Dengan langkah terseok-seok menahan rasa sakit di area inti, Nurmala berjalan keluar menuju pintu utama. Nurmala ingin segera keluar dari rumah yang dulunya sangat nyaman untuk ia tinggali, tapi kini berubah seperti neraka yang mengoyak harga dirinya.
“Mbak tolong jangan pergi, Mbak. Tunggu Mama sama Papa dulu.” Sarah kebingungan. "Ma, Mama, Mbak Nurmala mau pergi, Ma!” Sarah berteriak memanggil ibunya, sementara tangannya berusaha menahan kepergian Nurmala. Namun, Nurmala acuh dan menulikan telinga pendengarannya. Ia tak ingin menggadaikan harga dirinya dengan bertahan di rumah pria yang sudah tega merenggut kesuciannya.
Tak lama kemudian Lukman dan Ayu datang menghampiri Nurmala dengan langkah tergopoh-gopoh hingga tiba di teras rumah. Mereka berusaha mencegah kepergian Nurmala yang terus melangkah.
"Nak, tolong jangan pergi seperti ini. Alfian pasti akan mempertanggungjawabkan perbuatannya," pinta Lukman dengan setulus hati, meski ia tahu luka hati yang mendera Nurmala tak akan pernah bisa sembuh hanya dengan rayuannya.
"Maafkan perbuatan Alfian, Nak!” Ayu ikut menimpali sembari meraih tangan Nurmala.
Langkah kaki Nurmala kembali tertahan karena Ayu menghalangi jalannya. Nurmala menoleh memperhatikan mata sendu Ayu yang meneteskan air. Nurmala tahu, Ayu adalah orang yang baik dan tulus, tapi perbuatan bej*t anaknya membuat sudah membuat hidup Nurmala hancur. Jangankan melihat Alfian, melihat rumah dan keluarganya hati dan harga diri Nurmala terkoyak.
"Tolong jangan cegah saya, kalau tidak mau saya melaporkan Alfian ke kantor polisi," ancam Nurmala dengan tegas.
Perlahan cekalan Ayu di pergelangan tangan Nurmala mulai mengendur. Seburuk apa pun Alfian, Ayu tidak akan sanggup melihat putra kesayangannya mendekam di penjara.
"Kamu mau kemana malam-malam begini, Nak?” tanya Ayu yang sangat mengkhawatirkan keadaan Nurmala.
“Itu bukan urusan anda.” Balas Nurmala sembari menyeka air matanya.
“Biar Pak Supri antar kamu," Pada akhirnya Lukman hanya bisa menawarkan bantuan, ia tak ingin melihat Nurmala semakin tertekan berada di rumahnya. Mungkin saat ini Nurmala masih membutuhkan waktu untuk sendiri.Nurmala menengadahkan kepalanya ke atas mengamati langit yang gelap berkabut, gerimis masih membasahi jalanan.
"Tidak perlu, Pak. Saya bisa pergi sendiri." Nurmala bersikeras menolak bantuan dari keluarga Alfian.
Sebelum pergi, pandangan Nurmala tak sengaja beradu dengan mata tajam Alfian yang berdiri di sudut rumahnya. Nurmala semakin emosi, rasa marah, benci, kecewa dan putus asa membuatnya semakin merana. Kejadian tadi kembali mencuat, tergambar begitu jelas di benaknya. Alfian menatap Nurmala dengan tajam, Nurmala lebih dulu memutus kontak mata mereka, lalu bergegas pergi berjalan di bawah rintik hujan.
***
Di kegelapan malam, hujan semakin deras seolah ikut merasakan duka yang melanda hati Nurmala. Wanita itu duduk di bangku halte sembari bersandar di pilar, tatapannya kosong mengarah pada percikan hujan di genangan air. Bayangan setiap sentuhan Alfian tak kunjung sirna, padahal Nurmala sudah berusaha menghapus ingatan itu.
Nurmala memeluk tubuhnya yang menggigil kedinginan, pakaiannya sedikit basah. Angin berhembus sangat kencang, terasa begitu menusuk di kulit. Nurmala mengusap bibir dan lehernya dengan kasar agar jejak merah yang ditinggalkan Alfian bisa hilang, tapi hanya luka tergores kuku tajam yang Nurmala dapatkan. Sangat perih, tapi perihnya tak sebanding dengan perih di hati Nurmala.
Lagi-lagi air mata Nurmala meleleh tanpa bisa dicegah. Tangisan Nurmala pecah, ia menangis sejadi-jadinya di pinggir jalan meluapkan semua gejolak emosi yang saat ini menyiksa hatinya, hingga membuat rongga dadanya terasa sesak. Hidupnya hancur, ini terlalu menyakitkan baginya.
Nurmala segera menyeka air mata dipipinya saat mendengar deru mobil melaju ke arahnya. Sorot cahaya lampu mobil menyilaukan pengelihatan Nurmala. Ia berdiri ketika mobil Ferrari putih berhenti di depan halte.
Nurmala mengepalkan tangannya dengan kuat ketika sosok pria berkulit putih dan sangat tampan turun dari mobil. Wajahnya terpahat begitu sempurna, tubuhnya yang proporsional akan mampu membuat mata para wanita terpesona, tapi sangat disayangkan karakternya begitu buruk tak seelok parasnya yang menawan. Dia pria jahat yang tega merenggut kehormatan yang selama ini Nurmala jaga.
"Kamu mau kemana? Biar kuantar." tanya Alfian. Tanpa Nurmala sadari, Alfian sudah berdiri di hadapannya, sembari bertanya tanpa ekspresi. Tak ada rasa bersalah sedikitpun di hati Alfian atas kejahatan yang ia lakukan pada Nurmala.
Nurmala hanya bergeming menatap Alfian penuh dengan kebencian, lelehan air mata kembali menetes membasahi pipinya. Nurmala sangat terpukul saat ini, rasanya seperti ribuan sembilu sedang merajam hatinya. Nurmala melangkah menjauhi Alfian, melihatnya hanya akan menambah luka di hati Nurmala. Namun, langkah Nurmala tertahan karena Alfian menarik tangannya. Nurmala langsung menyentak tangan Alfian tangan kasar. Ia merasa jijik dengan sentuhan Alfian.
"Biar kuantar," ajak Alfian lagi.
PLAAAAKKK
Satu tamparan keras mendarat di pipi Alfian, hingga wajahnya terhempas ke samping. Pria itu memegangi pipinya yang merah sambil menatap Nurmala dengan tajam.
"JANGAN SENTUH AKU DENGAN TANGAN KOTORMU!" Nurmala meneriaki Alfian dengan lantang sembari mengacungkan tangannya ke wajah Alfian. Hembusan napas Nurmala sudah memburu karena luapan emosi. Nurmala meratapi nasibnya, kenapa tadi ia tak berdaya di bawah kunjungan Alfian.
Alfian merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan cek senilai 300 juta kemudian menyodorkan cek tersebut ke hadapan Nurmala. Tangan Alfian masih mengambang di udara, karena Nurmala bergeming menatap nanar cek di tangan Alfian. “Aku rasa ini cukup untuk menebus kesalahanku.”
"PLAAAAKKK." Nurmala kembali menampar pipi Alfian dengan keras. Pria itu benar-benar ingin meluluh lantakkan harga diri Nurmala, menyamakan Nurmala dengan seorang pelac*r yang setelah dipakai lalu di bayar.
"Aku bukan pelac*r berengs*k, Aku bukan pelac*r. Aku masih punya harga diri." Tangis Nurmala pecah. Ia menangis tersedu-sedu sembari memukuli dada Alfian secara bertubi-tubi.
Alfian mencekal kedua pergelangan tangan Nurmala, menahan pukulan yang Nurmala berikan padanya. "Dasar wanita tidak tahu diri. Sudah untung kau kubayar dengan harga tinggi. Memangnya berapa harga yang kau inginkan?"
Alfian menatap mata Nurmala yang basah dengan linangan air mata. Nurmala sangat jijik melihat pria yang berdiri di depannya, ia jijik dengan sentuhan Alfian. Tega sekali Alfian menyamakan Nurmala dengan wanita murahan.
"Jangan sentuh aku. Dasar bajingan, binatang. Kusumpahi kamu masuk neraka?" Nurmala memaki Alfian dengan lantang meluapkan emosi yang sejak tadi menyiksa hatinya.
"Hah, neraka?" Alfian tersenyum sarkas, "Tadi saja kita bersenang-senang ke surga. Kok, neraka, sih?" Alfian menghempaskan tangan Nurmala dengan kasar, lalu pergi memasuki mobil dan membanting pintunya dengan keras. Meninggalkan Nurmala bersama cek yang jatuh di paving block. Angin berhembus dengan kencang membawa pergi cek dari Alfian.
Tubuh Nurmala merosot di atas paving blok, lututnya terasa lemas dan tak mampu menopang berat badannya. Nurmala berjongkok memeluk lutuknya sendiri, membiarkan cek itu terbawa angin di tengah guyuran air hujan. Sikap Alfian semakin membuatnya muak, ia merasa diperlakukan seperti wanita murahan. Alfian membuat luka hatinya kian menganga, hatinya hancur mengingat semua hinaan Alfian.
***
"Nur, kamu kenapa?" tanya Ratna yang terkejut melihat keadaan Nurmala basah kuyup berdiri di depan pintu kos-kosannya. Ratna merupakan sahabat Nurmala dari kampung, sejak kecil mereka selalu bermain bersama.
"Boleh aku numpang tidur di sini untuk sementara waktu?" tanya Nurmala yang enggan menjawab pertanyaan Ratna.
"Ayo, ayo masuk dulu. Ganti bajumu di kamar mandi." Ratna membawa Nurmala ke dalam kos-kosannya yang hanya berukuran 3 X 4, kemudian menuntun Nurmala ke dalam kamar mandi.
Nurmala berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap pantulan leher dan dadanya yang penuh dengan bekas kiss mark dari Alfian. Tangisannya kembali pecah, air mata terus mengucur dengan deras dari mata indahnya.
Beban ini terasa begitu berat hingga membuat Nurmala sulit untuk bernafas. Ia menggosok seluruh tubuhnya yang membuatnya jijik. Bayangan pria itu yang mencumbunya dengan paksa terus saja berkelebat di ingatan Nurmala, bahkan sentuhannya masih terasa hingga saat ini. Nurmala merasa jika dirinya begitu lemah! Air matanya tak bisa berhenti mengalir setiap ingat kejadian tragis itu.
1 jam kemudian Nurmala keluar dari kamar mandi, lalu duduk di atas kasur lantai tepat di sisi Ratna.
"Nur, kamu ada masalah apa?" tanya Ratna begitu Nurmala duduk di sisinya.
"Nggak ada." Nurmala menggeleng dengan tatapan kosong, gurat kesedihan nampak jelas di wajahnya.
"Bohong, wajahmu nggak bisa bohongi aku. Ayo cerita, siapa tahu aku bisa bantu!" Ratna mengguncang kedua bahu Nurmala, masih menuntut jawaban.
"Tolong jangan paksa aku untuk cerita." Nurmala menurunkan tangan Ratna dari bahunya.
"Tapi?" suara Ratna mengambang di udara saat Nurmala menyelanya.
"Aku mohon," pinta Nurmala dengan ekspresi sedih.
Nurmala mengigit bibir bawahnya agar tak lagi terisak. Mana mungkin ia menceritakan aibnya sendiri, ini terlalu memalukan baginya. Cukup Nurmala pendam sendiri masalah ini. Bercerita pun percuma, kegadisannya tidak akan bisa kembali lagi. Ia hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.
Ratna menatap Nurmala dengan tatapan iba, ini membuat Nurmala merasa lebih menyedihkan.
"Makan dulu. Ini aku beli di warung depan. Enak, kok." Ratna menyodorkan satu bungkus nasi goreng di depan Nurmala.
"Makasih," jawab Nurmala sembari mengurai senyuman.
Beberapa menit sudah berlalu, Nurmala hanya mengaduk-aduk nasi gorengnya dengan sendok. Selera makannya hilang menguap entah kemana.
"Hey, malah melamun. Ayo, dimakan keburu dingin."
"Iya." Nurmala mulai memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Tenggorokan Nurmala terasa sulit mencerna makanan, ia hanya mampu memakan tiga sendok nasi. Ia meletakkan sendok, lalu minum air.
"Kok, udah berhenti, sih?" keluh Ratna dengan wajah cemberut.
"Maaf, tapi aku udah kenyang. Tadi sebelum ke sini abis makan,” Nurmala berbohong.
"Abisin dong, jangan buang-buang makanan, mubazir," protes Ratna saat melihat Nurmala membungkus kembali sisa makanannya.
“Ini kumakan untuk besok pagi saja. Sekarang aku mau istirahat, capek.”
“Ya, udah nggak apa-apa.”
Nurmala merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai kemudian berpura-pura tidur, sementara Ratna masih menghabiskan makanannya. Setelah beberapa saat, Nurmala mendengar suara dengkuran halus Ratna yang terlelap di sampingnya. Setelah memastikan Ratna tertidur, Nurmala mengambil ponselnya yang sejak tadi bergetar.
“Assalamualaikum,” Nurmala membaca pesan dari Firman, calon suaminya.
"Assalamualaikum,""Sibuk, ya?""Sayang, jangan lupa makan.""Jangan lupa sholat, Sayang." "Ibu tanyain kamu terus tuh, kapan calon mantunya main ke rumah?""Nur, lagi sibuk ya, kok sejak tadi pesanku nggak dibalas?" pesan dikirim oleh Firman pukul 4 sore ketika kejadian na'as menimpa kekasihnya."Kalau sudah nggak sibuk, cepat balas pesanku. Biar aku nggak kepikiran.""Aku kangen.""Apa kamu sakit, Nur? Sejak tadi perasaanku nggak enak," Firman merasa gelisah tanpa sebab. Sejak tadi ia terus memikirkan Nurmala, takut sesuatu yang buruk menimpanya. Namun, Firman berusaha menepis pikiran buruk itu.Tetesan demi tetesan air mata kembali mengalir dengan deras ketika Nurmala membaca sederet pesan dari Firman, laki-laki yang sebulan lalu melamarnya. Rencananya minggu depan Firman dan keluarganya akan datang ke rumah Nurmala di kampung untuk meresmikan pertunangan mereka, tapi Nurmala sangat takut dan malu membayangkan Firman akan menikahinya dan di saat malam pertama Firman mendapati Nurm
Alfian menuruni anak tangga seraya menenteng tas kerja, tak sengaja berpapasan dengan Ayu begitu sampai di lantai dasar. "Ma," Alfian menyapa Ayu. Namun, wanita yang sudah melahirkannya itu malah membuang muka seolah tak melihat Alfian yang berdiri di ujung tangga. Senyuman hangat yang biasa Alfian dapatkan dari Ayu, kini tak lagi ada.Suasana pagi tak sehangat biasanya. Amarah kedua orang tua Alfian masih membara tak kunjung sirna.Alfian akui ia memang bersalah, kesalahan yang ia buat sangat fatal, tapi semua itu ia lakukan di luar kesadarannya karena pengaruh minuman alkohol. Alfian tak pernah memaksa satupun wanita untuk ditiduri kecuali Nurmala.Entah setan apa yang telah merasukinya hingga melakukan perbuatan bejat tersebut. Lebih baik Alfian pergi ke kantor menyibukkan diri dengan pekerjaan, daripada melihat wajah cemberut keluarganya.Alfian bergegas pergi, langkahnya terhenti di ruang tamu, ketika berpapasan dengan asisten rumah tangganya. "Tolong buang sprei yang ada lanta
"Silahkan dipilih, ini menunya." Nurmala menyerahkan menu makanan pada pengunjung restoran."Saya pesan Rice Bowl Beef Teriyaki, untuk minumnya Lemonade," pinta tamu restoran usai memilih menu makanannya. "Apa ada yang mau di pesan lagi, Tuan?" tanya Nurmala dengan ramah setelah menulis menu pesanan."Tidak, itu saja.""Apa anda mau mencoba Dessert Box Summer Breze. Itu menu baru di restoran kami. Berisi buah-buahan segar, cocok sekali dinikmati setelah memakam makanan berat," Nurmala menawarkan hidangan penutup yang berisi buah-buahan segar."Boleh."Dua minggu sudah berlalu, kini keadaan Nurmala mulai membaik. Ia tak mau terlalu larut dalam kesedihan. Masih banyak yang harus ia lakukan. Meratap tidak akan mengembalikan kesuciannya, meski hati masih terasa hancur, tapi masih banyak yang harus Nurmala lakukan daripada terus meratapi nasibnya.Nurmala mengganti nomor kontak hp-nya agar Firman tak lagi bisa menghubunginya. Sudah satu minggu Nurmala bekerja di sebuah restoran ternama se
Keesokan harinya, Alfian dan Sinta pergi jalan-jalan di Mall. Sudah 2 minggu mereka resmi berpacaran. Bukan hubungan yang serius, Alfian hanya menjadikannya sebagai pelarian berharap bisa menghilangkan beban pikiran di kepalanya. Sinta bergelayut manja di lengan Alfian sembari berkeliling dari satu toko ke toko yang lain."Ayo, pulang. Aku sudah bosan." Alfian menurunkan tangan Sinta dari lengannya. Sejujurnya, Alfian merasa risih berdekatan dengan Sinta. Awalnya, ia pikir dengan memiliki kekasih baru bisa mengisi kekosongan di hatinya. Namun, hidup Alfian tetap terasa hambar."Sebentar, Sayang. 30 menit lagi, ya." Sinta merengek manja di lengan Alfian, ia kembali memeluk lengan Alfian dengan agresif, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Alfian."Hemmm," Alfian hanya berdehem.Sinta menarik tangan Alfian, lalu membawanya memasuki toko pakaian. Sinta memilih pakaian sesuka hatinya karena Alfian akan membayar semua belanjaannya.Alfian berdiri dengan santai di samping Sinta yang asyik me
Nurmala sangat kebingungan sekaligus frustasi. Apa yang harus dia lakukan, jika ibunya tahu Nurmala hamil, pasti beliau akan marah dan kecewa padanya. Hidup Nurmala sudah susah, apalagi dengan kehamilannya. Belum lagi cemoohan orang-orang tentangnya nanti. Jalan satu-satunya adalah menggugurkannya.Ratna terbangun dari tidurnya saat mendengar tangisan Nurmala. Ratna bergegas ke kamar mandi karena khawatir dengan keadaan Nurmala. Dia terkejut melihat Nurmala duduk di lantai sembari memukuli perutnya, terlebih lagi ada 4 tespek dengan dua garis merah berceceran di lantai."Nurmala." Seru Ratna, kemudian berhambur menarik Nurmala ke dalam pelukannya. Ia tak ingin melihat Nurmala menyakiti diri sendiri."Hidupku hancur, Na, hidupku hancur." Nurmala menangis pilu. Ratna mengusap pungggung Nurmala dengan lembut. Membiarkan Nurmala menangis tersedu-sedu untuk mencurahkan semua rasa sakitnya."Siapa pelakunya Nur, siapa ayah dari bayimu? Dia harus tanggung jawab," pipi Ratna sudah basah deng
Tadinya, Alfian hendak keluar dari rumah sakit setelah menjenguk Ayu, tapi malah melihat Nurmala berlari sambil menutup mulutnya menuju ke toilet. Ia pun memutuskan untuk mengikuti Nurmala. Dari luar pintu toilet, Alfian mendengar seseorang muntah-muntah. Ia menyakini jika itu adalah suara Nurmala. Saat pintu toilet mulai terbuka, Alfian buru-buru bersembunyi di balik pilar. Nurmala keluar dari toilet dengan wajah lesu dan pucat, tubuhnya jauh lebih kurus jika dibandingkan dengan Nurmala yang dulu bekerja sebagai art di rumahnya. “Kenapa sekarang dia jadi kurus begini, apa dia terlalu stres gara-gara kejadian itu?” Alfian membatin, kemudian membuntuti Nurmala yang sudah berjalan melewatinya. Dulu, Nurmala memiliki bentuk tubuh ideal yang mampu memanjakan mata para lelaki, apalagi gadis itu memiliki wajah yang cantik alami tanpa polesan make up. Mungkin itulah yang membuat Alfian tidak dapat menahan hasratnya saat melihat Nurmala, apalagi dirinya sedang dalam keadaan mabuk."Kena
Alfian tak tega melihat Nurmala menangis tersedu-sesu, gadis itu menangis hingga tubuhnya bergetar. Alfian memang pendosa, tapi tidak akan pernah membiarkan Nurmala membunuh darah dagingnya. "Ini. Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu. Percayalah." Alfian berusaha membangun kepercayaan di hati Nurmala. Dia memberikan tissue yang ada di atas dasboard mobil pada Nurmala. Nurmala menangis sembari mengambil beberapa lembar tissue lalu mengusap air mata yang membasahi pipinya. "Ini tuh gara-gara kamu. Gara-gara kamu hidupku berantakan, hidupku jadi hancur gara-gara kamu," cerca Nurmala dengan suara bergetar. "Ok, aku minta maaf. Aku tahu, kesalahanku sangat fatal. Jadi bagaimana?" Alfian memutar punggungnya hingga posisinya menghadap Nurmala. Nurmala menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, kemudian menggelengkan kepala. "Aku bingung.” Suaranya terdengar serak. "Jadi kamu mau melahirkan anak kita?" Alfian merasa aneh akan menjadi seorang ayah dari seorang pembantu. "Oh, shit
Setelah selesai makan, Alfian membawa Nurmala keluar dari restoran dan masuk ke dalam mobil. Suasana di dalam mobil terasa canggung karena kedua insan itu sama-sama bungkam. Alfian mengemudikan mobilnya, sesekali melirik Nurmala yang sejak tadi hanya diam memandangi jalanan di depan dengan tatapan kosong."Selama ini kamu tinggal di mana?" Alfian mulai membuka suara untuk mengikis keheningan di antara mereka."Di rumah," jawab Nurmala singkat."Iya, daerah mana?" tanya Alfian lagi. Ia sedikit gemas melihat sikap Nurmala. Andaikan tidak sedang mengambil hatinya, Alfian pasti sudah menyentil kening Nurmala."Nggak tahu." Jawab Nurmala jutek, lalu menyandarkan kepalanya ke kaca jendela mobil.Alfian mengamati Nurmala dengan seksama, gadis itu terlihat begitu pucat dan lesu. "Kamu masih pusing, Nur?"Nurmala hanya mengangguk pelan. Alfian mulai menepikan mobil dan berhenti di tepi jalan, lalu mengambil obat di dashboard mobil yang ia dapat dari Dokter tadi. Alfian mengupas bungkusnya, kem
“Nay,” Ardi memanggil Kanaya yang baru saja turun dari mobil yang terparkir di parkiran kampus. “Ada apa, Pak?” tanya Kanaya. Kanaya berpikir jika Ardi akan menanyakan alasan kenapa Kanaya pergi dari rumahnya.“Apa kamu udah tahu masalah Dimas?” tanya Ardi.Ardi ragu dengan kejujuran Lilis yang mengatakan jika dia sudah memberitahu Alfian tentang Dimas. “Masalah apa?” tanya Kanaya dengan kening berkerut. Apakah Dimas masih menyimpan banyak rahasia kelam.Ardi melangkah mendekati Kanaya untuk memberitahu Kanaya dengan suara pelan takut ada orang lain yang mendengar, tapi Kanaya malah mundur menjaga jarak dengan waspada sembari memalingkan wajah. “Dimas masuk penjara, Nay.”“Apa?” pekik Kanaya dengan mata terbelalak karena shock. Matanya langsung berkaca-kaca dengan perasaan tak karuan. Sebesar apa pun kebencian Kanaya terhadap Dimas, Kanaya tetap mengkhawatirkannya. “Kok, bisa?” tanya Kanaya dengan suara bergetar.“Dia kena kasus penyalahgunaan narkoba.”“Terus gimana keadaan dia
Dimas mulai membuka mata saat hari sudah gelap, entah sudah berapa lama Dimas tertidur. Yang pertama kali terbesit di kepala Dimas adalah Kanaya.“Kanaya” Dimas tersentak kaget ketika teringat kata-kata terakhir Kanaya yang ingin menggugat cerai dirinya, Dimas tak ingin kehilangan Kanaya. Ternyata kebersamaannya bersama Kanaya hanya angan-angan semata. Dimas buru-buru menyalakan mesin mobil, kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh saat keluar dari area gedung kosong, berharap cepat sampai tujuan dengan selamat dan menjelaskan segalanya pada Kanaya.Dalam waktu kurang dari 30 menit, mobil Dimas sudah memasuki halaman rumahnya. Dimas memarkir mobilnya sembarangan, kemudian berlari ke dalam rumah menuju kamarnya dengan was-was. “Kanaya.” Dimas memanggil istrinya sembari membuka pintu. Kamarnya kosong, ranjang pun masih tertata rapi. Dimas melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, tapi juga tidak menemukan Kanaya di sana.“Kanaya, di mana kamu?” Dimas berteriak dengan frustasi
Dimas pulang ke rumahnya dengan keadaan berantakan, sakau membuat tubuhnya sakit seperti dikuliti hidup-hidup. Dimas sangat marah saat melihat pintu ruang kerjanya tidak terkunci apalagi obat-obatan miliknya sudah tidak ada lagi di atas mejanya. Dimas pergi ke kamarnya dan mendapati Kanaya yang menatapnya dengan dingin.“Kamu yang membuka ruang kerjaku?” tanya Dimas sambil menatap Kanaya dengan matanya yang merah.“Ya,” jawab Kanaya singkat.“Di mana obatku?” Dimas segera menghampiri Kanaya dengan hembusan napas yang terengah-engah.“Sudah kubuang.”“Apa?” Dimas menatap Kanaya dengan tatapan dingin, ia berusaha menahan diri agar tidak mengamuk pada wanita yang sangat dicintainya. “Kenapa kau buang?”“Punya hubungan apa kamu dengan Sonya?” tanya Kanaya dengan nada tegas.“Nggak ada,” jawab Dimas dengan nada ketus.“Jangan bohong kamu, Dimas. Aku sudah baca wa kamu.”Dimas mengambil hp-nya yang ada di atas meja, kemudian menghubungi seseorang tanpa mempedulikan tuduhan Kanaya. Saat ini
Pagi hari pun tiba, Kanaya mencemaskan Dimas yang meringkuk di ranjang. Akhir-akhir ini Dimas berubah aneh, pria itu sangat pucat dengan tubuh menggigil seperti orang kedinginan.“Kamu kenapa?” tanya Kanaya dengan khawatir sembari memeriksa kening Dimas.“Nggak apa-apa,” jawab Dimas dengan suara parau.“Nggak apa-apa gimana, wajah kamu pucat begini. Aku panggilin Dokter, ya!”“Nggak usah, aku nggak sakit.”“Badan kamu dingin banget, aku panggilin Dokter, ya! Kalau dibiarin takut tambah parah.”“Kamu nggak ngerti, Nay. Aku nggak sakit!” bentak Dimas karena merasa sakit oleh sentuhan ringan Kanaya.Kanaya terkejut sekaligus kecewa dengan perubahan sikap Dimas yang kasar. “Bisa nggak ngomongnya biasa aja, nggak usah kasar gitu,” keluh Kanaya dengan nada pelan berusaha menahan segala emosi di hatinya.“Mau kamu apa, Nay! Aku udah mau berubah, tapi nggak bisa, sulit.”“Maksud kamu apa? Aku nggak ngerti.” tanya Kanaya dengan bingung. Bukannya menjawab pertanyaan Kanaya, Dimas malah turun d
Dimas menjadi imam dalam sholat, sedangkan Kanaya yang menjadi makmumnya. Selesai sholat, Dimas dan Kanaya sama-sama berdzikir meminta kebaikan dunia akhirat dan pengampunan dosa.Kanaya terkesima dan tidak percaya Dimas begitu fasih melantunkan bacaan sholat dan dzikir. Waktu kecil Dimas pernah mengaji dan ketika tumbuh dewasa, Andra memasukkan Dimas ke pesantren meski hanya 3 bulan, setelah itu Dimas kabur. Setidaknya, Dimas masih memiliki bekal ilmu agama.Dimas merasa terharu melihat Kanaya tiba-tiba mencium tangannya, ia pun menghadiahi kening Kanaya dengan kecupan yang cukup lama, kemudian memeluk Kanaya dengan erat hingga Kanaya merasa sesak.“Jangan pernah tinggalin aku, Nay!”“Asal kamu baik, aku nggak akan ninggalin kamu. Sekarang bisa lepasin aku, kamu meluknya kekencengan bikin aku susah napas!” Keluh Kanaya sembari menepuk-nepuk punggung Dimas.Dimas terkekeh, kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Kanaya. Ia masih ingin bermanja-manja dengan istrinya untuk mengalihkan
Kanaya tidur dengan nyenyak sambil memeluk guling yang terasa hangat. Guling yang ia peluk terasa sangat nyaman membuat Kanaya enggan untuk bangun dari tidurnya. Kanaya masih ingin bermalas-malasan di ranjangnya.Namun ada yang aneh, guling yang Kanaya peluk tiba-tiba bergerak. Sontak saja Kanaya membuka mata dan mendapati wajahnya bergumul di dada suaminya. Rupanya Kanaya sedang memeluk Dimas, bukan memeluk guling.Kanaya beringsut mundur, dilihatnya jarum jam beker di atas meja menunjuk pada angka 04.00 WIB. Kanaya teringat dengan nasehat Rindu, seperti apa pun sifat Dimas, Kanaya tetap harus menjalankan tugasnya sebagai seorang istri."Mas, bangun, bangun, bangun." Kanaya menusuk-nusuk lengan Dimas dengan jari telunjuknya.Dimas menggeliat, kemudian menyipitkan matanya memandang wanita yang sudah mengganggu tidurnya."Ada apa?" tanya Dimas dengan suara parau."Sebentar lagi adzan subuh, kamu nggak mau sholat?""Nggak," tolak Dimas."Kenapa nggak mau sholat?" tanya Kanaya dengan ken
Rindu membuka dari mobil karena tidak nyaman menunggu di dalam mobil yang terparkir di depan rumah sakit. Ia dan keluarganya menunggu jenazah Andra dikeluarkan dari ruang jenazah."Mau kemana kamu?" tanya Ashraf ketika melihat Rindu keluar dari mobil."Nggak enak di mobil, aku nunggu di luar aja pengen hirup udara luar." Rindu turun dari mobil, kemudian duduk di bawah pohon rindang. Ashraf pun turut keluar dari mobil menemani istrinya.“Masih lama nggak ‘sih?”“Nggak tahu, mungkin sebentar lagi jenazahnya udah bisa keluar.”“Nggak nyangka ya, Kak. Rasanya baru kemarin ketemu sama Om Andra, eh sekarang dia udah nggak ada.”“Umur manusia nggak ada yang tahu, Sayang. Makanya, kita jangan terlena dengan nikmatnya dunia karena hanya amal kita yang akan dibawa sampai ke alam kubur.”“He’em.” Rindu menyandarkan kepalanya ke bahu kokoh sang suami yang terasa sangat nyaman.***Kanaya memperhatikan Alfian yang duduk bersandar di sandaran mobil. Gurat kesedihan tergambar jelas di wajah Alfian.
Dimas mengambil kontak mobil dan Hp-nya di atas meja dan segera pergi dengan langkah tergesa-gesa tanpa melihat ke arah Kanaya yang sangat terluka dan terpukul karena perbuatannya. Kanaya meringkuk di sudut ranjang sambil menangis mengamati punggung Dimas yang kian menjauh.Setelah meniduri Kanaya, Dimas mencampakkannya begitu saja seperti malam itu. Kanaya merasa jika Dimas hanya mempermainkannya saja dan memperlakukan dirinya bagai wanita penghibur yang setelah dipakai dicampakkan begitu saja.*** “Dimas mana?” tanya Andra pada Kanaya ketika tidak melihat Dimas ikut sarapan di meja makan.“Nggak tahu, Pa.” Jawab Kanaya dengan lesu, ia bersyukur tidak melihat wajah Dimas lagi setelah pria itu berhasil menidurinya semalam. Dimas benar-benar menguras tenaga dan emosi Kanaya, hingga paginya Kanaya merasa sangat lapar dan tidak bersemangat.“Anak itu tetap saja nggak berubah.” Andra menghela napas berat melihat kelakuan Dimas yang tidak berubah meski sudah menikah. “Papa harap kamu mau
Kanaya duduk di kursi dekat kolam renang untuk menenangkan t, sebab berada di dalam kamar hanya membuat Kanaya semakin larut dalam kesedihan. Ia ingin menghapus nama Ardi yang masih melekat di hatinya dan membuatnya merasa nelangsa. Kanaya ingin memberi Dimas kesempatan untuk membuka lembaran baru dalam rumah tangganya, karena sadar menyesali pernikahan tidak akan ada gunanya. Kanaya merasa Dimas tidak seburuk yang dia pikirkan, mungkin jika Kanaya bersikap baik, Dimas akan berubah menjadi suami yang baik juga.“Aku biasa duduk di sini setiap punya banyak masalah.”Kanaya mendongak saat mendengar suara yang tidak asing di telinga menyapanya. Manik matanya langsung beradu dengan tatapan mata Ardi yang sendu. Kanaya langsung bangkit dari kursinya hendak pergi dari tempatnya duduknya, tapi Ardi malah menghadang jalannya.“Pak, jangan halangi jalanku. Aku takut ada yang salah paham kalau kita berduaan di sini.” Kanaya semakin gelisah melihat sikap Ardi yang mulai berani.“Di sudut sana