“Apa yang harus aku lakukan, Pi?”Aku tidak bisa berbohong kepada Papi Kusuma. Dia menelponku dan menangkap nada suara ini yang mungkin terdengar tidak beres. Yang aku ucapkan, mengantarkan ayah tiriku itu, ada di depanku sekarang. Kami janjian di lobi hotel.“Pak Bram sekarang sudah istirahat, kan?”“Sudah, Pi. Sebentar, obat yang dikomsumsi Papa ini.” Aku mengeluarkan obat dispresi dan menunjukkannya. Papi Suma menerima dan mengamatinya.“Obat ini sebenarnya tidak berbahaya, Wis. Kami sering menggunakan kalau membutuhkan.”“Papi?” tanyaku dengan terkejut.“Iya. Tapi itu dulu saat Papi masih hidup untuk kerja. Tekanan pekerjaan dan tuntutan kami untuk selalu dalam kondisi fit, memaksa memilih jalan pintas ini. Asal tetap pada dosis yang ditetapkan.”“Sekarang juga?”Papi tersenyum. “Kalau sekarang Papi minum ginian, bisa diceramahi Mama kamu tujuh hari tujuh malam.”Papi menyerahkan kembali obat yang tadi di tangannya. “Pak Bram sekarang membutuhkan pemulihan. Mama kamu kan bilang,
Sempat tangan ini mengepal erat. Gigi gerahamku menggeletuk menahan amarah. Kecurigaanku semakin bersarang. Pikiranku bergulir dan mengarah kepada satu nama, Kusuma Adijaya.Bisa jadi kekuasaan yang ada ditangannya, dan rasa ingin balas dendam membulatkan niat untuk menghancurkan aku. Mungkin saja dia tidak menerima melihatku baik-baik saja, bahkan semakin terlihat bahagia. Aku yang orang khalayak memberi label seorang penghianat, bisa menjalani hidup dengan bahagia. Tanpa ada rasa sakit atau hukuman yang sering mereka kumandangkan.“Proses penunjukkan perusahaan vendor tetap dilakukan seperti biasanya, tingkat nasional dan terbuka. Perusahaan Pak Bram gagal menyelesaikan sesuai perjanjian, jadi perusahaan penerus jatuh pada perusahaan kandidat kedua,” ucap karyawan kantor di ibu kota.Niat ini untuk mengkonfrontasi dengan segala asumsi yang bersifat subyektif, akhirnya luruh seketika. Langkah ini mundur teratur dan terpaksa menyerah. Otak warasku mampu mengambil alih emosi yang ti
“Semua sudah diselesaikan sesuai arahan,” ucap Desi setelah meletakkan berkas di meja. Aku mengacungkan jempol, kemudian meregangkan tubuh mengurai penat yang beberapa hari ini mencengkeram. Begitu banyak yang aku pikirnya dan harus diselesaikan, memaksaku mengeluarkan energi dan emosi melebihi ambang batas. Kalau pekerjaan hanya melihatkan isi kepala, aku sudah biasa. Sedangkan ini aku harus melibatkan hati. Mulai mengatur pembiayaan perusahaan Pak Santoso, pembentukan perusahaan yang akan mendukung Wisnu, dan menyelesaikan proyek yang menyangkut nama Bramantyo. Aku mengambil berkas yang diletakkan Desi. Berkas berwarna orange, yang berisi bagaimana aku sanggup menghukum seseorang yang mencoba mendekati istriku. Aku tidak akan mengusik seseorang, kalau dia tidak mendahuluinya. “Hanya ini yang kamu dapat beberapa hari ini?” Sosok berperawakan tinggi besar dan menggunakan jaket hitam, menyatukan tangannya ke depan dengan tubuh agak membungkuk. Dia mengangguk. “Itu yang terjangkau
Anak dari suatu pernikahan, akan mengikat orang-orang di dalamnya. Selamanya. Walaupun pernikahannya sendiri sudah tidak tersisa.Seperti Dewi ini. Aku harus berhubungan dengan orang yang menyebalkan seperti dia. Bukan, tepatnya orang yang tidak seserver denganku. Ini hanya karena dia ibu kandung dari Amelia.“Suami kamu dimana, Maharani?”Satu pertanyaan pembuka saja sudah membuatku sebal. Apa dia tidak pernah diajari sopan santun? Sudah tua tapi tidak mengerti kalimat mana yang tepat untuk memulai percakapan.“Selamat malam, Mbak Dewi.”“Oh iya. Malam Maharani. Dimana dia?”Aku menghela napas. Mungkin kalau aku menggunakan akal sehat, di awal percakapan sudah baku hantam. Ini seorang mantan istri menanyakan mantan suami kepada istri mantan suaminya itu. Ribet, ah!“Dia tidak bersamaku. Ada apa?” jawabku dengan nada datar. Aku tidak berbohong, memang Mas Suma tidak di sampingku, kan. Dia di ruangan sebelah.“Aku ingin bicara dengannya.”“Telpon saja hapenya,” jawabku berusaha santa
[Kak. Tadi malam Mama ketiduran. Sebelum mulai kerja, telpon Mama, ya] Aku pencet tombol send, kemudian memasukkan ke saku daster. Tidak lupa mengganti mode dering yang ribut. Sekarang aku memilih menyelesaikan pekerjaan pagi lebih awal. Setelahnya, aku bisa leluasa menghubungi Wisnu. “Pagi, Bik Inah.” “Pagi, Bu Rani,” sahut wanita yang rambutnya sudah dikuasi uban. Kepalanya melongok ke arah jam dinding, dan menoleh ke arahku lagi. “Bibik pikir, saya yang kesiangan.” “Ternyata saya yang kepagian,” sahutku sambil tertawa. Aku memasang celemek bersih, kemudian menilik isi lemari pendingin. Kebiasaanku, berdiri berlama-lama sambil mengamati bahan makanan apa yang tersisa. Sekalian mencari ide untuk memasak apa hari ini. “Banyak yang habis, Bu Rani. Apa saya harus belanja hari ini?” tanya Bik Inah sambil sibuk mencuci perabotan. “Boleh, Bik. Kita masak untuk makan pagi saja. Toh yang di rumah hanya saya dan Mas Suma. Bahan untuk orang belakang ada?” “Ada, Bu Rani. Kalau begitu nan
“Ada apa, Suamiku Sayang?” ucapku setelah membuka pintu kamar tamu. Mas Suma melihatku dengan heran. Dia menggerakkan dagu seakan mempertanyaan aku sedang apa.“Menerima telpon Wisnu, Mas.” Aku menggerak-gerakkan ponsel. Seakan tidak percaya, ekspresinya belum berubah.“Aku menelpon Wisnu untuk membicarakan yang Mas Suma katakan tadi malam. Ingat? Yang ingin supaya anak-anak kita ngumpul sampai kita sudah tua itu, lo. Makanya aku desak dia supaya cepat menikah dan tinggal di sini.”“loh, kok nikah?”“Ya lah, Mas. Laki-laki itu sebelum menikah pasti inginnya loncat kesana kesini. Pindah kota ini dan itu. Iya, kan? Makanya aku dorong dia untuk memantapkan hati dengan Rima. Toh, menurutmu dia wanita yang tepat,” ucapku kemudian mengamit lengannya menuju. Meja makan.Di sana sudah siap mangkok besar berisi soto ayam, lengkap dengan isian lainnya. Termasuk keripik kentang kesukaan Mas Suma.“Harus begitu?”“Hu-um. Kalau tinggal di kota ini dan menikah, pasti dia tidak kepikir untuk pindah
Kalau bukan karena ingat Mama, bisa dipastikan aku dan Rima akan benar-benar khilaf. Janjiku untuk menelponkan kembali, terngiang di telinga dan meluruhkan hasrat yang sempat menguasai kami.POV Author-Tiga puluh menit yang lalu-Mereka saling meraup seakan berebut dahaga untuk dipuaskan. Menunjukkan kerinduan keduanya begitu pekat. Merekapun saling berpagut dan tak sadar sudah terhempas di ranjang.Akal sehat mulai terkalahkan dengan hasrat. Gadis itu dengan nekad melepas kancing atasnya piyama yang di kenakan pemuda itu. Gerakannya menggoda, bahkan dia memanjangkan leher putih sambil mendesahkan nama sang kekasih. Mata Wisnu mulai berkabut melihat apa yang di hadapannya. Dadanya mulai sesak dengan gairah yang mulai tak tertahankan.Berkali-kali dia menyebut nama Rima, sambil membenamkan wajah di tempat yang seharusnya belum diperbolehkan.“Sayang, ini salah….” ucap lirih Wisnu dengan wajah tertahan.Pertarungan dalam hati Wisnu tarik ulur antara logika dan hasrat. Dalam hati men
“Kita sekarang latihan, ya,” ucap Rima yang berjalan dari dapur. Entah apa yang dia lakukan. Aku sedang sibuk menyiapkan diri untuk berangkat. Ada orang dari pusat memeriksa progres proyek yang kami lakukan. Om Tiok menambah waktu cuti. Terpaksa aku sendiri yang menghandel mereka.“Taraa …!” teriaknya dengan merentangkan kedua tangannya.Sudah siap makanan pagi di meja kecil, seberang dapur. Dua gelas minuman berwarna orang, dan dua piring berisi roti bakar. Kekasihku ini, menarik lenganku dan mendudukkan aku. “Sekarang, Mas Wisnu harus makan dulu. Kerja akan lebih semangat kalau perut terisi. Karena lambung itu harus ada yang diolah untuk dirubah menjadi energi,” jelasnya memantik senyumanku terbit. Di rumah aku diserang omelan oleh Mama, dan sekarang aku juga mendapatkan hal senada dari Rima.“Kenapa? Tidak suka?” tanyanya sambil menggerak-gerakkan kelopak matanya.“Suka banget. Cuma ….”“Cuma apa?”“Kamu cerewetnya kayak mama aku ,” ucapku sambil mengacak rambutnya. “Terima kasi
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan