“Tu-Tuan Muda? Ke-kenapa Tuan Muda ada di kamar saya?” tanya Nina dengan takut-takut. Hawa malam itu sangat mencekam. Ruangan sempit yang awalnya adalah gudang, disulap sedemikian rupa menjadi sebuah kamar. Ya, kamar untuk Nina sebagai asisten rumah tangga yang baru saja bekerja di rumah itu semingguan lebih.
Pria yang bernama Bryan Lawrence itu sedang berdiri di depan pintu kamar Nina yang tadinya tertutup. Bryan adalah anak tunggal dari majikan Nina, pemilik rumah tersebut. Penampilan Bryan amat berantakan karena ia baru saja pulang dari klub malam, tetapi Bryan masih terlihat tampan. Walaupun bau alkohol tercium jelas di tubuhnya.
“Berikan aku makanan! Aku lapar!” titah Bryan.
Nina yang tadinya baru saja ingin beristirahat kemudian bangkit dari kasurnya. Nina sempat bergerutu dalam hati sebab ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari dan anak majikannya itu tiba-tiba memasuki kamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dan meminta makan. Namun, Nina juga bernapas lega karena prasangka buruk yang sempat ia pikirkan ternyata tidak benar.
“Baik, Tuan Muda. Saya siapkan dulu,” jawab Nina tanpa merasa curiga.
Bryan akhirnya keluar dari kamar diikuti oleh Nina menuju dapur. Nina dengan cekatan mengolah semua bumbu serta bahan yang tersedia menjadi sebuah masakan yang lezat. Satu jam berlalu, akhirnya kerjaan gadis itu telah selesai. Dan saatnya ia memanggil sang majikan yang sudah menunggunya dari tadi.
TOK TOK TOK
“Permisi, Tuan Muda. Makanannya sudah siap,” ucap Nina dengan suara lantangnya.
“Masuk!” teriak Bryan dari dalam kamar.
Nina kemudian membuka pintu lalu berjalan perlahan. Ia masuk ke dalam kamar besar nan megah dengan pencahayaan yang minim. Ia melangkah sembari menundukkan kepala. Terlihat Bryan sedang meneguk segelas alkohol. Dada bidangnya sudah terekspos jelas alias pria itu sedang tidak mengenakan bajunya.
“Tuan Muda, makanannya sudah siap,” ujar Nina lagi, dengan nada yang amat sopan. Ini hari pertamanya ia bertemu dengan Bryan, anak dari pemilik rumah mewah tempatnya bekerja. Sebab dari seminggu yang lalu ia bekerja, pekerja yang lain mengatakan bahwa Bryan sedang berada di Singapura, menuntut ilmu S-2 nya. Dan sekarang Bryan tengah libur kuliah selama 3 bulan, maka dari itu ia kembali ke Jakarta, ke rumah orangtuanya.
“Kenapa lama sekali?” tanya Bryan sembari melemparkan tatapan dingin pada Nina.
“Ma-maaf, Tuan Muda. Sa-saya tadi harus merebus ayam terlebih dahu—”
“Aku tidak meminta makanan yang itu,” potong Bryan cepat. Ia menatap gadis lugu di hadapannya itu. Ditatapnya penuh gairah sembari ia berjalan mendekati Nina.
“Tu-Tuan Bryan, Tu-Tuan mau ngapain?” tanya Nina tergugup.
“Ssstt! Santai saja! Jangan tegang! Yang berhak tegang di sini cuman burungku. Heheh.” Bryan masih sempat terkekeh saat Nina benar-benar ketakutan. Nina terus berjalan mundur ketika Bryan terus mendekatinya hingga tubuh Nina mentok di dinding kamar.
Nina menatap wajah tampan tuan mudanya yang saat ini sangat dekat dengan wajahnya. “Tuan?”
“Kamu cantik sekali, Nina,” goda Bryan sebelum menempelkan bibirnya ke bibir gadis itu. “Boleh aku menciummu, Nina?” Mata Bryan terus tertuju pada bibir merah Nina, gadis itu menjawab pertanyaannya dengan sebuah gelengan kecil, namun Bryan tidak peduli dengan tolakan tersebut. Bryan langsung menempelkan bibirnya pada bibir Nina.
Nina tersentak kaget dan langsung menjauhkan bibirnya dari Bryan. “Tuan Muda, apa Tuan sedang mabuk?” tanyanya dengan napas yang tersengal saking gugupnya.
Bryan mengangguk. “Yes, baby. Aku mabuk karenamu.” Bryan langsung menempelkan kembali bibirnya dan melumat lembut milik Nina. Bryan menahan tengkuk Nina agar gadis itu tidak melepaskan ciuman mereka lagi.
Satu tangan Bryan mulai mengusap dan meraba punggung Nina. Bryan mulai nakal menyelinap masuk ke dalam baju Nina kemudian membuka pengait bra gadis itu. Bryan lalu menenggelamkan wajahnya, menghirup aroma wangi di leher mulus Nina.
“T-Tuan Bryan, jangan lakukan ini. Saya mohon… H-hentikan ini, Tuan. Lepaskan saya!!” teriak gadis itu. Ia terus melawan, namun percuma saja, tenaganya tidak sebanding dengan pria itu. Kini Bryan telah berhasil melucuti pakaian gadis itu.
Bryan mendekap mulut Nina agar gadis itu mau diam. “Ssstt. Jangan teriak Nina, nanti yang lain terbangun. Kalau kamu teriak sekali lagi, aku bakal suruh Papa untuk mecat kamu!”
Nina hanya mengangguk lemah setelah Bryan mengancamnya.
Bryan tersenyum penuh kemenangan. “Aku beruntung sekali, baru pulang tadi pagi langsung disambut dengan seorang ART baru seperti kamu. Cantik dan tentunya masih muda,” bisiknya. Pria itu kemudian membawa Nina dan melemparkan tubuh Nina ke atas ranjang. Dengan sigap, Bryan merangkak naik ke atas tubuh Nina, menguasai sepenuhnya tubuh indah sang asisten rumahnya.
“Ngghh… aahhh… Tu-Tuan Bryan… Hentikan ini, Tuan,” pinta Nina dengan wajah memelas. Sesekali ia mendesah. Entah apa yang dirasakannya saat ini.
“Why, Nina? Do you like it?” tanya pria itu dengan sikap genitnya. Gerakan tangan Bryan semakin liar. Tangan yang kokoh itu sedang sibuk meremas-remas kedua tumpukan daging kenyal yang menjadi aset sang gadis. Bibir Bryan tak kalah lincahnya kini menciumi leher Nina yang lembut.
“Hmmpss… ahh….” Nina tak lagi memberontak. Gadis itu terbuai dengan sentuhan-sentuhan yang diberikan oleh majikannya. Nina yang awalnya meronta meminta agar Bryan berhenti, kini ia pasrah dan justru tubuhnya merespon seolah-olah meminta lebih.
Tidak dapat menahan lebih lama, Bryan membuka celananya sendiri. Nina menggelengkan kepalanya kala melihat tuan mudanya kini mengeluarkan senjata yang berurat maksimal. Nina berniat merapatkan kedua kakinya, namun Bryan menahannya.
“Ja-jangan lakukan ini, Tuan. Saya tidak mau. Hentikan ini, Tuan,” pinta Nina ketakutan.
Bryan berpura-pura tidak mendengarnya. Pria bajingan itu justru memasukkan anaconda besarnya ke milik Nina.
“Mmmmpph… ahh… Tuan… sa… sakit… Tuan Bryan, tolong…” Nina meremas seprai kasur Bryan hingga berantakan. Nina terus-terusan menjerit kesakitan kala Bryan memompa kejantanannya hingga masuk ke tempat yang paling dalam milik Nina. Sakitnya sungguh berasa hingga tak sadar membuat Nina meneteskan air mata.
Bryan melihat tangis kesakitan di mata Nina. Pembantunya itu kemudian berhenti meremas seprai dan beralih mencakar punggungnya hingga berdarah.
Bryan mengecup ujung mata sang gadis dan berbisik, “Apa terlalu sakit, Nina? Bawa enjoy aja. Nanti lama-lama enak kok.”
“Ahh… ahh… h-hentikan….” Tubuh Nina mengejang karena kenikmatan yang baru pertama kali dia rasakan. “Hentikan, saya mo—”
Belum selesai sang asistennya berbicara, Bryan kembali melahap bibir Nina dengan brutal. Lidahnya menerobos masuk dengan ciuman yang berkembang semakin liar. Ciuman penuh gairah dan brutal diterima Nina, sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, gadis itu pun pasrah.
Nina tidak kuat lagi menerima rangsangan bertubi-tubi dari Bryan. Kemaluannya yang diserang dengan barang kokoh milik majikannya, ditambah lagi bibirnya yang tiada henti dicium oleh pria berusia 23 tahun itu.
Beberapa menit berlalu, permainan mereka hampir berada di ujung jalan. Nina tidak sanggup lagi menahan aliran deras hangat yang keluar dari miliknya. Sedangkan Bryan masih terus memompa batangnya hingga dirinya pun mengalami klimaks.
“Ohh, shit! Kamu sangat enak. Bikin nagih.” Begitulah perkataan pria bajingan yang selalu bermain wanita di luaran sana. Ini bukan pertama kalinya Bryan meniduri perempuan. Diberkahi wajah tampan dan harta berlimpah dari orangtuanya membuat siapa saja bertekuk lutut di hadapan Bryan. Gadis mana yang mampu menolak seorang Bryan? Bahkan tak jarang seorang gadis yang masih suci bersedia melepas mahkotanya kepada sosok bad guy itu.
Bryan pun mengerang kenikmatan saat dirinya menyembur cairan cinta ke rahim gadis malang itu. Seiring dengan datangnya rasa nikmat itu, pria berwajah tegas itu langsung lemas dan ambruk di atas tubuh Nina.
Nina kini menangis tanpa suara. Dari raut wajahnya saja bisa dinilai bahwa gadis itu sungguh syok berat atas kejadian ini. Nina menyingkirkan tuan mudanya yang kini terlelap di atas tubuhnya.
“Hiks. Hiks.” Nina menyeka air matanya. Ia melihat ke arah Bryan yang saat ini sudah tertidur pulas di sampingnya. ‘Apa yang harus aku lakukan sekarang?’ lirihnya dalam hati.
Dengan sisa tenaga yang masih ada, Nina beranjak pergi dari ranjang itu. Tempat di mana ia melepaskan kehormatannya secara paksa dengan dibanjiri air mata. Nina mengambil pakaian miliknya yang tergeletak di atas lantai lalu memakainya kembali. Ia menghela napas panjang diiringi deraian air mata yang tak kunjung reda, gadis itu pun keluar dari kamar dan meninggalkan sang majikan seorang diri.
Nina Anatasya yang masih berusia 18 tahun dan baru lulus dari sekolah menengah atas, memilih untuk bekerja sebagai seorang asisten rumah tangga di sebuah rumah mewah milik pengusaha terkenal demi mengumpulkan biaya kuliah. Semua baik-baik saja hingga seminggu kemudian ia mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan di tempatnya bekerja. Semua berubah saat anak majikannya alias tuan muda bernama Bryan baru saja datang ke rumah dan memperkosanya di saat semua orang di rumah sudah terlelap.*Sebelum kejadian…Pagi hari, pukul 10.00, Bryan akhirnya tiba di Jakarta setelah penerbangannya selama dua jam dari Singapura. Hanya tiga puluh menit dari Bandara Soetta, Bryan pun sampai di rumahnya yang berada di kawasan perumahan elit.“Thank you, Pak,” ucap Bryan kepada sopir yang membukakan pintu untuknya.“Sama-sama, Tuan Muda.”Baru saja turun dari mobil, Bryan melihat papanya sedang terburu-buru menuju mobil pribadinya.“Papa mau ke mana?” tanya Bryan, namun pertanyaannya itu tidak digubris sama
“Aku dengar-dengar kalau kau butuh uang buat kuliah. Bagaimana jika kau menjadi pemuasku selama tiga bulan ke depan? Aku akan membayarmu dengan mahal. Sangat mahal. Dengan uang itu kau bisa menggunakannya untuk berkuliah bahkan masuk ke kampus termahal pun pasti cukup. Bagaimana? Apa kau mau?” sambung Bryan, tersenyum licik.Melihat Nina hanya diam, Bryan kembali bersuara.“Oh come on! Pasti kau mau! Bukankah kau bekerja di sini untuk mengumpulkan uang kuliah? Ini akan menjadi tawaran yang menguntungkan untukmu dan juga untukku. Kau akan mendapatkan uang yang banyak dan aku akan mendapatkan kenikmatan.”“Dengar ya, Tuan! Aku bukan gadis murahan seperti yang kau kira! Aku tidak sudi menerima penawaran hinamu itu! Aku akan tetap melaporkan ini ke Tuan Fredrinn!” balas Nina ketus.Setelah berkata, Nina mendorong tubuh Bryan menjauh darinya. Segera ia pergi menuju pintu kamar dan membuka kunci pintu tersebut. Bryan ingin mencegah, namun Nina melakukan serangan mendadak.PLAK!!Sebuah tampa
Bryan akhirnya kembali ke rumah dalam keadaan tak karuan setelah satu jam berkeliling kota, namun tetap saja ia tidak menemukan jejak pembantu barunya itu.‘Aduh, mampus aku kalau dia beneran ngelapor,’ batin Bryan. Ia berjalan menuju sofa dan merebahkan badannya di sana sembari memijit kepala yang terasa pusing. Ia kemudian memejam mata, berharap untuk tertidur dan melupakan masalah ini sementara.Nina yang menyadari kedatangan Bryan pun bergegas menghampirinya. “Tuan Bryan…”Mendengar suara yang familiar di telinganya membuat Bryan kembali membuka mata dan menengok ke sumber suara.“Nina?”Sebenarnya Nina sangat malu karena harus bertemu lagi dengan Bryan. Pria yang sudah menodainya semalam. Namun kali ini, gadis malang itu harus kembali merendahkan harga dirinya di depan pria bangsat ini, semua demi kesembuhan sang ayah. Nina meyakinkan diri untuk menyampaikan tujuan utamanya terhadap Bryan.“Tuan… soal tawaranmu yang semalam, apa… apa itu masih berlaku?” tanya Nina dengan suara yan
Bryan tak merespon perkataan Nina. Lelaki itu tetap melanjutkan aktivitas panasnya sembari mencumbu leher pembantunya dengan agresif. Sesekali tangan Bryan bergerak nakal menyelip ke dalam rok pendek yang Nina kenakan.“Tu-Tuan, tolong tutup pintunya. Nanti ada yang melihat,” sambung Nina ketakutan.Bryan tersenyum tipis kemudian tertawa kecil. “Tenang saja, Nina Sayang. Ini sudah larut malam. Jam segini mereka sudah pada tidur. Jadi gak mungkin ada yang melihat kita. Lagian siapa yang mau ke lantai dua malam-malam gini?”Nina mengangguk pelan. “Baiklah, Tuan.”Bryan kembali menerkam Nina dengan ciuman brutalnya. Ia membawa tubuh Nina untuk duduk di pinggir ranjang tanpa melepas cumbuannya itu. Perlahan ciuman tadi berubah menjadi lumatan penuh birahi. Nina melepaskan pagutannya dan menjauhi bibirnya dari bibir Bryan ketika lidah mereka saling bersentuhan. Rasanya ada yang aneh. Nina sangat canggung untuk melakukannya.“Kenapa, Honey? Apa ini pertama kali bagimu?”Nina menggeleng denga
Pandangan Nina langsung tertuju pada benda di balik celana tuan muda. Sesuatu di dalam sana agaknya sudah meronta-ronta meminta makan. Terlihat sudah menegang dan ingin dibebaskan.“Bagaimana, Nina? Kita harus lanjutkan kegiatan yang semalam tertunda. Ingat aku sudah memberimu DP semalam. Dan kamu harus memuaskanku pagi ini!” tegas Bryan. Langsung saja pria itu melumat brutal bibir Nina tanpa ampun. Nina hampir kehabisan napas dibuatnya.Bryan membawa tubuh Nina mendekat tanpa melepas cumbuannya dan memeluknya sejenak. Lalu kedua tangan kekar itu turun ke area bokong sang gadis dan meremasnya dengan kuat. Sesekali Bryan memukul bokong padat itu.“Tuan Bryan?” lirih Nina ketika Bryan melepaskan pagutannya demi mengambil beberapa oksigen. Keduanya saling bertatapan satu sama lain. Wajah mereka begitu dekat membuat Nina sampai tak berkedip menatap kagum tuan mudanya.“Yes, Baby?” jawab Bryan dengan nada menggoda. Bryan menampakkan senyum tipis karena melihat Nina menatapnya tanpa berkedip
“Tuan, saya mau bebersih rumah dulu, Tuan.”“Ini masih terlalu pagi, Nina.”“Saya takut dimarah sama Mbak Laras, Tuan. Saya harus kelarin kerjaan rumah dulu. Izinkan saya bekerja dulu ya, Tuan? Boleh ya, Tuan?” pinta Nina memelas. Tubuh Nina masih ditahan oleh Bryan.“Aku tidak bisa menunggu lagi. Jangan memancing emosiku, Nina!”Bryan segera menutup pintu kamarnya kembali tanpa menguncinya. Tanpa panjang lebar, ia membuka paksa celana Nina beserta dalamannya. Bryan menyandarkan tubuh Nina ke dinding dekat pintu dan membuka selangkangan gadis itu. Bryan melihat liang Nina juga sudah basah.“Lihat? Kamu bahkan sudah basah. Lantas kenapa kamu menolak untuk melakukannya sekarang? Kita sama-sama menginginkannya sekarang, Baby. Jadi ayo kita saling memuaskan satu sama lain,” bisiknya parau.Bryan mengarahkan miliknya yang sudah semakin menegang itu ke dalam liang surgawi milik Nina.“Tuan, ja-jangan dulu…. akkhhh…”Bryan tidak mau menunda lagi. Ia langsung mendorong masuk adik kecilnya seca
“Tidak, aku jamin semuanya bakalan aman. Kamu santai saja,” balas Bryan berusaha menenangkan Nina.Setelah mereka berpakaian lengkap, Bryan mengintip lebih dulu sebelum menyuruh Nina keluar.“Nina, ayo keluar. Gak ada siapa-siapa di sini. Semuanya pada di lantai bawah.”Nina mengangguk pelan kemudian melangkah keluar dari kamar Bryan. Dirinya kembali melanjutkan pekerjaan rumah. Sedangkan Bryan turun ke bawah untuk sarapan bersama sang ayah.*“Ehhem.” Bryan sengaja berdeham saat tiba di meja makan. Dirinya memperhatikan Fredrinn yang sangat sibuk memperhatikan layar ponsel.Fredrinn yang menyadari kedatangan putranya pun segera meletakkan ponsel miliknya ke atas meja dan fokus kepada Bryan.“Papa memanggilku?” tanya Bryan singkat dengan nada yang datar. Ia pun langsung melahap hidangan yang telah tersaji di depan mata tanpa memedulikan perkataan Fredrinn selanjutnya.“Besok
Nina bisa mendengar jelas bahwa ibunya sedang cemas padanya. Nina terpaksa berbohong. “Duit ini dari majikan Nina, Bu. Nina juga meminjamnya. Majikan Nina kasian mendengar berita bahwa Bapak harus dioperasi secepatnya tapi terkendala biaya. Makanya Nina dipinjemin duit sebanyak ini. Dan bisa dikembalikan kapan saja katanya.”Di seberang telepon terdengar helaan napas lega dari Aliyah. “Syukurlah, Nak, kamu dapat majikan yang baik hati. Ibu sempat khawatir mengenai asal uang itu. Ingat selalu pesan Ibu, jaga diri kamu baik-baik di sana, ya! Jangan terpengaruh hal-hal buruk di sana. Kalau soal biaya rumah sakit Bapak, kamu jangan khawatir, Nak. Ibu sudah mendapatkan pinjaman dari juragan beras di kampung kita dan juga sumbangan dari para tetangga. Kamu kembalikan saja uang itu ke majikanmu, Nak. Dan katakan terima kasih karena sudi membantu kita, meskipun uang itu tidak jadi dipakai.”“Ba-baiklah, Bu. Nina tutup teleponnya ya, Bu. Nina mau n
Bryan terkekeh mendengarnya. “Bahaya kamu, Nin. Sudah mulai nakal ya.”Bryan pun mengarahkan tongkat pusakanya ke mulut Nina. Sementara Nina mendadak panik saat Bryan bersungguh-sungguh melakukan itu. “S-saya tadi cuman bercanda, Tuan,” katanya. Tetapi Bryan tidak berhenti. Sontak Nina langsung menutup mulutnya dengan cepat.“Ayo dong, sayang. Buka mulutnya. Katanya tadi kepengen ngemut permen lolipop.”Nina menggeleng-geleng. Ia masih menutup mulutnya dengan rapat.Bryan tidak tinggal diam. Lelaki itu menggesek-gesek bibir Nina dengan alat tempurnya. “Come on, Baby. Buka pintunya. Adik aku mau masuk nih. Apa kamu gak kasihan lihat dia kedinginan di luar, hm?”Nina terus menggeleng. Gadis itu lalu memalingkan wajahnya, menjauhi adik kecil Bryan.Bryan akhirnya pasrah. Ia kini memakai kembali boxernya itu, menutupi sang junior yang sudah sangat kedinginan terkena hawa dari AC di kamarny
"Sengaja. Biar pijatanmu langsung terasa di badanku. Kalau pake baju kurang terasa, soalnya kehalang sama kain,” jawab Bryan dengan wajah datarnya.Nina mengangguk paham. Rasa waspadanya pun hilang saat mendengar jawaban itu. Terlebih lagi, ekspresi wajah Bryan tampak datar, tidak mencurigakan.“Oh iya, Tuan. Benar juga.”Nina pun mulai mengerjakan tugasnya. Gadis itu duduk di tepi ranjang sambil memijati Bryan yang sedang berbaring santai di sana. Nina dengan telatennya memijat lengan kiri Bryan lalu berpindah ke lengan kanan.“Coba pijat di bagian dadaku, Nin. Soalnya yang pegal di bagian itu,” imbuh Bryan modus.“Di sini ya, Tuan?” tanya Nina sembari meletakkan kedua tangannya pada dada atletis majikannya.“Iya, di situ. Pijat yang lembut ya. Jangan kuat-kuat, ntar malah tambah nyeri.”Nina hanya mengangguk kecil dan mulai memijat pada area dada Bryan. Diurutnya area itu, diteka
Bryan memicingkan mata. Seolah tak percaya dengan omongan Nina. “Masa sih? Kok bisa bibirku berdarah? Kok kayak gak ada apa-apa,” ucapnya sambil mengusap-usap bibirnya sendiri.Melihat wajah Nina yang sudah memerah karena malu, membuat Bryan tertawa kecil.Nina lalu mengangkat wajahnya, menatap Bryan yang kini sudah bisa bersuara bahkan tertawa bahagia. “Ih, kok Tuan Bryan malah ketawa sih?”“Soalnya kamu lucu.”“Lucu? Tapi saya gak lagi ngelawak, Tuan.”Tiba-tiba Bryan hendak bangkit dari posisi tidurnya. Ia berusaha untuk duduk, meskipun kepalanya masih terasa berat.“Tuan Bryan jangan banyak gerak dulu,” tegur Nina panik.Nina pun berinisiatif membantu Bryan dengan memegangi kedua lengannya. “Hati-hati, Tuan.”Bryan menghela napas panjang kemudian menyandarkan punggungnya pada dinding di belakangnya. Ia lalu memijat keningnya yang terasa pusing, seakan a
Bryan segera memejamkan matanya kembali saat Nina sudah semakin dekat dengannya. Bryan berpura-pura, seolah dirinya masih belum sadar. Ia ingin mendengar kalimat-kalimat yang akan Nina katakan selanjutnya.Nina pun kembali duduk di samping ranjang Bryan. Kini Nina sudah tidak menangis lagi. Dirinya telah pasrah dengan keadaan. Ia hanya berharap agar Bryan segera sadarkan diri.‘Ayo dong, Nina. Bicara lagi. Aku mau mendengar suaramu,’ batin Bryan.‘Aku harus ngapain ya, biar Tuan Bryan cepat sadar. Apa aku nyanyi saja? Siapa tau dengan begitu dia segera terbangun,’ pikir Nina dalam hati.Sejenak Nina mengambil napas. Dan ia pun kembali berbicara.Tiba-tiba saja, Bryan mendengar Nina sedang menyanyikan lagu untuknya.Ada berondong muda~Tebar-tebar pesona~Sukanya daun muda~Dia lupa dosanya~Berondong-berondong muda~Jelalatan cari mang
“Hush. Jangan berpikiran yang aneh-aneh, Nduk! Lagian suster tadi kan sudah mengatakan kondisi Tuan Muda sudah stabil. Mungkin sepuluh menit lagi sudah sadar. Kita berpikir positif saja ya, Nduk.”Nina mengangguk kecil.Tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh dari perut Bi Lastri. Wanita tua itu pun bangkit dari sofanya. “Nina, Bibi keluar dulu ya.”“Bibi mau ke mana?”“Bibi mau cari makan dulu buat kita, Nduk. Kita belum makan siang loh dari tadi. Bibi sudah lapar banget. Kamu mau dibelikan makanan apa, Nduk?”“Terserah saja, Bi.”“Ya sudah kalau gitu. Bibi tinggal sebentar ya. Kamu jangan ke mana-mana. Tunggu Bibi sampai kembali. Ok?”“Oke, Bi,” jawab Nina disertai sebuah anggukan kecil.Sekarang tinggal Nina dan Bryan berdua di dalam ruang rawat VVIP yang lumayan besar itu. Fasilitas di ruangan itu pun terbilang lengkap. Desain dan tata ruangn
“A-apa? Serius kamu, Sarah? Kamu gak lagi ngeprank Bibi, kan?”“Ya serius dong, Bi!”Bi Lastri kalang kabut, membereskan semuanya lalu mencuci tangan. Begitu pun dengan Nina.“Ayo kita ke rumah sakit sekarang!” kata Bi Lastri.“Terus siapa yang jaga rumah, Bi?” tanya Sarah. Ia lalu melirik ke Nina. “Kamu aja ya, yang jaga rumah.”Nina menggeleng dengan cepat. “Saya juga mau ikut ke rumah sakit, Mbak. Saya gak mau jaga rumah.”“Kamu saja yang jaga rumah, Sarah!” suruh Bi Lastri. Tidak memberi celah kepada Sarah untuk menolak.Sarah pun mengangguk pelan. Kemudian Bi Lastri dan Nina bergegas bersiap-siap, berganti pakaian lalu berangkat ke rumah sakit tujuan menggunakan taksi.Sepanjang perjalanan, tubuh Nina terasa lemas tak bertenaga ketika mendengar kabar bahwa Bryan jatuh pingsan dan kini dilarikan ke rumah sakit. Perasaan bersalah menyelimuti
“Iya, Pa. Maaf,” sahut lirih Bryan dengan lemas.“Buat apa kamu lemesin suara, hah? Sengaja? Mau berpura-pura sakit di depan Papa?” Tuduhan yang dilontarkan oleh Fredrinn berhasil menorehkan rasa perih di hati Bryan.“Aku beneran lagi gak enak badan, Pa,” jawabnya memelas.“Jadi anak laki-laki itu jangan lemah, Bryan! Kamu cuman sakit sedikit saja sikapnya sudah kayak sakaratul maut saja! Cepat ke kantor! Jangan sampai investor kita tidak sudi menjalin kerja sama lagi dengan perusahaan. Kamu mau lihat perusahaan Papa bangkrut? Kalau nanti Papa bangkrut, dari mana uang buat membayar pengobatan Mama?!”Bryan menarik napas panjang kemudian berkata pasrah. “Baiklah, Pa. Aku akan ke kantor sekarang juga.”Sebenarnya Bryan merasa tidak sanggup, bahkan untuk bergerak sedikit saja kepalanya sudah terasa pusing. Tetapi jika semua ini berkaitan dengan sang ibunda, Bryan pun memilih untuk menuruti ke
Keesokan harinya…Jam dinding telah menunjukkan pukul sepuluh pagi, namun belum ada tanda-tanda Bryan sudah terbangun atau belum. Sedari pulang kantor kemarin, Bryan langsung masuk ke dalam kamarnya dan melewatkan makan malamnya.Bi Lastri yang biasanya selalu memberikan sarapan kepada majikannya itu seketika cemas, karena sudah pukul segini Bryan belum juga turun ke bawah untuk sarapan.Tringg…. Tring… Tringg…Telepon rumah berbunyi. Bi Lastri sigap menjawab panggilan suara tersebut.“Halo. Dengan kediaman keluarga Lawrence. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Bi Lastri ramah.“Ini saya, Bi,” sahut si penelpon. Suaranya terdengar familiar.“Oh, Tuan Besar. Ada apa, Tuan?” tanya Bi Lastri.“Apa Bryan ada di rumah, Bi? Kenapa jam segini dia belum berangkat ke kantor? Saya sudah telepon nomernya berkali-kali, tapi gak diangkat. Apa dia masih tidur, Bi?”“I-iya, Tuan Besar. Sepertinya Tuan Muda masih tidur. Soalnya pintu kamarn
Bryan mencari Bi Lastri dengan membawa boneka jumbo itu dalam dekapannya.“Bi Lastri, seperti biasa ya,” ucapnya kala bertemu dengan wanita tua itu.Bi Lastri yang sudah paham pun langsung menganggukkan kepalanya pelan dan mengambil boneka itu dari Bryan.Setelahnya, Bryan memutuskan untuk beristirahat lebih awal di kamarnya.*Di sisi lain, Nina saat ini sedang asik membaca buku di dalam kamarnya. Sejenak ia lirikkan matanya ke arah kalender yang tertempel di dinding kamarnya itu. Empat hari lagi genap sebulan dirinya bekerja di rumah mewah ini.‘Tidak terasa, empat lagi aku akan resign dari kerjaan ini,’ batin Nina.Dari awal, setelah mendapati Bryan bermain dengan seorang gadis di kantor waktu itu, membuat Nina berpikir untuk berhenti bekerja. Apalagi setelah kejadian dirinya yang ditampar oleh Bryan, membuat Nina semakin yakin dengan keputusannya untuk resign.Nina tidak bisa berlam