Alfian bertujuan membawa Nurmala ke supermarket untuk membeli kebutuhan ibu hamil dan pakaian untuk Nurmala, tapi urung ia lakukan karena Nurmala mengeluh sakit kepala, maka Alfian memutuskan untuk membiarkan Nurmala istirahat di rumah, sekaligus mengurungnya karena takut Nurmala melarikan diri.“Aku mau ke butik sebentar, setelah itu aku pulang. Kamu jangan ke mana-mana, tunggu aku di rumah.”“Mana bisa aku pergi kalau kamu mengurungku. Di mana kunci rumahnya, aku mau pulang?” tanya Nurmala disela tangisnya.“Maaf, tapi kuncinya aku bawa.” Ujar Alfian sembari memilih beberapa pakaian wanita.“Cepat pulang, aku takut sendirian.”“Iya, iya. Ya sudah, aku tutup dulu teleponnya.” Alfian menutup pintunya secara sepihak.Nurmala duduk di sudut kamar yang menurutnya merupakan tempat teraman dibanding tempat lainnya. Nurmala menangis tersedu-sedu karena masih belum terbiasa sendirian di tempat asing. Apalagi di rumah pria yang sudah merenggut kehormatannya. Perbuatan Alfian masih menyisakan
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Nurmala Angraini Binti Muhammad Faruk dengan mas kawin tersebut, Tunai," ucap Alfian dengan mantap.Para saksi serempak mengucapkan kata, "Sah." Lantunan doa pun menggema memenuhi ruangan rawat Ayu.Nurmala tak kuasa membendung air mata saat para saksi mengucapkan kata 'Sah', berulangkali Nurmala menyeka air mata yang terus mengalir membasahi pipinya. Harusnya Firmansyah Aditama yang duduk di sampingnya untuk melafadzkan kalimat ijab kabul disaksikan oleh keluarganya. Harusnya rasa terharu karena rasa bahagia yang memenuhi hati Nurmala, bukan rasa sesak tersemat di dada yang merajai hatinya. Hatinya sakit setiap mengingat Firman, nama pria itu masih bertahta di hati Nurmala. Kenangan indah bersama Firman masih menguasai pikirannya."Mas Firman, apakah kamu juga sama patah hatinya denganku?" Nurmala memejamkan mata, tangannya memegangi dada yang begitu sesak hingga sulit untuk bernafas. Cinta yang sudah bertahun-tahun mereka rajut, harus kandas karena
Nurmala bersandar di kepala ranjang sembari mengusap perutnya yang masih rata. Sudah ada makhluk kecil yang tak pernah ia inginkan tumbuh di sana. Ia masih tak percaya bisa menikah dengan orang yang sudah merusak hidupnya. Nurmala menghela nafas berat, ia tak mau terus-terusan larut dalam kesedihan."Ini untukmu.” Lamunan Nurmala buyar karena Alfian yang tiba-tiba berdiri di sampingnya menjulurkan sebuah kartu berwarna hitam. “Kamu bisa beli apa pun dengan kartu ini,” lanjut Alfian."Aku nggak butuh itu." Nurmala membuang muka ke samping."Maaf, tapi aku tidak menerima penolakan." Alfian menarik tangan Nurmala, lalu menjejalkan Black Card itu ke tangannya."Kamu nggak apa-apa kan, kutinggalkan kerja?" tanya Alfian."Iya." Itu lebih baik pikir Nurmala. Berada di dekat Alfian hanya membuat Nurmala merasa sesak napas."Kalau butuh sesuatu, kamu bisa minta tolong sama Bi Puput. Aku sudah minta dia untuk menjagamu.""Iya," jawab Nurmala singkat. Ia masih memalingkan muka dari Alfian"Nant
“Kapan ‘sih dia pulang. Ini sudah malam banget.” Nurmala berjalan ke sana kemari di teras rumah menunggu kepulangan Alfian dengan gelisah tapi sampai sekarang pria itu belum juga menunjukkan batang hidungnya. Pria itu sudah berjanji untuk mengantarnya ke kos-kosan Ratna, padahal sekarang sudah jam 9 malam, tapi Alfian tak kunjung pulang. Berulang kali dihubungi, tapi panggilan teleponnya tidak aktif."Dasar tukang ingkar janji. Ini sudah terlalu malam untuk ke kosan Ratna. Ratna pasti sudah kebingungan cariin aku. Tahu gitu aku berangkat sendiri tadi." Nurmala tak bisa memberi kabar pada Ratna karena tidak punya nomornya, semua ini karena hp miliknya dirusak Alfian."Nak, ini sudah malam. Kenapa masih berdiri di luar, nanti bisa masuk angin loh,” Bi Puput merasa cemas melihat sejak tadi menunggu Alfian."Aku nunggu Alfian, Bi. Dia janji mau nganter aku ke tempat temanku. Aku mau ngambil barang-barangku di kosan, tapi dari tadi ditungguin Si Alfian nggak datang-datang. Tahu gitu'kan ak
Alfian tertegun, sindiran tajam dari Nurmala membuatnya tersinggung, meski apa yang Nurmala katakan benar tetap saja Alfian merasa sakit hati, apalagi Alfian sudah bertanggungjawab menikahinya. Yang membuat Alfian semakin kesal, Nurmala berani menghunuskan tatapan tajam padanya, padahal Alfian adalah suaminya. "Kenapa menatapku seperti itu? Mau lagi?" tanya Alfian sebab Nurmala masih menatapnya dengan sinis."Aku tidak sudi melayanimu." Nurmala memutar mata jengah, ingin sekali ia menyumpal mulut Alfian yang los tanpa sensor. Apa dia tidak malu berkata seperti itu pada Nurmala."Aku suamimu. Aku bisa menyentuhmu kapanpun aku mau." Alfian tersenyum sarkas."Enak saja. Di dalam surat perjanjian, kontak fisik dilarang." Nurmala kembali menatap Alfian dengan sinis. Jangankan melayani Alfian, berdekatan dengannya saja sudah membuat Nurmala risih dan merinding.“Mulai sekarang kamu tidak boleh dekat dengan lelaki manapun.”“Apa urusanmu?”“Jelas itu urusanku. Kamu istriku.”“Cuma istri sem
“Langit sudah mendung. Kayaknya bentar lagi bakal hujan, deh. Kamu nggak mau mampir dulu di kos-kosanku? Kalau langsung pulang, kamu bakal kehujanan, loh.”“Nggak, Na. Takut ada fitnah. Kapan-kapan saja kalau ada Nurmala aku bakal mampir. Oya, di sebelah mana kamar kos-mu?" tanya Firman."Kamar nomor 7, di sana." Ratna menunjuk kamar yang pintunya terbuka. Firman mendongak mengikuti arah telunjuk Ratna. "Loh, pintu-nya ke buka," seru Ratna kegirangan. “Kayaknya Nurmala udah pulang, deh.” Senyum di bibir Ratna mengembang dengan lebar.Senyum bahagia mengembang di bibir Firman, akhrinya dia bisa berjumpa lagi dengan wanita yang sangat dicintainya. "Gimana, ya, kalau Firman tahu Nurmala sedang hamil?" gumam Ratna dalam hati dengan perasaan cemas. “Apa Firman mau menerima Nurmala yang lagi hamil anak orang lain.”Firman segera turun dari motornya, kemudian berlari kecil menuju kamar kos Ratna. Senyum di bibir Firman terus mengembang sepanjang ia berlarian. Ia sudah tidak sabar ingin ber
Alfian mengambil tas besarnya dan mengambil semua pakaian dari dalam lemari Nurmala, lalu memasukkannya ke dalam tasnya.Nurmala duduk di samping Ratna, ia lebih tenang setelah puas menangis. Mereka bicara saling berbisik. Tentu saja hal itu membuat Alfian geram dan makin penasaran dengan perbincangan mereka berdua, apalagi dua wanita itu sesekali meliriknya."Ayo Nur, makan. Ini terang bulan istimewa dari orang yang istimewa, tadi Firman beli ini di warung langganan kalian, katanya kangen sama kamu," Ratna sengaja mengompori Alfian, supaya Alfian tahu jika masih ada pria berhati tulus yang mau menerima Nurmala apa adanya. Semua itu ia lakukan supaya Alfian tidak bersikap semena-mena pada sahabatnya.Ratna tak ada niat sedikitpun untuk menawari Alfian minuman dan terang bulan pemberian Firman. Kalaupun ditawari, Alfian tidak akan sudi menyentuh makanan pemberian dari Firman. Usai mengemasi semua barang-barang Nurmala, Alfian memilih bermain Hp sembari menunggu hujan reda."Hmmm, enak
"Aku nabrak mobil, Mbak. Kerusakannya sangat parah. Yang punya mobil minta ganti rugi. Kalau nggak, aku bakal dilaporin ke polisi." jawab Azizah diselingi dengan isak tangis."Kok bisa sih, Za?" Nurmala panik, dia juga bisa merasakan ketakutan yang di rasakan oleh adiknya."Tadi aku berangkat sekolah buru-buru, Mbak. Karena takut telat, aku ngebut.""Memangnya orangnya minta ganti rugi berapa?" tanya Nurmala."Ti-tiga puluh juta, Mbak," jawab Azizah terbata. Ia ragu Nurmala bisa membantunya, tapi ia juga takut masuk penjara."APA?" pekik Nurmala, sepertinya dia salah dengar. “Berapa kamu bilang?”"Tiga puluh juta, Mbak." Azizah mengulang jawabannya lebih jelas."Ya ampun, Za. Kok banyak banget, sih!" Nurmala merasa sesak mendengar nominal yang sangat besar untuk ganti rugi, dia bingung harus mencari uang sebanyak itu kemana? Sedangkan mahar pernikahan dari Alfian sudah Nurmala gunakan untuk menutupi hutang orang tuanya. Dia tak memiliki keberanian untuk meminta uang sebanyak itu pada
Bunyi ketukan pintu membuat Dimas yang sedang menulis terlonjak kegirangan. Ia buru-buru mengambil tongkat kruk dan langkah tertatih-tatih pergi ke pintu utama karena tidak ingin Kanaya menunggunya terlalu lama.“Kamu siapa?” senyum di wajah Dimas mendadak surut saat melihat bukan Kanaya yang datang ke apartemennya.“Saya Reno, Nyonya Kanaya menyuruh saya untuk menjaga dan membantu anda menulis terjemahan bahasa asing.” Reno tak kalah terkejutnya melihat pria yang harus dijaganya adalah mantan suami dari majikannya. Reno ingat betul dulu ketika selesai akad nikah, Dimas melumat ****** Kanaya dengan rakus.“Kenapa bukan Kanaya yang datang kemari?” tanya Dimas dengan kecewa.“Nyonya Kanaya sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Pak Rian.”DEGJantung Dimas sakit serasa disambar petir, dunia terasa berputar, kepalanya tiba-tiba pusing hingga membuat tubuhnya oleng. Beruntung Dimas berpegangan pada bingkai pintu untuk menopang berat tubuhnya.“Pak, anda baik-baik saja?” Reno deng
“Kapan kau akan bayar hutangmu?”“Beri aku waktu, sebentar lagi aku pasti akan mendapatkan uangnya. Aaaaghh...” Rian berteriak kesakitan saat tangannya dipelintir.“2 minggu yang lalu kau juga berkata begitu.” Rentenir itu merampas kontak mobil dan kunci rumah milik Rian. “Sita semua barang-barang di rumah ini.”“Jangan, Pak. Aku mohon jangan sita mobil saya, saya pasti akan melunasi semua hutang-hutang saya.”“Mau bayar pakai apa, hah? Ingat, kalau sampai 2 minggu kau belum membayar hutangmu, maka rumahmu akan aku sita.”Rian hanya bisa pasrah melihat satu-persatu barang dalam rumahnya digotong keluar. Usahanya yang bangkrut membuatnya terlilit hutang pada lintah darat. Satu-satunya harapan adalah dengan menikahi Kanaya dan menguras semua hartanya, akan tetapi wanita itu sangat sulit untuk didekati.***Satu minggu kemudian, Kanaya mengantarkan Dimas ke apartemennya karena Dimas ngotot ingin pulang. Ia takut tagihan rumah sakit akan membengkak dan Dimas tidak bisa membayarnya.Begitu
“Ini yang namanya musibah membawa berkah.” Dimas sangat ikhlas mendapat musibah seperti ini, jika Kanaya dan Tania bisa kembali padanya.“Maksudnya?” tanya Kanaya dengan kening berkerut.“Kalau bukan karena menambrakku, mungkin kamu tidak akan mau duduk di dekatku.”Kanaya mengedarkan pandangannya, atmosfir ruangan mendadak terasa panas meski AC sudah menyala. Kanaya menggigit bibir bawahnya, rasa canggung tiba-tiba merayap menyelimuti hati Kanaya.Dimas melihat makanan di atas nakas yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk pasien. “Itu makanan untukku?”Kanaya mengikuti arah mata Dimas memandang. “Iya.”“Aku lapar.” Dimas sengaja mengalihkan pembicaraan karena tidak mau melihat Kanaya terus larut dengan rasa bersalahnya. Kanaya mengambil makanan di laci, lalu menyodorkannya pada Dimas.“Bagaimana aku bisa makan kalau kedua tanganku tidak bisa bergerak?”“Bukannya cuma tangan kirimu yang cedera?” Kanaya menatap Dimas dengan tatapan memicing penuh selidik, sebab tangan Dimas yang d
“Pak Dimas, anda sedang apa di sini?” pertanyaan yang terlontar dari sekurity berhasil membuyarkan lamunan Dimas.“Siapa pria yang menggendong Tania?” tanya Dimas to the point.“Oh, dia Pak Rian. Temannya Tuan Ashraf.”“Suaminya Kanaya?” tanya Dimas lagi.“Oh, bukan, Pak. Nyona Tania belum menikah lagi setelah berpisah dari anda.”“Ok.” Perasaan lega seketika menyelimuti hati Dimas. “Jangan katakan pada siapa pun kalau aku datang kemari, aku hanya ingin melihat putriku dari jauh.”Sekurity tidak menanggapi permintaan Dimas, dia lebih setia pada majikan yang menggajinya tiap bulan. Dimas pergi dengan perasaan lega karena memiliki buah hati yang cantik.***“Ma, benar ya tadi itu Papaku?” tanya Tania yang sangat penasaran dengan sosok Dimas karena mengaku sebagai papanya.“Kamu nggak perlu tahu tentang dia. Pokoknya kamu nggak boleh dekat-dekat sama dia.”“Memangnya kenapa, Ma?”“Mama nggak mau dia misahin kita, Sayang.” Kanaya memeluk Tania yang rebahan di atas ranjang dengan erat.“Ma
“Apa maksudmu?” Kanaya pura-pura tidak tahu maksud dari perkataan Dimas.“Jangan membodohiku, aku tahu Tania adalah putriku.”“Dia anakku, bukan anakmu.” Kanaya berdiri, kemudian menyembunyikan Tania di balik tubuhnya.Sikap Kanaya malah membuat Dimas semakin kesal, dia sudah berani merahasiakan kelahiran Tania dan masih ingin menjauhkannya dari Dimas.“Bagaimana jika aku menuntutmu ke pengadilan karena sudah menyembunyikan kelahiran Tania dariku, lalu mengambil hak asuhnya?” Dimas menggertak Kanaya. Ia sama sekali tidak memiliki niat untuk memisahkan Kanaya dari putrinya.Kanaya tersentak kaget takut dengan ancaman Dimas. Raut wajahnya yang tegas berubah menjadi panik hingga membuat Dimas semakin yakin jika Tania adalah putri kandungnya.“Dia memang anak kita ‘kan?” tanya Dimas lagi dengan tatapan mata memicing.Dimas memang marah karena Kanaya sudah merahasiakan kelahiran Tania darinya, tapi ia juga berharap masih memiliki kesempatan untuk kembali pada Kanaya dan bersama-sama membes
"Dia bukan anakmu. Dia anakku," jawab Kanaya dengan tegas.Kanaya sangat mengenal watak Dimas yang akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa pun yang dia inginkan, apalagi jika dia tahu Tania adalah darah dagingnya.“Apa kamu sudah menikah?” tanya Dimas dengan rasa sakit yang menusuk di hati. Dadanya sudah kembang kempis menunggu jawaban Kanaya.“I, iya.” Kanaya terpaksa berbohong karena takut Dimas akan merebut putrinya. Ia tidak mau kehilangan harta yang paling berharga dalam hidupnya.Jawaban Kanaya benar-benar melukai hati Dimas. Kanaya terpaksa berbohong karena tidak ingin berurusan lagi dengan Dimas, apalagi jika Dimas sampai merebut putrinya.“Semoga kamu bahagia dengan pernikahanmu.” Dimas yang patah hati langsung memutus sambungan teleponnya secara sepihak. Dimas menghela napas berat, ini bukan saatnya untuk frustasi, ia harus mencari pekerjaan untuk melanjutkan sisa hidupnya.“Siapa yang telepon, Ma?” tanya Tania.“Teman Mama, Nak.” Jawab Kanaya membari mengusap ra
“Ini dompetmu.” Bagitu duduk di taman komplek perumahan, Ardi menyerahkan dompet yang Dimas minta berserta berkas-berkas penting milik Dimas.“Sebenarnya apa yang terjadi selama aku penjara?” tanya Dimas to the point.“Kamu tahu sendiri kalau aku tidak punya pengalaman di bidang bisnis, sedangkan CEO yang Mama pekerjakan malah menipu Mama, dia bekerja untuk pesaing bisnis keluarga kita. Mama sudah menggadaikan semua harta kita untuk mempertahankan perusahaan, tapi uangnya malah dibawa kabur oleh CEO itu, karena tidak mampu membayar pinjaman, semua barang berharga disita oleh BANK.”“Apa ibumu menjual harta milikku juga?” Dimas mempertanyakan harta yang ia miliki dari hasil jerih payahnya sendiri.“Iya.” Ardi tidak berani membalas tatapan Dimas karena rasa bersalahnya.“Kalian sangat keterlaluan.” Dimas berusaha menahan amarah yang sudah lama ia pendam. Ia sudah berjanji pada Andra untuk hijrah menjadi orang yang baik. Dimas menganggap penjara adalah hukuman atas dosa-dosa yang selama
4 tahun sudah berlalu, Dimas akhirnya bisa menghirup udara bebas setelah mendekam di dalam penjara tanpa ada siapa pun yang datang berkunjung. Semua teman-teman yang selalu ia bantu seakan lupa dengan jasa-jasanya, mereka hanya ada di saat Dimas jaya. Polisi, hakim dan pengacaranya juga sudah dibeli oleh Lilis agar Dimas bisa dipenjara dalam waktu yang lama.Dimas berjalan kaki menuju kediaman Almarhum Ayahnya tanpa uang sepeser pun, dompet dan seisinya sudah diambil oleh Lilis saat Dimas mendekam di dalam penjara. Setelah 3 jam berjalan dengan perut lapar dan rasa haus, Dimas akhirnya sampai di depan rumah mendiang ayahnya. Dimas terkejut saat melihat sebuah segel di pagar rumahnya yang bertuliskan ‘RUMAH INI DISITA OLAH BANK’.“Maaf cari siapa?” Sekuriti menghalangi Dimas yang hendak membuka pagar rumahnya.“Cari siapa?” Dimas mengerutkan keningnya sambil mengulang pertanyaan sekuriti. “Ini rumahku, kenapa rumah ini disegel?” tanya Dimas dengan kesal sekaligus penasaran.“Oh, sudah
“Bawa aku pergi dari sini, Nay. Aku benci tempat ini, jangan tinggalkan aku di sini sendirian!” Dimas tiba-tiba berteriak histeris seperti orang kesetanan sambil meremas kepalanya yang terasa sakit seperti ingin pecah.Ashraf dan Kanaya sangat terkejut melihat reaksi Dimas yang tidak pernah mereka prediksi. “Dimas kenapa, Pak?” tanya Kanaya dengan cemas.“Mentalnya masih belum stabil, sebaiknya kalian segera pergi dari sini.”“Tapi, bagaimana dengan Dimas?” tanya Kanaya sambil memperhatikan Dimas yang terus berteriak.“Tenaga medis akan segera menanganinya. Kondisi Dimas belum memungkinkan untuk di temui, tidak seharusnya kalian di sini. Anda lihat ‘kan keberadaan anda di sini hanya membuat pasien semakin tertekan. Sebaiknya anda datang lagi setelah keadaan Dimas mulai membaik.”“Sebaiknya kita pergi dari sini, Nay. Percayakan saja Dimas pada ahlinya!” Ashraf tetap mengajak Kanaya pergi meskipun tahu jika adiknya itu tidak tega meninggalkan Dimas dalam keadaan yang memprihatinkan. Ash