Bryan akhirnya kembali ke rumah dalam keadaan tak karuan setelah satu jam berkeliling kota, namun tetap saja ia tidak menemukan jejak pembantu barunya itu.
‘Aduh, mampus aku kalau dia beneran ngelapor,’ batin Bryan. Ia berjalan menuju sofa dan merebahkan badannya di sana sembari memijit kepala yang terasa pusing. Ia kemudian memejam mata, berharap untuk tertidur dan melupakan masalah ini sementara.
Nina yang menyadari kedatangan Bryan pun bergegas menghampirinya. “Tuan Bryan…”
Mendengar suara yang familiar di telinganya membuat Bryan kembali membuka mata dan menengok ke sumber suara.
“Nina?”
Sebenarnya Nina sangat malu karena harus bertemu lagi dengan Bryan. Pria yang sudah menodainya semalam. Namun kali ini, gadis malang itu harus kembali merendahkan harga dirinya di depan pria bangsat ini, semua demi kesembuhan sang ayah. Nina meyakinkan diri untuk menyampaikan tujuan utamanya terhadap Bryan.
“Tuan… soal tawaranmu yang semalam, apa… apa itu masih berlaku?” tanya Nina dengan suara yang kecil. Sesekali matanya melirik ke arah yang lain, berjaga-jaga apabila ada pelayan yang lain lewat.
Bagaikan melihat hantu, Bryan menatap Nina seakan-akan tak percaya dengan gadis yang ada di depannya ini. Mungkinkah ini adalah alam bawah sadarnya?
“Tuan Bryan, tolong jawablah. Apakah tawaran semalam masih ada? Jika masih, saya berminat, Tuan,” sambung Nina.
Bryan bangkit dari tidurnya dan memperbaiki posisi. Ia kemudian duduk tegap di depan sofa empuk itu sembari memandang Nina lekat-lekat. Sementara Nina tetap berdiri menundukkan kepala di hadapan Bryan dengan degup jantung yang berdebar kencang.
“Apa aku tidak salah dengar?” tanya Bryan memastikan.
“Tuan tidak salah dengar. Saya memang berminat dengan tawaran itu.” Nina menjawab tanpa melihat wajah Bryan. Sangat takut sekali untuk membalas tatapan dari tuan mudanya itu.
“Aku kira kau akan melaporkanku ke Papa. Apa yang telah terjadi? Apa kau takut?”
Nina menggeleng pelan. “Saya belum melaporkan ke siapa-siapa, Tuan.”
Bryan yang awalnya panik akhirnya lega setelah mengetahui bahwa Nina belum berbicara ke siapa pun terkait peristiwa semalam. ‘Huft, untung saja!’
“Jadi bagaimana, Tuan?” desak Nina ingin segera mendapat jawaban. Nina sudah tidak sabar untuk menerima uang yang diiming-imingi oleh Bryan.
Kali ini Bryan menjadi pihak yang menang. Ia memandang remeh pembantu di depannya itu seraya melipat tangan di dada. “Semalam kau mengataiku dan menamparku bahkan mengancam, tapi lihatlah sekarang? Justru kau yang mengemis-ngemis kepadaku. Apa jangan-jangan kau sudah candu berhubungan badan denganku?” ucapnya sambil tersenyum miring.
Nina terdiam, gadis itu tidak tau harus menjawab apa pada pria yang satu ini.
Karena Nina tidak berani bersuara, Bryan pun mengambil kesimpulan seenak jidat.
“Sudah aku duga, semua perempuan sama saja. Bisa dibeli dengan uang,” celetuk Bryan yang sukses membuat Nina sakit hati.
‘Kalau bukan karena Bapak, aku tidak sudi menjual tubuhku. Apalagi ke pria bangsat ini. Seharusnya dia mendekam di penjara atau minimal kena hukuman dari ayahnya, bukannya malah semakin semena-mena,’ cerocos Nina dalam hati.
“Apa aku bisa mendapatkan uangnya sekarang?” kata Nina.
Bryan membalas dengan suara lumayan tinggi. “Tidak!! Nanti kau kabur.”
“Nanti malam kita bicarakan lagi,” sambung Bryan. Nina akhirnya balik ke dapur dan bekerja.
*
“Eh, Nina! Kamu tadi bahas apa sama Tuan Muda? Kok serius banget sih??” tanya Laras yang kepo. Ternyata wanita itu sempat melihat sekilas Nina yang sedang mengobrol dengan Bryan di ruang tengah.
Nina hanya diam. Baginya pertanyaan itu tidak penting untuk dijawab. Nina fokus dengan pekerjaannya. Mengiris-iris daging dan memotong sayur, persiapan makan siang.
Saat ini, Nina dan Laras ditugaskan untuk membuat makan siang. Sementara Bi Lastri dan Sarah melakukan pekerjaan lain pada lantai dua rumah mewah ini.
“Eh bocah! Kalau ditanya itu jawab dong! Bukannya malah diam kek dinding!” dengkus Laras. “Heran ama anak zaman sekarang, gak ada hormat-hormatnya ama yang tua.”
Nina sudah terbiasa dengan sikap rekan kerjanya yang menjengkelkan itu. Gadis malang itu menarik napas, ia hanya bisa bersabar dengan apa yang terjadi padanya.
Laras semakin kesal melihat kelakuan Nina yang menurutnya kelewatan batas. “Keterlaluan nih anak lama-lama ye!” Laras memukul kuat talenan menggunakan pisau dapur yang ia pegang, membuat Nina sedikit kaget. “Lama-lama males kerja bareng anak tengil dan belagu kek kamu!” gerutu Laras. Setelah menyalurkan emosinya, Laras justru meninggalkan pekerjaannya itu dan pergi dari dapur.
Lagi dan lagi, Nina harus menanggung beban pekerjaan Laras yang tidak terselesaikan itu. Ini bukan pertama kalinya Laras melakukan hal seperti tadi.
*
Malam hari, pukul 23.00
Bryan menghabiskan waktunya setiap malam di klub untuk mencari kedamaian, namun hari ini ia sengaja pulang lebih awal demi bertemu pembantu barunya itu. Membahas tawaran tersebut.
Pada jam sembilan malam para pembantu sudah boleh beristirahat dan biasanya mereka sudah berada di dalam kamar masing-masing. Tadi siang, Bryan sudah berpesan kepada Nina untuk menunggunya pulang alias jangan tidur dulu.
Bryan langsung menuju kamar pribadinya yang berada di lantai dua. Di sana, ia mengirim pesan teks kepada gadis itu agar segera menemuinya di kamar.
[Datang ke kamarku sekarang!]
Tidak menunggu lama, Bryan langsung menerima balasan dari Nina.
[Baik, Tuan]
Nina yang sedari tadi bergerak gelisah di kamarnya itu pun akhirnya bersiap-siap menemui tuannya. Malam ini, Nina mengenakan rok pendek di atas lutut yang memperlihatkan kaki jenjangnya serta baju kaos ketat membuat buah dada berisi milik Nina semakin tergambar jelas. Tak lupa juga ia memakai parfum beraroma musk yang memabukkan, pemberian dari Bryan. Semua ini atas perintah pria bajingan itu.
Nina menghela napas sebelum keluar dari kamarnya sendiri dan berjalan mengendap-endap seperti seorang maling saja. Ia melihat ke sana kemari, takut ada pembantu lain yang melihatnya. Untung saja, beberapa lampu di ruangan rumah itu telah dimatikan sehingga dirinya bisa lebih bebas bergerak naik ke lantai dua, di mana kamar Bryan berada.
TOK TOK TOK
Nina akhirnya tiba di depan kamar tuan muda. Ia mengetuk pintu kamar tersebut dengan pelan.
Bryan membuka pintu dan menyuruh Nina masuk ke dalam. Kedua kalinya, Nina masuk ke ruangan ini. Padahal waktu itu, Nina sudah berjanji untuk tidak lagi menginjakkan kakinya di ruangan kotor ini. Namun apa daya, semua demi keselamatan ayahnya di kampung.
Tanpa menutup pintu kamar dengan rapat, Bryan membawa tubuh Nina dan merapatkannya ke dinding kamar. Begitu dekat wajah serta tubuh mereka saat ini, deru napas bisa dirasakan satu sama lain. Bryan tak berkedip melihat Nina yang sangat seksi malam ini. Sangat menggodanya.
Bryan mengunci tubuh Nina agar tak bergerak, tangan gadis itu di arahkan ke atas. Tanpa basa basi, Bryan lansung melumat brutal bibir seksi milik pembantunya. Melumat seganas mungkin yang ia bisa. Tak hanya itu saja, alat tempur yang sudah menegang di bawah, digesekkannya ke bagian sensitif milik Nina. Walaupun masih sama-sama tertutup kain, namun keduanya bisa merasakan kenikmatan di balik gesekan itu.
Mendapat perlakukan yang seperti itu, Nina terkejut dan mendesah kecil. Wajahnya sepersekian detik menjadi merah padam karena malu.
“Do you like it, honey?” bisik Bryan kemudian melayangkan bibir ke leher jenjang gadis itu.
“Tu-tup pin-tunya du-lu, Tu-an, ahh…hmmp,” balas Nina sambil mengerang keenakan.
Bryan tak merespon perkataan Nina. Lelaki itu tetap melanjutkan aktivitas panasnya sembari mencumbu leher pembantunya dengan agresif. Sesekali tangan Bryan bergerak nakal menyelip ke dalam rok pendek yang Nina kenakan.“Tu-Tuan, tolong tutup pintunya. Nanti ada yang melihat,” sambung Nina ketakutan.Bryan tersenyum tipis kemudian tertawa kecil. “Tenang saja, Nina Sayang. Ini sudah larut malam. Jam segini mereka sudah pada tidur. Jadi gak mungkin ada yang melihat kita. Lagian siapa yang mau ke lantai dua malam-malam gini?”Nina mengangguk pelan. “Baiklah, Tuan.”Bryan kembali menerkam Nina dengan ciuman brutalnya. Ia membawa tubuh Nina untuk duduk di pinggir ranjang tanpa melepas cumbuannya itu. Perlahan ciuman tadi berubah menjadi lumatan penuh birahi. Nina melepaskan pagutannya dan menjauhi bibirnya dari bibir Bryan ketika lidah mereka saling bersentuhan. Rasanya ada yang aneh. Nina sangat canggung untuk melakukannya.“Kenapa, Honey? Apa ini pertama kali bagimu?”Nina menggeleng denga
Pandangan Nina langsung tertuju pada benda di balik celana tuan muda. Sesuatu di dalam sana agaknya sudah meronta-ronta meminta makan. Terlihat sudah menegang dan ingin dibebaskan.“Bagaimana, Nina? Kita harus lanjutkan kegiatan yang semalam tertunda. Ingat aku sudah memberimu DP semalam. Dan kamu harus memuaskanku pagi ini!” tegas Bryan. Langsung saja pria itu melumat brutal bibir Nina tanpa ampun. Nina hampir kehabisan napas dibuatnya.Bryan membawa tubuh Nina mendekat tanpa melepas cumbuannya dan memeluknya sejenak. Lalu kedua tangan kekar itu turun ke area bokong sang gadis dan meremasnya dengan kuat. Sesekali Bryan memukul bokong padat itu.“Tuan Bryan?” lirih Nina ketika Bryan melepaskan pagutannya demi mengambil beberapa oksigen. Keduanya saling bertatapan satu sama lain. Wajah mereka begitu dekat membuat Nina sampai tak berkedip menatap kagum tuan mudanya.“Yes, Baby?” jawab Bryan dengan nada menggoda. Bryan menampakkan senyum tipis karena melihat Nina menatapnya tanpa berkedip
“Tuan, saya mau bebersih rumah dulu, Tuan.”“Ini masih terlalu pagi, Nina.”“Saya takut dimarah sama Mbak Laras, Tuan. Saya harus kelarin kerjaan rumah dulu. Izinkan saya bekerja dulu ya, Tuan? Boleh ya, Tuan?” pinta Nina memelas. Tubuh Nina masih ditahan oleh Bryan.“Aku tidak bisa menunggu lagi. Jangan memancing emosiku, Nina!”Bryan segera menutup pintu kamarnya kembali tanpa menguncinya. Tanpa panjang lebar, ia membuka paksa celana Nina beserta dalamannya. Bryan menyandarkan tubuh Nina ke dinding dekat pintu dan membuka selangkangan gadis itu. Bryan melihat liang Nina juga sudah basah.“Lihat? Kamu bahkan sudah basah. Lantas kenapa kamu menolak untuk melakukannya sekarang? Kita sama-sama menginginkannya sekarang, Baby. Jadi ayo kita saling memuaskan satu sama lain,” bisiknya parau.Bryan mengarahkan miliknya yang sudah semakin menegang itu ke dalam liang surgawi milik Nina.“Tuan, ja-jangan dulu…. akkhhh…”Bryan tidak mau menunda lagi. Ia langsung mendorong masuk adik kecilnya seca
“Tidak, aku jamin semuanya bakalan aman. Kamu santai saja,” balas Bryan berusaha menenangkan Nina.Setelah mereka berpakaian lengkap, Bryan mengintip lebih dulu sebelum menyuruh Nina keluar.“Nina, ayo keluar. Gak ada siapa-siapa di sini. Semuanya pada di lantai bawah.”Nina mengangguk pelan kemudian melangkah keluar dari kamar Bryan. Dirinya kembali melanjutkan pekerjaan rumah. Sedangkan Bryan turun ke bawah untuk sarapan bersama sang ayah.*“Ehhem.” Bryan sengaja berdeham saat tiba di meja makan. Dirinya memperhatikan Fredrinn yang sangat sibuk memperhatikan layar ponsel.Fredrinn yang menyadari kedatangan putranya pun segera meletakkan ponsel miliknya ke atas meja dan fokus kepada Bryan.“Papa memanggilku?” tanya Bryan singkat dengan nada yang datar. Ia pun langsung melahap hidangan yang telah tersaji di depan mata tanpa memedulikan perkataan Fredrinn selanjutnya.“Besok
Nina bisa mendengar jelas bahwa ibunya sedang cemas padanya. Nina terpaksa berbohong. “Duit ini dari majikan Nina, Bu. Nina juga meminjamnya. Majikan Nina kasian mendengar berita bahwa Bapak harus dioperasi secepatnya tapi terkendala biaya. Makanya Nina dipinjemin duit sebanyak ini. Dan bisa dikembalikan kapan saja katanya.”Di seberang telepon terdengar helaan napas lega dari Aliyah. “Syukurlah, Nak, kamu dapat majikan yang baik hati. Ibu sempat khawatir mengenai asal uang itu. Ingat selalu pesan Ibu, jaga diri kamu baik-baik di sana, ya! Jangan terpengaruh hal-hal buruk di sana. Kalau soal biaya rumah sakit Bapak, kamu jangan khawatir, Nak. Ibu sudah mendapatkan pinjaman dari juragan beras di kampung kita dan juga sumbangan dari para tetangga. Kamu kembalikan saja uang itu ke majikanmu, Nak. Dan katakan terima kasih karena sudi membantu kita, meskipun uang itu tidak jadi dipakai.”“Ba-baiklah, Bu. Nina tutup teleponnya ya, Bu. Nina mau n
“Mau melakukan apa?” tanya Bryan dingin.“Mencicipi punya, Tuan. Jangan marah-marah lagi ya, Tuan. Nanti gantengnya hilang,” goda Nina dengan terpaksa. Ia melakukannya agar Bryan tidak murka padanya. Nina takut jika dirinya dipecat dari kerjaan.Nina merasa lega saat Bryan menampakkan senyum tipis.“Anak pinter. Lain kali jangan berani menolak permintaanku lagi, ya.”“I-iya, Tuan. Saya janji.”“Sekarang kamu jongkok dan buka celanaku.”Tanpa melawan lagi, Nina menuruti semua permintaan Bryan. Ia perlahan membuka celana milik Bryan. Pipi Nina seketika merah merona saat berhadapan dengan alat tempur Bryan. Meskipun masih menciut, barang itu masih menunjukkan keperkasaannya.“Bangunkan dia, sayang. Perlakukan dia dengan lembut. Berikan sentuhan terbaikmu.”Nina meneguk ludah susah payah. Ia sangat malu dan tidak mau melakukan hal ini. Nina mendongakkan kepala
Bukannya menjawab, Bryan tidak ambil pusing. Lelaki itu melanjutkan kembali memompa batangnya ke milik Nina.“Tuan Bryan, berhenti, Tuan. Saya takut.”“Dia cuman pembantu, Sayang. Kenapa harus takut?”“Saya takut keciduk, Tuan.”“Ah, jangan gugup, Nina. Dia bisa apa di hadapanku? Kalau ketahuan, aku pecat saja dia dari sini. Gampang, kan?”Rasa panik, gugup, takut, dan nikmat bercampur menyatu dalam diri Nina. Ingin rasanya mendesah, namun ia menahan diri. Samar-samar Nina masih mendengar suara Laras yang masih mencari dirinya.“Aaahhh.. hngg.. mmpss.. pe-pelan-pelan, Tuan… ouhh…” Nina tak kuasa menahan desahannya lagi karena Bryan semakin menusuknya lebih dalam dan bergoyang lebih cepat.Sementara Laras sadar, ia seperti mendengar suara percikan air dari dalam toilet di ujung dapur. Tidak hanya itu, Laras pun samar-samar mendengar suara wanita dan hantaman enta
“Hmm… sebenarnya belum. Tapi aku gak mau mempersulit keadaan kamu. Kita berhenti dulu. Kamu lanjut pekerjaanmu, sebelum Laras kembali ke sini,” ucap Bryan menyuruh Nina keluar dari toilet.Nina pun mengangguk pelan dan bergegas memasang kembali pakaiannya dengan lengkap. Sementara Bryan masih berada dalam toilet sekaligus mandi sembari menunggu Laras datang membawakan handuk untuknya.Tidak lama kemudian Laras kembali dengan sebuah handuk di tangan, ia lalu melihat Nina yang sudah berada di dapur tengah sibuk memotong-motong sayuran.‘Sialan itu anak. Dari mana saja dia?’Tok Tok Tok“Permisi, Tuan Muda. Ini handuknya, Tuan.”Tanpa panjang lebar, Bryan membuka pintu dan hanya menampakkan tangannya. Ia pun langsung mengambil handuk itu dan melanjutkan membersihkan tubuhnya.‘Huftt.. cuek banget sih dia. Bilang terima kasih kek, apa kek. Ini main ambil-ambil aja tanpa ngomong! Susah ya pu
Karena rudal Bryan yang tidak bisa menegang untuk sesaat. Nina akhirnya memutuskan untuk mengenakan piyamanya kembali, karena sudah tidak bergairah.“Loh, loh? Kok kamu pake baju sih? Kan belum selesai.”“Kamu juga pake baju, Mas. Percuma kita terusin. Rudal kamu bakalan loyo selama 24 jam ke depan, Mas.”“Kok bisa?""Bisa, Mas. Soalnya kamu habis aku sumpahin! Udahlah, Mas. Kamu bobo aja gih! Kamu harus banyak istirahat biar pulih seutuhnya.""Emang aku sakit?""Otak kamu itu geser, Mas. Udah ih, jangan banyak tanya. Aku keburu badmood."Nina pun kembali rebah di ranjang. Sementara Bryan hanya dibuat bingung oleh istrinya.*Hari demi hari pun terus berlalu, Bryan akhirnya kembali bekerja di perusahaan ayahnya dan sudah resmi menjadi direktur utama menggantikan Fredrinn. Pelaku kecelakaan itu pun telah ditemukan dan sudah dijatuhi hukuman penjara. Dalang di balik kecelakaan yang menimpa Bry
Bryan tidak peduli dengan teriakan istrinya yang mengucapkan sumpah serapah untuknya. Dia terus melangkah hingga ke garasi mobil dan memilih mobil yang paling mewah untuk dikendarainya menuju klub malam.Singkat cerita, Bryan akhirnya tiba di klub malam yang terletak di pusat kota Jakarta. Kerlap-kerlip lampu berbagai warna menyapa indera penglihatannya bersamaan dengan aroma alkohol yang menusuk di indera penciumannya. Iringan musik dance terdengar mengentak keras di telinga. Banyak dari pengunjung yang ikut berdansa dengan hebohnya, seolah-olah rasa malu di dalam diri mereka sudah menghilang.Kedua bola mata Bryan fokus menatap para gadis-gadis seksi dan bohayy yang menggerakkan pinggulnya sesuai irama musik di lantai dansa.“Wow. Seksi abis. Sepertinya dia cocok menjadi partnerku di ranjang nanti. Muehehe,” gumam Bryan dengan sudut bibir yang terangkat.Bryan lalu berjalan menuju bartender untuk memesan segelas alkoholnya.“Ber
“Hah? Memangnya ini sudah tahun berapa? Dan apa benar, aku sudah menikah?”“Lihat saja cincin yang melingkar di jari manismu itu!” ucap Fredrinn. “Jangan merasa jadi bujangan kamu, Bry!”Bryan memijat pelipisnya sendiri. “Kenapa aku tidak ingat apa-apa ya? Uh, menyebalkan.” Karena kepalanya tambah nyeri, Bryan memutuskan untuk kembali tidur.Fredrinn lalu memanggil petugas untuk membersihkan makanan yang berserakan di lantai. Dia pun meminta penjelasan kepada dokter mengenai keadaan Bryan yang membingungkannya.“Lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok. Berapa pun biayanya, akan saya bayar asalkan anak saya pulih total. Kasihan menantu saya, dilupakan oleh suaminya sendiri.”“Baik, Pak. Kami akan berusaha semaksimal mungkin agar pasien cepat sembuh,” jawab dokter.*Tujuh hari kemudian, Bryan sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Dengan catatan, Bryan harus
Kini, Nina tinggal sendirian di ruang rawat inap setelah Jenna undur diri. Nina menatap suaminya yang sedang tertidur di atas ranjang perawatan.Saat ini, Nina sedang khusyuk berdoa. Berharap ada keajaiban di mana sosok pria yang dicintainya itu lekas pulih dan kembali mengingatnya. Di saat Nina masih berdoa, seorang wanita masuk ke dalam ruangannya. Wanita itu berjalan mendekati Nina yang sedang duduk di samping ranjang perawatan sambil memejamkan mata, merapalkan doa untuk kesembuhan suaminya.Nina tersentak kala wanita itu menepuk pelan pundaknya. Dia mendongakkan kepalanya untuk melihat orang yang menepuk pundaknya itu. Dia lalu memaksakan dirinya untuk tersenyum kala tatapan mereka saling bertemu.“Nina, kamu lebih baik pulang dulu untuk istirahat. Anak kamu juga pasti mencari-cari kamu, Nak. Pulanglah! Biar ibu dan Junot yang menjaga Nak Bryan malam ini.” Wanita yang ternyata adalah Aliyah, kini ikut duduk di sebelah Nina. Tak lama kemudian, ma
Fredrinn seketika melemparkan tatapan tidak percayanya kepada Nina. “Apa kamu bilang? Melissa? Kenapa kamu mencurigai dia? Melissa sudah empat tahun bekerja di perusahaan Papa. Dia orangnya cekatan dan teliti. Apa pun yang dia kerjakan, pasti hasilnya maksimal. Kenapa kamu menuduh Melissa sebagai dalang di balik kecelakaan ini? Kenapa Melissa ingin mencelakai Bryan?”Nina menundukkan wajahnya. Takut apabila Fredrinn marah padanya karena menuduh sekretarisnya yang macam-macam.“Coba jelaskan pada Papa, apa alasan kamu menuduh Melissa melakukan hal ini?” tanya Fredrinn lagi.“Nah iya, Nina. Coba jelaskan pada kami berdua, kenapa kamu menuduh sekretaris itu?” ucap Jenna ikut bertanya.“S-soalnya Bryan pernah bilang, kalau dia sudah resmi menjadi direktur, dia akan memecat Melissa,” jawab Nina tergagap.“Tapi kenapa Bryan ingin memecat Melissa? Melissa kan cerdas, lulusan luar negeri, kerjaannya pun
“Lalu, sekarang suami saya ada di mana, Pak?” tanya Nina dengan suara bergetar.“Ini sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, Bu. Rumah sakit Sukamulya.”“Baik. Saya segera ke sana.”Nina tidak percaya hal ini akan terjadi. Baru beberapa menit yang lalu, dia berbincang sambil berpelukan mesra dengan suaminya. Namun, kini dia mendapat kabar kalau suaminya mengalami kecelakaan. Dia seketika menangis dan memeluk anaknya yang belum mengerti tentang kejadian yang menimpa ayahnya. Hal itu tidak berlangsung lama. Dia segera melepas pelukannya di tubuh Brianna. Anaknya itu kini ikut menangis kala melihat ibunya menangis saat ini.“Bi Ilis, titip Brianna dulu ya. Saya mau ke rumah sakit, melihat keadaan Papanya Brianna,” ucap Nina kepada ART barunya yang kebetulan melewati kamar Brianna.“Baik, Nyonya.”Nina lalu menemui satpam rumahnya, Pak Ujang, dan meminta tolong agar mengantarnya ke
Hari ini adalah hari peresmian sekaligus serah terima jabatan posisi direktur utama, yang awalnya posisi itu dipegang oleh Fredrinn Lawrence, kini akan beralih ke anaknya sendiri, Bryan Lawrence.Rencananya hari ini juga Fredrinn akan kembali ke Jakarta. Ingin singgah sebentar saja demi menghadiri acara peresmian jabatan untuk putra kesayangannya itu.Pagi-pagi Nina sudah terbangun, ia ingin menyiapkan segala sesuatunya untuk Bryan di hari pentingnya ini. Meskipun ada pembantu, Nina tetap membuatkan sarapan khusus untuk suami tercintanya. Nina juga yang menyiapkan setelan kerja yang akan Bryan kenakan hari ini. Tak lupa juga, dia memastikan bahwa sepatu kerja suaminya bersih dan mengkilap.“Sayang, dasiku yang hitam polos mana ya?” tanya Bryan bingung. Dia melihat isi laci khusus menyimpan koleksi dasi dan ikat pinggangnya, namun dia tidak menemukan dasi yang diinginkannya.“Ada di laci itu kok, Mas,” jawab Nina. Nina masih sibuk m
Waktu terus berjalan, Nina semakin kewalahan mengurus anaknya yang semakin hari semakin aktif. Bahkan beberapa kali Brianna mengacau dan mengganggu Nina yang sedang mengerjakan tugas kuliahnya.“Jadi bagaimana, sayang? Apa kamu yakin gak mau nyari baby sitter saja?” tanya Bryan. “Kasihan kamu, sayang. Aku gak tega lihat kamu kesusahan antara mengurus Brianna dan juga berkuliah. Lebih baik kita pakai jasa baby sitter saja, biar kamu sedikit terbantu.”Nina yang sedang duduk di meja belajar itu pun menoleh ke arah suaminya yang rebahan di atas ranjang. Hari makin larut, tetapi masih ada beberapa tugas yang harus Nina kerjakan.Nina tampak berpikir keras. “T-tapi kita nyari baby sitter di mana, Mas? Aku takut kalau gak sesuai kriteria. Aku gak mau nyerahin Brianna ke orang yang salah.”“Kita carinya lewat yayasan saja. Jadi kalau gak cocok, bisa langsung digantikan oleh orang lain. Bagaimana? Mau gak?”&
Hari sudah larut malam, tapi Bryan belum tidur. Rasanya sulit sekali untuk memejamkan mata. Melihat Bryan yang murung, menjadikan Nina pun tidak bisa tidur.“Sabar, Mas. Kamu pasti bisa kok menggantikan Papa dengan baik. Yang penting kamu harus percaya diri. Kalau di kantor, kamu harus fokus dengan kerjaan kamu, Mas. Jangan mikirin aku dan Brianna. Lagian kami berdua kan baik-baik saja di rumah,” ucap Nina berniat menghibur suaminya.Bryan hanya diam, kemudian membenarkan selimutnya.“Sekarang kamu tidur ya, Mas. Besok kan harus bangun pagi lagi,” imbuh Nina.“Aku gak pengen kerja besok ah. Rasanya malas banget.”“Jangan gitu dong, Mas. Kamu kan sudah diberikan amanat oleh Papa. Kamu harus melakukannya dengan baik! Kalau bukan kamu, siapa lagi coba yang ngurus perusahaan? Kamu kan penerus Papa!”“Kamu saja yang gantikan aku, sayang. Kamu yang jadi direktur! Aku di rumah aja deh, ngurus anak kita.”“Ih, ngadi-ngadi kamu, Mas! Yakali ak