[Kak. Tadi malam Mama ketiduran. Sebelum mulai kerja, telpon Mama, ya] Aku pencet tombol send, kemudian memasukkan ke saku daster. Tidak lupa mengganti mode dering yang ribut. Sekarang aku memilih menyelesaikan pekerjaan pagi lebih awal. Setelahnya, aku bisa leluasa menghubungi Wisnu. “Pagi, Bik Inah.” “Pagi, Bu Rani,” sahut wanita yang rambutnya sudah dikuasi uban. Kepalanya melongok ke arah jam dinding, dan menoleh ke arahku lagi. “Bibik pikir, saya yang kesiangan.” “Ternyata saya yang kepagian,” sahutku sambil tertawa. Aku memasang celemek bersih, kemudian menilik isi lemari pendingin. Kebiasaanku, berdiri berlama-lama sambil mengamati bahan makanan apa yang tersisa. Sekalian mencari ide untuk memasak apa hari ini. “Banyak yang habis, Bu Rani. Apa saya harus belanja hari ini?” tanya Bik Inah sambil sibuk mencuci perabotan. “Boleh, Bik. Kita masak untuk makan pagi saja. Toh yang di rumah hanya saya dan Mas Suma. Bahan untuk orang belakang ada?” “Ada, Bu Rani. Kalau begitu nan
“Ada apa, Suamiku Sayang?” ucapku setelah membuka pintu kamar tamu. Mas Suma melihatku dengan heran. Dia menggerakkan dagu seakan mempertanyaan aku sedang apa.“Menerima telpon Wisnu, Mas.” Aku menggerak-gerakkan ponsel. Seakan tidak percaya, ekspresinya belum berubah.“Aku menelpon Wisnu untuk membicarakan yang Mas Suma katakan tadi malam. Ingat? Yang ingin supaya anak-anak kita ngumpul sampai kita sudah tua itu, lo. Makanya aku desak dia supaya cepat menikah dan tinggal di sini.”“loh, kok nikah?”“Ya lah, Mas. Laki-laki itu sebelum menikah pasti inginnya loncat kesana kesini. Pindah kota ini dan itu. Iya, kan? Makanya aku dorong dia untuk memantapkan hati dengan Rima. Toh, menurutmu dia wanita yang tepat,” ucapku kemudian mengamit lengannya menuju. Meja makan.Di sana sudah siap mangkok besar berisi soto ayam, lengkap dengan isian lainnya. Termasuk keripik kentang kesukaan Mas Suma.“Harus begitu?”“Hu-um. Kalau tinggal di kota ini dan menikah, pasti dia tidak kepikir untuk pindah
Kalau bukan karena ingat Mama, bisa dipastikan aku dan Rima akan benar-benar khilaf. Janjiku untuk menelponkan kembali, terngiang di telinga dan meluruhkan hasrat yang sempat menguasai kami.POV Author-Tiga puluh menit yang lalu-Mereka saling meraup seakan berebut dahaga untuk dipuaskan. Menunjukkan kerinduan keduanya begitu pekat. Merekapun saling berpagut dan tak sadar sudah terhempas di ranjang.Akal sehat mulai terkalahkan dengan hasrat. Gadis itu dengan nekad melepas kancing atasnya piyama yang di kenakan pemuda itu. Gerakannya menggoda, bahkan dia memanjangkan leher putih sambil mendesahkan nama sang kekasih. Mata Wisnu mulai berkabut melihat apa yang di hadapannya. Dadanya mulai sesak dengan gairah yang mulai tak tertahankan.Berkali-kali dia menyebut nama Rima, sambil membenamkan wajah di tempat yang seharusnya belum diperbolehkan.“Sayang, ini salah….” ucap lirih Wisnu dengan wajah tertahan.Pertarungan dalam hati Wisnu tarik ulur antara logika dan hasrat. Dalam hati men
“Kita sekarang latihan, ya,” ucap Rima yang berjalan dari dapur. Entah apa yang dia lakukan. Aku sedang sibuk menyiapkan diri untuk berangkat. Ada orang dari pusat memeriksa progres proyek yang kami lakukan. Om Tiok menambah waktu cuti. Terpaksa aku sendiri yang menghandel mereka.“Taraa …!” teriaknya dengan merentangkan kedua tangannya.Sudah siap makanan pagi di meja kecil, seberang dapur. Dua gelas minuman berwarna orang, dan dua piring berisi roti bakar. Kekasihku ini, menarik lenganku dan mendudukkan aku. “Sekarang, Mas Wisnu harus makan dulu. Kerja akan lebih semangat kalau perut terisi. Karena lambung itu harus ada yang diolah untuk dirubah menjadi energi,” jelasnya memantik senyumanku terbit. Di rumah aku diserang omelan oleh Mama, dan sekarang aku juga mendapatkan hal senada dari Rima.“Kenapa? Tidak suka?” tanyanya sambil menggerak-gerakkan kelopak matanya.“Suka banget. Cuma ….”“Cuma apa?”“Kamu cerewetnya kayak mama aku ,” ucapku sambil mengacak rambutnya. “Terima kasi
“Gombal!” teriakku sesaat setelah sadar. Aku langsung beranjak dan meninggalkan dirinya yang sibuk membereskan bekas makanku. Langkah ini aku ayun lebar-lebar, tidak peduli dia yang berusaha mensejajariku dan meneriakkan namaku.Kalau aku mempunyai jurus menghilang, pasti aku lakukan sekarang. Melarikan diri darinya untuk menyembunyikan pipiku yang memanas. Atau, kalau aku memiliki sihir yang sakti, aku akan membutakan sejenak. Sehingga aku bisa leluasa menatap wajahnya yang begitu mempesona ini tanpa terganggu dengan sorot matanya.“Amel! Amelia! Berhenti!” serunya lagi. Aku tidak menghentikan langkah, justru mempercepat gerakan kakiku ini. Senyum ini terbit dengan sendirinya, ternyata dia begitu ingin dekat denganku. Dan pujian itu, bukankah mengukuhkan kalau selama ini dia serius?“Berhenti Amel. Pintu masuk perpustakaan sudah di sana, bukankah kita akan ke perpustakaan?” tanyanya setelah berhasil menghentikan langkahku. Sekarang dia berdiri tepat di hadapanku.Aku menoleh ke belak
“Non Amelia, kenapa!?”Aku menghindar dari orang depan supaya tidak heboh, sekarang justru Bik Inah membuat keributan. Tidak hanya Pak Maman yang datang, bahkan penjaga di depan langsung menghampiri kami.Seperti dugaanku, Pak Maman langsung sigap untuk menggantikan Kevin yang menggendongku. Untungnya Kevin menolak dan melanjutkan langkah. Pak Maman memang begitu perhatian denganku. Dialah yang selalu mengantarkan aku dari kecil dulu. Aku masih ingat, saat masih taman kanak-kanak. Dialah yang menggendongku kalau aku malas sekolah dan pura-pura tertidur. Makanya, aku yakin dengan apa yang dia lakukan sekarang. Walaupun menyisakan kekawatiran, apakah punggungkan akan baik-baik saja kalau menggendongku?Mama yang sedang di kantor depan, langsung ke luar. Mendapati aku di gendongan Kevin, wajahnya langsung terlihat panik.“Kenapa Amelia, Kevin?”“Tante Maharani__”“Sudah-sudah, nanti saja ceritanya. Kita bawa masuk Amelia,” ucap Mama sambil mengarahkan Kevin untuk masuk ke rumah. Seakan t
Ingin rasanya menyihir Kevin menjadi squisy. Diremat-remat, tapi tidak boleh rusak. Aku akan memilih dia menjadi bentuk burung hantu, tapi dengan mata terpejam. Pasti lucu seperti wajahnya kalau tertawa, matanya terpejam dengan kelopak membentuk bulan sabit.Gara-gara lontaran konyolnya, aku disidang oleh Om Hendra. Kenapa dia tidak menjawab kalau kami berteman, dia justru melontarkan ungkapan terkesan abu-abu. Menggiring opini seakan semua ada di tanganku. Laki-laki macam apaan seperti itu?“Aku dan Kevin berteman, Om. Kebetulan saja kita satu jurusan dan sekarang sedang mengerjakan tuga bersama. Hanya itu,” ucapku sambil menunjukkan dua jariku ke atas. Sekilas aku melihat Kevin mengerutkan dahi.‘Kenapa?’ bisikku dalam hati, tapi itu aku abaikan. Mungkin saja dia sedang memikirkan sesuatu.“Beneran begitu, Kevin?” tanya Om Hendra beralih kepada Kevin.Aku menatapnya dengan was-was. Kalau aku pikir, Om Hendra ini tidak lebih seperti Papi, ya. Eh, bukan. Lebih mirip seperti detektif
Jodoh itu lucu, ya? Kita sering fokus pada tataran ideal dari sudut pandang orang banyak. Pasangan harus ini dan itu yang merujuk pada pangeran dan putri. Demi hal ini, pandangan mata dilebarkan seluas-luasnya. Sampai-sampai tidak melihat kalau sudah disiapkan tepat di sampingnya.“Jadi Om Hendra dan Tante Jenifer temenan dari TK?”Seakan melupakan rasa sakit pada kakinya, Amelia menegakkan duduk dengan mata membulat. Begitu juga Kevin, anak berkulit putih bersih itu terlihat antusias menunggu penjelasan kedua orang dewasa ini.Dengan bergantian, Dokter Hendra dan Jenifer bercerita. Mengungkapkan betapa lucunya mereka saat kecil. Bagaimana mereka sering saling ejek, bahkan bermusuhan.“Kenapa Om tidak deketan sama Tante sejak sekolah saja? Kenapa nunggu begitu lama?” tanya Kevin.“Kevin, bagaimana om bisa naksir. Dia ini pas sekolah dulu centilnya minta ampun. Setiap sekolah selalu pake jaket warna pink, ada kerlip-kerlipnya, lagi. Belum kalau ngomong yang sok kecentilan,” ucap Dokt