Share

Hamil

"Silahkan dipilih, ini menunya." Nurmala menyerahkan menu makanan pada pengunjung restoran.

 

"Saya pesan Rice Bowl Beef Teriyaki, untuk minumnya Lemonade," pinta tamu restoran usai memilih menu makanannya. 

 

"Apa ada yang mau di pesan lagi, Tuan?" tanya Nurmala dengan ramah setelah menulis menu pesanan.

 

"Tidak, itu saja."

 

"Apa anda mau mencoba Dessert Box Summer Breze. Itu menu baru di restoran kami. Berisi buah-buahan segar, cocok sekali dinikmati setelah memakam makanan berat," Nurmala menawarkan hidangan penutup yang berisi buah-buahan segar.

 

"Boleh."

 

Dua minggu sudah berlalu, kini keadaan Nurmala mulai membaik. Ia tak mau terlalu larut dalam kesedihan. Masih banyak yang harus ia lakukan. Meratap tidak akan mengembalikan kesuciannya, meski hati masih terasa hancur, tapi masih banyak yang harus Nurmala lakukan daripada terus meratapi nasibnya.

 

Nurmala mengganti nomor kontak hp-nya agar Firman tak lagi bisa menghubunginya. Sudah satu minggu Nurmala bekerja di sebuah restoran ternama sebagai waiters. Kini, ia sedang menyajikan hidangan di atas meja untuk tamu elit.

 

Nurmala memasuki dapur, kemudian menyerahkan catatan menu pada salah satu Chef. Pram melambaikan tangan memanggil Nurmala. 

 

Nurmala pun mengangguk, lalu menghampiri Pram yang berdiri di sisi Laras, manajer restoran ini. Pram adalah Chef andalan di restoran tempat Nurmala bekerja.

 

"Nurmala, tolong kamu hidangkan makanan ini di ruang VIP." Laras menunjuk troli yang berisi makanan.

 

"Ingat, jangan sampai melakukan kesalahan sekecil apapun, karena mereka adalah tamu kehormatan dan salah satunya adalah pemilik restoran ini," perintah Laras dengan tegas.

 

"Baik, Bu." Nurmala mengangguk paham walaupun gugup, karena ia tak pernah tahu siapa pemilik restoran ini sebelumnya. Yang ia tahu, pemilik restoran ini memiliki banyak usaha dan salah satunya adalah restoran ini.

 

Nurmala mendorong troli makanan menuju ruang VIP untuk tamu khusus. Di depan pintu ruang VIP, ia menghela napas panjang. Entah kenapa Nurmala merasa gugup. Setelah cukup tenang, Nurmala mulai membuka pintu secara perlahan. Dengan kepala menunduk, Nurmala melangkah sembari mendorong troli makanan dan menggiringnya menuju meja yang di kelilingi oleh 5 pria yang mengenakan balutan blazer.

 

5 pria itu fokus membicarakan masalah bisnis, tak peduli dengan kehadiran Nurmala. 

 

Nurmala berdiri di samping meja, kemudian mulai menyajikan satu-persatu makanan di atas meja tanpa mau melihat wajah tamu yang sedang ia layani.

 

Aroma parfum yang sangat tak asing di indra penciuman Nurmala membuat jantungnya berdegup tak karuan.

 

Nurmala menoleh ke arah samping. Ia dan Alfian sama-sama terkejut saat kedua mata mereka saling beradu. Mata Nurmala mulai berkaca-kaca saat mengingat peristiwa tragis yang menimpa dirinya. Tangannya gemetaran seperti tak memiliki tenaga ketika melihat pria yang duduk di sampingnya. Dia adalah pria jahat yang sudah menghancurkan hidupnya.

 

Mangkuk berisi kuah panas di tangan Nurmala terjatuh di lantai hingga pecahan beling dan kuah berserakan di mana-mana.

 

"Hey, apa yang kau lakukan. Lihat, sepatuku basah karena kau tidak becus bekerja." Rekan bisnis Alfian membentak Nurmala sembari mengangkat kakinya, menunjukkan sepatu mahalnya yang basah akibat tumpahan kuah.

 

Nurmala hanya diam mematung dengan kepala menunduk, kakinya terasa berat untuk melangkah. Air mata menetes deras mewakili isi hati Nurmala. 

 

Alfian bergeming memperhatikan Nurmala dengan seksama. Nurmala sangat menyedihkan di mata Alfian.

 

"Gajimu saja tidak akan bisa mengganti sepatu mahalku. Kupastikan kau dipecat dari restoran ini," pria itu masih belum puas memaki Nurmala.

 

"Dia tidak akan dipecat. Aku yang akan mengganti sepatumu," ujar Alfian sembari menatap rekan bisnisnya dengan tatapan dingin.

 

"Oh, anda tidak perlu menggantinya. Wanita itu yang bersalah, seharusnya dia yang bertanggungjawab, bukan anda," pria itu berbicara dengan sopan pada Alfian, berbanding terbalik jika berbicara dengan Nurmala.

 

"Kontrak kerja kita batal, aku tidak bisa bekerja sama dengan orang sepertimu," keputusan Alfian membuat semua rekan bisnisnya membelalakkan mata karena shock.

 

"Loh, kenapa, apa salah saya?" tanya pria itu yang wajahnya sudah pucat. Ia akan mengalami kerugian besar jika Alfian membatalkan kerja samanya.

 

Nurmala mundur beberapa langkah dengan tubuh gemetaran, mencari kesempatan untuk bebas dari masalah ini.

 

Nurmala tidak menyangka akan bertemu dengan Alfian. Bayang-bayang perbuatan bejat Alfian kembali bergentayangan di ingatannya, membuat dada Nurmala terasa sesak. Padahal Nurmala ingin mengubur dalam-dalam kenangan pahit itu, tapi kenapa takdir kembali mempertemukan mereka. 

 

Nurmala berlari ke toilet setelah keluar dari ruang VIP. Nurmala menangis sejadi-jadinya di dalam toilet. Ia menutup mulut agar isak tangisnya tak terdengar. Nurmala sudah berusaha melupakan kejadian itu, tapi kenangan pahit itu masih terus mengusiknya. Membuat dada Nurmala terasa sesak, ini terlalu menyakitkan.

 

"Kenapa aku harus ketemu dia lagi?" gumam Nurmala sambil menangis tergugu. "Aku nggak mau ketemu dia lagi, Ya Tuhan,"

 

Nurmala menghapus air matanya setelah puas menangis meluapkan emosi. Nurmala keluar dari toilet, tak sengaja ia melihat Alfian yang baru saja keluar dari toilet pria berjalan menjauh.

 

Nurmala menahan langkah teman kerjanya yang baru saja keluar dari toilet. "Maaf, mau tanya. Kamu tahu siapa Alfian?"

 

"Pak Alfian yang baru saja keluar dari toilet ini maksudmu?" Pemuda di depan Nurmala menunjuk toilet pria.

 

"Iya." Nurmala mengangguk.

 

"Oh, dia pemilik restoran ini. Cuma tanya itu doang 'kan?"

 

"Iya." Pemuda itu pergi setelah Nurmala mengangguk.

 

Bahu Nurmala terkulai lemas. Kebetulan macam ini. Kenapa ia harus berputar di lingkaran yang sama. Mencari pekerjaan sangatlah sulit, tapi Nurmala tidak mau bekerja dengan pria yang sudah merusak hidupnya.

 

***

 

Setelah Alfian menyelesaikan masalah dengan rekan bisnisnya, ia pergi mencari keberadaan Nurmala. Matanya memindai setiap tempat, tapi tak kunjung menemukan orang yang ia cari.

 

"Maaf, bapak cari siapa?" Laras  tiba-tiba muncul mengejutkan Alfian, tapi Alfian tetap bersikap tenang.

 

"Nurmala," jawab Alfian singkat.

 

"Oh, dia sudah mengundurkan diri," jawab Laras.

 

"Kenapa?" kening Alfian berkerut saking penasarannya.

 

"Maaf, Pak, tapi dia menolak memberikan alasan. Mungkin saja karena dia sakit. Tadi, saya lihat dia gemetaran dan matanya sembab, seperti habis nangis." 

 

Alfian menghela nafas berat. Pikirannya bertanya-tanya, apakah Nurmala trauma karena perbuatannya? 

 

"Maaf, Pak. Kenapa anda mencari Nurmala?" Laras menatap Alfian dengan heran.

 

"Tidak apa-apa." Alfian pergi begitu saja tanpa memberikan jawaban. Alfian tak menghiraukan Nurmala karena merasa sudah membayar jasanya malam itu. Namun, kenapa Nurmala tak kunjung mencairkan cek yang ia berikan.

 

***

 

Satu bulan sudah berlalu setelah pertemuan Nurmala dengan Alfian. Selama 2 minggu ini, Nurmala bekerja sebagai pramuniaga di toko pakaian. Beruntung Nurmala masih memiliki ijazah SMA.

 

Nurmala tetap tinggal bersama dengan Ratna di kosannya. Untuk biaya sewa, mereka patungan agar bisa menekan biaya pengeluaran mereka. 

 

Entah kenapa beberapa hari ini kepala Nurmala sering pusing, tubuhnya sering meriang seperti orang yang sedang masuk angin. Padahal semalam Ratna sudah mengerok punggungnya.

 

Nurmala bekerja dari jam 10.00 WIB hingga jam 15.00 WIB, meski badannya tidak sehat. Ia tetap melayani pengunjung yang datang untuk membeli pakaian, walaupun kepalanya sering merasa pusing.

 

Nurmala pulang berjalan kaki untuk menghemat uang, jarak tempat kos dan kerjanya tidak terlalu jauh. Sesampainya di kosan, Nurmala langsung merebahkan diri di atas ranjang. Jujur saja, sampai detik ini hatinya masih terasa hampa. Ia masih trauma dengan kejadian itu, terlebih Nurmala harus kehilangan pria yang sangat dicintainya.

 

"Assalamualaikum." Ratna yang baru pulang mengucapkan salam.

 

"Wa alaikumsalam." Nurmala menyambut kedatangan Ratna dengan sebuah senyuman.

 

"Nih, aku bawa oleh-oleh buat kamu." Ratna memberikan satu bungkus makanan pada Nurmala.

 

"Kenapa mesti repot-repot, Na!" protes Nurmala.

 

"Jangan khawatir, ini gratis dari Farel. Kayaknya dia naksir kamu, deh." gadis berkaca mata tebal itu tersenyum jenaka menggoda Nurmala.

 

"Jangan ngawur kamu, Na,"

 

"loh, beneran. Dia minta nomor hp kamu terus, tuh. Kukasih ya?"

 

"Jangan macam-macam. Aku masih ingin sendiri, Na," rasa sakit Nurmala masih belum sembuh, tapi ia berusaha untuk tetap tegar. Meratap tidak akan mengubah segala yang sudah terjadi.

 

"Kok, bukan aku sih, yang cantik dan dikejar banyak cowok," keluh Ratna dengan wajah bersungut-sungut. Nurmala sangat cantik, banyak sekali pemuda di desanya yang memperebutkan cinta Nurmala, tapi Nurmala selalu menolak siapa pun yang datang mendekatinya, karena hatinya sudah terpikat pada Firman.

 

Nurmala hanya mengulas senyum menanggapi candaan Ratna. Ia membuka bungkusan makanan, tiba-tiba perutnya terasa seperti di aduk-aduk, ia langsung berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya.

 

Ratna mengejar Nurmala ke kamar mandi, lalu membantu memijat tengkuk Nurmala untuk meredakan mual yang sedang sahabatnya alami.

 

"Bau makanannya bikin aku mual, Na," keluh Nurmala. Hembusan napasnya sudah ngos-ngosan.

 

"Kok, bisa, sih. Padahal dulu kamu doyan makanan itu."

 

"Nggak tahu." Nurmala menggeleng. "Mungkin karena nggak enak badan," lanjut Nurmala. Keringat sudah membasahi wajah dan lehernya.

 

Nurmala kembali duduk di atas kasur lantai setelah menguras semua isi perutnya. Ratna menjauhkan makanan itu dari Nurmala, takut jika Nurmala kembali mual.

 

"Kamu Sakit, ya?" Ratna memeriksa kening Nurmala. "Tapi, nggak panas."

 

"Paling cuma masuk angin."

 

"Ayo, kita periksa ke dokter," ajak Ratna.

 

"Nggak usah, dikerok biasanya juga sembuh," Nurmala menolak. Untuk periksa ke Dokter, Nurmala harus mengeluarkan uang sebagai biayanya. Daripada uangnya digunakan untuk berobat, lebih baik uangnya ia berikan pada ibunya di kampung untuk tambahan biaya sekolah adiknya. Lagi pula minum obat warung sudah bisa sembuh.

 

"Takut sakitmu tambah parah kalau dibiarin."

 

"Aku cuma nggak biasa pakai AC, Na."

 

"Duh, gimana, ya. Kamu kerjanya ber-AC. Kalau cari kerjaan lain gimana?" usul Ratna.

 

"Sayang, Na. Gajinya lumayan, UMR. Lagian cari kerja 'tuh susah, aku cepat keterima kerja juga karena bantuan dari teman kamu."

 

"Iya, sih. Eh, tapi 'kok gejala yang kamu alami kayak orang hamil, ya," ujar Ratna dengan kening berkerut.

 

Nurmala membelalakkan mata mendengar pernyataan yang keluar dari bibir Ratna. Tubuhnya seketika gemetar ketakutan memikirkan segala kemungkinan yang ada, tapi Nurmala tetap berusaha tenang. 

 

"Aku melakukannya cuma satu kali, jadi nggak mungkin aku bisa hamil. Iya, aku nggak mungkin hamil. Satu kali begituan nggak mungkin bisa hamil," Nurmala membatin. Ia mengsugesti dirinya sendiri agar tetap tenang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status