginkan posisi sebagai sekretaris anda. Saya tidak memiliki waktu yang cukup banyak untuk bekerja sebagai seorang sekretaris. Apalagi menjadi seorang sekretaris pribadi. Saya melamar sebagai seorang editor karena saya merasa bahwa saya bisa bekerja sambil berkuliah. Namun, kalau harusmembayar ganti rugi yang besar, baiklah, saya bersedia untuk posisi ini." Valen menjawab dengan ragu - rag
"Bu Mira, saya rasa ada sebuah kesalahan disini. Saya melamar untuk bekerja sebagai seorang editor. Bagaimana bisa saya sekarang harus mempelajari basik menjad seorang sekretaris? Jelas-jelas ini adalah POSISI YANG TAK SEHARUSNYA!" ujar Valen penuh penekanan. Dia tak terima hal ini.Sementara Valen sedang melongo dan menunggu penjelasan dari Mira sambil dongkol, James tampak sedang tersenyum senang melihat semua gerak-gerik Valen dari monitor CCTV."Kamu sudah tandatangan kontrak, gadisku. Kamu tak akan bisa lepas dariku!" James tersenyum penuh kemenangan. Dan, mata elangnya terus mengawasi CCTV.James menyeringai memandang monitor CCTV, dia sangat puas akan hasil kerja dari Andrea yang mampu membuat Valentia menandatangani kontrak kerja. Kali ini James merasa bahwa rencananya untuk memiliki Valen akan berhasil. Menjadikan gadis itu sebagai sekretarisnya, tentu saja Valen akan terus berada di sisinya.
Valen melangkah pasti dan mantap memasuki gedung megah Emerald Publishing. Setelah mematut dirinya selama berjam-jam di depan cermin dan memastikan bahwa senyumannya akan terlihat manis, dia pun percaya diri di hari pertamanya bekerja.Valen tidak begitu bingung akan situasi pagi ini. Sebagai seorang tuan putri, dia sudah biasa mendapatkan perhatian dan pandangan dari orang-orang sekelilingnya ketika dia hanya sekedar lewat atau nongkrong di taman.Tak terkecuali hari ini. Penampilan Valen yang kalau dinilai bisa mendekati poin 100! Dengan atasan putih berenda dan blazer lilac yang membuatnya tampak elegan, ditambah lagi rok diatas lutut dengan warna senada semakin manis dan menonjolkan kulit putih bersih Valen.'Hari ini cerah. Dan, tentu saja sesuai isi hatiku yang sedang cerah dan bahagia.' gumam Valen dalam hati sambil berjalan. Tak lupa senyum selalu menghiasi wajahnya.Duh, siapa sih yang tidak akan terp
Langit tampak begitu mengikuti suasana hati Valen saat ini. Kelam, suram, dan kelabu. Valenpun merasakan hal yang sama. Rasa kesal dan juga sesalnya belum hilang juga. Padahal dia sudah melalui jalanan panjang ini hanya dengan berjalan kaki."Uugghh! Emang ya, sumpah banget dah kenapa bisa ada cowok nyebelin kayak orang itu tadi!" Valen mengumpat mengeluarkan unek-unek dalam hatinya. Dia tidak mempedulikan sekitar, tetap saja dia asyik berbicara sendiri."Semua jadi gagal total gara-gara cowok ngeselin itu tadi. Apaan coba dia tiba-tiba ngomong cantik gitu pas gue lagi memperkenalkan diri. Kan gue jadi gugup! Mana dia ngomongnya dengan wajah tampan gitu pula!"Valen menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Dia tidak habis pikir, seluruh konsentrasinya buyar hanya karena satu kalimat pujian dari lelaki yang dikaguminya dalam hati itu."Ambyar dah kalau sampai nggak bisa keterima jadi editor di Emerald P
Valentia sudah lebih dari tiga puluh menit mematut dirinya di depan cermin. Dia terus meyakinkan dirinya bahwa penampilannya saat ini sudah benar-benar keceh badai cetar membahana.Sebenarnya tanpa polesan pun wajah cantik alami Valentia sudah sangat memukau. Siapa yang tidak mengenal Valentia Swind, sang primadona SMA yang memiliki segudang prestasi tapi begitu bandel dan pembangkang sejati. Semua guru-gurunya dulu bahkan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi tingkah polah Valen.Tak sedikit cinta dari kakak kelas, adik kelas, bahkan teman seangkatannya yang ditolak. Valen hanya ingin hidup dalam kebebasan, tanpa cinta dia yakin bahwa dia bisa hidup dengan penuh warna. Makanya dia sekarang mencari kebebasannya sendiri.Di usia yang masih tergolong muda, sebagai seorang tuan putri dari konglomerat ternama di kotanya, dia meninggalkan semua fasilitas itu, membangkang ayahnya yang memintanya untuk berkuliah sesuai jurus
"Valen sayang, please dengerin Mommy! Mommy nggak mau kalau sampai kamu kenapa-kenapa, honey. So, please stay di rumah, okay?" Suara lembut Amanda Swind terdengar lirih meminta putrinya untuk tetap tinggal di rumah.Valentia Swind, gadis manis bahkan dapat dikatakan sangat cantik berusia 19 tahun ini mendongak dan memandang mommy nya."Mommy, I know kalau Mommy khawatir. But, please Mom.. Valen udah besar sekarang. Umur udah 19 tahun, loh. Jadi, please Mom, beri Valen kesempatan untuk bisa mandiri," ucap Valen meyakinkan ibunya, tapi Amanda malah menggeleng."Honey, kamu tau kan gimana bakal marahnya Daddy kamu kalau tau kamu malah pergi diem-diem dari rumah?""Yes, I know. Makanya please banget ya Mommy rahasiakan ini." Telunjuk Valentia mengatup kedua bibirnya, seolah memberi isyarat kepada ibunya bahwa ini adalah sebuah rahasia."Oh, My.. Kepala Mommy pusing. Kamu memang selalu membantah Mommy, V