“Aku …,” ucap kami bersamaan. Ucapan pertama setelah beberapa saat terdiam. Wajahnya menunjukkan senyuman, kemudian mengangguk mempersilakan aku berkata terlebih dulu.“Aku ingin tahu kabar kamu. Bagaimana kuliahmu? Lancar?” Pertanyaanku yang terkesan kaku. Aku hanya ingin berlama-lama mendengar suaranya, mengetahui dan mengenal kesehariannya. Karena aku tidak memiliki kesempatan lebih.“Baik. Seperti yang Mas Wisnu katakan dulu, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatanku ini. Tidak semua orang mendapatkan kesempatan yang luar biasa ini. Cuma untuk kegiatan di unitas tari, aku mulai mengurangi. Banyak tugas dan aku tidak bisa membagi waktu,” ucapnya kemudian melanjutkan menceritakan keseruan di kampus.Bibirnya bergerak-gerak dengan ekspresi yang beragam. Aku tersenyum melihat kekesalannya saat menceritakan dosen yang begitu menjengkelkan. “Rima tadi ingin berkata atau bertanya apa?” ucapku dengan perasaan was-was. Bagaimana kalau dia mempertanyakan perkerjaanku di ibu kota kemarin
[Setiap mata ini terpejam, aku melihat senyummu di sana. Tetapi saat mata ini terbuka, dan tidak melihat apapun, aku menyadari betapa aku merindukanmu. Aku tidak sanggup menanggung ini. Rima kekasih Wisnu, aku tunggu kedatanganmu]Senyumanku terbit seiring dengan tombol send membawa isi hati ini kepadanya. Ungkapan yang hanya bisa dituangkan dalam tulisan. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku berucap seperti ini. Pasti terlihat konyol.Balasan darinya langsung masuk. Emoticon bergambar hati yang berdebar-debar. Hanya gambar, tetapi menghangatkan hati ini.Aku membaringkan tubuh, sambil memeluk guling. Bernapas lega karena percakapan kami begitu indah. Sempat terselip kekawatiran kalau Rima menanyakan tentang pekerjaanku, ternyata tidak. Dia bukan wanita biasa yang mencecar laki-laki dengan pertanyaan saat dia enggan bercerita. Justru dia secara tersirat memberiku semangat.Tertinggal bagaimana aku menyampaikan hasil pekerjaanku kepada Papi Kusuma dan Mama. Walaupun aku tahu, mereka p
“Kalau melihat langkahmu, kamu ini bukan sekadar pengusaha. Tetapi seorang entrepreneur.”“Iya, Pi. Wisnu lebih fokus pada upaya pemanfaatan sumber daya manusia, yaitu para arsitek. Cita-cita Wisnu, program ini bisa memudahkan pengguna jasa untuk mendapatkan jasa rancang bangunan. Tentunya dengan biaya yang terjangkau. Mungkin karena Wisnu tidak menitikberatkan pada keuntungan, jadi investor menjadi ragu.”Kami berbincang di rooftop, markas kami. Dengan satu nampan terdiri makanan kecil dan minuman dingin yang dibawakan oleh Mama. Seakan memberi keleluasaan, Mama meninggalkan kami berbincang berdua.“Jalan pemikiran kamu sudah tepat. Motivasi yang kuat seperti kamu ini adalah perasaan menggelitik saat melihat masalah di sekeliling dan mengambil masalah itu untuk dicarikan jalan keluar. Cuma masalahnya ini. Kamu belum berhasil di langkah berikutnya.”“Iya, Pi. Padahal semua sudah Wisnu kaji dari berbagai sudut pandang. Tidak ada yang keliru dan perkiraan prosentase untuk disetujui bes
Aku belum mampu memberikan apapun kepada Mama, apalagi kebahagiaan. Minimal aku tidak menambah rasa tidak berguna dengan memberikan rasa sakit kepada Mama.“Siapa yang berani menyakiti hati Mama, Wis?”Mama tersenyum dan melangkah dengan santai sambil membawa nampan. Kebiasaannya, kami tidak dibiarkan merasakan lapar. Selalu saja ada makanan yang disodorkan. Dan semuanya, tidak membuat bosan.Papi berdiri, memberikan tempat di sebelahnya untuk Mama. Sedangkan aku berdiri berpindah tempat sambil mengambil nampan, kemudian meletakkan di meja.“Kita rehat dulu, Wis,” ucap Papi sambil mengambil nangka matang yang digoreng dengan balutan tepung. Sama persis dengan pisang goreng, tapi ini lebih legit.“Enak?”“Banget, Ran. Ini nangka yang dikirim dari kampung?”“Eyang Sastro yang kasih, Ma?” tanyaku menimpali pertanyaan Papi Suma.“Iya. Sejak kita sempat di kampung lama itu, Eyang hapal dengan kesukaan kalian. Papi kamu, Amelia juga. Makanya kalau ada panen di kebun selalu dititip ke travel
POV. Tuan Kusuma Selama ini aku heran dengan cerita-cerita teman yang mempunyai pengalaman yang sama denganku, menikah lagi kondisi sama-sama membawa anak dari penikahan sebelumnya. Mereka menceritakan, betapa kesusahan mengatur harta karena mereka saling berebut. Si istri baru lebih mementingkan anaknya sendiri. Bahkan sampai mencari cara supaya mendapatkan fasilitas lebih. Namun, di keluargaku justru kebalikannya. Aku merasa Maharani terutama Wisnu berusaha menarik diri dan enggan menggunakan fasilitas yang aku berikan. Padahal, aku sudah katakan berulang kali kalau Wisnu adalah tanggung jawabku. “Aku tahu niat baik Mas Suma. Tetapi, biarlah dia mencari jalannya sendiri. Dia anak laki-laki yang harus kuat dalam keadaan bagaimanapun. Toh ini baru usaha pertama yang dia lakukan. Jatuh bangun akan memperkuat dia,” ucap Maharani saat aku mengutarakan niat untuk membantu Wisnu. Istriku itu langsung mengikutiku ke kamar, untuk menolak niatku yang sudah tercetus itu. Bagaimana bisa aku
Pokoknya, aku tidak mau diposisikan pada tempat yang tidak dipentingkan. Baik di hati Maharani, terlebih pada Wisnu. Ada rasa cemburu yang sebenarnya tidak pada tempatnya. Terlebih saat dia menyebut nama Bram.“Wisnu tidak bisa menerima tawaran Papi yang ini tanpa berpamitan dengan Papa Bram. Di Denpasar, Wisnu masih mempunyai tanggung jawab projek. Ini pun, minggu ini Wisnu harus kembali ke sana, Pi.”“Terus bagaimana dengan jadwal kamu selanjutnya?”“Awalnya Wisnu akan melakukan pekerjaan ini di Denpasar, sekaligus mengawasi projek yang sedang berjalan.”“Tapi, Wis. Team yang Papi siapkan ada di sini. Kenapa kamu tidak pindah ke sini saja. Projek yang di sana bisa aku alihkan ke orang lain sebagai perpanjangan tangan kamu.”“Iya, Pi. Tetapi projek di sana, projek pertama yang menurut Wisnu tidak etis kalau ditinggalkan di separoh perjalanan. Targetnya, bulan depan sudah selesai, Pi, jadi rencana ini kalau dipaksakan dikerjakan di sini, Wisnu akan sering ke sini,” ucap Wisnu terlihat
Aku sempat membenci makanan yang terhidang di depanku sekarang. Aroma menguar dari piring besi yang terlihat panas. Gemericik saus yang berlimpah pada potongan iga bakar yang menggugah selera.Sampai sekarang, Papa Bram tidak tahu kalau aku sempat mual menghidu aroma ini. Iga bakar, makanan kesukaan aku dan Papa Bram. Disetiap menikmatinya, ini merupakan ajang yang menyenangkan. Kami akan berlomba bahkan berebut sampai tetes saus terakhir.“Ayo, Wisnu. Kita balapan seperti dulu,” ucap Papa Bram sambil menunjukkan potongan yang sudah di tangannya.“Tidak, Pa. Wisnu tadi di rumah sudah makan. Ini saja sudah cukup,” ucapku sambil menunjuk lumpia goreng pesananku.“Beneran, ya. Tidak nyesel,” ucapnya sesaat sebelum berkutat dengan tulang dan berbalut daging bersaus itu.Papaku ini memang suka makan. Dulu Mama memanjakan dengan segala apa kesukaannya, terutama iga bakar. Kalau sudah dihidangkan, bisa dipastikan dia akan memakannya dengan lahap. Akan tetapi, yang aku tangkap sekarang tidak
Pasti sering mendengar kalau hidup seperti roda berputar, kadang di atas, dan kemudian bisa saja di bawah. Karenanya, jangan biarkan roda itu berhenti saat kita berada di bawah. Berjalannya terus sampai menuju tujuan yang diinginkan. Namun, bagaimana bisa bergerak kalau pendorongnya sudah menyerah? Bahkan memilih mundur dari laga kebersamaan. “Wulan pergi membawa anak-anak. Dan sekarang entah kemana membawa mereka.” ucap Papa Bram setelah mendongakkan kepala. “Tante Wulan? Bisa saja di sini, Pa? Main seperti biasanya,” tanyaku, mengingat orang tua dari istri Papa Bram ada di kota ini. Aku pernah diundang ke sana saat ada acara keluarga. “Papa sudah mencari di sini pun tidak ada. Dia pergi begitu saja dengan meninggalkan surat dari pengadilan agama. Tante Wulan menuntut untuk bercerai,” ucapnya sambil meremat kepala dengan kedua tangannya. Aku mendesah berat. Tidak aku bayangkan akhir pernikahan Papa dengan wanita pilihannya berakhir seperti ini. Tante Wulan memang orang yang mandi