"Mau kemana? Rapi bener." Tanya Winda dengan kedua mata yang mendelik kesal ke arah Abian.
"Bukan urusan Mbok." Jawab Abian sambil tersenyum sinis."Kalo di tanya tuh jawab yang bener, gak ada sopan-sopan nya sama Mbak sendiri.""Hanya usia yang lebih tua, bukan kedewasaan. Sudahlah, mau kemana pun aku pergi itu bukan urusan Mbak dan Mbak gak berhak tahul" Pria itu menjawab dengan tegas."Sudahlah, Win. Lagipun benar. Abian mau pergi kemanapun itu bukan urusan mu.""Ckk. Ibu tuh terus saja membela Abian.""Ya karena dia gak salah, tapi kenapa kamu selalu mendesak Abian sih?" Tanya Ranti yang membuat Winda berdecak kesal lalu pergi ke kamarnya dengan langkah yang di hentak-hentakan."Mbak Winda makin hari tingkahnya makin menjadi." Gumam Abian yang membuat Ranti menatap wajah putranya itu dengan nanar."Mbak mu lagi kesel aja.""Kesel kenapa? Kesel karena aku mau pergi gitu? Lucu banget padahal aku mau p"Mas..""Iya, sayang. Ada apa?" Tanya Abian, saat ini keduanya masih ada di dalam perjalanan menuju ke rumah sakit. Kebetulan jaraknya lumayan jauh plus macet, jadi membutuhkan waktu yang cukup lama."Bisa bantu aku membalas dendam?" Tanya perempuan itu lirih."Tentu, apapun untukmu, sayang.Kau ingin aku melakukan apa hmm?" Tanya pria itu sambil tersenyum, dia melirik sekilas ke arah perempuan cantik itu."Seperti nya mereka sudah lama menjalin hubungan kan? Bisakah Mas menyelidiki latar belakang wanita selingkuhan Mas Abi?""Tentu, secepatnya kamu akan mendapatkan semua informasi tentang wanita murahaan itu, sayang.""Mas mau mencari informasi nya sendirian?" Tanya Flora lirih."Tidak, buat apa capek-capek? Selama ada uang, mendingan nyuruh aja terima beres." Jawab Abian sambil tersenyum."Iya deh si paling banyak uang.""Makanya manfaatin dong, gini-gini aku bisa belanjain kamu banyak barang, say
"Mau makan dulu, sayang?""Aku pengen makan pecel ayam boleh?" Tanya Flora. Abian menganggukan kepala nya, menandakan kalau dia mengizinkan. Selama berhubungan dengan Flora, wanita itu tidak pernah meminta makanan yang mahal atau mewah, dia lebih memilih untuk makan makanan sederhana. Waktu itu dia lebih meminta mie ayam, sekarang pecel ayam.Sederhana sekali, padahal kalau Flora ingin makan makanan yang mahal sekalipun Abian pasti akan memberikan nya tanpa harus bertanya dua kali. Tapi sepertinya Flora lebih suka dengan makanan yang terbilang sederhana seperti ini."Pecel ayam yang di pinggir jalan aja, Mas.""Kamu gapapa makan di pinggir jalan, sayang?" Tanya Abian."Gapapa dong, memang nya kenapa? Atau jangan jangan Mas yang gak terbiasa makan di pinggir jalan?" Balik tanya Flora dengan wajah penasaran nya."Enggak kok, Mas juga suka makanan di pinggir jalan. Tapi kita makan nya di mobil aja ya, Mas gak mau itu lukanya kena se
"M-mas..""Iya, sayang.""Aku harus jawab apa kalau di tanya sama Ibu atau Mas Arif?" Tanya perempuan itu sambil mengusap bibirnya yang terasa kebas juga bertambah volumenya setelah di kokop oleh Abian selama hampir setengah jam. Selain itu, buah apel nya juga terasa pedih dan kebas di bagian putingnya.Ternyata setelah beberapa menit memainkan benda kenyal itu, akhirnya Abian tidak tahan dan akhirnya dia menyibak pakaian yang di kenakan oleh Flora dan menyusu seperti bayi di buah kenyalnya itu."Bilang aja di entup tawon, sayang.""Lah, kita habis dari rumah sakit bukan habis dari kebun binatang, Mas." Jawab Flora sambil terkekeh pelan."Terserah kamu saja.""Tapi ini ulah kamu, bahkan ini aku rasanya perih banget. Kamu nyusu nya pakai gigi." Ucap Flora dengan kesal."Kan aku bayi yang baru mau tumbuh gigi, jadi gusi Mas tuh gatel, sayang." Jawab Abian sambil cengengesan."Ckkk, mana ada bayi berkumis
Keesokan harinya, Abian pergi pagi-pagi sekali. Setelah selesai sarapan, pria itu segera meninggalkan rumahnya untuk menemui seseorang untuk melancarkan rencana nya. Rencana apa? Tentu saja merebut Flora, namun dia membutuhkan pelicin untuk itu.Tak lupa, Abian memberikan nasihat dan peringatan pada ibu dan juga kedua saudari nya agar jangan menyuruh-nyuruh Flora jika bukan wanita itu yang menawarkan diri. Pertama, karena kondisi kaki Flora yang belum sepenuhnya sembuh dan jahitan nya belum kering. Kedua, dia tidak yakin dengan orang-orang yang ada di rumah itu.Tidak ada yang bisa menjamin kalau orang-orang itu akan menyuruh-nyuruh Flora layaknya pembantu seperti biasa. Selama ini, Flora bisa beristirahat dari pekerjaan rumah karena Abian selalu ada di rumah. Kalau pun pergi, pria itu selalu mengajaknya. Tapi kali ini, pria itu pergi sendirian dan meninggalkan Flora di rumah."Selamat siang, Robi." Sapa Abian sambil tersenyum."Eehh, Abian. Maaf aku agak sedikit terlambat." Ucap pria
"Aku berharap Flora menghadiahi ku ciuman." Gumam pria itu.Selang beberapa jam, akhirnya Abian pun sampai di rumahnya. Pria itu keluar dari dalam mobil dengan menenteng paper bag berisi ponsel dan beberapa barang di dalamnya.Sepi, rumah itu terlihat sangat sepi. Bahkan seakan tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana, lalu kemana penghuni rumah?"Bu.." panggil Abian sambil celingukan."Ini orang-orang pada kemana yak? Kok gak keliatan batang hidungnya.""Sudah pulang, Mas?" Tanya Flora yang baru saja membuka pintu kamarnya dengan langkah tertatih."Ibu, sama Mbak Winda, Mbak Santi pada kemana, yang?" Balik tanya Abian sambil berjalan mendekat ke arah Flora."Pergi kondangan ke RT sebelah, Mas.""Ohhh, kamu gak di ajak?" Tanya Abian lagi."Di ajak sih, tapi aku gak ikut aja. Soalnya kaki aku kan masih sakit, nanti takutnya malah ngerepotin Ibu atau Mbak Santi, males kalo harus dengerin Mbak Winda ngomel." Jawab Flora yang membuat Abian terkekeh."Ya Udah, pacaran yuk? Mumpung sepi,
"Mas.." Panggil Flora sambil memeluk tubuh Abian yang terbaring di sampingnya. Setelah ciuman itu, mereka memutuskan untuk tidur bersama, benar-benar hanya tidur bersama."Hmm, apa?" Tanya Abian dengan kedua mata yang masih terpejam, dia masih mengantuk."Aku kedinginan, Mas." Ucap Flora lirih, membuat pria itu segera membuka kedua matanya dan tersenyum. Dia merubah posisi nya dari terlentang hingga berbaring miring, keduanya saling berhadapan saat ini."Sini Mas peluk, sayang." Jawab Abian, dia memeluk pinggang Flora dan menariknya lembut, hingga posisi mereka menempel tanpa jarak. Flora mendusel di dada bidang Abian, dia sangat suka dengan aroma tubuh Abian. Tentu saja aroma nya jauh berbeda dengan suaminya."Nyaman sekali rasanya.""Apa kamu tidak pernah di peluk seperti ini oleh suami mu?" Tanya Abian sambil mengusap-usap kepala Flora."Hmm, kapan ya? Mungkin terakhir kali saat sebulan setelah menikah. Setelahnya, aku hanya t
"Sayang.." Bisik Abian, membuat wanita itu membuka kedua matanya secara perlahan.Dia sedang menikmati apa yang di lakukan oleh Abian di belakang tubuhnya. Pria itu tengah mengeluar masukkan sebuah pisang gagah yang dia miliki."I-iya, kenapa Mas?""Bagaimana rasanya, sayang? Nikmat atau sakit?" Tanya pria itu dengan suara sensualnya.Dia tidak menghentikan gerakan nya sama sekali."Nikmat sekali, Mas." Jawab Flora jujur."Kalau begitu, mendesah lah sayang." Pinta Abian membuat wajah Flora memerah. Baru kali ini dia mendengar perintah seperti itu, biasanya dia di larang untuk bersuara."Ayolah, Mas ingin mendengar desahan merdu mu.""Aahhh, Mas.." Wanita itu mendesah ketika Abian mempercepat gerakan nya, pria itu tersenyum senang ketika mendengar suara sang wanita.Dia semakin bergairah untuk melanjutkan pertarungan nya, meskipun disini hanya dia yang berperan karena dia sadar benar kalau Flora masih sakit, jadi tidak mungkin dia meminta wanita itu untuk memimpin permainan."Mas, pelan
Sedangkan di tempat lain, Arifin di panggil oleh HRD karena ada urusan di sana. Tapi setelah menemui HRD, malah di alihkan ke ruangan Robi, sang pemilik perusahaan.Dengan langkah pelan, Arifin berjalan menuju ruangan Robi. Dia gugup bukan main karena selama ini dia tidak pernah melakukan kesalahan apapun, tapi kenapa di panggil oleh pemilik perusahaan?Arifin mengetuk pintu beberapa kali, setelah mendengar instruksi, dia pun masuk dengan kegugupan yang memenuhi dirinya saat ini."Selamat siang, Pak. Ada apa ya, Bapak memanggil saya?""Duduklah." Pinta Robi sambil berpura-pura membuka-buka berkas berisi CV milik Arifin, padahal tidak sama sekali. Dia hanya melakukan apa yang di perintahkan oleh Abian.Arifin duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Robi, hanya terhalang meja kerja saja. Robi menatap Arifin dengan tatapan yang entah apa artinya."Kau Arifin?""Benar, Pak.""Saya sudah mendengar kalau kinerja mu sangat baik belakangan ini, Arifin.""Aahhh ya, terimakasih Pak." Jawa
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.