Keesokan harinya, Alfian dan Sinta pergi jalan-jalan di Mall. Sudah 2 minggu mereka resmi berpacaran. Bukan hubungan yang serius, Alfian hanya menjadikannya sebagai pelarian berharap bisa menghilangkan beban pikiran di kepalanya. Sinta bergelayut manja di lengan Alfian sembari berkeliling dari satu toko ke toko yang lain."Ayo, pulang. Aku sudah bosan." Alfian menurunkan tangan Sinta dari lengannya. Sejujurnya, Alfian merasa risih berdekatan dengan Sinta. Awalnya, ia pikir dengan memiliki kekasih baru bisa mengisi kekosongan di hatinya. Namun, hidup Alfian tetap terasa hambar."Sebentar, Sayang. 30 menit lagi, ya." Sinta merengek manja di lengan Alfian, ia kembali memeluk lengan Alfian dengan agresif, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Alfian."Hemmm," Alfian hanya berdehem.Sinta menarik tangan Alfian, lalu membawanya memasuki toko pakaian. Sinta memilih pakaian sesuka hatinya karena Alfian akan membayar semua belanjaannya.Alfian berdiri dengan santai di samping Sinta yang asyik me
Nurmala sangat kebingungan sekaligus frustasi. Apa yang harus dia lakukan, jika ibunya tahu Nurmala hamil, pasti beliau akan marah dan kecewa padanya. Hidup Nurmala sudah susah, apalagi dengan kehamilannya. Belum lagi cemoohan orang-orang tentangnya nanti. Jalan satu-satunya adalah menggugurkannya.Ratna terbangun dari tidurnya saat mendengar tangisan Nurmala. Ratna bergegas ke kamar mandi karena khawatir dengan keadaan Nurmala. Dia terkejut melihat Nurmala duduk di lantai sembari memukuli perutnya, terlebih lagi ada 4 tespek dengan dua garis merah berceceran di lantai."Nurmala." Seru Ratna, kemudian berhambur menarik Nurmala ke dalam pelukannya. Ia tak ingin melihat Nurmala menyakiti diri sendiri."Hidupku hancur, Na, hidupku hancur." Nurmala menangis pilu. Ratna mengusap pungggung Nurmala dengan lembut. Membiarkan Nurmala menangis tersedu-sedu untuk mencurahkan semua rasa sakitnya."Siapa pelakunya Nur, siapa ayah dari bayimu? Dia harus tanggung jawab," pipi Ratna sudah basah deng
Tadinya, Alfian hendak keluar dari rumah sakit setelah menjenguk Ayu, tapi malah melihat Nurmala berlari sambil menutup mulutnya menuju ke toilet. Ia pun memutuskan untuk mengikuti Nurmala. Dari luar pintu toilet, Alfian mendengar seseorang muntah-muntah. Ia menyakini jika itu adalah suara Nurmala. Saat pintu toilet mulai terbuka, Alfian buru-buru bersembunyi di balik pilar. Nurmala keluar dari toilet dengan wajah lesu dan pucat, tubuhnya jauh lebih kurus jika dibandingkan dengan Nurmala yang dulu bekerja sebagai art di rumahnya. “Kenapa sekarang dia jadi kurus begini, apa dia terlalu stres gara-gara kejadian itu?” Alfian membatin, kemudian membuntuti Nurmala yang sudah berjalan melewatinya. Dulu, Nurmala memiliki bentuk tubuh ideal yang mampu memanjakan mata para lelaki, apalagi gadis itu memiliki wajah yang cantik alami tanpa polesan make up. Mungkin itulah yang membuat Alfian tidak dapat menahan hasratnya saat melihat Nurmala, apalagi dirinya sedang dalam keadaan mabuk."Kena
Alfian tak tega melihat Nurmala menangis tersedu-sesu, gadis itu menangis hingga tubuhnya bergetar. Alfian memang pendosa, tapi tidak akan pernah membiarkan Nurmala membunuh darah dagingnya. "Ini. Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu. Percayalah." Alfian berusaha membangun kepercayaan di hati Nurmala. Dia memberikan tissue yang ada di atas dasboard mobil pada Nurmala. Nurmala menangis sembari mengambil beberapa lembar tissue lalu mengusap air mata yang membasahi pipinya. "Ini tuh gara-gara kamu. Gara-gara kamu hidupku berantakan, hidupku jadi hancur gara-gara kamu," cerca Nurmala dengan suara bergetar. "Ok, aku minta maaf. Aku tahu, kesalahanku sangat fatal. Jadi bagaimana?" Alfian memutar punggungnya hingga posisinya menghadap Nurmala. Nurmala menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, kemudian menggelengkan kepala. "Aku bingung.” Suaranya terdengar serak. "Jadi kamu mau melahirkan anak kita?" Alfian merasa aneh akan menjadi seorang ayah dari seorang pembantu. "Oh, shit
Setelah selesai makan, Alfian membawa Nurmala keluar dari restoran dan masuk ke dalam mobil. Suasana di dalam mobil terasa canggung karena kedua insan itu sama-sama bungkam. Alfian mengemudikan mobilnya, sesekali melirik Nurmala yang sejak tadi hanya diam memandangi jalanan di depan dengan tatapan kosong."Selama ini kamu tinggal di mana?" Alfian mulai membuka suara untuk mengikis keheningan di antara mereka."Di rumah," jawab Nurmala singkat."Iya, daerah mana?" tanya Alfian lagi. Ia sedikit gemas melihat sikap Nurmala. Andaikan tidak sedang mengambil hatinya, Alfian pasti sudah menyentil kening Nurmala."Nggak tahu." Jawab Nurmala jutek, lalu menyandarkan kepalanya ke kaca jendela mobil.Alfian mengamati Nurmala dengan seksama, gadis itu terlihat begitu pucat dan lesu. "Kamu masih pusing, Nur?"Nurmala hanya mengangguk pelan. Alfian mulai menepikan mobil dan berhenti di tepi jalan, lalu mengambil obat di dashboard mobil yang ia dapat dari Dokter tadi. Alfian mengupas bungkusnya, kem
Alfian bertujuan membawa Nurmala ke supermarket untuk membeli kebutuhan ibu hamil dan pakaian untuk Nurmala, tapi urung ia lakukan karena Nurmala mengeluh sakit kepala, maka Alfian memutuskan untuk membiarkan Nurmala istirahat di rumah, sekaligus mengurungnya karena takut Nurmala melarikan diri.“Aku mau ke butik sebentar, setelah itu aku pulang. Kamu jangan ke mana-mana, tunggu aku di rumah.”“Mana bisa aku pergi kalau kamu mengurungku. Di mana kunci rumahnya, aku mau pulang?” tanya Nurmala disela tangisnya.“Maaf, tapi kuncinya aku bawa.” Ujar Alfian sembari memilih beberapa pakaian wanita.“Cepat pulang, aku takut sendirian.”“Iya, iya. Ya sudah, aku tutup dulu teleponnya.” Alfian menutup pintunya secara sepihak.Nurmala duduk di sudut kamar yang menurutnya merupakan tempat teraman dibanding tempat lainnya. Nurmala menangis tersedu-sedu karena masih belum terbiasa sendirian di tempat asing. Apalagi di rumah pria yang sudah merenggut kehormatannya. Perbuatan Alfian masih menyisakan
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Nurmala Angraini Binti Muhammad Faruk dengan mas kawin tersebut, Tunai," ucap Alfian dengan mantap.Para saksi serempak mengucapkan kata, "Sah." Lantunan doa pun menggema memenuhi ruangan rawat Ayu.Nurmala tak kuasa membendung air mata saat para saksi mengucapkan kata 'Sah', berulangkali Nurmala menyeka air mata yang terus mengalir membasahi pipinya. Harusnya Firmansyah Aditama yang duduk di sampingnya untuk melafadzkan kalimat ijab kabul disaksikan oleh keluarganya. Harusnya rasa terharu karena rasa bahagia yang memenuhi hati Nurmala, bukan rasa sesak tersemat di dada yang merajai hatinya. Hatinya sakit setiap mengingat Firman, nama pria itu masih bertahta di hati Nurmala. Kenangan indah bersama Firman masih menguasai pikirannya."Mas Firman, apakah kamu juga sama patah hatinya denganku?" Nurmala memejamkan mata, tangannya memegangi dada yang begitu sesak hingga sulit untuk bernafas. Cinta yang sudah bertahun-tahun mereka rajut, harus kandas karena
Nurmala bersandar di kepala ranjang sembari mengusap perutnya yang masih rata. Sudah ada makhluk kecil yang tak pernah ia inginkan tumbuh di sana. Ia masih tak percaya bisa menikah dengan orang yang sudah merusak hidupnya. Nurmala menghela nafas berat, ia tak mau terus-terusan larut dalam kesedihan."Ini untukmu.” Lamunan Nurmala buyar karena Alfian yang tiba-tiba berdiri di sampingnya menjulurkan sebuah kartu berwarna hitam. “Kamu bisa beli apa pun dengan kartu ini,” lanjut Alfian."Aku nggak butuh itu." Nurmala membuang muka ke samping."Maaf, tapi aku tidak menerima penolakan." Alfian menarik tangan Nurmala, lalu menjejalkan Black Card itu ke tangannya."Kamu nggak apa-apa kan, kutinggalkan kerja?" tanya Alfian."Iya." Itu lebih baik pikir Nurmala. Berada di dekat Alfian hanya membuat Nurmala merasa sesak napas."Kalau butuh sesuatu, kamu bisa minta tolong sama Bi Puput. Aku sudah minta dia untuk menjagamu.""Iya," jawab Nurmala singkat. Ia masih memalingkan muka dari Alfian"Nant
Bunyi ketukan pintu membuat Dimas yang sedang menulis terlonjak kegirangan. Ia buru-buru mengambil tongkat kruk dan langkah tertatih-tatih pergi ke pintu utama karena tidak ingin Kanaya menunggunya terlalu lama.“Kamu siapa?” senyum di wajah Dimas mendadak surut saat melihat bukan Kanaya yang datang ke apartemennya.“Saya Reno, Nyonya Kanaya menyuruh saya untuk menjaga dan membantu anda menulis terjemahan bahasa asing.” Reno tak kalah terkejutnya melihat pria yang harus dijaganya adalah mantan suami dari majikannya. Reno ingat betul dulu ketika selesai akad nikah, Dimas melumat ****** Kanaya dengan rakus.“Kenapa bukan Kanaya yang datang kemari?” tanya Dimas dengan kecewa.“Nyonya Kanaya sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Pak Rian.”DEGJantung Dimas sakit serasa disambar petir, dunia terasa berputar, kepalanya tiba-tiba pusing hingga membuat tubuhnya oleng. Beruntung Dimas berpegangan pada bingkai pintu untuk menopang berat tubuhnya.“Pak, anda baik-baik saja?” Reno deng
“Kapan kau akan bayar hutangmu?”“Beri aku waktu, sebentar lagi aku pasti akan mendapatkan uangnya. Aaaaghh...” Rian berteriak kesakitan saat tangannya dipelintir.“2 minggu yang lalu kau juga berkata begitu.” Rentenir itu merampas kontak mobil dan kunci rumah milik Rian. “Sita semua barang-barang di rumah ini.”“Jangan, Pak. Aku mohon jangan sita mobil saya, saya pasti akan melunasi semua hutang-hutang saya.”“Mau bayar pakai apa, hah? Ingat, kalau sampai 2 minggu kau belum membayar hutangmu, maka rumahmu akan aku sita.”Rian hanya bisa pasrah melihat satu-persatu barang dalam rumahnya digotong keluar. Usahanya yang bangkrut membuatnya terlilit hutang pada lintah darat. Satu-satunya harapan adalah dengan menikahi Kanaya dan menguras semua hartanya, akan tetapi wanita itu sangat sulit untuk didekati.***Satu minggu kemudian, Kanaya mengantarkan Dimas ke apartemennya karena Dimas ngotot ingin pulang. Ia takut tagihan rumah sakit akan membengkak dan Dimas tidak bisa membayarnya.Begitu
“Ini yang namanya musibah membawa berkah.” Dimas sangat ikhlas mendapat musibah seperti ini, jika Kanaya dan Tania bisa kembali padanya.“Maksudnya?” tanya Kanaya dengan kening berkerut.“Kalau bukan karena menambrakku, mungkin kamu tidak akan mau duduk di dekatku.”Kanaya mengedarkan pandangannya, atmosfir ruangan mendadak terasa panas meski AC sudah menyala. Kanaya menggigit bibir bawahnya, rasa canggung tiba-tiba merayap menyelimuti hati Kanaya.Dimas melihat makanan di atas nakas yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk pasien. “Itu makanan untukku?”Kanaya mengikuti arah mata Dimas memandang. “Iya.”“Aku lapar.” Dimas sengaja mengalihkan pembicaraan karena tidak mau melihat Kanaya terus larut dengan rasa bersalahnya. Kanaya mengambil makanan di laci, lalu menyodorkannya pada Dimas.“Bagaimana aku bisa makan kalau kedua tanganku tidak bisa bergerak?”“Bukannya cuma tangan kirimu yang cedera?” Kanaya menatap Dimas dengan tatapan memicing penuh selidik, sebab tangan Dimas yang d
“Pak Dimas, anda sedang apa di sini?” pertanyaan yang terlontar dari sekurity berhasil membuyarkan lamunan Dimas.“Siapa pria yang menggendong Tania?” tanya Dimas to the point.“Oh, dia Pak Rian. Temannya Tuan Ashraf.”“Suaminya Kanaya?” tanya Dimas lagi.“Oh, bukan, Pak. Nyona Tania belum menikah lagi setelah berpisah dari anda.”“Ok.” Perasaan lega seketika menyelimuti hati Dimas. “Jangan katakan pada siapa pun kalau aku datang kemari, aku hanya ingin melihat putriku dari jauh.”Sekurity tidak menanggapi permintaan Dimas, dia lebih setia pada majikan yang menggajinya tiap bulan. Dimas pergi dengan perasaan lega karena memiliki buah hati yang cantik.***“Ma, benar ya tadi itu Papaku?” tanya Tania yang sangat penasaran dengan sosok Dimas karena mengaku sebagai papanya.“Kamu nggak perlu tahu tentang dia. Pokoknya kamu nggak boleh dekat-dekat sama dia.”“Memangnya kenapa, Ma?”“Mama nggak mau dia misahin kita, Sayang.” Kanaya memeluk Tania yang rebahan di atas ranjang dengan erat.“Ma
“Apa maksudmu?” Kanaya pura-pura tidak tahu maksud dari perkataan Dimas.“Jangan membodohiku, aku tahu Tania adalah putriku.”“Dia anakku, bukan anakmu.” Kanaya berdiri, kemudian menyembunyikan Tania di balik tubuhnya.Sikap Kanaya malah membuat Dimas semakin kesal, dia sudah berani merahasiakan kelahiran Tania dan masih ingin menjauhkannya dari Dimas.“Bagaimana jika aku menuntutmu ke pengadilan karena sudah menyembunyikan kelahiran Tania dariku, lalu mengambil hak asuhnya?” Dimas menggertak Kanaya. Ia sama sekali tidak memiliki niat untuk memisahkan Kanaya dari putrinya.Kanaya tersentak kaget takut dengan ancaman Dimas. Raut wajahnya yang tegas berubah menjadi panik hingga membuat Dimas semakin yakin jika Tania adalah putri kandungnya.“Dia memang anak kita ‘kan?” tanya Dimas lagi dengan tatapan mata memicing.Dimas memang marah karena Kanaya sudah merahasiakan kelahiran Tania darinya, tapi ia juga berharap masih memiliki kesempatan untuk kembali pada Kanaya dan bersama-sama membes
"Dia bukan anakmu. Dia anakku," jawab Kanaya dengan tegas.Kanaya sangat mengenal watak Dimas yang akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa pun yang dia inginkan, apalagi jika dia tahu Tania adalah darah dagingnya.“Apa kamu sudah menikah?” tanya Dimas dengan rasa sakit yang menusuk di hati. Dadanya sudah kembang kempis menunggu jawaban Kanaya.“I, iya.” Kanaya terpaksa berbohong karena takut Dimas akan merebut putrinya. Ia tidak mau kehilangan harta yang paling berharga dalam hidupnya.Jawaban Kanaya benar-benar melukai hati Dimas. Kanaya terpaksa berbohong karena tidak ingin berurusan lagi dengan Dimas, apalagi jika Dimas sampai merebut putrinya.“Semoga kamu bahagia dengan pernikahanmu.” Dimas yang patah hati langsung memutus sambungan teleponnya secara sepihak. Dimas menghela napas berat, ini bukan saatnya untuk frustasi, ia harus mencari pekerjaan untuk melanjutkan sisa hidupnya.“Siapa yang telepon, Ma?” tanya Tania.“Teman Mama, Nak.” Jawab Kanaya membari mengusap ra
“Ini dompetmu.” Bagitu duduk di taman komplek perumahan, Ardi menyerahkan dompet yang Dimas minta berserta berkas-berkas penting milik Dimas.“Sebenarnya apa yang terjadi selama aku penjara?” tanya Dimas to the point.“Kamu tahu sendiri kalau aku tidak punya pengalaman di bidang bisnis, sedangkan CEO yang Mama pekerjakan malah menipu Mama, dia bekerja untuk pesaing bisnis keluarga kita. Mama sudah menggadaikan semua harta kita untuk mempertahankan perusahaan, tapi uangnya malah dibawa kabur oleh CEO itu, karena tidak mampu membayar pinjaman, semua barang berharga disita oleh BANK.”“Apa ibumu menjual harta milikku juga?” Dimas mempertanyakan harta yang ia miliki dari hasil jerih payahnya sendiri.“Iya.” Ardi tidak berani membalas tatapan Dimas karena rasa bersalahnya.“Kalian sangat keterlaluan.” Dimas berusaha menahan amarah yang sudah lama ia pendam. Ia sudah berjanji pada Andra untuk hijrah menjadi orang yang baik. Dimas menganggap penjara adalah hukuman atas dosa-dosa yang selama
4 tahun sudah berlalu, Dimas akhirnya bisa menghirup udara bebas setelah mendekam di dalam penjara tanpa ada siapa pun yang datang berkunjung. Semua teman-teman yang selalu ia bantu seakan lupa dengan jasa-jasanya, mereka hanya ada di saat Dimas jaya. Polisi, hakim dan pengacaranya juga sudah dibeli oleh Lilis agar Dimas bisa dipenjara dalam waktu yang lama.Dimas berjalan kaki menuju kediaman Almarhum Ayahnya tanpa uang sepeser pun, dompet dan seisinya sudah diambil oleh Lilis saat Dimas mendekam di dalam penjara. Setelah 3 jam berjalan dengan perut lapar dan rasa haus, Dimas akhirnya sampai di depan rumah mendiang ayahnya. Dimas terkejut saat melihat sebuah segel di pagar rumahnya yang bertuliskan ‘RUMAH INI DISITA OLAH BANK’.“Maaf cari siapa?” Sekuriti menghalangi Dimas yang hendak membuka pagar rumahnya.“Cari siapa?” Dimas mengerutkan keningnya sambil mengulang pertanyaan sekuriti. “Ini rumahku, kenapa rumah ini disegel?” tanya Dimas dengan kesal sekaligus penasaran.“Oh, sudah
“Bawa aku pergi dari sini, Nay. Aku benci tempat ini, jangan tinggalkan aku di sini sendirian!” Dimas tiba-tiba berteriak histeris seperti orang kesetanan sambil meremas kepalanya yang terasa sakit seperti ingin pecah.Ashraf dan Kanaya sangat terkejut melihat reaksi Dimas yang tidak pernah mereka prediksi. “Dimas kenapa, Pak?” tanya Kanaya dengan cemas.“Mentalnya masih belum stabil, sebaiknya kalian segera pergi dari sini.”“Tapi, bagaimana dengan Dimas?” tanya Kanaya sambil memperhatikan Dimas yang terus berteriak.“Tenaga medis akan segera menanganinya. Kondisi Dimas belum memungkinkan untuk di temui, tidak seharusnya kalian di sini. Anda lihat ‘kan keberadaan anda di sini hanya membuat pasien semakin tertekan. Sebaiknya anda datang lagi setelah keadaan Dimas mulai membaik.”“Sebaiknya kita pergi dari sini, Nay. Percayakan saja Dimas pada ahlinya!” Ashraf tetap mengajak Kanaya pergi meskipun tahu jika adiknya itu tidak tega meninggalkan Dimas dalam keadaan yang memprihatinkan. Ash