Aku belum mampu memberikan apapun kepada Mama, apalagi kebahagiaan. Minimal aku tidak menambah rasa tidak berguna dengan memberikan rasa sakit kepada Mama.“Siapa yang berani menyakiti hati Mama, Wis?”Mama tersenyum dan melangkah dengan santai sambil membawa nampan. Kebiasaannya, kami tidak dibiarkan merasakan lapar. Selalu saja ada makanan yang disodorkan. Dan semuanya, tidak membuat bosan.Papi berdiri, memberikan tempat di sebelahnya untuk Mama. Sedangkan aku berdiri berpindah tempat sambil mengambil nampan, kemudian meletakkan di meja.“Kita rehat dulu, Wis,” ucap Papi sambil mengambil nangka matang yang digoreng dengan balutan tepung. Sama persis dengan pisang goreng, tapi ini lebih legit.“Enak?”“Banget, Ran. Ini nangka yang dikirim dari kampung?”“Eyang Sastro yang kasih, Ma?” tanyaku menimpali pertanyaan Papi Suma.“Iya. Sejak kita sempat di kampung lama itu, Eyang hapal dengan kesukaan kalian. Papi kamu, Amelia juga. Makanya kalau ada panen di kebun selalu dititip ke travel
POV. Tuan Kusuma Selama ini aku heran dengan cerita-cerita teman yang mempunyai pengalaman yang sama denganku, menikah lagi kondisi sama-sama membawa anak dari penikahan sebelumnya. Mereka menceritakan, betapa kesusahan mengatur harta karena mereka saling berebut. Si istri baru lebih mementingkan anaknya sendiri. Bahkan sampai mencari cara supaya mendapatkan fasilitas lebih. Namun, di keluargaku justru kebalikannya. Aku merasa Maharani terutama Wisnu berusaha menarik diri dan enggan menggunakan fasilitas yang aku berikan. Padahal, aku sudah katakan berulang kali kalau Wisnu adalah tanggung jawabku. “Aku tahu niat baik Mas Suma. Tetapi, biarlah dia mencari jalannya sendiri. Dia anak laki-laki yang harus kuat dalam keadaan bagaimanapun. Toh ini baru usaha pertama yang dia lakukan. Jatuh bangun akan memperkuat dia,” ucap Maharani saat aku mengutarakan niat untuk membantu Wisnu. Istriku itu langsung mengikutiku ke kamar, untuk menolak niatku yang sudah tercetus itu. Bagaimana bisa aku
Pokoknya, aku tidak mau diposisikan pada tempat yang tidak dipentingkan. Baik di hati Maharani, terlebih pada Wisnu. Ada rasa cemburu yang sebenarnya tidak pada tempatnya. Terlebih saat dia menyebut nama Bram.“Wisnu tidak bisa menerima tawaran Papi yang ini tanpa berpamitan dengan Papa Bram. Di Denpasar, Wisnu masih mempunyai tanggung jawab projek. Ini pun, minggu ini Wisnu harus kembali ke sana, Pi.”“Terus bagaimana dengan jadwal kamu selanjutnya?”“Awalnya Wisnu akan melakukan pekerjaan ini di Denpasar, sekaligus mengawasi projek yang sedang berjalan.”“Tapi, Wis. Team yang Papi siapkan ada di sini. Kenapa kamu tidak pindah ke sini saja. Projek yang di sana bisa aku alihkan ke orang lain sebagai perpanjangan tangan kamu.”“Iya, Pi. Tetapi projek di sana, projek pertama yang menurut Wisnu tidak etis kalau ditinggalkan di separoh perjalanan. Targetnya, bulan depan sudah selesai, Pi, jadi rencana ini kalau dipaksakan dikerjakan di sini, Wisnu akan sering ke sini,” ucap Wisnu terlihat
Aku sempat membenci makanan yang terhidang di depanku sekarang. Aroma menguar dari piring besi yang terlihat panas. Gemericik saus yang berlimpah pada potongan iga bakar yang menggugah selera.Sampai sekarang, Papa Bram tidak tahu kalau aku sempat mual menghidu aroma ini. Iga bakar, makanan kesukaan aku dan Papa Bram. Disetiap menikmatinya, ini merupakan ajang yang menyenangkan. Kami akan berlomba bahkan berebut sampai tetes saus terakhir.“Ayo, Wisnu. Kita balapan seperti dulu,” ucap Papa Bram sambil menunjukkan potongan yang sudah di tangannya.“Tidak, Pa. Wisnu tadi di rumah sudah makan. Ini saja sudah cukup,” ucapku sambil menunjuk lumpia goreng pesananku.“Beneran, ya. Tidak nyesel,” ucapnya sesaat sebelum berkutat dengan tulang dan berbalut daging bersaus itu.Papaku ini memang suka makan. Dulu Mama memanjakan dengan segala apa kesukaannya, terutama iga bakar. Kalau sudah dihidangkan, bisa dipastikan dia akan memakannya dengan lahap. Akan tetapi, yang aku tangkap sekarang tidak
Pasti sering mendengar kalau hidup seperti roda berputar, kadang di atas, dan kemudian bisa saja di bawah. Karenanya, jangan biarkan roda itu berhenti saat kita berada di bawah. Berjalannya terus sampai menuju tujuan yang diinginkan. Namun, bagaimana bisa bergerak kalau pendorongnya sudah menyerah? Bahkan memilih mundur dari laga kebersamaan. “Wulan pergi membawa anak-anak. Dan sekarang entah kemana membawa mereka.” ucap Papa Bram setelah mendongakkan kepala. “Tante Wulan? Bisa saja di sini, Pa? Main seperti biasanya,” tanyaku, mengingat orang tua dari istri Papa Bram ada di kota ini. Aku pernah diundang ke sana saat ada acara keluarga. “Papa sudah mencari di sini pun tidak ada. Dia pergi begitu saja dengan meninggalkan surat dari pengadilan agama. Tante Wulan menuntut untuk bercerai,” ucapnya sambil meremat kepala dengan kedua tangannya. Aku mendesah berat. Tidak aku bayangkan akhir pernikahan Papa dengan wanita pilihannya berakhir seperti ini. Tante Wulan memang orang yang mandi
“Bukan maksud Papa untuk menyembunyikan masalah ini dari Mama kamu. Tetapi Papa sejujurnya … malu,” ucapnya sambil menundukkan kepala.Tadi, aku langsung mengacungkan jempol tanda setuju, saat melihat kode yang diberikan Papa Bram. Sengaja aku loudspeaker supaya dia tidak curiga.“Halo, Kak Wisnu. Sedang dimana? Amelia nyariin kamu.” Suara Mama terdengar setelah aku pencet tombol OK.“Wisnu sudah mau pulang, Ma. Tadi cuma ngopi sambil makan lumpia goreng,” jawabku tanpa menyebutkan sedang di hotel bersama Papa Bram.“Ya, udah. Cepat pulang, ya. Mama masak kesukaan kamu.”“Ayam goreng lengkuas?”“Iya, dong. Tuh, Bik Inah baru setor parutan lengkuasnya,” ucap Mama dan terdengar suara Bik Inah yang menyapaku.“Siap, Ma.”“Hati-hati di jalan. Jangan ngebut. Kalau mendahului kendaraan lain jangan dari jalur kiri. Terus kalau belok jangan lupa nyalakan lampu sein.” Aku tersenyum. Mama mulai cerewet memberi tahu ini dan itu. Padahal, yang diucapkan itu-itu saja dan selalu diulang-ulang.“Mam
Kenangan indah itu seperti sahabat lama yang tidak pernah bersua. Mereka tidak ada di pikiran, tetapi tetap bersemayam di hati. Dan, mereka akan menghangatkan hati ini saat kerinduan menghampiri.Kuhentikan memainkan gitar, dan meletakkan kembali ke gantungan.“Kak Wisnu kangen Kak Rima?” Mata bulat di depanku mengerjap. Pandangannya seakan bersiap memberondong celetukan usil saat aku menjawab ‘iya’.“Enggak.”“Masak? Tuh, pipinya mulai memerah.”“Ya udah kalau tidak percaya,” jawabku langsung memalingkan wajah. Tangan ini dengan sendirinya menangkup wajah, memastikan yang dikatakan Amelia benar. Dia justru tertawa, seakan jebakannya mendapat maksa.Huft dasar!Aku menghela napas, sambil memperbaiki letak gitar yang terlihat miring. Kemudian menarik kursi untuk duduk di depannya. “Kenapa cari Kak Wisnu?”Adikku ini senyum-senyum sambil mengerjapkan mata. Seperti baru mendapatkan sesuatu yang menyenangkan.“Papi sudah memberi izin kepada Amel ke Korea. Papi juga bolehin Amel tinggal di
“Papi mendengar suara gitar dari kamarmu, Wis. Sini, kita gitaran bareng,” ucap Papi Kusuma menyambutku.Dia menunjuk gitar yang ada di rak penyimpanan. Aku mengambil keduanya. Satu untuk aku sebagai melodi, sedangkan satunya untuknya sebagai bass. Papi Kusuma paling jago untuk ini. Alunan lagu menjadi sempurna dengan dilengkapi suara gitar bernada rendah. Walaupun dia orang yang super sibuk, tetapi kemampuan bermain gitar melebihi rata-rata, termasuk melebihi kemampuan Papa Bram.‘Eh! Aku kok membandingkan keduanya, ya?’ bisik hati ini sambil menggelengkan kepala. Pemikiran yang selalu aku hindari, tetapi sering mencuat akhir-akhir ini.“Kita mau nyanyi lagu apa?” tanyanya sambil mengulurkan tangan menerima gitar yang aku berikan.Aku duduk di seberangnya, dibatasi dengan meja kayu. Sebenarnya agak malas bermain gitar. Hati ini seakan enggan melantunkan lagu senang, tetapi keadaan sedang kondisi kebalikannya. Niatku untuk mengutarakan masalahku bisa terabaikan, sedangkan waktu hanya