Kecanggungan yang sempat melingkupi, memudar saat ada layanan hotel datang. Pandangan kami yang sempat terpaut luruh seketika. Bergegas aku menuju pintu, sambil menepuk dada dan mengembuskan napas.“Atas nama Ibu Maharani?” sambut karyawan berseragam hotel ini.“Iya. Tolong disiapkan di meja makan,” ucapku sambil membukakan pintu.Troli yang di atasnya terdapat tudung saji alumunium, dan teko keramik dengan dua cangkir. Aku juga mendapati peralatan makan dua set. Apakah Wisnu memesan untuknya juga?“Wah, anakku itu memang pintar. Tanpa disuruh dia mengerti kalau Papanya lapar,” celetuk Mas Bram sambil melongokkan kepala ke arah troli yang melewatinya.“Wisnu tahu kalau Mas Bram ke sini?” tanyaku semakin heran.“Tahu. Aku ketemu di lift.”Pantas saja, dia memesan makanan untuk dua orang.Setelah menyelipkan uang tip ke pengirim makanan, aku kembali ke meja makan. Mengeluarkan rendang yang aku bawa dari rumah untuk melengkapi makan malam ini. Lengkap sudah, ada opor ayam, kakap asam m
Malam ini, kami benar-benar meletakkan ego masing-masing. Kami menyamakan pandangan hanya tertuju pada satu titik, kebahagiaan Wisnu.“Jadi kita sekarang akur, ya?” Mas Bram menunjukkan kelingkingnya sambil tersenyum.Aku menyambut senyumannya sambil berujar, “Ya. Kita akur sebagai kawan lama.”“Tidak dilebihin sedikit?”“Mas Bram! Jangan mulai lagi!” seruku sambil melotot.Dia tertawa, kemudian menyodorkan piring kosong kepadaku. “Tanda kita akur sebagai kawan lama, bisa minta tolong ambilkan aku nasi dan teman-temannya. Aku lapar dan ingin makan yang disiapkan anakku.”Aku menghela napas. Laki-laki di depanku ini selalu mempunyai cara untuk meluluskan keinginannya. Demi Wisnu, aku berusaha tidak terlalu kaku.“Ini, cukup?” tanyaku setelah menyodorkan nasi lengkap dengan lauk dan sayuran.Kami mulai berbincang santai. Menikmati makanan sambil berbincang ringan tentang Wisnu. Aku merasa lega, Mas Bram tidak menyinggung tentang kisah kami dulu atau mencoba menciptakan romansa di antara
Beberapa jam sebelumnyaPOV BramantyoSekuat tenaga aku menekan perasaanku kepadanya. Tangan ini sering ingin terulur, tetapi berakhir dengan menggantung di udara. Menepis kerinduan dan menyerah kepada keadaan yang mengharuskan rela.Tadi pagi saat menginjakkan kaki di kota ini. Aku sempatkan berkeliling menyusuri tempat-tempat kenangan indah. Sengaja aku menyewa motor, demi membayangkan tanganmu yang melingkar di pinggang ini. Seperti dulu.Maharani, nama wanita yang masih tertulis pekat di hati ini. Tidak mampu aku mengusirnya, walaupun nama Wulan sudah setia mendampingi dan mengerti dengan apa yang aku rasa. Bukannya tidak merasa bersalah dengan wanitaku yang sudah memberiku dua putri ini. Namun, ketidaksanggupankulah jawabannya.“Aku tidak bisa egois menguasai hatimu. Menuntut Mas Bram untuk lupa sama sekali dengan Mamanya Wisnu. Karena aku tahu, cinta pertama tidak bisa dihapus dan membuat kita berpaling. Seperti cintaku kepadamu, Mas,” ucap Wulan setiap aku menyatakan ketidak m
Walaupun orang tua sudah berpisah, bagi seorang anak, mereka tetaplah orang tua yang dirindukan kebersamaannya. Aku masih ingat apa yang dikatakan Wisnu saat mempersiapkan acara wisuda.“Untuk Mama dan Papa sudah Wisnu siapkan semuanya. Termasuk penginapan dan pakaian. Mama dan Papa hanya perlu menyiapkan waktu untuk datang.”Sebegitu diupayakan kami sebagai orang tuanya. Menunjukkan impian mendapati kami bersama, walaupun dalam keadaan yang sudah berpisah.“Mama cantik!” seru Wisnu setelah masuk ke kamarku. Aku sudah bersiap, tertinggal memastikan kerudung yang aku pakai terpasang rapi.“Tidak usah menyanjung Mama. Ini jujur, atau ada maunya?” Aku menilik wajahnya dari tampilan cermin. Dia begitu gagah dengan balutan stelan jas berwarna hitam, dengan dasi dengan warna senada dengan bajuku.“Jujurlah, Ma. Kalau tidak, bagaimana bisa menghasilkan anak seganteng Wisnu,” ucapnya sambil mendekatkan wajah ke arah cermin.Aku terkekeh sambil melemparkan pandangan ke arahnya.“Ma. Aku kan b
Kami mengendari mobil yang sudah disiapkan Wisnu. Ini kali pertama aku satu mobil bersama Mas Bram setelah perceraian. Seperti dulu, dia membukakan pintu untukku. Kebiasaannya tidak berubah, bahkan tangannya sempat terulur untuk melindungi kepalaku dari kemungkinan terantuk.“Terima kasih.” Aku mengucapkan dan segera mengalihkan pandangan ke arah lain, menghindari senyuman dan tatapan lekat darinya.Untungnya jarak hotel ke kampus hanya dekat. Aku tidak perlu mencari bahan pembicaraan untuk mengurangi rasa canggung ini. Begitu juga, kemacetan yang menyita konsentrasi mantan suamiku ini. Dia memusatkan mencari jalan yang lapang, dan mencari tempat parkir.“Untungnya kita alumni kampus ini. Jadi tahu jalan dan tempat tersembunyi seperti ini,” seru Mas Bram setelah menarik tuas hand rem. Terpaksa kami parkir di sebelah gedung perpustakaan pusat.Aku hanya tersenyum dan tidak menimpali ucapannya. Menghindari dia membahas gedung perpustakaan yang menjadi saksi kisah cinta kami. Di sanalah
“Maaf, Ran. Aku sudah berusaha menjelaskan. Tapi…”Aku menghela napas sambil menarik kedua sudut bibir ini dengan kaku. Merasa kecewa, tapi siapa yang patut untuk disalahkan? Sangkaan yang tidak tepat dari mereka memang tidak bisa disalahkan, begitu juga laki-laki di sebelahku ini. Aku lihat sendiri dia berusaha menjelaskan, tetapi tidak ada kesempatan.“Semoga kita tidak bertemu mereka lagi,” ucapku, walaupun itu mustahil. Apalagi saat nanti acara ramah tamah.“Walaupun bertemu, biar aku yang menjelasakan kesalahpahaman ini,” ucap Mas Bram sambil menunjukkan tangan ke pintu masuk.Kami pun masuk ke antrian dengan Mas Bram di belakangku. Aku mengeluarkan undangan untuk ditunjukkan ke panitia, kemudian diantar ke tempat duduk sesuai undangan.“Wisnu di sebelah mana ya, Ran?” Mas Bram melongokkan kepala menuju deretan mahasiswa yang memakai toga.“Itu yang lis nya berwarna merah,” seruku sambil mengarahkan ke arah bagian depan. Tidak terlihat sosoknya dengan jelas. Namun, nanti saat nam
Ruangan ini seperti menampilkan tayangan lama yang mengalami mutasi. Bagaimana tidak, semua yang ada di sini adalah orang-orang yang sudah menua dengan penampilan yang sedikit banyak berubah, bahkan ada yang tidak berbekas.Ada Aryo dan Mbak Ninin, dan banyak lagi yang akupun hanya menerka siapa dia dari cara ekspresinya. Bayangin saja, dulu mereka yang mayoritas kurus, sekarang berbobot semua. Dulu yang membanggakan perut sixpack, sekarang timbunan lemah menghilangkan kebanggaannya itu.“Ini dia, pasangan sampai akhir zaman!” seru Aryo sambil merangkul Mas Bram.Semua yang sedang menikmati hidangan, berhenti menoleh ke arah kami. Mas Bram yang dulu ketua senat dan populer di kalangan mahasiswa. Pembawaannya yang humble, cerdas, dan tentu saja penampilan di atas rata-rata, mengantarkan dia dikenal dimana-mana.Sempat aku dulu tidak percaya diri berjalan dengan Mas Bram. Aku yang hanya anak D3, bersanding dengan calon sarjana. “Kamu Maharani, kan?” Seorang lelaki tinggi kurus dan be
Siapa yang tidak tahu dengan sosok yang hampir tiap hari aku temui. Siluetnya pun aku kenal. Apalagi dandanan yang unik dengan rambut yang selalu dikucir rapi. Namun, kenapa dia ada di sini?POV Prasetyo Mendapatkan kabar dari saudara yang terpisah lama, sungguh membahagiakan. Tanpa berpikir panjang, aku menemui kakak kandungku, Mas Robert. Kami terpisah semenjak perpisahan orang tua kami. Aku mengikuti Bapak, dan dia menyertai Ibu.Rasa cinta tidak cukup memupus perbedaan ras dan keyakinan. Dulu aku tidak habis pikir, kenapa orang tuaku nekad menikah saat tahu perbedaan itu susah untuk diluruhkan? Dan berakhir dengan mengorbankan kami berdua.Perbedaan kota, dan terakhir aku menyetahui dia berkarir di Jerman, membuat kami jarang bertemu. Terakhir saat aku kuliah di Jerman, dan dia menyempatkan diri untuk berkunjung.Kami memang bukan anak-anak lagi. Namun, rasa yang ada di hati ini tetap sama. Kami saling merindukan sebagai saudara yang memiliki kenangan indah bersama, dan kepahitan