Bryan tak merespon perkataan Nina. Lelaki itu tetap melanjutkan aktivitas panasnya sembari mencumbu leher pembantunya dengan agresif. Sesekali tangan Bryan bergerak nakal menyelip ke dalam rok pendek yang Nina kenakan.
“Tu-Tuan, tolong tutup pintunya. Nanti ada yang melihat,” sambung Nina ketakutan.
Bryan tersenyum tipis kemudian tertawa kecil. “Tenang saja, Nina Sayang. Ini sudah larut malam. Jam segini mereka sudah pada tidur. Jadi gak mungkin ada yang melihat kita. Lagian siapa yang mau ke lantai dua malam-malam gini?”
Nina mengangguk pelan. “Baiklah, Tuan.”
Bryan kembali menerkam Nina dengan ciuman brutalnya. Ia membawa tubuh Nina untuk duduk di pinggir ranjang tanpa melepas cumbuannya itu. Perlahan ciuman tadi berubah menjadi lumatan penuh birahi. Nina melepaskan pagutannya dan menjauhi bibirnya dari bibir Bryan ketika lidah mereka saling bersentuhan. Rasanya ada yang aneh. Nina sangat canggung untuk melakukannya.
“Kenapa, Honey? Apa ini pertama kali bagimu?”
Nina menggeleng dengan cepat.
Bryan terkekeh. “Oh ya, aku lupa. Kita sudah melakukannya kemarin. Tapi, apakah aku lelaki pertama yang melakukannya? Bisa dilihat dari gerakanmu yang kaku.”
Nina hanya diam sembari menunduk malu.
“Ah, tidak apa. Biar aku ajarkan bagaimana caranya menyenangkan tuanmu ini di atas ranjang,” lanjut Bryan berbisik di telinga Nina. Gadis itu hanya menganggukkan kepala.
Bryan kembali membungkam Nina dengan bibirnya. Meski awalnya menolak, tapi sekarang Nina mulai terjatuh dalam permainan mulut tuan mudanya. Nina perlahan tapi pasti mulai membalas lumatan Bryan. Bryan pun menarik pinggang sang gadis untuk mendekat demi memperdalam aksi cumbuan panas mereka. Tak mau kalah, Nina mengalungkan kedua tangannya di leher tuannya.
Ciuman itu semakin dalam, satu tangan Bryan mulai meremas satu buah dada padat yang masih bersembunyi di balik kaos milik Nina.
“Ahhh…” Nina mendesah ketika pagutan bibir mereka lepas. Desahan itu tanpa sengaja mengundang gairah Bryan lebih dalam.
“Holy shit!! Desahanmu merdu sekali. Punyaku semakin mengeras,” gumam Bryan dengan suara paraunya. “Akan aku buat kamu mendesah lebih keras,” ucapnya lagi.
Tanpa basa-basi Bryan langsung mendorong tubuh Nina untuk berbaring di ranjang. Kemudian ia tarik kancing rok Nina dan membukanya. Kini terpampanglah sudah dengan jelas dalaman yang Nina kenakan. Bryan mulai menggesek-gesekkan jari-jarinya pada kain tipis itu. Membuat Nina semakin tak kuasa menahan desahannya.
“Jangan malu-malu, Baby. Keluarkan saja suaramu.” Bryan pun memutuskan untuk melepaskan kain tipis itu. Bryan menelan ludah susah payah ketika melihat milik Nina yang sudah basah. “Punyamu menggiurkan sekali. Aku jadi ingin mencicipinya. Bolehkan?” tanya Bryan tanpa berkedip. Ia masih menatap pemandangan indah di depan matanya.
Berbeda dengan yang kemarin. Kali ini Bryan sangat berbeda, memperlakukan Nina lebih lembut dan terkesan tidak memaksa seperti kejadian sebelumnya. Bryan ingin menciptakan kesan yang ramah pada asisten rumah tangganya itu malam ini. Namun jawaban yang diberikan Nina sungguh diluar ekspetasinya. Nina justru menolak permintaannya.
“Tidak boleh,” jawab Nina dengan suara gemetar. Ia takut jika Bryan akan marah padanya.
Dan benar saja, ekspresi tuan muda langsung berubah menjadi tidak ramah seperkian detik. “Sepertinya kau tidak bersungguh-sungguh melakukan pekerjaanmu. Apakah kau tidak jadi dengan penawaranku?” tanyanya dingin. Aura wajahnya mulai serius.
Nina kemudian merubah posisinya. Ia duduk dan mengambil selimut demi menutupi area sensitifnya. “Kita bahkan belum membuat kesepakatan, Tuan. Kata Tuan, malam ini kita akan membahas soal penawaran Tuan lebih dulu sebelum melakukan yang lain. Saya ingin tau berapa bayaran yang akan Tuan Bryan berikan dalam sekali main?”
Tanpa berkata apa-apa, Bryan segera mengambil ponsel canggihnya dan membuka sebuah aplikasi. “Sebutkan nomer rekeningmu,” ucapnya singkat.
Nina sebenarnya ragu. Apa Bryan akan memberikan bayarannya langsung malam ini juga?
“Sebentar, Tuan. Saya tidak hapal.” Nina turun dari ranjang dan memakai kembali rok miliknya.
“Mau ke mana kamu?” tanya Bryan ketus.
“Ke bawah, Tuan. Saya mau ngambil hp dulu. Soalnya saya gak hapal—”
Bryan langsung melemparkan duitnya secara cash ke hadapan Nina. Lembaran uang berwarna merah berhamburan di atas lantai. Melihat itu, Nina segera memungut dan menghitungnya satu per satu.
Bryan tersenyum remeh ketika melihat Nina yang sangat antusias dengan pemberiannya itu. “Ckckck. Apa semua gadis di zaman sekarang bisa dibayar dengan uang?” sindirnya.
Mendengar ucapan yang keluar dari mulut Bryan membuat Nina tertampar. Tapi ia mencoba untuk tidak peduli dengan sindiran-sindiran halus dari tuan mudanya. Terpenting sekarang Nina bisa mendapatkan uang untuk biaya pengobatan sang ayah. Apa pun yang harus Nina kerjakan, akan ia lakukan. Walaupun harus mengorbankan harga dirinya sendiri.
“Sekarang baliklah ke kamarmu. Aku sudah tidak bergairah. Karena kau, malam yang indah ini jadi hancur!”
“M-maaf, Tuan,” ucap Nina menundukkan kepala. Kedua tangannya sudah penuh dengan lembaran kertas yang berharga.
“Nanti pagi kau harus membayarnya! Ingat itu!”
Nina hanya mengangguk pelan.
“Sudah sana! Pergilah.”
Nina pun melangkah keluar dari kamar tuan muda. Bibirnya mulai menampakkan senyuman tipis. Ia sedikit bahagia karena mendapatkan uang dari Bryan yang totalnya lumayan banyak. Nina kembali ke lantai satu dan masuk ke dalam kamarnya. Di sana, ia mencoba menghubungi sang ibu untuk memberi tau bahwa dirinya sudah mendapatkan sebagian dari biaya operasi yang dibutuhkan.
**
Keesokan paginya, seperti biasa Nina melakukan pekerjaannya sehari-hari sebagai seorang pembantu.
“Nina, hari ini giliran kamu dan Laras yang beberes rumah ya. Biar Bibi sama Sarah yang ngurus dapur,” ucap Bi Lastri kepada Nina.
“Oh, oke, Bi.” Nina begitu bersemangat pagi ini. Ia segera mengambil sapu dan alat pendukung lainnya kemudian bergegas membersihkan setiap sudut rumah itu. Sementara Bi Lastri dan Sarah mulai membuat sarapan pagi.
Tampak Laras yang baru keluar dari kamarnya, berjalan menuju Nina. “Eh, Nina! Kamu beberes duluan aja. Nanti saya nyusul,” ucap Laras seenak jidat. Dirinya selalu memanfaatkan Nina dengan menyuruhnya bekerja lebih dulu agar sisa pekerjaannya yang harus ia lakukan semakin sedikit.
Nina tanpa berpikir panjang pun langsung mengiyakan perkataan Laras. “Baik, Mbak Laras. Saya duluan ya. Permisi,” ucap Nina dengan senyuman segar.
“Idih, sok ramah!” ujar Laras kala Nina sudah tak terlihat di hadapannya. Laras pun kembali masuk ke kamarnya dan membiarkan Nina bekerja duluan.
Nina mulai menjalankan tugasnya membersihkan seluruh ruangan dimulai dari lantai atas. Di sana ia melihat kamar Bryan masih tertutup rapat. Nina berpikir bahwa Bryan belum bangun. Nina menarik napas lega. Untuk sementara waktu dirinya aman dari Bryan. Ia pun bisa bebersih rumah dengan tenang, batinnya.
Tak berselang lama, pintu kamar Bryan terbuka. Lelaki itu langsung menarik Nina yang tengah sibuk menyapu koridor. Nina terhentak kaget saat seseorang menarik tangannya dari belakang. Sapu yang dipegangnya pun terjatuh hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras.
“Tu-Tuan?” ucap Nina dengan mata membulat.
Tanpa banyak bicara, Bryan membawa Nina masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu itu.
“Aku ingin sarapan,” kata Bryan dengan suara seraknya.
“Sarapan masih dibuat sama Bi Lastri, Tuan,” jawab Nina sembari melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul tujuh pagi.
“Kau ini berlagak polos atau gimana, huh?”
Nina menatap wajah Bryan dengan kebingungan. Apa maksud ucapan dari tuannya itu? Sarapan apa yang dimaksud oleh Bryan? Seketika Nina langsung paham ketika Bryan mulai mengelus-elus sesuatu di balik celana yang pria itu pakai.
“Adik kecilku butuh sarapan, Sayang. Apa kamu bisa memberikannya makanan yang lezat dan bergizi?”
Pandangan Nina langsung tertuju pada benda di balik celana tuan muda. Sesuatu di dalam sana agaknya sudah meronta-ronta meminta makan. Terlihat sudah menegang dan ingin dibebaskan.“Bagaimana, Nina? Kita harus lanjutkan kegiatan yang semalam tertunda. Ingat aku sudah memberimu DP semalam. Dan kamu harus memuaskanku pagi ini!” tegas Bryan. Langsung saja pria itu melumat brutal bibir Nina tanpa ampun. Nina hampir kehabisan napas dibuatnya.Bryan membawa tubuh Nina mendekat tanpa melepas cumbuannya dan memeluknya sejenak. Lalu kedua tangan kekar itu turun ke area bokong sang gadis dan meremasnya dengan kuat. Sesekali Bryan memukul bokong padat itu.“Tuan Bryan?” lirih Nina ketika Bryan melepaskan pagutannya demi mengambil beberapa oksigen. Keduanya saling bertatapan satu sama lain. Wajah mereka begitu dekat membuat Nina sampai tak berkedip menatap kagum tuan mudanya.“Yes, Baby?” jawab Bryan dengan nada menggoda. Bryan menampakkan senyum tipis karena melihat Nina menatapnya tanpa berkedip
“Tuan, saya mau bebersih rumah dulu, Tuan.”“Ini masih terlalu pagi, Nina.”“Saya takut dimarah sama Mbak Laras, Tuan. Saya harus kelarin kerjaan rumah dulu. Izinkan saya bekerja dulu ya, Tuan? Boleh ya, Tuan?” pinta Nina memelas. Tubuh Nina masih ditahan oleh Bryan.“Aku tidak bisa menunggu lagi. Jangan memancing emosiku, Nina!”Bryan segera menutup pintu kamarnya kembali tanpa menguncinya. Tanpa panjang lebar, ia membuka paksa celana Nina beserta dalamannya. Bryan menyandarkan tubuh Nina ke dinding dekat pintu dan membuka selangkangan gadis itu. Bryan melihat liang Nina juga sudah basah.“Lihat? Kamu bahkan sudah basah. Lantas kenapa kamu menolak untuk melakukannya sekarang? Kita sama-sama menginginkannya sekarang, Baby. Jadi ayo kita saling memuaskan satu sama lain,” bisiknya parau.Bryan mengarahkan miliknya yang sudah semakin menegang itu ke dalam liang surgawi milik Nina.“Tuan, ja-jangan dulu…. akkhhh…”Bryan tidak mau menunda lagi. Ia langsung mendorong masuk adik kecilnya seca
“Tidak, aku jamin semuanya bakalan aman. Kamu santai saja,” balas Bryan berusaha menenangkan Nina.Setelah mereka berpakaian lengkap, Bryan mengintip lebih dulu sebelum menyuruh Nina keluar.“Nina, ayo keluar. Gak ada siapa-siapa di sini. Semuanya pada di lantai bawah.”Nina mengangguk pelan kemudian melangkah keluar dari kamar Bryan. Dirinya kembali melanjutkan pekerjaan rumah. Sedangkan Bryan turun ke bawah untuk sarapan bersama sang ayah.*“Ehhem.” Bryan sengaja berdeham saat tiba di meja makan. Dirinya memperhatikan Fredrinn yang sangat sibuk memperhatikan layar ponsel.Fredrinn yang menyadari kedatangan putranya pun segera meletakkan ponsel miliknya ke atas meja dan fokus kepada Bryan.“Papa memanggilku?” tanya Bryan singkat dengan nada yang datar. Ia pun langsung melahap hidangan yang telah tersaji di depan mata tanpa memedulikan perkataan Fredrinn selanjutnya.“Besok
Nina bisa mendengar jelas bahwa ibunya sedang cemas padanya. Nina terpaksa berbohong. “Duit ini dari majikan Nina, Bu. Nina juga meminjamnya. Majikan Nina kasian mendengar berita bahwa Bapak harus dioperasi secepatnya tapi terkendala biaya. Makanya Nina dipinjemin duit sebanyak ini. Dan bisa dikembalikan kapan saja katanya.”Di seberang telepon terdengar helaan napas lega dari Aliyah. “Syukurlah, Nak, kamu dapat majikan yang baik hati. Ibu sempat khawatir mengenai asal uang itu. Ingat selalu pesan Ibu, jaga diri kamu baik-baik di sana, ya! Jangan terpengaruh hal-hal buruk di sana. Kalau soal biaya rumah sakit Bapak, kamu jangan khawatir, Nak. Ibu sudah mendapatkan pinjaman dari juragan beras di kampung kita dan juga sumbangan dari para tetangga. Kamu kembalikan saja uang itu ke majikanmu, Nak. Dan katakan terima kasih karena sudi membantu kita, meskipun uang itu tidak jadi dipakai.”“Ba-baiklah, Bu. Nina tutup teleponnya ya, Bu. Nina mau n
“Mau melakukan apa?” tanya Bryan dingin.“Mencicipi punya, Tuan. Jangan marah-marah lagi ya, Tuan. Nanti gantengnya hilang,” goda Nina dengan terpaksa. Ia melakukannya agar Bryan tidak murka padanya. Nina takut jika dirinya dipecat dari kerjaan.Nina merasa lega saat Bryan menampakkan senyum tipis.“Anak pinter. Lain kali jangan berani menolak permintaanku lagi, ya.”“I-iya, Tuan. Saya janji.”“Sekarang kamu jongkok dan buka celanaku.”Tanpa melawan lagi, Nina menuruti semua permintaan Bryan. Ia perlahan membuka celana milik Bryan. Pipi Nina seketika merah merona saat berhadapan dengan alat tempur Bryan. Meskipun masih menciut, barang itu masih menunjukkan keperkasaannya.“Bangunkan dia, sayang. Perlakukan dia dengan lembut. Berikan sentuhan terbaikmu.”Nina meneguk ludah susah payah. Ia sangat malu dan tidak mau melakukan hal ini. Nina mendongakkan kepala
Bukannya menjawab, Bryan tidak ambil pusing. Lelaki itu melanjutkan kembali memompa batangnya ke milik Nina.“Tuan Bryan, berhenti, Tuan. Saya takut.”“Dia cuman pembantu, Sayang. Kenapa harus takut?”“Saya takut keciduk, Tuan.”“Ah, jangan gugup, Nina. Dia bisa apa di hadapanku? Kalau ketahuan, aku pecat saja dia dari sini. Gampang, kan?”Rasa panik, gugup, takut, dan nikmat bercampur menyatu dalam diri Nina. Ingin rasanya mendesah, namun ia menahan diri. Samar-samar Nina masih mendengar suara Laras yang masih mencari dirinya.“Aaahhh.. hngg.. mmpss.. pe-pelan-pelan, Tuan… ouhh…” Nina tak kuasa menahan desahannya lagi karena Bryan semakin menusuknya lebih dalam dan bergoyang lebih cepat.Sementara Laras sadar, ia seperti mendengar suara percikan air dari dalam toilet di ujung dapur. Tidak hanya itu, Laras pun samar-samar mendengar suara wanita dan hantaman enta
“Hmm… sebenarnya belum. Tapi aku gak mau mempersulit keadaan kamu. Kita berhenti dulu. Kamu lanjut pekerjaanmu, sebelum Laras kembali ke sini,” ucap Bryan menyuruh Nina keluar dari toilet.Nina pun mengangguk pelan dan bergegas memasang kembali pakaiannya dengan lengkap. Sementara Bryan masih berada dalam toilet sekaligus mandi sembari menunggu Laras datang membawakan handuk untuknya.Tidak lama kemudian Laras kembali dengan sebuah handuk di tangan, ia lalu melihat Nina yang sudah berada di dapur tengah sibuk memotong-motong sayuran.‘Sialan itu anak. Dari mana saja dia?’Tok Tok Tok“Permisi, Tuan Muda. Ini handuknya, Tuan.”Tanpa panjang lebar, Bryan membuka pintu dan hanya menampakkan tangannya. Ia pun langsung mengambil handuk itu dan melanjutkan membersihkan tubuhnya.‘Huftt.. cuek banget sih dia. Bilang terima kasih kek, apa kek. Ini main ambil-ambil aja tanpa ngomong! Susah ya pu
Malam hari, tepatnya pukul dua belas malam. Nina masih terbangun. Ia duduk sambil terus-terusan menatap layar hp miliknya, menantikan pesan masuk dari sang majikan. Walaupun matanya sudah tampak sayu karena menahan ngantuk, namun Nina berusaha semaksimal mungkin untuk tidak tertidur.Bryan sudah berpesan padanya sejak sore hari untuk menunggunya pulang dari rumah sakit. Sore tadi Bryan berkunjung melihat keadaan Rosalina ditemani dengan Fredrinn yang sudah lebih dulu berada di sana.“Huh, Tuan Bryan lama sekali. Aku udah ngantuk banget,” keluhnya. “Apa aku tidur aja dulu, ya?”Nina memutuskan untuk tidur sebentar dan memasang alarm untuk 30 menit ke depan. Nina pun merebahkan dirinya di atas kasur tipisnya dan tak berselang lama Nina telah berada di alam bawah sadar.30 menit kemudian, alarm hp milik Nina berbunyi keras. Tetapi, Nina tidak kunjung bangun saking ngantuk beratnya dia.Di sela-sela mimpinya yang indah, terdenga
Karena rudal Bryan yang tidak bisa menegang untuk sesaat. Nina akhirnya memutuskan untuk mengenakan piyamanya kembali, karena sudah tidak bergairah.“Loh, loh? Kok kamu pake baju sih? Kan belum selesai.”“Kamu juga pake baju, Mas. Percuma kita terusin. Rudal kamu bakalan loyo selama 24 jam ke depan, Mas.”“Kok bisa?""Bisa, Mas. Soalnya kamu habis aku sumpahin! Udahlah, Mas. Kamu bobo aja gih! Kamu harus banyak istirahat biar pulih seutuhnya.""Emang aku sakit?""Otak kamu itu geser, Mas. Udah ih, jangan banyak tanya. Aku keburu badmood."Nina pun kembali rebah di ranjang. Sementara Bryan hanya dibuat bingung oleh istrinya.*Hari demi hari pun terus berlalu, Bryan akhirnya kembali bekerja di perusahaan ayahnya dan sudah resmi menjadi direktur utama menggantikan Fredrinn. Pelaku kecelakaan itu pun telah ditemukan dan sudah dijatuhi hukuman penjara. Dalang di balik kecelakaan yang menimpa Bry
Bryan tidak peduli dengan teriakan istrinya yang mengucapkan sumpah serapah untuknya. Dia terus melangkah hingga ke garasi mobil dan memilih mobil yang paling mewah untuk dikendarainya menuju klub malam.Singkat cerita, Bryan akhirnya tiba di klub malam yang terletak di pusat kota Jakarta. Kerlap-kerlip lampu berbagai warna menyapa indera penglihatannya bersamaan dengan aroma alkohol yang menusuk di indera penciumannya. Iringan musik dance terdengar mengentak keras di telinga. Banyak dari pengunjung yang ikut berdansa dengan hebohnya, seolah-olah rasa malu di dalam diri mereka sudah menghilang.Kedua bola mata Bryan fokus menatap para gadis-gadis seksi dan bohayy yang menggerakkan pinggulnya sesuai irama musik di lantai dansa.“Wow. Seksi abis. Sepertinya dia cocok menjadi partnerku di ranjang nanti. Muehehe,” gumam Bryan dengan sudut bibir yang terangkat.Bryan lalu berjalan menuju bartender untuk memesan segelas alkoholnya.“Ber
“Hah? Memangnya ini sudah tahun berapa? Dan apa benar, aku sudah menikah?”“Lihat saja cincin yang melingkar di jari manismu itu!” ucap Fredrinn. “Jangan merasa jadi bujangan kamu, Bry!”Bryan memijat pelipisnya sendiri. “Kenapa aku tidak ingat apa-apa ya? Uh, menyebalkan.” Karena kepalanya tambah nyeri, Bryan memutuskan untuk kembali tidur.Fredrinn lalu memanggil petugas untuk membersihkan makanan yang berserakan di lantai. Dia pun meminta penjelasan kepada dokter mengenai keadaan Bryan yang membingungkannya.“Lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok. Berapa pun biayanya, akan saya bayar asalkan anak saya pulih total. Kasihan menantu saya, dilupakan oleh suaminya sendiri.”“Baik, Pak. Kami akan berusaha semaksimal mungkin agar pasien cepat sembuh,” jawab dokter.*Tujuh hari kemudian, Bryan sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Dengan catatan, Bryan harus
Kini, Nina tinggal sendirian di ruang rawat inap setelah Jenna undur diri. Nina menatap suaminya yang sedang tertidur di atas ranjang perawatan.Saat ini, Nina sedang khusyuk berdoa. Berharap ada keajaiban di mana sosok pria yang dicintainya itu lekas pulih dan kembali mengingatnya. Di saat Nina masih berdoa, seorang wanita masuk ke dalam ruangannya. Wanita itu berjalan mendekati Nina yang sedang duduk di samping ranjang perawatan sambil memejamkan mata, merapalkan doa untuk kesembuhan suaminya.Nina tersentak kala wanita itu menepuk pelan pundaknya. Dia mendongakkan kepalanya untuk melihat orang yang menepuk pundaknya itu. Dia lalu memaksakan dirinya untuk tersenyum kala tatapan mereka saling bertemu.“Nina, kamu lebih baik pulang dulu untuk istirahat. Anak kamu juga pasti mencari-cari kamu, Nak. Pulanglah! Biar ibu dan Junot yang menjaga Nak Bryan malam ini.” Wanita yang ternyata adalah Aliyah, kini ikut duduk di sebelah Nina. Tak lama kemudian, ma
Fredrinn seketika melemparkan tatapan tidak percayanya kepada Nina. “Apa kamu bilang? Melissa? Kenapa kamu mencurigai dia? Melissa sudah empat tahun bekerja di perusahaan Papa. Dia orangnya cekatan dan teliti. Apa pun yang dia kerjakan, pasti hasilnya maksimal. Kenapa kamu menuduh Melissa sebagai dalang di balik kecelakaan ini? Kenapa Melissa ingin mencelakai Bryan?”Nina menundukkan wajahnya. Takut apabila Fredrinn marah padanya karena menuduh sekretarisnya yang macam-macam.“Coba jelaskan pada Papa, apa alasan kamu menuduh Melissa melakukan hal ini?” tanya Fredrinn lagi.“Nah iya, Nina. Coba jelaskan pada kami berdua, kenapa kamu menuduh sekretaris itu?” ucap Jenna ikut bertanya.“S-soalnya Bryan pernah bilang, kalau dia sudah resmi menjadi direktur, dia akan memecat Melissa,” jawab Nina tergagap.“Tapi kenapa Bryan ingin memecat Melissa? Melissa kan cerdas, lulusan luar negeri, kerjaannya pun
“Lalu, sekarang suami saya ada di mana, Pak?” tanya Nina dengan suara bergetar.“Ini sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, Bu. Rumah sakit Sukamulya.”“Baik. Saya segera ke sana.”Nina tidak percaya hal ini akan terjadi. Baru beberapa menit yang lalu, dia berbincang sambil berpelukan mesra dengan suaminya. Namun, kini dia mendapat kabar kalau suaminya mengalami kecelakaan. Dia seketika menangis dan memeluk anaknya yang belum mengerti tentang kejadian yang menimpa ayahnya. Hal itu tidak berlangsung lama. Dia segera melepas pelukannya di tubuh Brianna. Anaknya itu kini ikut menangis kala melihat ibunya menangis saat ini.“Bi Ilis, titip Brianna dulu ya. Saya mau ke rumah sakit, melihat keadaan Papanya Brianna,” ucap Nina kepada ART barunya yang kebetulan melewati kamar Brianna.“Baik, Nyonya.”Nina lalu menemui satpam rumahnya, Pak Ujang, dan meminta tolong agar mengantarnya ke
Hari ini adalah hari peresmian sekaligus serah terima jabatan posisi direktur utama, yang awalnya posisi itu dipegang oleh Fredrinn Lawrence, kini akan beralih ke anaknya sendiri, Bryan Lawrence.Rencananya hari ini juga Fredrinn akan kembali ke Jakarta. Ingin singgah sebentar saja demi menghadiri acara peresmian jabatan untuk putra kesayangannya itu.Pagi-pagi Nina sudah terbangun, ia ingin menyiapkan segala sesuatunya untuk Bryan di hari pentingnya ini. Meskipun ada pembantu, Nina tetap membuatkan sarapan khusus untuk suami tercintanya. Nina juga yang menyiapkan setelan kerja yang akan Bryan kenakan hari ini. Tak lupa juga, dia memastikan bahwa sepatu kerja suaminya bersih dan mengkilap.“Sayang, dasiku yang hitam polos mana ya?” tanya Bryan bingung. Dia melihat isi laci khusus menyimpan koleksi dasi dan ikat pinggangnya, namun dia tidak menemukan dasi yang diinginkannya.“Ada di laci itu kok, Mas,” jawab Nina. Nina masih sibuk m
Waktu terus berjalan, Nina semakin kewalahan mengurus anaknya yang semakin hari semakin aktif. Bahkan beberapa kali Brianna mengacau dan mengganggu Nina yang sedang mengerjakan tugas kuliahnya.“Jadi bagaimana, sayang? Apa kamu yakin gak mau nyari baby sitter saja?” tanya Bryan. “Kasihan kamu, sayang. Aku gak tega lihat kamu kesusahan antara mengurus Brianna dan juga berkuliah. Lebih baik kita pakai jasa baby sitter saja, biar kamu sedikit terbantu.”Nina yang sedang duduk di meja belajar itu pun menoleh ke arah suaminya yang rebahan di atas ranjang. Hari makin larut, tetapi masih ada beberapa tugas yang harus Nina kerjakan.Nina tampak berpikir keras. “T-tapi kita nyari baby sitter di mana, Mas? Aku takut kalau gak sesuai kriteria. Aku gak mau nyerahin Brianna ke orang yang salah.”“Kita carinya lewat yayasan saja. Jadi kalau gak cocok, bisa langsung digantikan oleh orang lain. Bagaimana? Mau gak?”&
Hari sudah larut malam, tapi Bryan belum tidur. Rasanya sulit sekali untuk memejamkan mata. Melihat Bryan yang murung, menjadikan Nina pun tidak bisa tidur.“Sabar, Mas. Kamu pasti bisa kok menggantikan Papa dengan baik. Yang penting kamu harus percaya diri. Kalau di kantor, kamu harus fokus dengan kerjaan kamu, Mas. Jangan mikirin aku dan Brianna. Lagian kami berdua kan baik-baik saja di rumah,” ucap Nina berniat menghibur suaminya.Bryan hanya diam, kemudian membenarkan selimutnya.“Sekarang kamu tidur ya, Mas. Besok kan harus bangun pagi lagi,” imbuh Nina.“Aku gak pengen kerja besok ah. Rasanya malas banget.”“Jangan gitu dong, Mas. Kamu kan sudah diberikan amanat oleh Papa. Kamu harus melakukannya dengan baik! Kalau bukan kamu, siapa lagi coba yang ngurus perusahaan? Kamu kan penerus Papa!”“Kamu saja yang gantikan aku, sayang. Kamu yang jadi direktur! Aku di rumah aja deh, ngurus anak kita.”“Ih, ngadi-ngadi kamu, Mas! Yakali ak