“Tinggallah sebentar, Ran.” Mas Bram menunjukkan tatapan memohon, menghentikan gerakan tanganku yang akan memasukkan novel ke tas jinjingku.“Mereka sudah jalan ke sini. Ini pesan mereka,” ucapnya seraya menjulurkan tangan yang memegang ponsel.Aku manatapnya ragu. Mengiyakan sama saja membiarkan diri ini terjebak dengan masa lalu. Namun, menolaknya justru menunjukkan sikap tidak dewasa yang bisa jadi merujuk pada kesalahpahaman. Dia akan menganggap aku masih menyimpan rasa untuknya.Masih terekam percakapan mereka barusan melalui ponsel laki-laki di depanku ini.“Jadi Wisnu itu anakmu? Padahal anakku satu unitas dengan dia. Bahkan pernah main ke rumahku,” seru Aryo saat tadi video call.“Kamu keterlaluan sekali, Aryo. Wismu itu foto kopiku. Wajahnya mirip banget denganku,” sahut Mas Bram sambil menunjuk wajahnya.“Tapi Wisnu itu tidak gelas sepertimu. Dia putih. Aku aja sempat berpikir, dia itu mirip artis Korea.”“Ya iyalah. Wisnu itu perpaduan antara aku dan Maharani. Ini Mamanya W
“Memang apa yang kita lakukan? Aku dan kamu hanya sekadar minum kopi dan ngobrol, kok,” kilah Mas Bram saat aku menunjukkan kekesalan. Saat ini kami berdua kembali setelah Wisnu pamit menuju kamar, kemudian disusul kepulangan Aryo dan Ninin menuju hotel tempat mereka menginap.“Tapi Mas Bram. Status kita sekarang berbeda. Kita—““Ran…. Bisa tidak, kita santai sejenak?”“Tidak!” sahutku cepat.Santai apa maksudnya? Memang kami anak muda yag masih bisa berha-ha hi-hi antara laki-laki perempuan. Apa dia tidak merasa kalau sudah berusia senja?“Anggap saja kita teman lama yang baru bertemu kembali. Yah, seperti aku bertemu Aryo. Bukan! Atau aku bertemu Ninin. Biasa saja, kan? Kita ngobrol santai. Apakah itu salah?”Aku menghela napas menghadapi manusia batu di depanku ini. Berdebat dengan Mas Bram membutuhkan energi dan emosi yang besar.“Bertemu teman lama tidak salah, Mas? Yang salah pertemuan kita. Dari tadi, perkataan Mas Bram selalu mengungkit masa lalu.”“Memang itu juga salah? Aku
Tangan ini reflek menutup pintu kembali. Namun, gerakan tanganku terhenti dengan kakinya yang mengganjal daun pintu. Kekuatanku pun luruh saat mendapati dia yang meringis kesakitan.“Ran! Aku cuma akan mengantar ini!” serunya sambil mengaduh. Tangannya menunjukkan buku novel yang aku bawa tahu. Ternyata ini yang menyebabkan dia mendatangiku. Seingatku aku memasukkan ke dalam tas, kenapa sekarang ada di tangannya?“Ma-maaf, Mas Bram.” Aku membuka pintu sedikit, dan dia pun menundukkan badan memegang kaki sambil mengerang kesakitan.“Ran, kamu makannya apa, sih. Sampai sekuat itu. Kayak Dinosaurus,” celetuknya dengan menunjukkan wajah kesakitan. Saat merasakan sakit saja dia masih sempat melontarkan banyolan aneh seperti itu. Ini yang membuatnya gampang akrab dengan orang lain, tidak sepertiku yang terkesan kaku.“Sakit?”“Banget! Aduh!”“Kalau gitu masuk saja dulu. Aku periksa kakimu dulu, Mas.” Merasa bersalah, pintu aku bentangkan, dan lelaki yang dulu menjadi tumpuan hidupku pun mas
Kecanggungan yang sempat melingkupi, memudar saat ada layanan hotel datang. Pandangan kami yang sempat terpaut luruh seketika. Bergegas aku menuju pintu, sambil menepuk dada dan mengembuskan napas.“Atas nama Ibu Maharani?” sambut karyawan berseragam hotel ini.“Iya. Tolong disiapkan di meja makan,” ucapku sambil membukakan pintu.Troli yang di atasnya terdapat tudung saji alumunium, dan teko keramik dengan dua cangkir. Aku juga mendapati peralatan makan dua set. Apakah Wisnu memesan untuknya juga?“Wah, anakku itu memang pintar. Tanpa disuruh dia mengerti kalau Papanya lapar,” celetuk Mas Bram sambil melongokkan kepala ke arah troli yang melewatinya.“Wisnu tahu kalau Mas Bram ke sini?” tanyaku semakin heran.“Tahu. Aku ketemu di lift.”Pantas saja, dia memesan makanan untuk dua orang.Setelah menyelipkan uang tip ke pengirim makanan, aku kembali ke meja makan. Mengeluarkan rendang yang aku bawa dari rumah untuk melengkapi makan malam ini. Lengkap sudah, ada opor ayam, kakap asam m
Malam ini, kami benar-benar meletakkan ego masing-masing. Kami menyamakan pandangan hanya tertuju pada satu titik, kebahagiaan Wisnu.“Jadi kita sekarang akur, ya?” Mas Bram menunjukkan kelingkingnya sambil tersenyum.Aku menyambut senyumannya sambil berujar, “Ya. Kita akur sebagai kawan lama.”“Tidak dilebihin sedikit?”“Mas Bram! Jangan mulai lagi!” seruku sambil melotot.Dia tertawa, kemudian menyodorkan piring kosong kepadaku. “Tanda kita akur sebagai kawan lama, bisa minta tolong ambilkan aku nasi dan teman-temannya. Aku lapar dan ingin makan yang disiapkan anakku.”Aku menghela napas. Laki-laki di depanku ini selalu mempunyai cara untuk meluluskan keinginannya. Demi Wisnu, aku berusaha tidak terlalu kaku.“Ini, cukup?” tanyaku setelah menyodorkan nasi lengkap dengan lauk dan sayuran.Kami mulai berbincang santai. Menikmati makanan sambil berbincang ringan tentang Wisnu. Aku merasa lega, Mas Bram tidak menyinggung tentang kisah kami dulu atau mencoba menciptakan romansa di antara
Beberapa jam sebelumnyaPOV BramantyoSekuat tenaga aku menekan perasaanku kepadanya. Tangan ini sering ingin terulur, tetapi berakhir dengan menggantung di udara. Menepis kerinduan dan menyerah kepada keadaan yang mengharuskan rela.Tadi pagi saat menginjakkan kaki di kota ini. Aku sempatkan berkeliling menyusuri tempat-tempat kenangan indah. Sengaja aku menyewa motor, demi membayangkan tanganmu yang melingkar di pinggang ini. Seperti dulu.Maharani, nama wanita yang masih tertulis pekat di hati ini. Tidak mampu aku mengusirnya, walaupun nama Wulan sudah setia mendampingi dan mengerti dengan apa yang aku rasa. Bukannya tidak merasa bersalah dengan wanitaku yang sudah memberiku dua putri ini. Namun, ketidaksanggupankulah jawabannya.“Aku tidak bisa egois menguasai hatimu. Menuntut Mas Bram untuk lupa sama sekali dengan Mamanya Wisnu. Karena aku tahu, cinta pertama tidak bisa dihapus dan membuat kita berpaling. Seperti cintaku kepadamu, Mas,” ucap Wulan setiap aku menyatakan ketidak m
Walaupun orang tua sudah berpisah, bagi seorang anak, mereka tetaplah orang tua yang dirindukan kebersamaannya. Aku masih ingat apa yang dikatakan Wisnu saat mempersiapkan acara wisuda.“Untuk Mama dan Papa sudah Wisnu siapkan semuanya. Termasuk penginapan dan pakaian. Mama dan Papa hanya perlu menyiapkan waktu untuk datang.”Sebegitu diupayakan kami sebagai orang tuanya. Menunjukkan impian mendapati kami bersama, walaupun dalam keadaan yang sudah berpisah.“Mama cantik!” seru Wisnu setelah masuk ke kamarku. Aku sudah bersiap, tertinggal memastikan kerudung yang aku pakai terpasang rapi.“Tidak usah menyanjung Mama. Ini jujur, atau ada maunya?” Aku menilik wajahnya dari tampilan cermin. Dia begitu gagah dengan balutan stelan jas berwarna hitam, dengan dasi dengan warna senada dengan bajuku.“Jujurlah, Ma. Kalau tidak, bagaimana bisa menghasilkan anak seganteng Wisnu,” ucapnya sambil mendekatkan wajah ke arah cermin.Aku terkekeh sambil melemparkan pandangan ke arahnya.“Ma. Aku kan b
Kami mengendari mobil yang sudah disiapkan Wisnu. Ini kali pertama aku satu mobil bersama Mas Bram setelah perceraian. Seperti dulu, dia membukakan pintu untukku. Kebiasaannya tidak berubah, bahkan tangannya sempat terulur untuk melindungi kepalaku dari kemungkinan terantuk.“Terima kasih.” Aku mengucapkan dan segera mengalihkan pandangan ke arah lain, menghindari senyuman dan tatapan lekat darinya.Untungnya jarak hotel ke kampus hanya dekat. Aku tidak perlu mencari bahan pembicaraan untuk mengurangi rasa canggung ini. Begitu juga, kemacetan yang menyita konsentrasi mantan suamiku ini. Dia memusatkan mencari jalan yang lapang, dan mencari tempat parkir.“Untungnya kita alumni kampus ini. Jadi tahu jalan dan tempat tersembunyi seperti ini,” seru Mas Bram setelah menarik tuas hand rem. Terpaksa kami parkir di sebelah gedung perpustakaan pusat.Aku hanya tersenyum dan tidak menimpali ucapannya. Menghindari dia membahas gedung perpustakaan yang menjadi saksi kisah cinta kami. Di sanalah