Share

Hinaan Alfian

Dengan langkah terseok-seok menahan rasa sakit di area inti, Nurmala berjalan keluar menuju pintu utama. Nurmala ingin segera keluar dari rumah yang dulunya sangat nyaman untuk ia tinggali, tapi kini berubah seperti neraka yang mengoyak harga dirinya.

“Mbak tolong jangan pergi, Mbak. Tunggu Mama sama Papa dulu.” Sarah kebingungan. "Ma, Mama, Mbak Nurmala mau pergi, Ma!” Sarah berteriak memanggil ibunya, sementara tangannya berusaha menahan kepergian Nurmala. Namun, Nurmala acuh dan menulikan telinga pendengarannya. Ia tak ingin menggadaikan harga dirinya dengan bertahan di rumah pria yang sudah tega merenggut kesuciannya.

Tak lama kemudian Lukman dan Ayu datang menghampiri Nurmala dengan langkah tergopoh-gopoh hingga tiba di teras rumah. Mereka berusaha mencegah kepergian Nurmala yang terus melangkah.

"Nak, tolong jangan pergi seperti ini. Alfian pasti akan mempertanggungjawabkan perbuatannya," pinta Lukman dengan setulus hati, meski ia tahu luka hati yang mendera Nurmala tak akan pernah bisa sembuh hanya dengan rayuannya.

"Maafkan perbuatan Alfian, Nak!” Ayu ikut menimpali sembari meraih tangan Nurmala.

Langkah kaki Nurmala kembali tertahan karena Ayu menghalangi jalannya. Nurmala menoleh memperhatikan mata sendu Ayu yang meneteskan air. Nurmala tahu, Ayu adalah orang yang baik dan tulus, tapi perbuatan bej*t anaknya membuat sudah membuat hidup Nurmala hancur. Jangankan melihat Alfian, melihat rumah dan keluarganya hati dan harga diri Nurmala terkoyak.

"Tolong jangan cegah saya, kalau tidak mau saya melaporkan Alfian ke kantor polisi," ancam Nurmala dengan tegas.

Perlahan cekalan Ayu di pergelangan tangan Nurmala mulai mengendur. Seburuk apa pun Alfian, Ayu tidak akan sanggup melihat putra kesayangannya mendekam di penjara.

"Kamu mau kemana malam-malam begini, Nak?” tanya Ayu yang sangat mengkhawatirkan keadaan Nurmala.

“Itu bukan urusan anda.” Balas Nurmala sembari menyeka air matanya.

“Biar Pak Supri antar kamu," Pada akhirnya Lukman hanya bisa menawarkan bantuan, ia tak ingin melihat Nurmala semakin tertekan berada di rumahnya. Mungkin saat ini Nurmala masih membutuhkan waktu untuk sendiri.

Nurmala menengadahkan kepalanya ke atas mengamati langit yang gelap berkabut, gerimis masih membasahi jalanan.

"Tidak perlu, Pak. Saya bisa pergi sendiri." Nurmala bersikeras menolak bantuan dari keluarga Alfian. 

Sebelum pergi, pandangan Nurmala tak sengaja beradu dengan mata tajam Alfian yang berdiri di sudut rumahnya. Nurmala semakin emosi, rasa marah, benci, kecewa dan putus asa membuatnya semakin merana. Kejadian tadi kembali mencuat, tergambar begitu jelas di benaknya. Alfian menatap Nurmala dengan tajam, Nurmala lebih dulu memutus kontak mata mereka, lalu bergegas pergi berjalan di bawah rintik hujan.

***

Di kegelapan malam, hujan semakin deras seolah ikut merasakan duka yang melanda hati Nurmala. Wanita itu duduk di bangku halte sembari bersandar di pilar, tatapannya kosong mengarah pada percikan hujan di genangan air. Bayangan setiap sentuhan Alfian tak kunjung sirna, padahal Nurmala sudah berusaha menghapus ingatan itu.

Nurmala memeluk tubuhnya yang menggigil kedinginan, pakaiannya sedikit basah. Angin berhembus sangat kencang, terasa begitu menusuk di kulit. Nurmala mengusap bibir dan lehernya dengan kasar agar jejak merah yang ditinggalkan Alfian bisa hilang, tapi hanya luka tergores kuku tajam yang Nurmala dapatkan. Sangat perih, tapi perihnya tak sebanding dengan perih di hati Nurmala.

Lagi-lagi air mata Nurmala meleleh tanpa bisa dicegah. Tangisan Nurmala pecah, ia menangis sejadi-jadinya di pinggir jalan meluapkan semua gejolak emosi yang saat ini menyiksa hatinya, hingga membuat rongga dadanya terasa sesak. Hidupnya hancur, ini terlalu menyakitkan baginya.

Nurmala segera menyeka air mata dipipinya saat mendengar deru mobil melaju ke arahnya. Sorot cahaya lampu mobil menyilaukan pengelihatan Nurmala. Ia berdiri ketika mobil Ferrari putih berhenti di depan halte.

Nurmala mengepalkan tangannya dengan kuat ketika sosok pria berkulit putih dan sangat tampan turun dari mobil. Wajahnya terpahat begitu sempurna, tubuhnya yang proporsional akan mampu membuat mata para wanita terpesona, tapi sangat disayangkan karakternya begitu buruk tak seelok parasnya yang menawan. Dia pria jahat yang tega merenggut kehormatan yang selama ini Nurmala jaga.

"Kamu mau kemana? Biar kuantar." tanya Alfian. Tanpa Nurmala sadari, Alfian sudah berdiri di hadapannya, sembari bertanya tanpa ekspresi. Tak ada rasa bersalah sedikitpun di hati Alfian atas kejahatan yang ia lakukan pada Nurmala.

Nurmala hanya bergeming menatap Alfian penuh dengan kebencian, lelehan air mata kembali menetes membasahi pipinya. Nurmala sangat terpukul saat ini, rasanya seperti ribuan sembilu sedang merajam hatinya. Nurmala melangkah menjauhi Alfian, melihatnya hanya akan menambah luka di hati Nurmala. Namun, langkah Nurmala tertahan karena Alfian menarik tangannya. Nurmala langsung menyentak tangan Alfian tangan kasar. Ia merasa jijik dengan sentuhan Alfian.

"Biar kuantar," ajak Alfian lagi.

PLAAAAKKK 

Satu tamparan keras mendarat di pipi Alfian, hingga wajahnya terhempas ke samping. Pria itu memegangi pipinya yang merah sambil menatap Nurmala dengan tajam.

"JANGAN SENTUH AKU DENGAN TANGAN KOTORMU!" Nurmala meneriaki Alfian dengan lantang sembari mengacungkan tangannya ke wajah Alfian. Hembusan napas Nurmala sudah memburu karena luapan emosi. Nurmala meratapi nasibnya, kenapa tadi ia tak berdaya di bawah kunjungan Alfian.

Alfian merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan cek senilai 300 juta kemudian menyodorkan cek tersebut ke hadapan Nurmala. Tangan Alfian masih mengambang di udara, karena Nurmala bergeming menatap nanar cek di tangan Alfian. “Aku rasa ini cukup untuk menebus kesalahanku.”

"PLAAAAKKK." Nurmala kembali menampar pipi Alfian dengan keras. Pria itu benar-benar ingin meluluh lantakkan harga diri Nurmala, menyamakan Nurmala dengan seorang pelac*r yang setelah dipakai lalu di bayar.

"Aku bukan pelac*r berengs*k, Aku bukan pelac*r. Aku masih punya harga diri." Tangis Nurmala pecah. Ia menangis tersedu-sedu sembari memukuli dada Alfian secara bertubi-tubi. 

Alfian mencekal kedua pergelangan tangan Nurmala, menahan pukulan yang Nurmala berikan padanya. "Dasar wanita tidak tahu diri. Sudah untung kau kubayar dengan harga tinggi. Memangnya berapa harga yang kau inginkan?" 

Alfian menatap mata Nurmala yang basah dengan linangan air mata. Nurmala sangat jijik melihat pria yang berdiri di depannya, ia jijik dengan sentuhan Alfian. Tega sekali Alfian menyamakan Nurmala dengan wanita murahan.

"Jangan sentuh aku. Dasar bajingan, binatang. Kusumpahi kamu masuk neraka?" Nurmala memaki Alfian dengan lantang meluapkan emosi yang sejak tadi menyiksa hatinya.

"Hah, neraka?" Alfian tersenyum sarkas, "Tadi saja kita bersenang-senang ke surga. Kok, neraka, sih?" Alfian menghempaskan tangan Nurmala dengan kasar, lalu pergi memasuki mobil dan membanting pintunya dengan keras. Meninggalkan Nurmala bersama cek yang jatuh di paving block. Angin berhembus dengan kencang membawa pergi cek dari Alfian. 

Tubuh Nurmala merosot di atas paving blok, lututnya terasa lemas dan tak mampu menopang berat badannya. Nurmala berjongkok memeluk lutuknya sendiri, membiarkan cek itu terbawa angin di tengah guyuran air hujan. Sikap Alfian semakin membuatnya muak, ia merasa diperlakukan seperti wanita murahan. Alfian membuat luka hatinya kian menganga, hatinya hancur mengingat semua hinaan Alfian.

***

"Nur, kamu kenapa?" tanya Ratna yang terkejut melihat keadaan Nurmala basah kuyup berdiri di depan pintu kos-kosannya. Ratna merupakan sahabat Nurmala dari kampung, sejak kecil mereka selalu bermain bersama.

"Boleh aku numpang tidur di sini untuk sementara waktu?" tanya Nurmala yang enggan menjawab pertanyaan Ratna.

"Ayo, ayo masuk dulu. Ganti bajumu di kamar mandi." Ratna membawa Nurmala ke dalam kos-kosannya yang hanya berukuran 3 X 4, kemudian menuntun Nurmala ke dalam kamar mandi.

Nurmala berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap pantulan leher dan dadanya yang penuh dengan bekas kiss mark dari Alfian. Tangisannya kembali pecah, air mata terus mengucur dengan deras dari mata indahnya.

Beban ini terasa begitu berat hingga membuat Nurmala sulit untuk bernafas. Ia menggosok seluruh tubuhnya yang membuatnya jijik. Bayangan pria itu yang mencumbunya dengan paksa terus saja berkelebat di ingatan Nurmala, bahkan sentuhannya masih terasa hingga saat ini. Nurmala merasa jika dirinya begitu lemah! Air matanya tak bisa berhenti mengalir setiap ingat kejadian tragis itu.

1 jam kemudian Nurmala keluar dari kamar mandi, lalu duduk di atas kasur lantai tepat di sisi Ratna.

"Nur, kamu ada masalah apa?" tanya Ratna begitu Nurmala duduk di sisinya.

"Nggak ada." Nurmala menggeleng dengan tatapan kosong, gurat kesedihan nampak jelas di wajahnya.

"Bohong, wajahmu nggak bisa bohongi aku. Ayo cerita, siapa tahu aku bisa bantu!" Ratna mengguncang kedua bahu Nurmala, masih menuntut jawaban.

"Tolong jangan paksa aku untuk cerita." Nurmala menurunkan tangan Ratna dari bahunya.

"Tapi?" suara Ratna mengambang di udara saat Nurmala menyelanya.

"Aku mohon," pinta Nurmala dengan ekspresi sedih.

Nurmala mengigit bibir bawahnya agar tak lagi terisak. Mana mungkin ia menceritakan aibnya sendiri, ini terlalu memalukan baginya. Cukup Nurmala pendam sendiri masalah ini. Bercerita pun percuma, kegadisannya tidak akan bisa kembali lagi. Ia hanya akan mempermalukan dirinya sendiri. 

Ratna menatap Nurmala dengan tatapan iba, ini membuat Nurmala merasa lebih menyedihkan.

"Makan dulu. Ini aku beli di warung depan. Enak, kok." Ratna menyodorkan satu bungkus nasi goreng di depan Nurmala.

"Makasih," jawab Nurmala sembari mengurai senyuman.

Beberapa menit sudah berlalu, Nurmala hanya mengaduk-aduk nasi gorengnya dengan sendok. Selera makannya hilang menguap entah kemana.

"Hey, malah melamun. Ayo, dimakan keburu dingin."

"Iya." Nurmala mulai memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Tenggorokan Nurmala terasa sulit mencerna makanan, ia hanya mampu memakan tiga sendok nasi. Ia meletakkan sendok, lalu minum air.

"Kok, udah berhenti, sih?" keluh Ratna dengan wajah cemberut.

"Maaf, tapi aku udah kenyang. Tadi sebelum ke sini abis makan,” Nurmala berbohong.

"Abisin dong, jangan buang-buang makanan, mubazir," protes Ratna saat melihat Nurmala membungkus kembali sisa makanannya.

“Ini kumakan untuk besok pagi saja. Sekarang aku mau istirahat, capek.”

“Ya, udah nggak apa-apa.”

Nurmala merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai kemudian berpura-pura tidur, sementara Ratna masih menghabiskan makanannya. Setelah beberapa saat, Nurmala mendengar suara dengkuran halus Ratna yang terlelap di sampingnya. Setelah memastikan Ratna tertidur, Nurmala mengambil ponselnya yang sejak tadi bergetar.

“Assalamualaikum,” Nurmala membaca pesan dari Firman, calon suaminya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status