Ingin rasanya menyihir Kevin menjadi squisy. Diremat-remat, tapi tidak boleh rusak. Aku akan memilih dia menjadi bentuk burung hantu, tapi dengan mata terpejam. Pasti lucu seperti wajahnya kalau tertawa, matanya terpejam dengan kelopak membentuk bulan sabit.Gara-gara lontaran konyolnya, aku disidang oleh Om Hendra. Kenapa dia tidak menjawab kalau kami berteman, dia justru melontarkan ungkapan terkesan abu-abu. Menggiring opini seakan semua ada di tanganku. Laki-laki macam apaan seperti itu?“Aku dan Kevin berteman, Om. Kebetulan saja kita satu jurusan dan sekarang sedang mengerjakan tuga bersama. Hanya itu,” ucapku sambil menunjukkan dua jariku ke atas. Sekilas aku melihat Kevin mengerutkan dahi.‘Kenapa?’ bisikku dalam hati, tapi itu aku abaikan. Mungkin saja dia sedang memikirkan sesuatu.“Beneran begitu, Kevin?” tanya Om Hendra beralih kepada Kevin.Aku menatapnya dengan was-was. Kalau aku pikir, Om Hendra ini tidak lebih seperti Papi, ya. Eh, bukan. Lebih mirip seperti detektif
Jodoh itu lucu, ya? Kita sering fokus pada tataran ideal dari sudut pandang orang banyak. Pasangan harus ini dan itu yang merujuk pada pangeran dan putri. Demi hal ini, pandangan mata dilebarkan seluas-luasnya. Sampai-sampai tidak melihat kalau sudah disiapkan tepat di sampingnya.“Jadi Om Hendra dan Tante Jenifer temenan dari TK?”Seakan melupakan rasa sakit pada kakinya, Amelia menegakkan duduk dengan mata membulat. Begitu juga Kevin, anak berkulit putih bersih itu terlihat antusias menunggu penjelasan kedua orang dewasa ini.Dengan bergantian, Dokter Hendra dan Jenifer bercerita. Mengungkapkan betapa lucunya mereka saat kecil. Bagaimana mereka sering saling ejek, bahkan bermusuhan.“Kenapa Om tidak deketan sama Tante sejak sekolah saja? Kenapa nunggu begitu lama?” tanya Kevin.“Kevin, bagaimana om bisa naksir. Dia ini pas sekolah dulu centilnya minta ampun. Setiap sekolah selalu pake jaket warna pink, ada kerlip-kerlipnya, lagi. Belum kalau ngomong yang sok kecentilan,” ucap Dokt
Anak kalau sudah besar lebih gampang menghadapinya. Mereka sudah mandiri, tidak memerlukan bimbingan lagi, apalagi harus ditungguin. Bahkan, mereka sudah bisa membantu orang tua. Iya, kan? Tidak. Tidak semudah itu. Semakin anak beranjak besar, semakin besar juga tantangan yang dihadapi orang tua. Yang dihadapi bergulir semakin komplek. Dulu saat bayi, tugas orang tua memberitahu cara makan minum, berjalan, bicara, menilis, dan membaca. Namun, setelah mereka dewasa? Seperti Wisnu yang sudah dewasa dan Amelia yang mulai beranjak besar. Mereka sudah memiliki pemikiran, keingian yang diperjuangkan. Bekal yang kita berikan selama ini, seakan mendapatkan ruang untuk diuji. Apakah mereka selama ini menerima benar apa yang kita katakan, atau justru menunjukkan kalau kita gagal mendidik mereka. “Kita jadi ke Kuta besok, Ma?” tanya Amelia sambil menggandeng Anind. Lama sekali adiknya diajak di kamarnya. Keluar-keluar, Anind sudah berubah penampilan seperti boneka Barbie. “Hu-um,” sahutku,
“Enak, ya, Kak Wisnu, sering liburan,” ucapku langsung menghubungi dia. Pikirku, mumpung ponselnya masih aktif. Berarti dia tidak sedang di proyek, sekalian ingin menjawab rasa penasaran ini. Sambungan telpon ini videocall. Aku ingin tahu apartemen tempat tinggal Kakakku ini sekarang. “Iya, lah. Di sini banyak pantai, wisata pegunungan, danau, budaya, pokoknya banyak.” “Enak, ya. Kak Wisnu pasti bareng sama teman-temannya,” ucapku sambil menajamkan mata ke arah belakang Kak Wisnu. Menilik dari yang tertangkap di layar, apartemennya terlihat rapi dengan nuansa maskulin. “Iya. Pas ada, Om Tiok. Sekarang dia kan belum kembali. Katanya delay satu minggu untuk bulan madu. Makanya tidak ada temen,” seru Kak Wisnu sambil tertawa. “Terus, Kak Wisnu ke pantai sama siapa?” “Hmm? Pantai?” “Iya. Yang difoto profil ini,” ucapku tidak lepas dari ekspresi wajah Kak Wisnu. Sesaat dia terlihat bingung dengan yang aku maksud. Wah, jangan-jangan ada yang disembunyikan. “Oh. Foto ini. Itu foto
“Kevin! Tidak lucu, tahu!” teriakku kesal.“Habisnya kamu ini sudah mikir yang aneh-aneh,” serunya sambil tertawa terbahak-bahak, memperlihatkan matanya yang menyipit menggemaskan.Bukan salahku kalau aku berpikir keliru. Pemandangan yang tampak di layar memperlihatkan ada shower di belakangnya, tergantung di dinding bebatuan berwarna hitam. Itu kan seperti di kamar mandi.“Aku tadi baru datang. Dan langsung berenang mengusir penat. Ini aku sudah selesai dan membilas badan. Eh, kamu nelpon.”“Tidak dingin?”“Tidak. Justru badan jadi segar. Berenang kan semua anggota tubuh bergerak. Kalau di sana aku tidak sempat olah raga. Eh, sempat, ding. Olah raga angkat beban pas gendong kamu,” serunya semakin membuatku kesal. Sekarang penampakan di layar berganti. Dia sudah berpindah di bawah payung berwarna coklat susu.Aku mendegus. “Kamu tidak iklas nolongin aku, ya?”“Aku justru senang. Besuk kamu jadi ke sini, kan? Aku gendong lagi.”“Ngawur!”“Entar, ya,” ucapnya, kemudian layar ponsel berg
“Kak Amel banyak sekali baju yang akan dikemas? Kita cuma dua hari di sana.” Suara Mama mengagetkan aku.Terus terang aku bingung baju mana yang akan aku pakai. Nanti aku kan jalan-jalan dengan Kevin, harus menggunakan baju yang tepat supaya tidak salah kostum. Iya kalau jalan-jalannya di mall, kalau justru di pantai, atau di pegunungan? Tidak mungkin aku menggunakan baju cantik, kan?Aku menghela napas sambil mendudukkan diri di antara tumpukan baju, sambil menatap lemariku yang nyaris kosong.“Mama …. Tolongi Amel,” ucapku sambil mengerjapkan mata. Jurus jitu kalau meminta sesuatu. Mama tertawa. Dia tidak membantuku, justru menarik kursi dan duduk tepat di depanku.“Kak Amel bingung?”“Iya, Ma. Acaranya kan banyak. Belum nanti acara dengan teman-teman Papi, sama keluarga Tante Elysia, terus belum kalau Kevin ajak Amel jalan-jalan.”Mama tersenyum, kemudian mengambil kertas dan bolpoin, kemudian menyerahkan kepadaku.“Sekarang coba catat semua yang Kak Amel bilang tadi. Terus, pilah
Aku tuh sering seperti ini. Otakku seakan berpikir sendiri tanpa aku perintah. Dia selalu menyodorkan segala asumsi yang cenderung berpikir berlebihan. Ini seperti dugaan yang belum tentu benar, walaupun berpijak pada segala fakta. Seperti sekarang, Kevin tergelak saat aku mencecarnya dengan omelan tentang tempat yang tidak biasa itu. “Kevin! Ok lah itu memang kamu melihat seperti biasa saja. Tetapi itu budaya luar yang tidak sesuai dengan budaya kita. Tempat-tempat seperti itu, kalau kita tidak mempunyai dasar yang kuat, kita akan terjerumus. Apalagi kita mempunyai keinginan dan cita-cita yang belum tercapai. Kamu mau kalau mengalami kegagalan dalam kehidupanmu hanya gara-gara penasaran dengan tempat gituan?” Si Kevin memasang wajah menyebalkan. Mulutnya sedikit terbuka terlihat seperti orang bodoh tetapi imut. Ngeselin! “Kita ini masih muda, Kevin. Jangan sampai mengecewakan orang tua yang sudah meletakkan harapan tinggi di pundak kita.” “Memang apa yang kita lakuin salah?” “Ya
“Puas kamu tertawa?”“Habisnya kamu ini lucu, Mel. Sudah kamu jangan berpikir tentang pakaian. Nanti aku belikan di sini sesuai dengan kemana kita akan pergi. Ok deal?” ucap Kevin terdengar santai. Senada dengan yang diucapkan Mama.“Iya, deal,” jawabku, kemudian layar ponselpun menggelap setelah kami say goodbye. Aku tersentak mengingat sesuatu. Bukankah aku memberi tugas ke anak ini? Kok dia belum laporan? Sekali lagi aku menelponnya. Seakan hilang, dia tidak mengangkat telpon.Pasti dia sudah bosan mendengar suaraku. Huuft!“Loh, Kak? Belum selesai packingnya?” Mama membuka pintu dan menunjukkan wajah heran.Aku tersenyum. “Beres, Ma. Sudah kebayang apa yang harus Amel bawa, kok. Sudah OK.”“Ya, sudah kalau begitu. Pending dulu. Kita makan bersama. Itu Papi sudah siap di depan,” ucapnya, kemudian menutup pintu kamar kembali.Keluar dari kamar, Papi langsung melambaikan tangan. Menyuruhku mempercepat langkah. Kebiasaannya kalau sudah lapar dan ingin segera makan. Pantas saja Papi
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan