Laki-laki dengan rambut yang terlihat lebih panjang dari yang biasanya. Dia mengenakan kaos berkrah dan celana jeans. Tampilan yang memudarkan angka yang menunjukkan usia yang sebenarnya.Dia menunjukkan senyuman dan melangkah menujuku. Tatapannya lekat tidak berpaling dari diri ini.Segera, aku mengalihkan pandangan. Dan, tanganku kembali melanjutkan meraih cangkir dan menyesap Capucinno untuk mengurangi debar yang tadi sempat singgah.“Ternyata dugaanku benar. Kamu pasti sudah datang,” ucap Mas Bram sesaat sebelum mendudukkan diri di seberangku.Sekarang, hanya meja kecil yang membatasi jarak kami, meleluasakan dia untuk memindahi diri ini. Ingin rasanya, aku menancapkan garpu yang aku gunakan mencengkeram croisant ini kepadanya. Namun, itu hanya menunjukkan kalau aku terusik dengan kehadirannya, dan membuatnya berbangga.“Baru saja tiba, kok. Wisnu juga baru berangkat ke kampus untuk persiapan acara besuk.”“Aku tahu kebiasaan kamu. Semua masih terekam di sini,” ucapnya menunjukka
“Tinggallah sebentar, Ran.” Mas Bram menunjukkan tatapan memohon, menghentikan gerakan tanganku yang akan memasukkan novel ke tas jinjingku.“Mereka sudah jalan ke sini. Ini pesan mereka,” ucapnya seraya menjulurkan tangan yang memegang ponsel.Aku manatapnya ragu. Mengiyakan sama saja membiarkan diri ini terjebak dengan masa lalu. Namun, menolaknya justru menunjukkan sikap tidak dewasa yang bisa jadi merujuk pada kesalahpahaman. Dia akan menganggap aku masih menyimpan rasa untuknya.Masih terekam percakapan mereka barusan melalui ponsel laki-laki di depanku ini.“Jadi Wisnu itu anakmu? Padahal anakku satu unitas dengan dia. Bahkan pernah main ke rumahku,” seru Aryo saat tadi video call.“Kamu keterlaluan sekali, Aryo. Wismu itu foto kopiku. Wajahnya mirip banget denganku,” sahut Mas Bram sambil menunjuk wajahnya.“Tapi Wisnu itu tidak gelas sepertimu. Dia putih. Aku aja sempat berpikir, dia itu mirip artis Korea.”“Ya iyalah. Wisnu itu perpaduan antara aku dan Maharani. Ini Mamanya W
“Memang apa yang kita lakukan? Aku dan kamu hanya sekadar minum kopi dan ngobrol, kok,” kilah Mas Bram saat aku menunjukkan kekesalan. Saat ini kami berdua kembali setelah Wisnu pamit menuju kamar, kemudian disusul kepulangan Aryo dan Ninin menuju hotel tempat mereka menginap.“Tapi Mas Bram. Status kita sekarang berbeda. Kita—““Ran…. Bisa tidak, kita santai sejenak?”“Tidak!” sahutku cepat.Santai apa maksudnya? Memang kami anak muda yag masih bisa berha-ha hi-hi antara laki-laki perempuan. Apa dia tidak merasa kalau sudah berusia senja?“Anggap saja kita teman lama yang baru bertemu kembali. Yah, seperti aku bertemu Aryo. Bukan! Atau aku bertemu Ninin. Biasa saja, kan? Kita ngobrol santai. Apakah itu salah?”Aku menghela napas menghadapi manusia batu di depanku ini. Berdebat dengan Mas Bram membutuhkan energi dan emosi yang besar.“Bertemu teman lama tidak salah, Mas? Yang salah pertemuan kita. Dari tadi, perkataan Mas Bram selalu mengungkit masa lalu.”“Memang itu juga salah? Aku
Tangan ini reflek menutup pintu kembali. Namun, gerakan tanganku terhenti dengan kakinya yang mengganjal daun pintu. Kekuatanku pun luruh saat mendapati dia yang meringis kesakitan.“Ran! Aku cuma akan mengantar ini!” serunya sambil mengaduh. Tangannya menunjukkan buku novel yang aku bawa tahu. Ternyata ini yang menyebabkan dia mendatangiku. Seingatku aku memasukkan ke dalam tas, kenapa sekarang ada di tangannya?“Ma-maaf, Mas Bram.” Aku membuka pintu sedikit, dan dia pun menundukkan badan memegang kaki sambil mengerang kesakitan.“Ran, kamu makannya apa, sih. Sampai sekuat itu. Kayak Dinosaurus,” celetuknya dengan menunjukkan wajah kesakitan. Saat merasakan sakit saja dia masih sempat melontarkan banyolan aneh seperti itu. Ini yang membuatnya gampang akrab dengan orang lain, tidak sepertiku yang terkesan kaku.“Sakit?”“Banget! Aduh!”“Kalau gitu masuk saja dulu. Aku periksa kakimu dulu, Mas.” Merasa bersalah, pintu aku bentangkan, dan lelaki yang dulu menjadi tumpuan hidupku pun mas
Kecanggungan yang sempat melingkupi, memudar saat ada layanan hotel datang. Pandangan kami yang sempat terpaut luruh seketika. Bergegas aku menuju pintu, sambil menepuk dada dan mengembuskan napas.“Atas nama Ibu Maharani?” sambut karyawan berseragam hotel ini.“Iya. Tolong disiapkan di meja makan,” ucapku sambil membukakan pintu.Troli yang di atasnya terdapat tudung saji alumunium, dan teko keramik dengan dua cangkir. Aku juga mendapati peralatan makan dua set. Apakah Wisnu memesan untuknya juga?“Wah, anakku itu memang pintar. Tanpa disuruh dia mengerti kalau Papanya lapar,” celetuk Mas Bram sambil melongokkan kepala ke arah troli yang melewatinya.“Wisnu tahu kalau Mas Bram ke sini?” tanyaku semakin heran.“Tahu. Aku ketemu di lift.”Pantas saja, dia memesan makanan untuk dua orang.Setelah menyelipkan uang tip ke pengirim makanan, aku kembali ke meja makan. Mengeluarkan rendang yang aku bawa dari rumah untuk melengkapi makan malam ini. Lengkap sudah, ada opor ayam, kakap asam m
Malam ini, kami benar-benar meletakkan ego masing-masing. Kami menyamakan pandangan hanya tertuju pada satu titik, kebahagiaan Wisnu.“Jadi kita sekarang akur, ya?” Mas Bram menunjukkan kelingkingnya sambil tersenyum.Aku menyambut senyumannya sambil berujar, “Ya. Kita akur sebagai kawan lama.”“Tidak dilebihin sedikit?”“Mas Bram! Jangan mulai lagi!” seruku sambil melotot.Dia tertawa, kemudian menyodorkan piring kosong kepadaku. “Tanda kita akur sebagai kawan lama, bisa minta tolong ambilkan aku nasi dan teman-temannya. Aku lapar dan ingin makan yang disiapkan anakku.”Aku menghela napas. Laki-laki di depanku ini selalu mempunyai cara untuk meluluskan keinginannya. Demi Wisnu, aku berusaha tidak terlalu kaku.“Ini, cukup?” tanyaku setelah menyodorkan nasi lengkap dengan lauk dan sayuran.Kami mulai berbincang santai. Menikmati makanan sambil berbincang ringan tentang Wisnu. Aku merasa lega, Mas Bram tidak menyinggung tentang kisah kami dulu atau mencoba menciptakan romansa di antara
Beberapa jam sebelumnyaPOV BramantyoSekuat tenaga aku menekan perasaanku kepadanya. Tangan ini sering ingin terulur, tetapi berakhir dengan menggantung di udara. Menepis kerinduan dan menyerah kepada keadaan yang mengharuskan rela.Tadi pagi saat menginjakkan kaki di kota ini. Aku sempatkan berkeliling menyusuri tempat-tempat kenangan indah. Sengaja aku menyewa motor, demi membayangkan tanganmu yang melingkar di pinggang ini. Seperti dulu.Maharani, nama wanita yang masih tertulis pekat di hati ini. Tidak mampu aku mengusirnya, walaupun nama Wulan sudah setia mendampingi dan mengerti dengan apa yang aku rasa. Bukannya tidak merasa bersalah dengan wanitaku yang sudah memberiku dua putri ini. Namun, ketidaksanggupankulah jawabannya.“Aku tidak bisa egois menguasai hatimu. Menuntut Mas Bram untuk lupa sama sekali dengan Mamanya Wisnu. Karena aku tahu, cinta pertama tidak bisa dihapus dan membuat kita berpaling. Seperti cintaku kepadamu, Mas,” ucap Wulan setiap aku menyatakan ketidak m
Walaupun orang tua sudah berpisah, bagi seorang anak, mereka tetaplah orang tua yang dirindukan kebersamaannya. Aku masih ingat apa yang dikatakan Wisnu saat mempersiapkan acara wisuda.“Untuk Mama dan Papa sudah Wisnu siapkan semuanya. Termasuk penginapan dan pakaian. Mama dan Papa hanya perlu menyiapkan waktu untuk datang.”Sebegitu diupayakan kami sebagai orang tuanya. Menunjukkan impian mendapati kami bersama, walaupun dalam keadaan yang sudah berpisah.“Mama cantik!” seru Wisnu setelah masuk ke kamarku. Aku sudah bersiap, tertinggal memastikan kerudung yang aku pakai terpasang rapi.“Tidak usah menyanjung Mama. Ini jujur, atau ada maunya?” Aku menilik wajahnya dari tampilan cermin. Dia begitu gagah dengan balutan stelan jas berwarna hitam, dengan dasi dengan warna senada dengan bajuku.“Jujurlah, Ma. Kalau tidak, bagaimana bisa menghasilkan anak seganteng Wisnu,” ucapnya sambil mendekatkan wajah ke arah cermin.Aku terkekeh sambil melemparkan pandangan ke arahnya.“Ma. Aku kan b
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan