Aroma ayam goreng lengkuas begitu semerbak, sesaat kaki ini memasuki rumah. Rasa lapar yang sempat terlupakan, sekarang berontak seperti tidak sabar.Amelia sudah menunjukkan senyuman sambil melambaikan tangan. “Ayo, Kak, Pi. Buruan. Amel sudah lapar,” serunya tidak sabar.Dia pasti terikat dengan peraturan Mama. Sebelum anggota yang ada di rumah lengkap di meja makan, tidak boleh mendahului makan. Kalau hal atur-mengatur, Mama memang jagonya.Papi Kusuma melemparkan pandangan kepadaku, seakan memberi kesepakatan tentang percakapan yang tadi tertunda.Piring makan sudah dibuka, satu persatu Mama mengisi dengan nasi putih. “Kalian mabil sendiri lauknya, Tapi gantian,” ucapnya setelah melengkapi piring milih Papi Kusuma dengan isian lengkap.Tanpa diperintah kedua kali, aku dan Amelia bergerak cepat. Untuk lauk satu ini, aku tidak mau kalah. Tidak ada rem, yang ada gas pol. Sempat berebut dengan Amelia, tapi mata Mama yang melotot membuat kami ciut seketika.“Mama sudah masak yang belum
[Aku minta maaf. Berjuta kali kalimat ini aku lantunkan, mungkin tidak membasuh bersih kesalahanku. Aku mengerti, kalau kata maaf darimu tidak mudah ditautkan.] [Sekarang, aku akan menerima semua yang terjadi sebagai hukuman karena kesalahan besarku kepada kamu sekeluarga. Terlebih kepada Wisnu.] [Aku tahu apa yang aku lakukan dulu sangat menyakitimu. Walaupun aku tidak berniat, tapi sikap egoisku untuk mendapatkan kebahagiaan ternyata keliru.] [Sekali lagi, aku minta maaf] Aku mengernyit. Siapa ini? Pesan dari nomor yang tidak tercatat di ponselku. Dia menyebut nama Wisnu, apa ini berarti dari Mas Bram? Kenapa dia harus meminta maaf? Bukankah urusan kami sudah selesai? Bagiku, itu kisah yang sudah tamat. Aku saja sudah enggan membicarakan masa-masa kelam dulu. Untuk apa? Aku sudah bahagia dengan keluargaku yang sekarang. Tidak ada gunanya membahas yang sudah lalu. Kalaupun itu wujud kesadaran tentang kekelirun, itu sudah terlambat untuk disampaikan. Satu sudut bibirku tertarik
Yang menjadi korban perceraian, bukan istri atau suami. Mereka justru terbebaskan dari hubungan yang sudah tidak sehat. Namun, korban sebenarnya adalah anak. Sampai berapapun usianya, dia tidak bisa melepaskan kisah itu. Karena seumur hibupnya tetap terkain dengan orang tua yang sudah tidak bersama lagi. Seperti keadaan Wisnu sekarang. “Papa, Ma,” ucap Wisnu sesaat sebelum matanya mulai basah. Mas Suma meletakkan gitar, kemudian mendekatkan tisu ke arahnya. Mata ini menangkap tempat sampah yang sudah teronggok tisu bekas. Apa ini berarti dia sudah menangis sedari tadi sebelum aku ke sini? Aku menatap ke arah Mas Suma, dia mengangguk seakan mengerti apa yang aku pikirkan. “Papa kenapa, Kak?” Kedua tangan ini menangkup lengannya, memaksa dirinya untuk tidak menunduk lagi. “Ran. Yang ditulis Wulan itu benar.” “Apa? Mas Bram kenapa?” tanyaku menoleh ke Mas Suma. Aku semakin tidak sabar. Mas Bram memang mantan suami yang pernah menorehkan luka yang begitu dalam. Aku sudah berdamai d
“Tolong Papa, Wisnu.” Suara yang aku tangkap sebelum terdengar suara seperti terjatuh.“Papa! Papa!” Teriakkanku tidak terjawab, hanya suara gaduh yang aku dengar sekarang. Sekejap, rasa panik menyergap dan membuatku bingung seketika. Apa yang terjadi pada Papa Bram?Ponsel tetap di tangan. Tidak berhenti aku memanggil namanya, berharap ada yang menjawab.“Halo! Halo.” Suara dari sebrang, aku segera menjawab.“Halo. Saya anak dari laki-laki yang memiliki hape ini. Ini dimana, ya?”“Bapak ini pingsan.”“Tolong jaga Papa saya dulu. Saya akan ke sana sekarang.” Papa ada di restoran di hotel tempat dia menginap. Aku kemudian menyebut nomor kamar, dan meminta mereka untuk mengantarnya.Langsung aku melompat dan mengambil jaket. Menggunakan mobil akan memakan waktu yang lama, lebih baik aku meminjam motor Pak Satpam.Jalanan seperti tidak berpihak kepadaku. Semakin aku menambah kecepatan, aku merasa jarak semakin menjauh. Bunyi klakson aku bunyikan untuk memaksa mereka untuk menyingkir. Ak
“Apa yang harus aku lakukan, Pi?”Aku tidak bisa berbohong kepada Papi Kusuma. Dia menelponku dan menangkap nada suara ini yang mungkin terdengar tidak beres. Yang aku ucapkan, mengantarkan ayah tiriku itu, ada di depanku sekarang. Kami janjian di lobi hotel.“Pak Bram sekarang sudah istirahat, kan?”“Sudah, Pi. Sebentar, obat yang dikomsumsi Papa ini.” Aku mengeluarkan obat dispresi dan menunjukkannya. Papi Suma menerima dan mengamatinya.“Obat ini sebenarnya tidak berbahaya, Wis. Kami sering menggunakan kalau membutuhkan.”“Papi?” tanyaku dengan terkejut.“Iya. Tapi itu dulu saat Papi masih hidup untuk kerja. Tekanan pekerjaan dan tuntutan kami untuk selalu dalam kondisi fit, memaksa memilih jalan pintas ini. Asal tetap pada dosis yang ditetapkan.”“Sekarang juga?”Papi tersenyum. “Kalau sekarang Papi minum ginian, bisa diceramahi Mama kamu tujuh hari tujuh malam.”Papi menyerahkan kembali obat yang tadi di tangannya. “Pak Bram sekarang membutuhkan pemulihan. Mama kamu kan bilang,
Sempat tangan ini mengepal erat. Gigi gerahamku menggeletuk menahan amarah. Kecurigaanku semakin bersarang. Pikiranku bergulir dan mengarah kepada satu nama, Kusuma Adijaya.Bisa jadi kekuasaan yang ada ditangannya, dan rasa ingin balas dendam membulatkan niat untuk menghancurkan aku. Mungkin saja dia tidak menerima melihatku baik-baik saja, bahkan semakin terlihat bahagia. Aku yang orang khalayak memberi label seorang penghianat, bisa menjalani hidup dengan bahagia. Tanpa ada rasa sakit atau hukuman yang sering mereka kumandangkan.“Proses penunjukkan perusahaan vendor tetap dilakukan seperti biasanya, tingkat nasional dan terbuka. Perusahaan Pak Bram gagal menyelesaikan sesuai perjanjian, jadi perusahaan penerus jatuh pada perusahaan kandidat kedua,” ucap karyawan kantor di ibu kota.Niat ini untuk mengkonfrontasi dengan segala asumsi yang bersifat subyektif, akhirnya luruh seketika. Langkah ini mundur teratur dan terpaksa menyerah. Otak warasku mampu mengambil alih emosi yang ti
“Semua sudah diselesaikan sesuai arahan,” ucap Desi setelah meletakkan berkas di meja. Aku mengacungkan jempol, kemudian meregangkan tubuh mengurai penat yang beberapa hari ini mencengkeram. Begitu banyak yang aku pikirnya dan harus diselesaikan, memaksaku mengeluarkan energi dan emosi melebihi ambang batas. Kalau pekerjaan hanya melihatkan isi kepala, aku sudah biasa. Sedangkan ini aku harus melibatkan hati. Mulai mengatur pembiayaan perusahaan Pak Santoso, pembentukan perusahaan yang akan mendukung Wisnu, dan menyelesaikan proyek yang menyangkut nama Bramantyo. Aku mengambil berkas yang diletakkan Desi. Berkas berwarna orange, yang berisi bagaimana aku sanggup menghukum seseorang yang mencoba mendekati istriku. Aku tidak akan mengusik seseorang, kalau dia tidak mendahuluinya. “Hanya ini yang kamu dapat beberapa hari ini?” Sosok berperawakan tinggi besar dan menggunakan jaket hitam, menyatukan tangannya ke depan dengan tubuh agak membungkuk. Dia mengangguk. “Itu yang terjangkau
Anak dari suatu pernikahan, akan mengikat orang-orang di dalamnya. Selamanya. Walaupun pernikahannya sendiri sudah tidak tersisa.Seperti Dewi ini. Aku harus berhubungan dengan orang yang menyebalkan seperti dia. Bukan, tepatnya orang yang tidak seserver denganku. Ini hanya karena dia ibu kandung dari Amelia.“Suami kamu dimana, Maharani?”Satu pertanyaan pembuka saja sudah membuatku sebal. Apa dia tidak pernah diajari sopan santun? Sudah tua tapi tidak mengerti kalimat mana yang tepat untuk memulai percakapan.“Selamat malam, Mbak Dewi.”“Oh iya. Malam Maharani. Dimana dia?”Aku menghela napas. Mungkin kalau aku menggunakan akal sehat, di awal percakapan sudah baku hantam. Ini seorang mantan istri menanyakan mantan suami kepada istri mantan suaminya itu. Ribet, ah!“Dia tidak bersamaku. Ada apa?” jawabku dengan nada datar. Aku tidak berbohong, memang Mas Suma tidak di sampingku, kan. Dia di ruangan sebelah.“Aku ingin bicara dengannya.”“Telpon saja hapenya,” jawabku berusaha santa