“Bagaimana kalau aku kangen kamu, Ran?”Kalimat senada berulang kali diucapkan Mas Suma di dua hari terakhir ini, menjelang keberangkatannya ke Dubai. Tidak hanya itu, kemanjaannya pun naik berlipat dari biasanya. Terlebih malam ini, malam terakhir sebelum keberangkatan hari besuk pukul sembilan pagi.Sedari sore, kami berkumpul menikmati hangatnya keluarga. Kami saling berbincang dan bersenda gurau, termasuk mengganggu Anind dan Denish yang semakin menggemaskan.“Sekarang semuanya harus istirahat, kerena besuk pagi mengantar Papi berangkat,” seru suamiku itu sambil menilik jam dinding yang merujuk angka sepuluh.“Katanya Papi tidak mau diantar ke bandara,” sahut Wisnu sambil menyerahkan Denish ke Mbak Dwi pengasuh.Mas Suma merengkuh Wisnu dan Amelia di kanan kirinya. Mencium kening mereka bergantian sambil berucap. ”Papi hanya ingin ditemani makan pagi sama kalian.”“Kenapa sih Pi, tidak mau diantar ke Bandara? Kan biar kayak di film-film itu, kita dadah-dadah!” celetuk Amelia samb
“Mas Suma yakin akan menggunakan ini?” tanyaku sambil membuka kerudung yang aku kenakan.Permintaan aneh Mas Suma. Dia menginginkan kerudung yang sudah terpasang di kepala ini. Kerudung batik berbahan sutra.“Iya, Ran. Bagus kok dipadukan dengan mantelku ini. Seperti fashion di Paris, mereka menggunakan syal untuk pemanis,” ucapnya memberikan alasan“Aku carikan yang baru saja, ya? Ini jelek.” Dengan kerudung masih tersampir di pundak, aku beranjak menuju almari. Niatku memilihkan warna yang terlihat maskulin, dibandingkan yang aku kenakan ini lebih didominasi warna merah. Kurang pas kalau untuk lelaki.Baru saja tangan ini akan membuka daun pintu, Mas Suma sudah mencekal dan menyentakkan tangan ini.“Kenapa?” Aku yang sudah di dalam pelukannya, mengangkat dagu.Bukannya menjawab, justru tangan lelakiku ini menyusuri lengan dan berakhir menangkup pundak ini. “Ran, aku mau kerudung ini. Masih lekat aromamu. Ini sebagai obat rinduku saat di sana.”Matanya terlihat sayu dengan senyuman y
Laki-laki dengan rambut yang terlihat lebih panjang dari yang biasanya. Dia mengenakan kaos berkrah dan celana jeans. Tampilan yang memudarkan angka yang menunjukkan usia yang sebenarnya.Dia menunjukkan senyuman dan melangkah menujuku. Tatapannya lekat tidak berpaling dari diri ini.Segera, aku mengalihkan pandangan. Dan, tanganku kembali melanjutkan meraih cangkir dan menyesap Capucinno untuk mengurangi debar yang tadi sempat singgah.“Ternyata dugaanku benar. Kamu pasti sudah datang,” ucap Mas Bram sesaat sebelum mendudukkan diri di seberangku.Sekarang, hanya meja kecil yang membatasi jarak kami, meleluasakan dia untuk memindahi diri ini. Ingin rasanya, aku menancapkan garpu yang aku gunakan mencengkeram croisant ini kepadanya. Namun, itu hanya menunjukkan kalau aku terusik dengan kehadirannya, dan membuatnya berbangga.“Baru saja tiba, kok. Wisnu juga baru berangkat ke kampus untuk persiapan acara besuk.”“Aku tahu kebiasaan kamu. Semua masih terekam di sini,” ucapnya menunjukka
“Tinggallah sebentar, Ran.” Mas Bram menunjukkan tatapan memohon, menghentikan gerakan tanganku yang akan memasukkan novel ke tas jinjingku.“Mereka sudah jalan ke sini. Ini pesan mereka,” ucapnya seraya menjulurkan tangan yang memegang ponsel.Aku manatapnya ragu. Mengiyakan sama saja membiarkan diri ini terjebak dengan masa lalu. Namun, menolaknya justru menunjukkan sikap tidak dewasa yang bisa jadi merujuk pada kesalahpahaman. Dia akan menganggap aku masih menyimpan rasa untuknya.Masih terekam percakapan mereka barusan melalui ponsel laki-laki di depanku ini.“Jadi Wisnu itu anakmu? Padahal anakku satu unitas dengan dia. Bahkan pernah main ke rumahku,” seru Aryo saat tadi video call.“Kamu keterlaluan sekali, Aryo. Wismu itu foto kopiku. Wajahnya mirip banget denganku,” sahut Mas Bram sambil menunjuk wajahnya.“Tapi Wisnu itu tidak gelas sepertimu. Dia putih. Aku aja sempat berpikir, dia itu mirip artis Korea.”“Ya iyalah. Wisnu itu perpaduan antara aku dan Maharani. Ini Mamanya W
“Memang apa yang kita lakukan? Aku dan kamu hanya sekadar minum kopi dan ngobrol, kok,” kilah Mas Bram saat aku menunjukkan kekesalan. Saat ini kami berdua kembali setelah Wisnu pamit menuju kamar, kemudian disusul kepulangan Aryo dan Ninin menuju hotel tempat mereka menginap.“Tapi Mas Bram. Status kita sekarang berbeda. Kita—““Ran…. Bisa tidak, kita santai sejenak?”“Tidak!” sahutku cepat.Santai apa maksudnya? Memang kami anak muda yag masih bisa berha-ha hi-hi antara laki-laki perempuan. Apa dia tidak merasa kalau sudah berusia senja?“Anggap saja kita teman lama yang baru bertemu kembali. Yah, seperti aku bertemu Aryo. Bukan! Atau aku bertemu Ninin. Biasa saja, kan? Kita ngobrol santai. Apakah itu salah?”Aku menghela napas menghadapi manusia batu di depanku ini. Berdebat dengan Mas Bram membutuhkan energi dan emosi yang besar.“Bertemu teman lama tidak salah, Mas? Yang salah pertemuan kita. Dari tadi, perkataan Mas Bram selalu mengungkit masa lalu.”“Memang itu juga salah? Aku
Tangan ini reflek menutup pintu kembali. Namun, gerakan tanganku terhenti dengan kakinya yang mengganjal daun pintu. Kekuatanku pun luruh saat mendapati dia yang meringis kesakitan.“Ran! Aku cuma akan mengantar ini!” serunya sambil mengaduh. Tangannya menunjukkan buku novel yang aku bawa tahu. Ternyata ini yang menyebabkan dia mendatangiku. Seingatku aku memasukkan ke dalam tas, kenapa sekarang ada di tangannya?“Ma-maaf, Mas Bram.” Aku membuka pintu sedikit, dan dia pun menundukkan badan memegang kaki sambil mengerang kesakitan.“Ran, kamu makannya apa, sih. Sampai sekuat itu. Kayak Dinosaurus,” celetuknya dengan menunjukkan wajah kesakitan. Saat merasakan sakit saja dia masih sempat melontarkan banyolan aneh seperti itu. Ini yang membuatnya gampang akrab dengan orang lain, tidak sepertiku yang terkesan kaku.“Sakit?”“Banget! Aduh!”“Kalau gitu masuk saja dulu. Aku periksa kakimu dulu, Mas.” Merasa bersalah, pintu aku bentangkan, dan lelaki yang dulu menjadi tumpuan hidupku pun mas
Kecanggungan yang sempat melingkupi, memudar saat ada layanan hotel datang. Pandangan kami yang sempat terpaut luruh seketika. Bergegas aku menuju pintu, sambil menepuk dada dan mengembuskan napas.“Atas nama Ibu Maharani?” sambut karyawan berseragam hotel ini.“Iya. Tolong disiapkan di meja makan,” ucapku sambil membukakan pintu.Troli yang di atasnya terdapat tudung saji alumunium, dan teko keramik dengan dua cangkir. Aku juga mendapati peralatan makan dua set. Apakah Wisnu memesan untuknya juga?“Wah, anakku itu memang pintar. Tanpa disuruh dia mengerti kalau Papanya lapar,” celetuk Mas Bram sambil melongokkan kepala ke arah troli yang melewatinya.“Wisnu tahu kalau Mas Bram ke sini?” tanyaku semakin heran.“Tahu. Aku ketemu di lift.”Pantas saja, dia memesan makanan untuk dua orang.Setelah menyelipkan uang tip ke pengirim makanan, aku kembali ke meja makan. Mengeluarkan rendang yang aku bawa dari rumah untuk melengkapi makan malam ini. Lengkap sudah, ada opor ayam, kakap asam m
Malam ini, kami benar-benar meletakkan ego masing-masing. Kami menyamakan pandangan hanya tertuju pada satu titik, kebahagiaan Wisnu.“Jadi kita sekarang akur, ya?” Mas Bram menunjukkan kelingkingnya sambil tersenyum.Aku menyambut senyumannya sambil berujar, “Ya. Kita akur sebagai kawan lama.”“Tidak dilebihin sedikit?”“Mas Bram! Jangan mulai lagi!” seruku sambil melotot.Dia tertawa, kemudian menyodorkan piring kosong kepadaku. “Tanda kita akur sebagai kawan lama, bisa minta tolong ambilkan aku nasi dan teman-temannya. Aku lapar dan ingin makan yang disiapkan anakku.”Aku menghela napas. Laki-laki di depanku ini selalu mempunyai cara untuk meluluskan keinginannya. Demi Wisnu, aku berusaha tidak terlalu kaku.“Ini, cukup?” tanyaku setelah menyodorkan nasi lengkap dengan lauk dan sayuran.Kami mulai berbincang santai. Menikmati makanan sambil berbincang ringan tentang Wisnu. Aku merasa lega, Mas Bram tidak menyinggung tentang kisah kami dulu atau mencoba menciptakan romansa di antara