Kami mengendari mobil yang sudah disiapkan Wisnu. Ini kali pertama aku satu mobil bersama Mas Bram setelah perceraian. Seperti dulu, dia membukakan pintu untukku. Kebiasaannya tidak berubah, bahkan tangannya sempat terulur untuk melindungi kepalaku dari kemungkinan terantuk.“Terima kasih.” Aku mengucapkan dan segera mengalihkan pandangan ke arah lain, menghindari senyuman dan tatapan lekat darinya.Untungnya jarak hotel ke kampus hanya dekat. Aku tidak perlu mencari bahan pembicaraan untuk mengurangi rasa canggung ini. Begitu juga, kemacetan yang menyita konsentrasi mantan suamiku ini. Dia memusatkan mencari jalan yang lapang, dan mencari tempat parkir.“Untungnya kita alumni kampus ini. Jadi tahu jalan dan tempat tersembunyi seperti ini,” seru Mas Bram setelah menarik tuas hand rem. Terpaksa kami parkir di sebelah gedung perpustakaan pusat.Aku hanya tersenyum dan tidak menimpali ucapannya. Menghindari dia membahas gedung perpustakaan yang menjadi saksi kisah cinta kami. Di sanalah
“Maaf, Ran. Aku sudah berusaha menjelaskan. Tapi…”Aku menghela napas sambil menarik kedua sudut bibir ini dengan kaku. Merasa kecewa, tapi siapa yang patut untuk disalahkan? Sangkaan yang tidak tepat dari mereka memang tidak bisa disalahkan, begitu juga laki-laki di sebelahku ini. Aku lihat sendiri dia berusaha menjelaskan, tetapi tidak ada kesempatan.“Semoga kita tidak bertemu mereka lagi,” ucapku, walaupun itu mustahil. Apalagi saat nanti acara ramah tamah.“Walaupun bertemu, biar aku yang menjelasakan kesalahpahaman ini,” ucap Mas Bram sambil menunjukkan tangan ke pintu masuk.Kami pun masuk ke antrian dengan Mas Bram di belakangku. Aku mengeluarkan undangan untuk ditunjukkan ke panitia, kemudian diantar ke tempat duduk sesuai undangan.“Wisnu di sebelah mana ya, Ran?” Mas Bram melongokkan kepala menuju deretan mahasiswa yang memakai toga.“Itu yang lis nya berwarna merah,” seruku sambil mengarahkan ke arah bagian depan. Tidak terlihat sosoknya dengan jelas. Namun, nanti saat nam
Ruangan ini seperti menampilkan tayangan lama yang mengalami mutasi. Bagaimana tidak, semua yang ada di sini adalah orang-orang yang sudah menua dengan penampilan yang sedikit banyak berubah, bahkan ada yang tidak berbekas.Ada Aryo dan Mbak Ninin, dan banyak lagi yang akupun hanya menerka siapa dia dari cara ekspresinya. Bayangin saja, dulu mereka yang mayoritas kurus, sekarang berbobot semua. Dulu yang membanggakan perut sixpack, sekarang timbunan lemah menghilangkan kebanggaannya itu.“Ini dia, pasangan sampai akhir zaman!” seru Aryo sambil merangkul Mas Bram.Semua yang sedang menikmati hidangan, berhenti menoleh ke arah kami. Mas Bram yang dulu ketua senat dan populer di kalangan mahasiswa. Pembawaannya yang humble, cerdas, dan tentu saja penampilan di atas rata-rata, mengantarkan dia dikenal dimana-mana.Sempat aku dulu tidak percaya diri berjalan dengan Mas Bram. Aku yang hanya anak D3, bersanding dengan calon sarjana. “Kamu Maharani, kan?” Seorang lelaki tinggi kurus dan be
Siapa yang tidak tahu dengan sosok yang hampir tiap hari aku temui. Siluetnya pun aku kenal. Apalagi dandanan yang unik dengan rambut yang selalu dikucir rapi. Namun, kenapa dia ada di sini?POV Prasetyo Mendapatkan kabar dari saudara yang terpisah lama, sungguh membahagiakan. Tanpa berpikir panjang, aku menemui kakak kandungku, Mas Robert. Kami terpisah semenjak perpisahan orang tua kami. Aku mengikuti Bapak, dan dia menyertai Ibu.Rasa cinta tidak cukup memupus perbedaan ras dan keyakinan. Dulu aku tidak habis pikir, kenapa orang tuaku nekad menikah saat tahu perbedaan itu susah untuk diluruhkan? Dan berakhir dengan mengorbankan kami berdua.Perbedaan kota, dan terakhir aku menyetahui dia berkarir di Jerman, membuat kami jarang bertemu. Terakhir saat aku kuliah di Jerman, dan dia menyempatkan diri untuk berkunjung.Kami memang bukan anak-anak lagi. Namun, rasa yang ada di hati ini tetap sama. Kami saling merindukan sebagai saudara yang memiliki kenangan indah bersama, dan kepahitan
Nada suaranya tidak menyiratkan keramahan. Lelaki mantan suami Maharani itu mendekatiku dengan raut wajah mengeras. Aku tahu dia, hanya sekadar pernah melihat, tapi tidak pernah dekat.“Saya melihat anda tadi di kampus. Pak Tiok mencari Maharani?’Aku tertawa mendengarkan tuduhannya. Walaupun sebenarnya iya, tetapi tujuanku ke kampus bukan untuk itu.“Untuk apa saya mencari Bu Rani, Pak? Kebetulan saja saya ada janjian dengan saudara saya di sana.”“Halah. Janjian kok di kampus. Alasan kok mengada-ngada. Bilang saja kamu mengikuti Rani.”Suasana hati ini yang semula baik-baik saja, mulai terusik. Laki-laki de depanku ini mulai membuatku kesal. Apa sih, maunya orang ini?Maharani saja memperlakukan aku dengan baik, begitu dengan Pak Kusuma. Suami Maharani itu, justru merangkulku menjadi teman kepercayaannya. Kenapa orang yang statusnya mantan justru terlihat lebih galak?“Aku tahu dari dulu kamu mengincar Maharani. Dan sekarang, pura-pura baik dengan mendekati dia dengan dalih kerja
Ada aura kecemburuan yang menguar dari sikap dan ucapannya. Aku tidak boleh terikut dengan apa yang ditunjukkan.Kutunjukan senyuman, kemudian menutup bacaan yang belum terselesaikan. Sejujurnya aku malas berjumpa apalagi bicara dengannya, apalagi dengan keadaan seperti sekarang.“Kamu bicara apa?” tanyaku berusaha bersikap tenang.“Saya pikir, ucapanku begitu jelas untuk wanita yang pintar sepertimu. Aku tahu, cinta pertama memang sulit untuk dilupakan.” Kali ini dia berkata sambil tertawa sinis.“Duduk dulu Wulan. Mau minum apa?”Kalau mengikuti kata hati, wanita di depanku ini pasti habis aku lumat. Semenjak perselingkuhan Mas Bram dengannya aku dapati, tidak pernah sekalipun aku mengumpat atau bersikap kasar kepadanya. Bahkan, mereka sempat aku undang ke rumah saat Wisnu ulang tahun.Bagiku, perselingkuhan menandakan cinta dan janji Mas Bram sudah tidak murni lagi, dan itu aku tidak mau.“Saya ke sini untuk mencari Mas Bram. Suami saya,” ucapnya dengan penekanan di kata terakhir.
Aku menatap kepergian Mas Bram. Dengan berlari kecil dia menyebrang jalan menuju hotel dimana Wulan menunggunya. Bagaimana pun sikap seorang lelaki, saat didatangi istrinya pasti akan bersikap seperti itu.Hmm…. Aku tersenyum sendiri. Memang cinta kami dulu merupakan cinta pertama, tapi pelabuhan terakhir akan menjadi pemenang dan yang utama.“Ran, kamu tadi sengaja mengatakan kita janjian?”“Iya, Pak Tiok. Kalau tidak, Mas Bram akan bersikukuh mengantarku pulang. Aku tidak mau ada kesalahpahaman. Ini saja, istrinya sudah mendatangiku.”Aku menarik tempat duduk, kemudian memanggil pelayan.“Saya coklat panas dan roti lapis yang itu, ya,” pintaku kemudian mendudukkan diri. “Pak Tiok pesan apa?”“Saya kopi hitam tanpa gula ya, Mas.”Pak Tiok memandangku sebentar, kemudian tersenyum simpul seakan menyembunyikan sesuatu.“Jadi perempuan susah ya, Ran. Begini salah, begitu salah. Selalu ada yang dianggap tidak benar,” seru Pak Tiok sambil melepas ikatan rambutnya dan merapikan kembali.“S
“Mau barengan pulang denganku?’Tawaran yang membuatku gamang. Lepas dari Mas Bram, dan sekarang di depanku ada Pak Tiok. Tidak mau aku ada kesalahpahaman pada Mas Suma. Memang, suamiku memperbolehkan aku bergaul dengan lelaki di depanku ini. Namun, untuk dua jam perjalanan berdua saja apakah ini menjadi alasan Mas Suma marah?“Kawatir dengan Pak Suma?” celetuknya dengan tertawa mengejek. “Satunya takut sama istri, sekarang ada istri takut suami. Ini alasan yang membuatku malas untuk menikah lagi.”“Itu Pak Tiok tahu. Saya naik travel atau minta Pak Maman jemput saja.”“Jangan kawatir. Aku menemui Bu Rani, juga karena misi titipan Pak Suma.”“Misi?” tanyaku sambil mengernyit. Sudah kuduga, tidak mungkin Pak Tiok ke sini dan kebetulan bertemu.“Eit, jangan curiga dulu! Aku ke kota ini memang janjian dengan Mas Obet. Tapi, kebetulan Pak Suma meminta saya untuk menemuimu. Siapa tahu membutuhkan pertolongan.” Pak Tiok buru-buru menjelaskan. Mungkin karena melihat kedua alisku yang mulai b