Keesokan harinya, Alfian dan Sinta pergi jalan-jalan di Mall. Sudah 2 minggu mereka resmi berpacaran. Bukan hubungan yang serius, Alfian hanya menjadikannya sebagai pelarian berharap bisa menghilangkan beban pikiran di kepalanya. Sinta bergelayut manja di lengan Alfian sembari berkeliling dari satu toko ke toko yang lain.
"Ayo, pulang. Aku sudah bosan." Alfian menurunkan tangan Sinta dari lengannya. Sejujurnya, Alfian merasa risih berdekatan dengan Sinta. Awalnya, ia pikir dengan memiliki kekasih baru bisa mengisi kekosongan di hatinya. Namun, hidup Alfian tetap terasa hambar.
"Sebentar, Sayang. 30 menit lagi, ya." Sinta merengek manja di lengan Alfian, ia kembali memeluk lengan Alfian dengan agresif, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Alfian.
"Hemmm," Alfian hanya berdehem.
Sinta menarik tangan Alfian, lalu membawanya memasuki toko pakaian. Sinta memilih pakaian sesuka hatinya karena Alfian akan membayar semua belanjaannya.
Alfian berdiri dengan santai di samping Sinta yang asyik memilih pakaian. Tak lama kemudian seorang SPG datang menghampiri mereka.
"Permisi, ada yang bisa saya bantu?"
Alfian seketika berbalik, betapa terkejutnya ia melihat Nurmala yang tak kalah terkejutnya dengannya. Alfian dan Nurmala diam membeku tatapan mata saling terpaku.
"Kamu kerja disini?" tanya Alfian tanpa berkedip.
Nurmala membuang muka setelah sadar dari keterkejutannya. Ia tak pernah menyangka akan bertemu dengan laki-laki yang sangat ia benci di dunia ini yaitu Alfian. Nurmala tidak dapat menahan amarah di hatinya. Nurmala sudah muak melihat melihat orang yang sudah membuat hidupnya hancur.
Nurmala tak mau lagi berurusan dengan Alfian. Ia bergegas mundur, sialnya ketika hendak berbalik kaki Nurmala malah tersandung rak pakaian hingga terjerembab. Beruntung Alfian dengan sigap menarik pinggang Nurmala, hingga wanita cantik itu jatuh di pelukannya.
Alfian memeluk Nurmala dengan erat, keduanya kembali mengingat kejadian intim yang mereka lakukan. Momen ini membuat sekujur tubuh Nurmala menegang, karena masih trauma dengan perbuatan Alfian. Bayang-bayang ketika Alfian merenggut kegadisannya secara paksa tergambar jelas di ingatan Nurmala.
"Alfian!" sentak Sinta saat melihat posisi Alfian dan Nurmala yang begitu mesra.
"Lepas.” Sentak Nurmala sembari mendorong dada Alfian hingga pelukan mereka terlepas.
Nurmala bergegas pergi, baru beberapa langkah ia beranjak, langkah kakinya terhenti karena supervisor menghadangnya. "Kamu karyawan baru ‘kan? Itu ada pengunjung, kenapa tidak dilayani. Jangan lupa, kamu masih masa training di sini," Supervisor berucap dengan nada tegas.
"Iya, maaf." Nurmala menunduk pasrah, dengan terpaksa harus rela melucuti harga dirinya di hadapan Alfian. Dengan berat hati, Nurmala kembali menuju tempat Alfian dan kekasihnya berada. Pria itu memperhatikan Nurmala tanpa berkedip.
Nurmala menghela nafas berat saat berdiri di samping Sinta yang tengah asyik memilih pakaian, sementara Alfian masih setia berdiri di sisinya. Nurmala ingin segera pergi, tapi takut dipecat jika melakukan kesalahan dalam bekerja. Nurmala sangat membutuhkan pekerjaan ini, mencari pekerjaan sangat ‘lah sulit. Jangan sampai hanya karena laki-laki ini, Nurmala kehilangan pekerjaannya.
Nurmala mengepalkan tangannya, merutuki keadaan yang membuatnya tak bisa menuntut keadilan dan berbuat apapun. Rasanya begitu sulit bernapas jika berdiri di dekat Alfian, orang miskin sepertinya tidak akan mampu melawan orang kaya seperti Alfian. Setelah menodai kehormatan Nurmala, masih berani Alfian muncul di hadapan Nurmala, apalagi dengan membawa kekasihnya. Nurmala sangat membenci Alfian, kalau Alfian sudah memiliki kekasih, lalu kenapa dia tega merenggut kesucian Nurmala.
"Wajahmu pucat sekali, apa kamu sakit?" tanya Alfian. Nurmala malah melengos membuang muka. Sikap Nurmala membuat Alfian tak nyaman. Alfian mendengus kesal karena merasa diacuhkan. Dia kembali memperhatikan wajah pucat Nurmala yang penuh dengan keringat.
"Sayang, ini bagus nggak?" Sinta meletakkan dress ke depan dadanya, tapi Alfian tak memberikan respon. Sinta cemberut karena Alfian mengacuhkan dirinya.
"Ih, kamu 'tuh ngapain 'sih liatin dia terus. Pacar kamu 'tuh di aku, bukan dia."
"Sudahlah, pilih saja pakaian yang kau mau sepuasnya."
"Beneran, ya." Sinta tersenyum dengan lebar, sedangkan Nurmala merasa jijik dengan obrolan mereka.
Menyadari sikap tak nyaman Nurmala karena kehadiran dirinya, Alfian pun mengalah. Ia memilih berdiri sedikit lebih jauh dari Nurmala. Alfian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, sedangkan matanya masih fokus memperhatikan Nurmala. Ada rasa bersalah terselip di hati Alfian, ia akan menebus kesalahannya pada gadis itu, tapi bukan dengan cara menikah.
Alfian berjalan dan mengambil sederet pakaian secara asal dan membawanya ke kasir. Tujuannya agar Nurmala mendapatkan bonus karena mampu menjualkan pakaian dalam jumlah banyak. Setelah selesai melakukan transaksi di kasir, Alfian menarik paksa tangan Sinta, lalu membawanya keluar dari toko pakaian.
"Sayang, aku belum selesai berbelanjanya." Sinta merengek manja. Ia tidak puas dengan pakaian yang dipilihakan Alfian secara asal.
"Sudah cukup. Ini sudah banyak." Alfian menenteng banyak tas berisi pakaian di tangannya.
“Tapi, aku nggak cocok sama pilihan kamu.”
“Belajarlah bersyukur, jangan terlalu banyak mengeluh.” Alfian berjalan dengan langkah panjang meninggalkan Sinta. Ia sama sekali tidak peduli meskipun Sinta berjalan terseok-seok mengejarnya supaya langkah kaki mereka sejajar.
“Sayang, jalannya jangan cepat-cepat.” Sinta merengek dengan ekspresi cemberut.
“Kamu saja yang lamban.”
***
Pukul sebelas malam, Nurmala baru saja keluar dari tempatnya bekerja, karena hari ini dia kebagian shift malam. Nurmala berjalan kaki menuju apotek yang buka 24 jam, lokasinya tak terlalu jauh dari tempatnya bekerja.
Nurmala ingin membeli obat sakit kepala. Akhir-akhir ini dia kurang sehat, selalu muntah di pagi hari, mual bila mencium bau menyengat dan sakit kepala sering menyerangnya.
Begitu tiba di apotik, seorang wanita hamil datang menghampiri Nurmala. "Mau beli apa, Dik?" tanya penjaga apotik dengan ramah.
Pandangan mata Nurmala terus tertuju pada perut wanita yang buncit itu. Tiba-tiba hatinya was-was memikirkan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Tubuh Nurmala gemetaran, tangannya terasa dingin saat mengingat ia dan Alfian sudah melakukan hubungan badan. Bukankah kemungkinan Nurmala juga bisa hamil.
Nurmala melihat tanggal di layar hp-nya. Harusnya dia menstruasi antara tanggal 4 sampai tanggal 7. Ini sudah tanggal 18, tapi kenapa ia belum datang bulan juga. Hati Nurmala semakin kalut, dia sudah membayangkan hal yang tidak-tidak. Nurmala takut jika dirinya hamil. Memikirkan hal itu, membuat kepala Nurmala mendadak pusing.
"Mbak, beli testpack 4 biji. Emmm, untuk kakak saya, dan obat untuk sakit kepala." Nurmala memilih untuk memastikan apakah dia hamil atau tidak, daripada harus menduga-duga tidak jelas.
Setelah mendapatkan obat dan testpack, Nurmala melakukan pembayaran. Ia buru-buru keluar dari apotik sebab sudah tidak sabar dengan hasilnya. Nurmala terus berjalan di atas jalan paving blok tepat di sisi jalan raya yang nampak sepi, hanya ada segelintir kendaraan lalu lalang melaju dengan cepat. Malam semakin larut, udara terasa begitu dingin menusuk kulit. Nurmala memeluk tubuhnya sendiri yang kedinginan.
"Aaakkhh," Nurmala jatuh tersungkur di atas paving blok ketika seorang pengendara motor yang berboncengan menjambret tas yang terselempang di bahunya.
“Astagfirullah, tasku. ATM sama KTP-ku ada di situ.” Nurmala mengeluh sambil memegangi lututnya yang terluka. Dengan susah payah ia berdiri, lalu membersihkan lutut dan tangannya yang kotor dan terluka. "Jahat banget 'sih mereka."
Nurmala kebingungan harus berbuat apa. Ia tidak mungkin bisa mengejar penjambret itu, apalagi melawan mereka di daerah yang sepi seperti ini. Nurmala kembali melangkah menuju kos-kosannya dengan kaki yang terasa perih, kakinya juga sakit karena terkilir.
Nurmala terkejut ketika mendengar deru motor mendekatinya. Ia ketakutan setengah mati saat melihat pengendara motor yang merampas tas-nya turun dari motor, lalu melangkah menghampiri Nurmala.
"Kalian mau apa lagi?" tanya Nurmala sembari melangkah mundur.
"Mau tas-mu balik, nggak?" Salah satu pria itu menyeringai dengan kilatan mata penuh gairah.
"Nggak usah, ambil saja." Nurmala berbalik dan berlari dengan sekuat tenaga, tapi langkahnya kalah cepat dibandingkan dengan kaki panjang dua penjambret itu. Apalagi kakinya luka dan terkilir. Nurmala disergap dari belakang, mulutnya dibekap. Kedua penjahat itu menyeret Nurmala secara paksa. Mereka membawa Nurmala ke tempat sepi.
Hati Nurmala semakin kalut, dia takut menjadi korban pelecehan untuk kedua kalinya. Harus melayani dua orang sekaligus itu pasti lebih menyeramkan daripada yang Alfian lakukan padanya.
"Tolong jangan sentuh saya, kalian bisa ambil apapun milik saya tapi tolong jangan perk*s* saya." Tangis Nurmala pecah saat dua pria itu berusaha merebahkan Nurmala ke atas tanah. Nurmala tak ingin dinodai untuk kesekian kalinya. ia bahkan masih trauma dengan pelecehan yang Alfian lakukan padanya.
"Kami nggak butuh barangmu, kami cuma mau kamu." Pakaian Nurmala mulai ditarik paksa. Namun, Nurmala masih berusaha mempertahankan pakaiannya, ia mencengkram bagian kancing kemejanya dengan erat.
"Tolooooong!" teriak Nurmala sekuat tenaga. Air matanya mengalir deras mengalir di pipinya.
KREEEKKK
Pakaian Nurmala ditarik hingga robek. "Jangan!” Nurmala berteriak histeris. “Aku mohon jangan. Lepaskan aku. Toloooong!" Tangis Nurmala semakin pecah, ia memohon dengan suara serak sambil memberontak dengan sekuat tenaga.
"Ayolah, ini sudah malam. Tidak akan ada yang bisa menolongmu. Nikmati saja. Kami lakukan dengan lembut."
BUGH
Seorang pria tiba-tiba muncul, lalu memukul kedua bajingan itu secara bergantian dengan balok kayu. Melihat kemunculan pria itu, dua penjambret tersebut lari terbirit-birit.
Pria asing itu membuang kayu di tangannya, lalu membuka jas yang ia kenakan dan menyampirkannya ke tubuh mungil Nurmala. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya dengan suara lembut.
"Nggak apa." Nurmala menggeleng pelan. Ia masih menangis tergugu sembari memeluk dirinya sendiri, menutupi pakaiannya yang robek.
“Syukurlah. Kamu bisa berdiri, kan?" tanya pria itu sembari meraih tas milik Nurmala yang tergeletak di tanah.
Nurmala mencoba bangkit, tapi malah terjatuh karena sendi-sendinya terasa lemas seperti tak bertenaga. Pemuda yang sejak tadi hanya mengamati usaha Nurmala, akhirnya merangkul bahu Nurmala dan membantunya berdiri.
"Mari kuantar pulang," ajaknya ramah.
"Nggak perlu, Mas. Terima kasih."
"Jangan menolak, aku tidak mau kamu berada dalam bahaya lagi. Jangan takut, aku bukan orang jahat." Pria itu mengembalikan tas di tangannya pada Nurmala.
Nurmala mengangguk, ia juga takut kedua orang jahat itu kembali dan menyerangnya. Pria Berwajah tampan itu membawa Nurmala masuk ke dalam mobilnya.
"Namaku Raffa. Namamu siapa?" tanya pria yang duduk di balik kemudi, sedangkan Nurmala duduk di sebelahnya.
"Nurmala." Nurmala menunduk sembari memeluk dirinya sendiri dengan tangan yang masih gemetar ketakutan.
"Nama yang cantik, seperti pemiliknya." Raffa menerbitkan senyuman, hingga lesung pipi tercetak di wajahnya, membuat wajah tampan Raffa terlihat semakin manis. Namun, senyum indah itu pudar saat melihat lutut Nurmala yang terluka.
"Kita ke apotik dulu," ajak Raffa.
Nurmala hanya bergeming, masih berkutat dengan pikirannya sendiri hingga tak menyadari arah laju mobil. Raffa memutar balikkan mobil menuju apotik, tak lama kemudian mobil berhenti di depan apotik.
"Tunggu di sini sebentar." Raffa segera turun dari mobil lalu masuk ke dalam apotik.
Nurmala yang sejak tadi melamun baru menyadari posisinya di mana saat Raffa turun dari mobil. Nurmala melihat punggung Raffa dari balik jendela mobil. Raffa segera membawa Nurmala pulang setelah membeli obat.
10 menit sudah berlalu, mobil berhenti di depan kosan Nurmala. "Kamu tinggal di sini?" tanya Raffa.
"Iya. Terima kasih untuk tumpangan dan pertolongannya," ucap Nurmala dengan tulus, kemudian mengembalikan jas-nya pada Raffa.
"Sama-sama. Ini obat untuk lukamu." Raffa menyodorkan kantung keresek yang berisi obat pada Nurmala.
"Terima kasih banyak, ya. Aku tidak tahu harus membalasmu dengan apa," Nurmala tidak tahu apa jadinya jika Raffa tidak menolongnya.
"Cukup dengan senyummu dan sebut namaku dalam doamu. Namaku Raffasa."
"InsyaAllah, aku akan selalu mengingat semua kebaikan kamu. Semoga Allah membalas semua kebaikan kamu," balas Nurmala, kemudian turun dari mobil.
"Tunggu?" Raffa memanggil Nurmala saat gadis itu hendak pergi.
Nurmala berbalik dan bertanya. "Ada apa?"
"Apa kamu sudah punya suami?" tanya Raffa.
"Nggak punya?" Nurmala menjawab dengan ekspresi datar. Pertanyaan pemuda itu mengingatkannya pada Firman yang gagal menjadi suaminya.
Raffa tersenyum senang mendengar jawaban Nurmala. "Apa kamu punya kekasih?"
"Nggak punya." Nurmala menggelengkan kepalanya, beberapa bulan lalu ia sudah memutuskan hubungannya dengan Firman. "Aku pulang dulu, ya. Terima kasih untuk semuanya."
"Iya." Raffa terus menatap punggung Nurmala, untuk memastikan gadis itu benar-benar aman sampai di tempat tujuan.
Sesampainya di kosan, Nurmala melihat Ratna sudah terlelap. Dengan gegabah Nurmala membongkar isi tas-nya dan mengambil testpack. Nurmala membawa testpack itu ke dalam kamar mandi. Ia langsung menggunakan testpack tersebut sesuai dengan aturan pakai yang tertera di bungkusnya. Tangan Nurmala gemetaran menunggu hasil testpack yang ada di tangannya. Sedetik, dua detik, tiga detik...
Deg
Jantung Nurmala terasa mencelos ingin keluar dari tempatnya, matanya pun terbelalak melihat garis dua di testpack itu.
"Nggak, nggak, aku nggak mungkin hamil. Aku nggak boleh hamil. Ini pasti ada yang salah. Aku nggak mungkin hamil." Nurmala mulai menangis, kemudian membuang testpack itu ke lantai kamar mandi.
Nurmala kembali mencoba semua testpack dan semua hasilnya sama, positif. Tubuh Nurmala mendadak lemas, ia merosot di atas lantai, tangisnya seketika pecah kala itu juga. Nurmala menangis sejadi-jadinya.
"Aku nggak mau hamil, aku nggak mau hamil, aku nggak boleh hamil. Maafin Nurmala, Bu."
Nurmala menangis seraya memukuli perutnya, berharap dengan begitu ia akan keguguran. Nurmala tidak mau hamil di luar nikah, ia tidak mau mengandung benih dari bajingan seperti Alfian. Apa yang akan Nurmala katakan nanti pada ibunya jika ia hamil. Nurmala merasa dunianya benar-benar hancur.
Nurmala sangat kebingungan sekaligus frustasi. Apa yang harus dia lakukan, jika ibunya tahu Nurmala hamil, pasti beliau akan marah dan kecewa padanya. Hidup Nurmala sudah susah, apalagi dengan kehamilannya. Belum lagi cemoohan orang-orang tentangnya nanti. Jalan satu-satunya adalah menggugurkannya.Ratna terbangun dari tidurnya saat mendengar tangisan Nurmala. Ratna bergegas ke kamar mandi karena khawatir dengan keadaan Nurmala. Dia terkejut melihat Nurmala duduk di lantai sembari memukuli perutnya, terlebih lagi ada 4 tespek dengan dua garis merah berceceran di lantai."Nurmala." Seru Ratna, kemudian berhambur menarik Nurmala ke dalam pelukannya. Ia tak ingin melihat Nurmala menyakiti diri sendiri."Hidupku hancur, Na, hidupku hancur." Nurmala menangis pilu. Ratna mengusap pungggung Nurmala dengan lembut. Membiarkan Nurmala menangis tersedu-sedu untuk mencurahkan semua rasa sakitnya."Siapa pelakunya Nur, siapa ayah dari bayimu? Dia harus tanggung jawab," pipi Ratna sudah basah deng
Tadinya, Alfian hendak keluar dari rumah sakit setelah menjenguk Ayu, tapi malah melihat Nurmala berlari sambil menutup mulutnya menuju ke toilet. Ia pun memutuskan untuk mengikuti Nurmala. Dari luar pintu toilet, Alfian mendengar seseorang muntah-muntah. Ia menyakini jika itu adalah suara Nurmala. Saat pintu toilet mulai terbuka, Alfian buru-buru bersembunyi di balik pilar. Nurmala keluar dari toilet dengan wajah lesu dan pucat, tubuhnya jauh lebih kurus jika dibandingkan dengan Nurmala yang dulu bekerja sebagai art di rumahnya. “Kenapa sekarang dia jadi kurus begini, apa dia terlalu stres gara-gara kejadian itu?” Alfian membatin, kemudian membuntuti Nurmala yang sudah berjalan melewatinya. Dulu, Nurmala memiliki bentuk tubuh ideal yang mampu memanjakan mata para lelaki, apalagi gadis itu memiliki wajah yang cantik alami tanpa polesan make up. Mungkin itulah yang membuat Alfian tidak dapat menahan hasratnya saat melihat Nurmala, apalagi dirinya sedang dalam keadaan mabuk."Kena
Alfian tak tega melihat Nurmala menangis tersedu-sesu, gadis itu menangis hingga tubuhnya bergetar. Alfian memang pendosa, tapi tidak akan pernah membiarkan Nurmala membunuh darah dagingnya. "Ini. Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu. Percayalah." Alfian berusaha membangun kepercayaan di hati Nurmala. Dia memberikan tissue yang ada di atas dasboard mobil pada Nurmala. Nurmala menangis sembari mengambil beberapa lembar tissue lalu mengusap air mata yang membasahi pipinya. "Ini tuh gara-gara kamu. Gara-gara kamu hidupku berantakan, hidupku jadi hancur gara-gara kamu," cerca Nurmala dengan suara bergetar. "Ok, aku minta maaf. Aku tahu, kesalahanku sangat fatal. Jadi bagaimana?" Alfian memutar punggungnya hingga posisinya menghadap Nurmala. Nurmala menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, kemudian menggelengkan kepala. "Aku bingung.” Suaranya terdengar serak. "Jadi kamu mau melahirkan anak kita?" Alfian merasa aneh akan menjadi seorang ayah dari seorang pembantu. "Oh, shit
Setelah selesai makan, Alfian membawa Nurmala keluar dari restoran dan masuk ke dalam mobil. Suasana di dalam mobil terasa canggung karena kedua insan itu sama-sama bungkam. Alfian mengemudikan mobilnya, sesekali melirik Nurmala yang sejak tadi hanya diam memandangi jalanan di depan dengan tatapan kosong."Selama ini kamu tinggal di mana?" Alfian mulai membuka suara untuk mengikis keheningan di antara mereka."Di rumah," jawab Nurmala singkat."Iya, daerah mana?" tanya Alfian lagi. Ia sedikit gemas melihat sikap Nurmala. Andaikan tidak sedang mengambil hatinya, Alfian pasti sudah menyentil kening Nurmala."Nggak tahu." Jawab Nurmala jutek, lalu menyandarkan kepalanya ke kaca jendela mobil.Alfian mengamati Nurmala dengan seksama, gadis itu terlihat begitu pucat dan lesu. "Kamu masih pusing, Nur?"Nurmala hanya mengangguk pelan. Alfian mulai menepikan mobil dan berhenti di tepi jalan, lalu mengambil obat di dashboard mobil yang ia dapat dari Dokter tadi. Alfian mengupas bungkusnya, kem
Alfian bertujuan membawa Nurmala ke supermarket untuk membeli kebutuhan ibu hamil dan pakaian untuk Nurmala, tapi urung ia lakukan karena Nurmala mengeluh sakit kepala, maka Alfian memutuskan untuk membiarkan Nurmala istirahat di rumah, sekaligus mengurungnya karena takut Nurmala melarikan diri.“Aku mau ke butik sebentar, setelah itu aku pulang. Kamu jangan ke mana-mana, tunggu aku di rumah.”“Mana bisa aku pergi kalau kamu mengurungku. Di mana kunci rumahnya, aku mau pulang?” tanya Nurmala disela tangisnya.“Maaf, tapi kuncinya aku bawa.” Ujar Alfian sembari memilih beberapa pakaian wanita.“Cepat pulang, aku takut sendirian.”“Iya, iya. Ya sudah, aku tutup dulu teleponnya.” Alfian menutup pintunya secara sepihak.Nurmala duduk di sudut kamar yang menurutnya merupakan tempat teraman dibanding tempat lainnya. Nurmala menangis tersedu-sedu karena masih belum terbiasa sendirian di tempat asing. Apalagi di rumah pria yang sudah merenggut kehormatannya. Perbuatan Alfian masih menyisakan
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Nurmala Angraini Binti Muhammad Faruk dengan mas kawin tersebut, Tunai," ucap Alfian dengan mantap.Para saksi serempak mengucapkan kata, "Sah." Lantunan doa pun menggema memenuhi ruangan rawat Ayu.Nurmala tak kuasa membendung air mata saat para saksi mengucapkan kata 'Sah', berulangkali Nurmala menyeka air mata yang terus mengalir membasahi pipinya. Harusnya Firmansyah Aditama yang duduk di sampingnya untuk melafadzkan kalimat ijab kabul disaksikan oleh keluarganya. Harusnya rasa terharu karena rasa bahagia yang memenuhi hati Nurmala, bukan rasa sesak tersemat di dada yang merajai hatinya. Hatinya sakit setiap mengingat Firman, nama pria itu masih bertahta di hati Nurmala. Kenangan indah bersama Firman masih menguasai pikirannya."Mas Firman, apakah kamu juga sama patah hatinya denganku?" Nurmala memejamkan mata, tangannya memegangi dada yang begitu sesak hingga sulit untuk bernafas. Cinta yang sudah bertahun-tahun mereka rajut, harus kandas karena
Nurmala bersandar di kepala ranjang sembari mengusap perutnya yang masih rata. Sudah ada makhluk kecil yang tak pernah ia inginkan tumbuh di sana. Ia masih tak percaya bisa menikah dengan orang yang sudah merusak hidupnya. Nurmala menghela nafas berat, ia tak mau terus-terusan larut dalam kesedihan."Ini untukmu.” Lamunan Nurmala buyar karena Alfian yang tiba-tiba berdiri di sampingnya menjulurkan sebuah kartu berwarna hitam. “Kamu bisa beli apa pun dengan kartu ini,” lanjut Alfian."Aku nggak butuh itu." Nurmala membuang muka ke samping."Maaf, tapi aku tidak menerima penolakan." Alfian menarik tangan Nurmala, lalu menjejalkan Black Card itu ke tangannya."Kamu nggak apa-apa kan, kutinggalkan kerja?" tanya Alfian."Iya." Itu lebih baik pikir Nurmala. Berada di dekat Alfian hanya membuat Nurmala merasa sesak napas."Kalau butuh sesuatu, kamu bisa minta tolong sama Bi Puput. Aku sudah minta dia untuk menjagamu.""Iya," jawab Nurmala singkat. Ia masih memalingkan muka dari Alfian"Nant
“Kapan ‘sih dia pulang. Ini sudah malam banget.” Nurmala berjalan ke sana kemari di teras rumah menunggu kepulangan Alfian dengan gelisah tapi sampai sekarang pria itu belum juga menunjukkan batang hidungnya. Pria itu sudah berjanji untuk mengantarnya ke kos-kosan Ratna, padahal sekarang sudah jam 9 malam, tapi Alfian tak kunjung pulang. Berulang kali dihubungi, tapi panggilan teleponnya tidak aktif."Dasar tukang ingkar janji. Ini sudah terlalu malam untuk ke kosan Ratna. Ratna pasti sudah kebingungan cariin aku. Tahu gitu aku berangkat sendiri tadi." Nurmala tak bisa memberi kabar pada Ratna karena tidak punya nomornya, semua ini karena hp miliknya dirusak Alfian."Nak, ini sudah malam. Kenapa masih berdiri di luar, nanti bisa masuk angin loh,” Bi Puput merasa cemas melihat sejak tadi menunggu Alfian."Aku nunggu Alfian, Bi. Dia janji mau nganter aku ke tempat temanku. Aku mau ngambil barang-barangku di kosan, tapi dari tadi ditungguin Si Alfian nggak datang-datang. Tahu gitu'kan ak