Share

Garis Dua

Keesokan harinya, Alfian dan Sinta pergi jalan-jalan di Mall. Sudah 2 minggu mereka resmi berpacaran. Bukan hubungan yang serius, Alfian hanya menjadikannya sebagai pelarian berharap bisa menghilangkan beban pikiran di kepalanya. Sinta bergelayut manja di lengan Alfian sembari berkeliling dari satu toko ke toko yang lain.

"Ayo, pulang. Aku sudah bosan." Alfian menurunkan tangan Sinta dari lengannya. Sejujurnya, Alfian merasa risih berdekatan dengan Sinta. Awalnya, ia pikir dengan memiliki kekasih baru bisa mengisi kekosongan di hatinya. Namun, hidup Alfian tetap terasa hambar.

"Sebentar, Sayang. 30 menit lagi, ya." Sinta merengek manja di lengan Alfian, ia kembali memeluk lengan Alfian dengan agresif, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Alfian.

"Hemmm," Alfian hanya berdehem.

Sinta menarik tangan Alfian, lalu membawanya memasuki toko pakaian. Sinta memilih pakaian sesuka hatinya karena Alfian akan membayar semua belanjaannya.

Alfian berdiri dengan santai di samping Sinta yang asyik memilih pakaian. Tak lama kemudian seorang SPG datang menghampiri mereka.

"Permisi, ada yang bisa saya bantu?"

Alfian seketika berbalik, betapa terkejutnya ia melihat Nurmala yang tak kalah terkejutnya dengannya. Alfian dan Nurmala diam membeku tatapan mata saling terpaku.

"Kamu kerja disini?" tanya Alfian tanpa berkedip.

Nurmala membuang muka setelah sadar dari keterkejutannya. Ia tak pernah menyangka akan bertemu dengan laki-laki yang sangat ia benci di dunia ini yaitu Alfian. Nurmala tidak dapat menahan amarah di hatinya. Nurmala sudah muak melihat melihat orang yang sudah membuat hidupnya hancur.

Nurmala tak mau lagi berurusan dengan Alfian.  Ia bergegas mundur, sialnya ketika hendak berbalik kaki Nurmala malah tersandung rak pakaian hingga terjerembab. Beruntung Alfian dengan sigap menarik pinggang Nurmala, hingga wanita cantik itu jatuh di pelukannya.

Alfian memeluk Nurmala dengan erat, keduanya kembali mengingat kejadian intim yang mereka lakukan. Momen ini membuat sekujur tubuh Nurmala menegang, karena masih trauma dengan perbuatan Alfian. Bayang-bayang ketika Alfian merenggut kegadisannya secara paksa tergambar jelas di ingatan Nurmala.

"Alfian!" sentak Sinta saat melihat posisi Alfian dan Nurmala yang begitu mesra.

"Lepas.” Sentak Nurmala sembari mendorong dada Alfian hingga pelukan mereka terlepas.

Nurmala bergegas pergi, baru beberapa langkah ia beranjak, langkah kakinya terhenti karena supervisor menghadangnya. "Kamu karyawan baru ‘kan? Itu ada pengunjung, kenapa tidak dilayani. Jangan lupa, kamu masih masa training di sini," Supervisor berucap dengan nada tegas.

"Iya, maaf." Nurmala menunduk pasrah, dengan terpaksa harus rela melucuti harga dirinya di hadapan Alfian. Dengan berat hati, Nurmala kembali menuju tempat Alfian dan kekasihnya berada. Pria itu memperhatikan Nurmala tanpa berkedip.

Nurmala menghela nafas berat saat berdiri di samping Sinta yang tengah asyik memilih pakaian, sementara Alfian masih setia berdiri di sisinya. Nurmala ingin segera pergi, tapi takut dipecat jika melakukan kesalahan dalam bekerja. Nurmala sangat membutuhkan pekerjaan ini, mencari pekerjaan sangat ‘lah sulit. Jangan sampai hanya karena laki-laki ini, Nurmala kehilangan pekerjaannya.

Nurmala mengepalkan tangannya, merutuki keadaan yang membuatnya tak bisa menuntut keadilan dan berbuat apapun. Rasanya begitu sulit bernapas jika berdiri di dekat Alfian, orang miskin sepertinya tidak akan mampu melawan orang kaya seperti Alfian. Setelah menodai kehormatan Nurmala, masih berani Alfian muncul di hadapan Nurmala, apalagi dengan membawa kekasihnya. Nurmala sangat membenci Alfian, kalau Alfian sudah memiliki kekasih, lalu kenapa dia tega merenggut kesucian Nurmala.

"Wajahmu pucat sekali, apa kamu sakit?" tanya Alfian. Nurmala malah melengos membuang muka. Sikap Nurmala membuat Alfian tak nyaman. Alfian mendengus kesal karena merasa diacuhkan. Dia kembali memperhatikan wajah pucat Nurmala yang penuh dengan keringat.

"Sayang, ini bagus nggak?" Sinta meletakkan dress ke depan dadanya, tapi Alfian tak memberikan respon. Sinta cemberut karena Alfian mengacuhkan dirinya.

"Ih, kamu 'tuh ngapain 'sih liatin dia terus. Pacar kamu 'tuh di aku, bukan dia."

"Sudahlah, pilih saja pakaian yang kau mau sepuasnya."

"Beneran, ya." Sinta tersenyum dengan lebar, sedangkan Nurmala merasa jijik dengan obrolan mereka.

Menyadari sikap tak nyaman Nurmala karena kehadiran dirinya, Alfian pun mengalah. Ia memilih berdiri sedikit lebih jauh dari Nurmala.  Alfian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, sedangkan matanya masih fokus memperhatikan Nurmala. Ada rasa bersalah terselip di hati Alfian, ia akan menebus kesalahannya pada gadis itu, tapi bukan dengan cara menikah.

Alfian berjalan dan mengambil sederet pakaian secara asal dan membawanya ke kasir. Tujuannya agar Nurmala mendapatkan bonus karena mampu menjualkan pakaian dalam jumlah banyak. Setelah selesai melakukan transaksi di kasir, Alfian menarik paksa tangan Sinta, lalu membawanya keluar dari toko pakaian.

"Sayang, aku belum selesai berbelanjanya." Sinta merengek manja. Ia tidak puas dengan pakaian yang dipilihakan Alfian secara asal.

"Sudah cukup. Ini sudah banyak." Alfian menenteng banyak tas berisi pakaian di tangannya.

“Tapi, aku nggak cocok sama pilihan kamu.”

“Belajarlah bersyukur, jangan terlalu banyak mengeluh.” Alfian berjalan dengan langkah panjang meninggalkan Sinta. Ia sama sekali tidak peduli meskipun Sinta berjalan terseok-seok mengejarnya supaya langkah kaki mereka sejajar.

“Sayang, jalannya jangan cepat-cepat.” Sinta merengek dengan ekspresi cemberut.

“Kamu saja yang lamban.”

***

Pukul sebelas malam, Nurmala baru saja keluar dari tempatnya bekerja, karena hari ini dia kebagian shift malam. Nurmala berjalan kaki menuju apotek yang buka 24 jam, lokasinya tak terlalu jauh dari tempatnya bekerja.

Nurmala ingin membeli obat sakit kepala. Akhir-akhir ini dia kurang sehat, selalu muntah di pagi hari, mual bila mencium bau menyengat dan sakit kepala sering menyerangnya.

Begitu tiba di apotik, seorang wanita hamil datang menghampiri Nurmala. "Mau beli apa, Dik?" tanya penjaga apotik dengan ramah.

Pandangan mata Nurmala terus tertuju pada perut wanita yang buncit itu. Tiba-tiba hatinya was-was memikirkan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Tubuh Nurmala gemetaran, tangannya terasa dingin saat mengingat ia dan Alfian sudah melakukan hubungan badan. Bukankah kemungkinan Nurmala juga bisa hamil.

Nurmala melihat tanggal di layar hp-nya. Harusnya dia menstruasi antara tanggal 4 sampai tanggal 7. Ini sudah tanggal 18, tapi kenapa ia belum datang bulan juga. Hati Nurmala semakin kalut, dia sudah membayangkan hal yang tidak-tidak. Nurmala takut jika dirinya hamil. Memikirkan hal itu, membuat kepala Nurmala mendadak pusing.

"Mbak, beli testpack 4 biji. Emmm, untuk kakak saya, dan obat untuk sakit kepala." Nurmala memilih untuk memastikan apakah dia hamil atau tidak, daripada harus menduga-duga tidak jelas.

Setelah mendapatkan obat dan testpack, Nurmala melakukan pembayaran. Ia buru-buru keluar dari apotik sebab sudah tidak sabar dengan hasilnya. Nurmala terus berjalan di atas jalan paving blok tepat di sisi jalan raya yang nampak sepi, hanya ada segelintir kendaraan lalu lalang melaju dengan cepat. Malam semakin larut, udara terasa begitu dingin menusuk kulit. Nurmala memeluk tubuhnya sendiri yang kedinginan.

"Aaakkhh," Nurmala jatuh tersungkur di atas paving blok ketika seorang pengendara motor yang berboncengan menjambret tas yang terselempang di bahunya.

“Astagfirullah, tasku. ATM sama KTP-ku ada di situ.” Nurmala mengeluh sambil memegangi lututnya yang terluka. Dengan susah payah ia berdiri, lalu membersihkan lutut dan tangannya yang kotor dan terluka. "Jahat banget 'sih mereka."

Nurmala kebingungan harus berbuat apa. Ia tidak mungkin bisa mengejar penjambret itu, apalagi melawan mereka di daerah yang sepi seperti ini. Nurmala kembali melangkah menuju kos-kosannya dengan kaki yang terasa perih, kakinya juga sakit karena terkilir. 

Nurmala terkejut ketika mendengar deru motor mendekatinya. Ia ketakutan setengah mati saat melihat pengendara motor yang merampas tas-nya turun dari motor, lalu melangkah menghampiri Nurmala.

"Kalian mau apa lagi?" tanya Nurmala sembari melangkah mundur.

"Mau tas-mu balik, nggak?" Salah satu pria itu menyeringai dengan kilatan mata penuh gairah.

"Nggak usah, ambil saja." Nurmala berbalik dan berlari dengan sekuat tenaga, tapi langkahnya kalah cepat dibandingkan dengan kaki panjang dua penjambret itu. Apalagi kakinya luka dan terkilir. Nurmala disergap dari belakang, mulutnya dibekap. Kedua penjahat itu menyeret Nurmala secara paksa. Mereka membawa Nurmala ke tempat sepi.

Hati Nurmala semakin kalut, dia takut menjadi korban pelecehan untuk kedua kalinya. Harus melayani dua orang sekaligus itu pasti lebih menyeramkan daripada yang Alfian lakukan padanya.

"Tolong jangan sentuh saya, kalian bisa ambil apapun milik saya tapi tolong jangan perk*s* saya." Tangis Nurmala pecah saat dua pria itu berusaha merebahkan Nurmala ke atas tanah. Nurmala tak ingin dinodai untuk kesekian kalinya. ia bahkan masih trauma dengan pelecehan yang Alfian lakukan padanya.

"Kami nggak butuh barangmu, kami cuma mau kamu." Pakaian Nurmala mulai ditarik paksa. Namun, Nurmala masih berusaha mempertahankan pakaiannya, ia mencengkram bagian kancing kemejanya dengan erat.

"Tolooooong!" teriak Nurmala sekuat tenaga. Air matanya mengalir deras mengalir di pipinya.

KREEEKKK

Pakaian Nurmala ditarik hingga robek. "Jangan!” Nurmala berteriak histeris. “Aku mohon jangan. Lepaskan aku. Toloooong!" Tangis Nurmala semakin pecah, ia memohon dengan suara serak sambil memberontak dengan sekuat tenaga.

"Ayolah, ini sudah malam. Tidak akan ada yang bisa menolongmu. Nikmati saja. Kami lakukan dengan lembut."

BUGH

Seorang pria tiba-tiba muncul, lalu memukul kedua bajingan itu secara bergantian dengan balok kayu. Melihat kemunculan pria itu, dua penjambret tersebut lari terbirit-birit.

Pria asing itu membuang kayu di tangannya, lalu membuka jas yang ia kenakan dan menyampirkannya ke tubuh mungil Nurmala. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya dengan suara lembut.

"Nggak apa." Nurmala menggeleng pelan. Ia masih menangis tergugu sembari memeluk dirinya sendiri, menutupi pakaiannya yang robek.

“Syukurlah. Kamu bisa berdiri, kan?" tanya pria itu sembari meraih tas milik Nurmala yang tergeletak di tanah.

Nurmala mencoba bangkit, tapi malah terjatuh karena sendi-sendinya terasa lemas seperti tak bertenaga. Pemuda yang sejak tadi hanya mengamati usaha Nurmala, akhirnya merangkul bahu Nurmala dan membantunya berdiri.

"Mari kuantar pulang," ajaknya ramah.

"Nggak perlu, Mas. Terima kasih."

"Jangan menolak, aku tidak mau kamu berada dalam bahaya lagi. Jangan takut, aku bukan orang jahat." Pria itu mengembalikan tas di tangannya pada Nurmala.

Nurmala mengangguk, ia juga takut kedua orang jahat itu kembali dan menyerangnya. Pria Berwajah tampan itu membawa Nurmala masuk ke dalam mobilnya.

"Namaku Raffa. Namamu siapa?" tanya pria yang duduk di balik kemudi, sedangkan Nurmala duduk di sebelahnya.

"Nurmala." Nurmala menunduk sembari memeluk dirinya sendiri dengan tangan yang masih gemetar ketakutan.

"Nama yang cantik, seperti pemiliknya." Raffa menerbitkan senyuman, hingga lesung pipi tercetak di wajahnya, membuat wajah tampan Raffa terlihat semakin manis. Namun, senyum indah itu pudar saat melihat lutut Nurmala yang terluka.

"Kita ke apotik dulu," ajak Raffa.

Nurmala hanya bergeming, masih berkutat dengan pikirannya sendiri hingga tak menyadari arah laju mobil. Raffa memutar balikkan mobil menuju apotik, tak lama kemudian mobil berhenti di depan apotik.

"Tunggu di sini sebentar." Raffa segera turun dari mobil lalu masuk ke dalam apotik.

Nurmala yang sejak tadi melamun baru menyadari posisinya di mana saat Raffa turun dari mobil. Nurmala melihat punggung Raffa dari balik jendela mobil. Raffa segera membawa Nurmala pulang setelah membeli obat.

10 menit sudah berlalu, mobil berhenti di depan kosan Nurmala. "Kamu tinggal di sini?" tanya Raffa.

"Iya. Terima kasih untuk tumpangan dan pertolongannya," ucap Nurmala dengan tulus, kemudian mengembalikan jas-nya pada Raffa.

"Sama-sama. Ini obat untuk lukamu." Raffa menyodorkan kantung keresek yang berisi obat pada Nurmala.

"Terima kasih banyak, ya. Aku tidak tahu harus membalasmu dengan apa," Nurmala tidak tahu apa jadinya jika Raffa tidak menolongnya.

"Cukup dengan senyummu dan sebut namaku dalam doamu. Namaku Raffasa."

"InsyaAllah, aku akan selalu mengingat semua kebaikan kamu. Semoga Allah membalas semua kebaikan kamu," balas Nurmala, kemudian turun dari mobil.

"Tunggu?" Raffa memanggil Nurmala saat gadis itu hendak pergi.

Nurmala berbalik dan bertanya. "Ada apa?"

"Apa kamu sudah punya suami?" tanya Raffa.

"Nggak punya?" Nurmala menjawab dengan ekspresi datar. Pertanyaan pemuda itu mengingatkannya pada Firman yang gagal menjadi suaminya.

Raffa tersenyum senang mendengar jawaban Nurmala. "Apa kamu punya kekasih?"

"Nggak punya." Nurmala menggelengkan kepalanya, beberapa bulan lalu ia sudah memutuskan hubungannya dengan Firman. "Aku pulang dulu, ya. Terima kasih untuk semuanya."

"Iya." Raffa terus menatap punggung Nurmala, untuk memastikan gadis itu benar-benar aman sampai di tempat tujuan.

Sesampainya di kosan, Nurmala melihat Ratna sudah terlelap. Dengan gegabah Nurmala membongkar isi tas-nya dan mengambil testpack. Nurmala membawa testpack itu ke dalam kamar mandi. Ia langsung menggunakan testpack tersebut sesuai dengan aturan pakai yang tertera di bungkusnya. Tangan Nurmala gemetaran menunggu hasil testpack yang ada di tangannya. Sedetik, dua detik, tiga detik...

Deg

Jantung Nurmala terasa mencelos ingin keluar dari tempatnya, matanya pun terbelalak melihat garis dua di testpack itu.

"Nggak, nggak, aku nggak mungkin hamil. Aku nggak boleh hamil. Ini pasti ada yang salah. Aku nggak mungkin hamil." Nurmala mulai menangis, kemudian membuang testpack itu ke lantai kamar mandi.

Nurmala kembali mencoba semua testpack dan semua hasilnya sama, positif. Tubuh Nurmala mendadak lemas, ia merosot di atas lantai, tangisnya seketika pecah kala itu juga. Nurmala menangis sejadi-jadinya.

"Aku nggak mau hamil, aku nggak mau hamil, aku nggak boleh hamil. Maafin Nurmala, Bu."

Nurmala menangis seraya memukuli perutnya, berharap dengan begitu ia akan keguguran. Nurmala tidak mau hamil di luar nikah, ia tidak mau mengandung benih dari bajingan seperti Alfian. Apa yang akan Nurmala katakan nanti pada ibunya jika ia hamil. Nurmala merasa dunianya benar-benar hancur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status