“Kita sekarang latihan, ya,” ucap Rima yang berjalan dari dapur. Entah apa yang dia lakukan. Aku sedang sibuk menyiapkan diri untuk berangkat. Ada orang dari pusat memeriksa progres proyek yang kami lakukan. Om Tiok menambah waktu cuti. Terpaksa aku sendiri yang menghandel mereka.“Taraa …!” teriaknya dengan merentangkan kedua tangannya.Sudah siap makanan pagi di meja kecil, seberang dapur. Dua gelas minuman berwarna orang, dan dua piring berisi roti bakar. Kekasihku ini, menarik lenganku dan mendudukkan aku. “Sekarang, Mas Wisnu harus makan dulu. Kerja akan lebih semangat kalau perut terisi. Karena lambung itu harus ada yang diolah untuk dirubah menjadi energi,” jelasnya memantik senyumanku terbit. Di rumah aku diserang omelan oleh Mama, dan sekarang aku juga mendapatkan hal senada dari Rima.“Kenapa? Tidak suka?” tanyanya sambil menggerak-gerakkan kelopak matanya.“Suka banget. Cuma ….”“Cuma apa?”“Kamu cerewetnya kayak mama aku ,” ucapku sambil mengacak rambutnya. “Terima kasi
“Gombal!” teriakku sesaat setelah sadar. Aku langsung beranjak dan meninggalkan dirinya yang sibuk membereskan bekas makanku. Langkah ini aku ayun lebar-lebar, tidak peduli dia yang berusaha mensejajariku dan meneriakkan namaku.Kalau aku mempunyai jurus menghilang, pasti aku lakukan sekarang. Melarikan diri darinya untuk menyembunyikan pipiku yang memanas. Atau, kalau aku memiliki sihir yang sakti, aku akan membutakan sejenak. Sehingga aku bisa leluasa menatap wajahnya yang begitu mempesona ini tanpa terganggu dengan sorot matanya.“Amel! Amelia! Berhenti!” serunya lagi. Aku tidak menghentikan langkah, justru mempercepat gerakan kakiku ini. Senyum ini terbit dengan sendirinya, ternyata dia begitu ingin dekat denganku. Dan pujian itu, bukankah mengukuhkan kalau selama ini dia serius?“Berhenti Amel. Pintu masuk perpustakaan sudah di sana, bukankah kita akan ke perpustakaan?” tanyanya setelah berhasil menghentikan langkahku. Sekarang dia berdiri tepat di hadapanku.Aku menoleh ke belak
“Non Amelia, kenapa!?”Aku menghindar dari orang depan supaya tidak heboh, sekarang justru Bik Inah membuat keributan. Tidak hanya Pak Maman yang datang, bahkan penjaga di depan langsung menghampiri kami.Seperti dugaanku, Pak Maman langsung sigap untuk menggantikan Kevin yang menggendongku. Untungnya Kevin menolak dan melanjutkan langkah. Pak Maman memang begitu perhatian denganku. Dialah yang selalu mengantarkan aku dari kecil dulu. Aku masih ingat, saat masih taman kanak-kanak. Dialah yang menggendongku kalau aku malas sekolah dan pura-pura tertidur. Makanya, aku yakin dengan apa yang dia lakukan sekarang. Walaupun menyisakan kekawatiran, apakah punggungkan akan baik-baik saja kalau menggendongku?Mama yang sedang di kantor depan, langsung ke luar. Mendapati aku di gendongan Kevin, wajahnya langsung terlihat panik.“Kenapa Amelia, Kevin?”“Tante Maharani__”“Sudah-sudah, nanti saja ceritanya. Kita bawa masuk Amelia,” ucap Mama sambil mengarahkan Kevin untuk masuk ke rumah. Seakan t
Ingin rasanya menyihir Kevin menjadi squisy. Diremat-remat, tapi tidak boleh rusak. Aku akan memilih dia menjadi bentuk burung hantu, tapi dengan mata terpejam. Pasti lucu seperti wajahnya kalau tertawa, matanya terpejam dengan kelopak membentuk bulan sabit.Gara-gara lontaran konyolnya, aku disidang oleh Om Hendra. Kenapa dia tidak menjawab kalau kami berteman, dia justru melontarkan ungkapan terkesan abu-abu. Menggiring opini seakan semua ada di tanganku. Laki-laki macam apaan seperti itu?“Aku dan Kevin berteman, Om. Kebetulan saja kita satu jurusan dan sekarang sedang mengerjakan tuga bersama. Hanya itu,” ucapku sambil menunjukkan dua jariku ke atas. Sekilas aku melihat Kevin mengerutkan dahi.‘Kenapa?’ bisikku dalam hati, tapi itu aku abaikan. Mungkin saja dia sedang memikirkan sesuatu.“Beneran begitu, Kevin?” tanya Om Hendra beralih kepada Kevin.Aku menatapnya dengan was-was. Kalau aku pikir, Om Hendra ini tidak lebih seperti Papi, ya. Eh, bukan. Lebih mirip seperti detektif
Jodoh itu lucu, ya? Kita sering fokus pada tataran ideal dari sudut pandang orang banyak. Pasangan harus ini dan itu yang merujuk pada pangeran dan putri. Demi hal ini, pandangan mata dilebarkan seluas-luasnya. Sampai-sampai tidak melihat kalau sudah disiapkan tepat di sampingnya.“Jadi Om Hendra dan Tante Jenifer temenan dari TK?”Seakan melupakan rasa sakit pada kakinya, Amelia menegakkan duduk dengan mata membulat. Begitu juga Kevin, anak berkulit putih bersih itu terlihat antusias menunggu penjelasan kedua orang dewasa ini.Dengan bergantian, Dokter Hendra dan Jenifer bercerita. Mengungkapkan betapa lucunya mereka saat kecil. Bagaimana mereka sering saling ejek, bahkan bermusuhan.“Kenapa Om tidak deketan sama Tante sejak sekolah saja? Kenapa nunggu begitu lama?” tanya Kevin.“Kevin, bagaimana om bisa naksir. Dia ini pas sekolah dulu centilnya minta ampun. Setiap sekolah selalu pake jaket warna pink, ada kerlip-kerlipnya, lagi. Belum kalau ngomong yang sok kecentilan,” ucap Dokt
Anak kalau sudah besar lebih gampang menghadapinya. Mereka sudah mandiri, tidak memerlukan bimbingan lagi, apalagi harus ditungguin. Bahkan, mereka sudah bisa membantu orang tua. Iya, kan? Tidak. Tidak semudah itu. Semakin anak beranjak besar, semakin besar juga tantangan yang dihadapi orang tua. Yang dihadapi bergulir semakin komplek. Dulu saat bayi, tugas orang tua memberitahu cara makan minum, berjalan, bicara, menilis, dan membaca. Namun, setelah mereka dewasa? Seperti Wisnu yang sudah dewasa dan Amelia yang mulai beranjak besar. Mereka sudah memiliki pemikiran, keingian yang diperjuangkan. Bekal yang kita berikan selama ini, seakan mendapatkan ruang untuk diuji. Apakah mereka selama ini menerima benar apa yang kita katakan, atau justru menunjukkan kalau kita gagal mendidik mereka. “Kita jadi ke Kuta besok, Ma?” tanya Amelia sambil menggandeng Anind. Lama sekali adiknya diajak di kamarnya. Keluar-keluar, Anind sudah berubah penampilan seperti boneka Barbie. “Hu-um,” sahutku,
“Enak, ya, Kak Wisnu, sering liburan,” ucapku langsung menghubungi dia. Pikirku, mumpung ponselnya masih aktif. Berarti dia tidak sedang di proyek, sekalian ingin menjawab rasa penasaran ini. Sambungan telpon ini videocall. Aku ingin tahu apartemen tempat tinggal Kakakku ini sekarang. “Iya, lah. Di sini banyak pantai, wisata pegunungan, danau, budaya, pokoknya banyak.” “Enak, ya. Kak Wisnu pasti bareng sama teman-temannya,” ucapku sambil menajamkan mata ke arah belakang Kak Wisnu. Menilik dari yang tertangkap di layar, apartemennya terlihat rapi dengan nuansa maskulin. “Iya. Pas ada, Om Tiok. Sekarang dia kan belum kembali. Katanya delay satu minggu untuk bulan madu. Makanya tidak ada temen,” seru Kak Wisnu sambil tertawa. “Terus, Kak Wisnu ke pantai sama siapa?” “Hmm? Pantai?” “Iya. Yang difoto profil ini,” ucapku tidak lepas dari ekspresi wajah Kak Wisnu. Sesaat dia terlihat bingung dengan yang aku maksud. Wah, jangan-jangan ada yang disembunyikan. “Oh. Foto ini. Itu foto
“Kevin! Tidak lucu, tahu!” teriakku kesal.“Habisnya kamu ini sudah mikir yang aneh-aneh,” serunya sambil tertawa terbahak-bahak, memperlihatkan matanya yang menyipit menggemaskan.Bukan salahku kalau aku berpikir keliru. Pemandangan yang tampak di layar memperlihatkan ada shower di belakangnya, tergantung di dinding bebatuan berwarna hitam. Itu kan seperti di kamar mandi.“Aku tadi baru datang. Dan langsung berenang mengusir penat. Ini aku sudah selesai dan membilas badan. Eh, kamu nelpon.”“Tidak dingin?”“Tidak. Justru badan jadi segar. Berenang kan semua anggota tubuh bergerak. Kalau di sana aku tidak sempat olah raga. Eh, sempat, ding. Olah raga angkat beban pas gendong kamu,” serunya semakin membuatku kesal. Sekarang penampakan di layar berganti. Dia sudah berpindah di bawah payung berwarna coklat susu.Aku mendegus. “Kamu tidak iklas nolongin aku, ya?”“Aku justru senang. Besuk kamu jadi ke sini, kan? Aku gendong lagi.”“Ngawur!”“Entar, ya,” ucapnya, kemudian layar ponsel berg